Rabu, 02 Mei 2012

Senandung di Kala Senja

Senja mengguratkan rona jingga

Pada sore yang begitu tenang, ilalang menari menyemarakkan diam

Dari balik kerah leher, angin menyemilir disana

Menyekik leher pada kerasnya rindu yang tak terbaca


Dalam diam kadang jiwa berbicara lebih banyak

Dengan lembutnya angin yang menampar wajah, hati meneriakkan kegalauan

Ada resah yang bersemayan dan tinggal

Menjalin sarang dan membusuk disana


Aku menatap senja yang benderang

Oleh redupnya cahaya mentari yang sebentar lagi padam

Kutanggap sebersit enggan di sana

Matahari akan kembali pulang, pada siklus yang abadi

Seperti cinta yang nyaris padam, seperti ingin berpulang pada kebahagiaan.


:: Poems from @danissyamra

Senin, 02 April 2012

Jersey Merah

Jersey Manchester United kesayangannya masih dia kenakan, sisa-sisa snack saat menonton pertandingan semalampun masih berantakan. Tapi matanya sudah fokus dengan foto-foto di layar laptop dan tetikus yang sejak tadi tak berhenti bergerak.

''Belum tidur?'' tanyaku sambil meletakkan secangkir kopi di meja. Dia menoleh lalu tersenyum sebelum matanya kembali lagi ke pekerjaannya.

Rambutnya yang sudah menutupi setengah telinga dia ikat ke belakang, menyisakan sedikit helaian-helaian menggantung di bagian depan. Jambang dan kumisnya kini sudah sangat familiar, entah dia memang menyukainya atau mungkin tak punya waktu untuk memotongnya.
Pertandingan semalam sepertinya berjalan seru, lagi-lagi tim sepak bola kesayangannya menang, seperti biasa.

''2-0! Liverpool kemarin kalah berapa?'' ejeknya.

Aku hanya mendelik ke arahnya, dia belum tidur sudah hampir dua hari. Deadline memaksanya tetap terjaga meski dua rekannya sudahlah tidur sejak 3 jam yang lalu. Profesional, katanya. Dia bekerja terlalu keras.

''Untuk kita, untuk masa depan kita nanti,'' jawabnya saat aku memprotes jam kerja yang sudah tidak wajar.

Aku diam, tak seorangpun bisa menghentikan kemauannya. Termasuk aku, penyebab laki-laki ber-jersey Manchester United ini menyiksa diri.

Iya, untuk kita.

Wajah

Ada pias wajah tanpa ekspresi, begitu datar dan terlalu membingungkan untuk dijelaskan.
Ada amarah di dalamnya. Ada kecewa, lalu ada guratan tipis di dahi; aku ingin menyembunyikan semua.
Namun sia-sia. Ada saja yang menyusup keluar menampakan diri, entah amarah ataupun kecewa. Sama.
Inginku tidak ada pahit, namun hukum alam telah menimbang adil porsinya.
Mungkin masih bisa tertawa, mungkin juga masih bisa berkata 'Aku baik-baik saja.' Tapi wajah melawan lidah.

Tapi wajah bercerita dengan mudahnya, tentang amarah, tentang garis kecewa yang menghiasinya.

Minggu, 01 April 2012

Diam

Ada lagi saat-saat hening di antara kita, bukan, bukan karena ada perselisihan yang akan mendinginkan suasana seperti biasa. Ini semata ulahku.

Wajah putus asa tampak belum menghilang dari raut kusut sisa lembur tadi malam, aku yang masih diam dan dia yang bingung mencari cara agar aku berbicara barang sepatah kata.

"Kamu kenapa?'' tanyanya sambil mengusap pipiku.

Aku diam. Aku selalu diam saat berbagai masalah datang padaku, juga saat batinku bergolak karena sesuatu. Dia menghela napas menyerah, memang tak akan ada cara yang bisa membuatku membuka mulut, tak terkecuali dia.
Aku yang terbiasa dengan ketertutupanku, aku yang introvet, aku anak tunggal yang seumur hidup sudah belajar menghibur diri, aku yang harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri.

"Oke, sini," lanjutnya. Lalu dengan cepat membenamkanku ke dalam pelukannya, erat dan hangat. Tak ada kata, hanya hening yang sama namun dengan rasa nyaman yang berbeda.

"Aku masih belum bisa menemukan cara agar kamu bicara, maaf aku hanya memelukmu seperti ini."

Kemudian peluknya makin erat, tak perlu hal berupa kata-kata, tak perlu menghibur atau membujukku untuk bicara. Aku menemukan kedamaian di dekapnya, setiap hari, setiap kali dia memelukku seperti ini.

"Kamu sedih bukan karena Liverpool kalah malam tadi, kan? Toh sudah biasa," celetuknya membuatku berontak ingin melepaskan diri.
Tapi nyatanya hanya tawanya yang bisa kudengar, kencang dan membuatku kesal. Aku masih tetap melekat erat di tubuhnya tanpa bisa sesentipun menjauh, dengan cubitan bertubi-tubi di pinggangnya dan tawa tipis yang akhirnya bisa kukembangkan di bibirku.

Memang tak perlu menjauh, karena hening dekap dan celoteh ngawurmu lah yang selama ini kubutuhkan.

Sabtu, 31 Maret 2012

Tak Apa, Ra...

Mungkin tak apa sedikit menangis.
Kamu juga manusia biasa.
Toh, air mata diciptakan dengan alasan.
Benar, tak apa kalau kamu ingin menangis.
Dadamu sudah sesak sejak lama, bukan?
Rahangmu sudah mengeras, entah sejak kapan.
Bibirmu terkatup menahan semua amarah dan kecewa, benar?
Menangislah...
Menangislah...
Tuhan tak akan menghukum tangisanmu.
Dia tak akan menghitungnya sebagai dosa.

Menangislah...kamu hanya manusia biasa.

Untuk kali ini saja, izinkan air matamu menyapa bumi.
Jangan memaksanya agar terus tersembunyi.
Jangan berkata kalau dia tidak ada.
Jangan mengelak kalau kamu sebenarnya menginginkannya.

Menangislah.
Menangislah, Ra.
Tangisan bukan dosa, tangisan milik semua makhluk-Nya.
Kamu sudah lelah, bukan?
Kamu tak mampu lagi menyembunyikannya.
Kamu harus menangis sekarang juga.

Tolong, menangislah...
Jangan siksa batinmu hanya karena ingin melihat orang lain terus tertawa.
Mereka tak akan pergi hanya karena air mata.
Mereka tak akan menghilang begitu saja.

Jadi menangislah...
Menangis seperti saat kamu sedang berada di titik paling lemah hidupmu.
Tak ada yang membantu.
Tak ada yang mengulurkan tangan.
Tak ada pegangan.
Menangislah...

Sudah, tak perlu malu. Malu hanya boleh dirasakan saat kamu gagal tanpa berusaha, saat kamu enggan mencoba.

Menangislah, Ra...
Menangislah sesekali.
Menangislah hari ini.
Satu kali saja, beri tahu bumi kalau kamu manusia biasa...
Menangislah....

Rapuh

Ada hal-hal yang tak perlu ditampakkan wujudnya; kelemahan, rasa sakit, kemarahan, kesedihan...

Ada rapuh yang sudah sekuat hati disembunyikan, dipendam, disamarkan dengan wajah dan tingkah seperti orang paling kuat. Namun, ada titik paling rawan untuk bisa melihat kalau semua penampakan tentang keteguhan hanyalah pura-pura.

Aku merasakannya. Kerapuhan yang dimiliki dan disembunyikan dengan keyakinan bahwa 'Hei, gue kuat. Ini cuma hal kecil.' Setiap orang mungkin pernah mempunyai keyakinan itu, dan beberapa orang di antaranya pernah gugur setelah sekian lama meyakininya.

Aku sudah runtuh beberapa kali, kerapuhan yang ditutupi, kemarahan yang pelan ditiup agar mati...nyatanya hanya terakumulasi. Terkumpul, dan bersiap memuntahkan semuanya di satu waktu.

Tapi aku sudah sekuat tenaga berusaha menahannya, mengabaikan semua amarah, menguatkan diri dan tersenyum seperti biasa. Bukan kerapuhan yang ingin aku tunjukkan, bukan pula kemarahan. Bukan.
Jadi maaf jika sudah terlanjur melihatnya, juga jika tak sengaja merasakan getahnya.

Ada sesal, ada rasa terpuruk mengingat kekalahan. Aku dikalahkan amarah, aku tak bisa memenangkan keyakinan kalau aku kuat. Kali ini aku mengaku, aku rapuh.

Ada rahasia yang tanpa sengaja dibuka dengan siratan;
Ketidakmampuan, kegagalan, letih berkepanjangan, usaha yang belum juga mendapat titik terang. Lalu, sesekali akan ditampakkan dengan sengaja; dengan air mata, dengan kata 'Menyerah,' dengan menyendiri.

Ada sebab, ada akibat, ada masalah, ada putus asa, dan ada jalan keluar. Ada amarah, ada kekecewaan, ada kekalahan, ada keinginan untuk mundur, dan akan selalu ada kesempatan untuk berperang. Maju. Lalu berusaha lagi.

Akan selalu ada jeda di setiap langkah yang diambil; untuk sejenak bernapas, untuk sesaat memikirkan jejak yang sudah dibuat, dan untuk melanjutkannya.

Pasti ada keraguan dan segalanya yang sudah kutulis di atas, tapi akan terselip sedikit keyakinan. Pasti. Dan masih kuyakini hingga detik ini.

Rabu, 28 Maret 2012

Semangkuk Bakso Tahu

''Enak?''

Dia menyodorkan potongan jeruk nipis di piring kecil ke hadapanku, semangkuk soto betawi hasil coba-cobanya dihidangkan khusus untukku malam ini.

''Enak, ini bisa bikin soto betawi. Katanya kemarin nggak bisa,'' jawabku. Dia terkekeh dan tersipu malu.

***

''Enak?''

Tanyanya antusias saat sepotong schotel macaroni baru kusuap seujung garpu, aku tersenyum lebar menatapnya.

''Kamu sudah jago masak ternyata, enak!''

***

''Gimana, enak?''

Wajahnya mengikuti gerakan tanganku saat menyendok kuah kari yang sudah disiramkan ke nasi putih di piringku, dahinya mengernyit dan kedua telapak tangannya saling bertaut.

''Aku nggak perlu berkomentar, ini enak, sayang,'' ucapku yakin membuatnya menghela napas lega.

***

''Aku nggak yakin sama ini, enak nggak?''

Dia menggeser semangkuk bakso tahu ke depanku, mendekatkan botol saus dan kecap juga mengambilkan sendok untukku.
Untuk yang kesekian kalinya di dua tahun umur pernikahan kami, aku selalu menjadi kelinci percobaannya. Dia yang tak pernah memasak semasa lajang, menguatkan tekad belajar dari buku-buku resep masakan untuk menyenangkanku--suaminya. Ingin jadi istri seutuhnya, bilangnya waktu itu.

Aku tak pernah menolak, aku tak ingin dia kecewa, aku hanya ingin dia tersenyum dan bahagia hidup bersamaku.

''Sayang, ini bakso tahu terenak yang pernah kumakan.''

Dia berseru kegirangan, lalu menciumku sampai hampir menumpahkan air minum di gelasku.

Maaf.

Indera pencecapanku sudah tak berfungsi dari satu setengah tahun lalu. Maaf, telah mengacuhkan larangan merokok darimu.

Maaf telah banyak berbohong padamu.