Jersey Manchester United kesayangannya masih dia kenakan, sisa-sisa snack saat menonton pertandingan semalampun masih berantakan. Tapi matanya sudah fokus dengan foto-foto di layar laptop dan tetikus yang sejak tadi tak berhenti bergerak.
''Belum tidur?'' tanyaku sambil meletakkan secangkir kopi di meja. Dia menoleh lalu tersenyum sebelum matanya kembali lagi ke pekerjaannya.
Rambutnya yang sudah menutupi setengah telinga dia ikat ke belakang, menyisakan sedikit helaian-helaian menggantung di bagian depan. Jambang dan kumisnya kini sudah sangat familiar, entah dia memang menyukainya atau mungkin tak punya waktu untuk memotongnya.
Pertandingan semalam sepertinya berjalan seru, lagi-lagi tim sepak bola kesayangannya menang, seperti biasa.
''2-0! Liverpool kemarin kalah berapa?'' ejeknya.
Aku hanya mendelik ke arahnya, dia belum tidur sudah hampir dua hari. Deadline memaksanya tetap terjaga meski dua rekannya sudahlah tidur sejak 3 jam yang lalu. Profesional, katanya. Dia bekerja terlalu keras.
''Untuk kita, untuk masa depan kita nanti,'' jawabnya saat aku memprotes jam kerja yang sudah tidak wajar.
Aku diam, tak seorangpun bisa menghentikan kemauannya. Termasuk aku, penyebab laki-laki ber-jersey Manchester United ini menyiksa diri.
Iya, untuk kita.
Senin, 02 April 2012
Wajah
Ada pias wajah tanpa ekspresi, begitu datar dan terlalu membingungkan untuk dijelaskan.
Ada amarah di dalamnya. Ada kecewa, lalu ada guratan tipis di dahi; aku ingin menyembunyikan semua.
Namun sia-sia. Ada saja yang menyusup keluar menampakan diri, entah amarah ataupun kecewa. Sama.
Inginku tidak ada pahit, namun hukum alam telah menimbang adil porsinya.
Mungkin masih bisa tertawa, mungkin juga masih bisa berkata 'Aku baik-baik saja.' Tapi wajah melawan lidah.
Tapi wajah bercerita dengan mudahnya, tentang amarah, tentang garis kecewa yang menghiasinya.
Ada amarah di dalamnya. Ada kecewa, lalu ada guratan tipis di dahi; aku ingin menyembunyikan semua.
Namun sia-sia. Ada saja yang menyusup keluar menampakan diri, entah amarah ataupun kecewa. Sama.
Inginku tidak ada pahit, namun hukum alam telah menimbang adil porsinya.
Mungkin masih bisa tertawa, mungkin juga masih bisa berkata 'Aku baik-baik saja.' Tapi wajah melawan lidah.
Tapi wajah bercerita dengan mudahnya, tentang amarah, tentang garis kecewa yang menghiasinya.
Minggu, 01 April 2012
Diam
Ada lagi saat-saat hening di antara kita, bukan, bukan karena ada perselisihan yang akan mendinginkan suasana seperti biasa. Ini semata ulahku.
Wajah putus asa tampak belum menghilang dari raut kusut sisa lembur tadi malam, aku yang masih diam dan dia yang bingung mencari cara agar aku berbicara barang sepatah kata.
"Kamu kenapa?'' tanyanya sambil mengusap pipiku.
Aku diam. Aku selalu diam saat berbagai masalah datang padaku, juga saat batinku bergolak karena sesuatu. Dia menghela napas menyerah, memang tak akan ada cara yang bisa membuatku membuka mulut, tak terkecuali dia.
Aku yang terbiasa dengan ketertutupanku, aku yang introvet, aku anak tunggal yang seumur hidup sudah belajar menghibur diri, aku yang harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri.
"Oke, sini," lanjutnya. Lalu dengan cepat membenamkanku ke dalam pelukannya, erat dan hangat. Tak ada kata, hanya hening yang sama namun dengan rasa nyaman yang berbeda.
"Aku masih belum bisa menemukan cara agar kamu bicara, maaf aku hanya memelukmu seperti ini."
Kemudian peluknya makin erat, tak perlu hal berupa kata-kata, tak perlu menghibur atau membujukku untuk bicara. Aku menemukan kedamaian di dekapnya, setiap hari, setiap kali dia memelukku seperti ini.
"Kamu sedih bukan karena Liverpool kalah malam tadi, kan? Toh sudah biasa," celetuknya membuatku berontak ingin melepaskan diri.
Tapi nyatanya hanya tawanya yang bisa kudengar, kencang dan membuatku kesal. Aku masih tetap melekat erat di tubuhnya tanpa bisa sesentipun menjauh, dengan cubitan bertubi-tubi di pinggangnya dan tawa tipis yang akhirnya bisa kukembangkan di bibirku.
Memang tak perlu menjauh, karena hening dekap dan celoteh ngawurmu lah yang selama ini kubutuhkan.
Wajah putus asa tampak belum menghilang dari raut kusut sisa lembur tadi malam, aku yang masih diam dan dia yang bingung mencari cara agar aku berbicara barang sepatah kata.
"Kamu kenapa?'' tanyanya sambil mengusap pipiku.
Aku diam. Aku selalu diam saat berbagai masalah datang padaku, juga saat batinku bergolak karena sesuatu. Dia menghela napas menyerah, memang tak akan ada cara yang bisa membuatku membuka mulut, tak terkecuali dia.
Aku yang terbiasa dengan ketertutupanku, aku yang introvet, aku anak tunggal yang seumur hidup sudah belajar menghibur diri, aku yang harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri.
"Oke, sini," lanjutnya. Lalu dengan cepat membenamkanku ke dalam pelukannya, erat dan hangat. Tak ada kata, hanya hening yang sama namun dengan rasa nyaman yang berbeda.
"Aku masih belum bisa menemukan cara agar kamu bicara, maaf aku hanya memelukmu seperti ini."
Kemudian peluknya makin erat, tak perlu hal berupa kata-kata, tak perlu menghibur atau membujukku untuk bicara. Aku menemukan kedamaian di dekapnya, setiap hari, setiap kali dia memelukku seperti ini.
"Kamu sedih bukan karena Liverpool kalah malam tadi, kan? Toh sudah biasa," celetuknya membuatku berontak ingin melepaskan diri.
Tapi nyatanya hanya tawanya yang bisa kudengar, kencang dan membuatku kesal. Aku masih tetap melekat erat di tubuhnya tanpa bisa sesentipun menjauh, dengan cubitan bertubi-tubi di pinggangnya dan tawa tipis yang akhirnya bisa kukembangkan di bibirku.
Memang tak perlu menjauh, karena hening dekap dan celoteh ngawurmu lah yang selama ini kubutuhkan.
Langganan:
Postingan (Atom)