Ada lagi saat-saat hening di antara kita, bukan, bukan karena ada perselisihan yang akan mendinginkan suasana seperti biasa. Ini semata ulahku.
Wajah putus asa tampak belum menghilang dari raut kusut sisa lembur tadi malam, aku yang masih diam dan dia yang bingung mencari cara agar aku berbicara barang sepatah kata.
"Kamu kenapa?'' tanyanya sambil mengusap pipiku.
Aku diam. Aku selalu diam saat berbagai masalah datang padaku, juga saat batinku bergolak karena sesuatu. Dia menghela napas menyerah, memang tak akan ada cara yang bisa membuatku membuka mulut, tak terkecuali dia.
Aku yang terbiasa dengan ketertutupanku, aku yang introvet, aku anak tunggal yang seumur hidup sudah belajar menghibur diri, aku yang harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri.
"Oke, sini," lanjutnya. Lalu dengan cepat membenamkanku ke dalam pelukannya, erat dan hangat. Tak ada kata, hanya hening yang sama namun dengan rasa nyaman yang berbeda.
"Aku masih belum bisa menemukan cara agar kamu bicara, maaf aku hanya memelukmu seperti ini."
Kemudian peluknya makin erat, tak perlu hal berupa kata-kata, tak perlu menghibur atau membujukku untuk bicara. Aku menemukan kedamaian di dekapnya, setiap hari, setiap kali dia memelukku seperti ini.
"Kamu sedih bukan karena Liverpool kalah malam tadi, kan? Toh sudah biasa," celetuknya membuatku berontak ingin melepaskan diri.
Tapi nyatanya hanya tawanya yang bisa kudengar, kencang dan membuatku kesal. Aku masih tetap melekat erat di tubuhnya tanpa bisa sesentipun menjauh, dengan cubitan bertubi-tubi di pinggangnya dan tawa tipis yang akhirnya bisa kukembangkan di bibirku.
Memang tak perlu menjauh, karena hening dekap dan celoteh ngawurmu lah yang selama ini kubutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar