Sabtu, 31 Desember 2011

Pijar

Tahun baru masih setengah jam lagi, tahun baru pertamaku di beranda rumah setelah tobat keluyuran mencari keramaian. Iya, kali ini aku butuh kesunyian. Tapi salah.

Komplek perumahan biasa dengan rumah yang hanya dibatasi pagar kurang dari dua meter, bukan perumahan elit, hanya rumah sederhana dengan pohon mangga atau rambutan di depannya. Aku pikir, berada di rumah saat tahun baru akan lebih tenang, tapi sama saja. Memang tidak seperti berada di lautan manusia, tapi keriuhannya hampir sama.

Sedari pukul 20:00 kembang api sudah menyala, berkali-kali. Meledakkan sinar lalu menyebar menjadi titik-titik warna. Terompet tak pernah ada jeda, bahkan anak-anak belum juga lelah berteriak.
Rumah arah jam sebelas, seperti sedang open house. Pagar dibuka lebar-lebar, suara musik karaoke melantunkan lagu 'Widuri' dengan suara fals Om-Om. Tetangga.
Rumah arah jam dua, juga membuka pagarnya lebar, mengeluarkan sofa dan meletakkannya di garasi. Dua orang laki-laki---anggota keluarganya, sibuk mengipasi sate. Diiringi tiga anak kecil bermain kembang api sambil berfoto dengan ibunya. Ramai.

''Kok ngelamun'' ujar seseorang, arah jam tiga. Sahabat kecilku--yang sudah setinggi pebasket, tampak menyangga piring berisi nasi dengan berbagai lauk. Kakinya dinaikkan ke atas kursi besi yang sama dengan kursiku, sesekali dia bersendawa tanpa peduli ada orang di sebelah yang diam-diam terganggu.

''Udah nambah berapa kali, Lu? Gue disisain gak tuh nasi di belakang?'' tanyaku pada cowok pemakan segala itu, dia hanya tersenyum. Mulutnya penuh, pipinya mengembang seperti dimasuki dua bola tenis. ''Bangkrut dah nyokap gue, dari kelas dua SD sampe lu setua ini. Besok-besok bayar lu!''

''Nyokap lu ikhlas-ikhlas aja tuh, ga kaya lu, mata duitan!'' jawabnya, lalu beringsut pergi membawa piring kosongnya. Sial!
Urat malunya memang sudah putus sejak dia lulus SMP, sejak cintanya ditolak adik kelas. Belasan tahun lalu.

''Disuruh makan tuh, katanya takut keburu dingin ikannya'' suara itu menyadarkanku, sekarang tangannya sibuk mengelap air dari semangka yang dimakan. ''Nyokap lu makin lama makin bawel deh, lu hasut ya, biar gue ga betah di sini?''

Pikiranku sedang kosong, aku sendiri bingung mengartikan ini semua. Awal tahun, lalu? Sepesimis itukah aku sampai lupa memikirkan besok?
Kemudia tiba-tiba sepasang tangan menggenggam jemari kananku, tangannya dingin, dan lengket.

''Lu megang-megang tangan gue mau meper, ya!!??'' semburku pada cowok berambut cepak di sebelah, raut wajahnya tenang dengan sedikit senyum menyimpul. Sedetik sempat terpikir kalau dia sedang kesurupan. ''Heh!!''

Dia tersenyum lagi, lalu perlahan menunduk menyembunyikan wajahnya. Curiga sedang dikerjai, akupun menarik tangan yang masih digenggam oleh tangan lengketnya. Erat. Susah sekali melepaskan jari-jari besar itu dari sela jariku. ''Kita udah temenan lama..'' katanya membuatku menaikkan alis, ''Ini soal perasaan gue sama lu''

Mataku melotot seketika, mudah-mudahan dia ngelantur gara-gara kebanyakan makan ikan bakar. ''Apa sih? Lu jangan ngerjain gue ya, macem-macem deh''

''Gue serius, untuk yang ke satu-dua-tiga..iya, tiga--tiga kalinya gue ngungkapin perasaan gue...'' matanya menatapku lurus, menusuk sampai aku enggan sekali membalasnya. Memang sudah dua kali aku menolaknya, kita sahabat, that's it! Tidak ada hal menye-menye seperti pacaran yang nantinya merusak belasan tahun umur pertemanan kami.

''Gue udah bilang juga, ini yang ketiga kalinya...gue ga mau---'' kata-kataku terputus melihat dia memperlihatkan benda kecil di genggaman tangan kanannya, bulatan seukuran jari dengan satu berlian kecil di tengah permukaan. Aku lirik wajah itu, wajah sahabatku, dia tersenyum. Senyum yang berbeda dari biasanya, senyum menghanyutkan, seperti ada kembang api meledak-ledak di matanya. Indah sekali.

''Habiskan sisa hidupmu bersamaku, Arini. Will you marry me?''

-

Rabu, 28 Desember 2011

Terlalu Gelap

Tundukkan kepalamu, jalan terus. Jangan pedulikan tatapan manusia-manusia minus hati dan perasaan itu. Kamu hanya dilihat sebelah mata, jadi menunduk sajalah.

Di bawah rintik hujan yang mulai menebal, aku menerobos kerumunan yang memang setiap hari terjadi di jalan sempit itu. Pemukiman padat penduduk, menyewa satu petak kamar untuk sekedar tidur atau berlindung. Mata semua orang--seperti biasa, tertuju ke arahku. Pandangan curiga, sinis, jijik. Urus saja diri kalian sendiri, Tuan dan Nyonya!
''Orderan ramai nih kayaknya...'' celetuk ibu-ibu setengah baya yang mengontrak kamar di sebelahku, dasternya mengatung, dan badannya agak gemuk. Apa pedulimu dengan orderanku? Apa pedulimu dengan pekerjaanku?
Aku memilih untuk diam, pura-pura tak mendengar. Nada bicaranya selalu ketus, dan tunggu...tinggal berpuluh tahun menumpang di tanah orang, bukan hal yang membanggakan, gerutuku dalam hati. Mulutnya masih menyindir sampai pintuku rapat tertutup, tak adakah pekerjaan yang lebih baik dari mencemooh orang, di sini?

Aku, Lestari, 25 tahun, memiliki satu anak yang ku titipkan pada ibu di kampung. Orang-orang sinis di luar menyebut pekerjaanku sebagai pelacur. Pekerja seks komersial, menjual diri agar bisa makan dan mengirimi anak uang. Membiarkan laki-laki tak dikenal menikmati tubuhku sebelum pergi dan melemparkan amplop.

Ku rebahkan badan di atas selembar kasur busa yang menipis, ruangan 2 x 2 meter dengan isi seadanya, dinding bercat hijau norak, plafon yang menghitam karena genteng sering bocor, juga tikus sebagai bonus.
Terlihat lembaran-lembaran uang menyembul dari mulut tas tangan di atas badan, dibayar mahal, pikirku. Aku bisa membelikan baju dan sepatu baru untuk anakku, dan oh...dia juga meminta mainan pesawat terbang. Pasti ibu penuhi, untukmu, apapun akan ibu lakukan.

''Maaf, Mbak, ini bukan kemauan saya...saya terpaksa meminta Mbak Tari pergi, maaf...''

Lagi. Aku diusir karena pekerjaanku, bukan hanya baru sekali ini, sebelumnya sudah berkali-kali aku terusir. Salah apa aku pada mereka? Menyebarkan penyakit? Apa mencuri? Mereka bukan orang yang memberi uang, bukan juga yang membelikan pakaian serta sepatu baru anakku, bukan?

Tas hitam besar sudah siap diangkat, para tetangga berdiri di pintu masing-masing sambil tersenyum puas. Puas sekali bisa mengusir PSK keluar dari lingkungan mereka. Puas sekali membersihkan wilayah dari noda. Hanya pemilik rumah ini yang tersenyum kecut, matanya menyiratkan perasaan bersalah yang teramat dalam. Jadi tak enak hati. Aku percaya masih ada orang baik, selalu ada, seperti dia.

Sindiran-sindiran masih terdengar sepanjang lorong selebar satu meter tempatku berjalan, seperti tidak pernah bosan, mungkin mereka pikir akan menambah pahala. Merasa suci untuk menghakimi, merasa paling benar, sok tahu.

Jangan menunduk, perintahku. Tegakkan kepala.
Urusan apa mereka dengan harga dirimu, jangan menunduk. Kalahkan kesombongan mereka, jangan merasa lemah. Tak pantas sekali menundukkan kepala di depan mereka, mereka bukan ibumu. Tegakkan kepala!

Menunduklah pada Tuhan-mu, malulah pada-Nya. Bukan mereka yang akan menghukummu, Tuhan-lah yang tau caranya. Dan Tuhan-mu tak pernah mengusirmu dari bumi-Nya, bukan?

-

Minggu, 25 Desember 2011

Dalam Gelap (Ending)

Hening masih saja hanya tentang kekosongan, tak ada isi meski banyak sekali ruang. Senyap semakin meresap tatkala suara meninggalkan gemanya, tak ada sumber, hanya gema saja.
Kekakuan merasuki diri, menyelinap di antara otot-otot dan denyut nadi. Membekukan jemari lalu bermain-main dengan arteri.

Sesal sudah didapat, maaf pun tak terhitung lagi. Si Suami mengatupkan ke-dua tangan di sisi Si Istri, menutup mata melirihkan doa. Perlahan disusurinya rosario yang menggantung di antara jari-jari, titik demi titikpun menetes membasahi pipi--tak bisa ku tahan, batinnya.
Si Kecil memandang Si Ayah, kakinya terus digerak-gerakan karena kursi yang didudukinya terlalu tinggi. Ikut mengatupkan dua tangan lalu menirukan gerak bibir Si Ayah, sesekali dia mengelus lengan serta pipi Si Ibu lembut.

''Papa, kapan mama bangun?'' tanyanya merasa sudah terlalu lama diam dan berdoa, Si Ayah membuka mata, menghela nafas lalu beranjak dan berjalan mengitari ranjang. Sebuah pelukan hangat, tanpa satu patah kata yang terucap. Membelai rambut keriting berwarna hitam legam, membenamkan kepala penuh pertanyaan ke dalam dadanya.

Kesepian belum akan beranjak, menyesaki kekosongan dengan angan. Menggiring pikiran ke alam yang tak masuk akal, perlahan meruntuhkan sisa-sisa harapan. Tuhan ada, asal manusia percaya.
Kesepian belum akan beranjak, kerapuhanlah yang sebentar lagi beranak-pinak. Mengurangi secuil demi secuil asa yang tertinggal, hingga habis dan terpaksa jatuh menyerah. Kalah.

''Mama pasti bangun...'' lirih Si Ayah. Si Anak masih ingin bertanya dan bertanya lagi, Si Anak masih ingin tahu, Si Anak masih tetap ingin Ibunya terbangun. Mungkin esok, atau lusa. Mungkin dia bisa ikut membaca doa rosario seperti Ayahnya, mungkin juga dia bisa terus bertanya agar ayahnya tak hanya terpejam dalam doa.

Kekosongan tak akan pernah beranjak, kerapuhan memilih untuk tetap tinggal. Menggerogoti senyum mencoretkan guratan, gurat-gurat kesedihan menindih garis senyuman. Gurat kekhawatiran memotong jalinan kegembiraan, perlahan. Sampai kapan tak ada yang tahu. Katakan, mungkin Kau mengetahuinya, Tuhan?

-

Jumat, 23 Desember 2011

Dalam Gelap (Bagian : Tiga)

Wajahnya pucat tanpa make up tipis seperti biasanya, bibirnya kering. Selang oksigen memperburuk penampilannya, dan pergelangan tangannya tertancam jarum yang membantu cairan infus masuk ke dalam tubuh.

Kamu kurus sekali sekarang.

Katamu, kamu tergila-gila padaku. Salah, akulah yang gila karena kamu. Sejak kita masih di sekolah menegah pertama, kamu pendiam, misterius tapi sopan--manis sekali. Aku mengamatimu selama lebih dari dua tahun, sejak obrolan tentang guru fisika aneh kita. Kamu lucu. Sampai kelulusan SMP, kamu menghilang, aku mengecek hampir semua SMA di Jakarta dan tak pernah menemukanmu.

Hari itu, bersama teman perempuanku--yang juga tidur bersamaku--aku melihatmu. Di seberang jalan dengan blazer merah dan wajah cemas. Kulawan lampu hijau, aku terobos dengan taruhan nyawa dan dengan cacian pengendara di jalan. Akhirnya aku menemukanmu, menepuk bahu dan melihat senyum itu lagi.
Kamulah pemberhentian dari pencarianku, petualanganku selesai saat menjabat tanganmu. Tidak ada lagi free sex, bahkan sesederhana alkohol, demi kamu. Berjalan di jalur yang benar seperti itu susah sekali, tapi apa? Aku melihatmu di ujung jalan, tersenyum, menghipnotis. Semua menjadi mudah, dan lihat sesudahnya...kamu menjadi ibu dari anakku. Tidak kah itu indah?

Cepatlah bangun, sebulan dalam tidur itu tidak bagus. Rindukah kamu pada anak kita? Dia selalu menyebut namamu dalam tidur, dia mencarimu diseluruh ruangan, dia lupa kalau malamnya dia menjengukmu di sini. Kasihan dia. Aku tak becus membuat sarapan, tadi...seragam sekolahnya salah. Aku memang bodoh, ayah yang bodoh.
Jadi, lekaslah buka matamu...aku rindu kamu...kami merindukanmu. Aku kosong tanpa kamu, sampai aku...sampai aku mendatangi perempuan itu lagi. Membuang-buang waktu dengannya, untuk mengusir penat, berlari dari kekacauan.
Melupakan kamu sejenak, maaf.

Maafkan aku...

Segalanya tidak akan sekacau ini kalau saja aku tak bermain api dengan rekan sekantor, aku sangat menyesal. Hari itu untuk pertama kali aku mendengarmu berteriak, hari itu untuk pertama kali melihatmu menangis karena marah. Aku sudah berdosa.
Kamu mengetahuinya, ponselku berdering dan kamu jawab. Aku melihat amarah di matamu, tak ada kelembutan di sana, benar-benar marah. Aku mengelak, aku beralasan, aku menolak menerima tuduhan. Kamu menangis, kamu marah. Aku mencoba menenangkan, menarik tanganmu agar tetap tinggal. Tapi kamu terus melawan, menyentakkan tangan hingga kehilangan keseimbangan. Lalu hening.... tidak ada tangisan, kamu tergeletak diam di lantai.

Meja kaca--sial!!, kepalamu, oh Tuhan...kamu membentur meja sialan itu. Aku benar-benar menyesal, jangan siksa aku seperti ini. Aku minta maaf, ini salahku.

Bangunlah, aku ingin meminta maaf. Aku menyesalinya, dan aku rindu kamu, kami rindu kamu. Aku dan jagoan kita, sangat merindukanmu.

-

Kamis, 22 Desember 2011

Dalam Gelap (Part: 2)

Aku mendekapnya sekali lagi, merajuk agar dia tetap tinggal. Membenamkan wajah di lehernya, mencium aroma tubuhnya mungkin untuk yang terakhir kali.

Menggandeng bocah kecil dan cerewet itu tak pernah dirasa senyaman kemarin, sayangnya mungkin juga untuk terakhir kali. Dua hari lagi tepat sebulan aku menemaninya seperti ibunya sendiri, aku mencintainya, aku mencintai ayahnya. Menjadi ibu dari anak-anaknya mungkin hal yang selalu ku impikan, sejak dulu, sejak kita masih berkutat dengan skripsi masing-masing.
Aku memujanya--bukan, bahkan lebih dari itu. Aku tergila-gila padanya. Apapun akan ku lakukan agar dia tetap berada di dekatku, sayangnya, dia lebih tertarik pada perempuan di seberang jalan.
Si Perempuan berdiri dengan gelisah, tampak sibuk dengan banyak map di tangan kiri dan berulang kali melihat jam tangan di tangan kanan. Rok selutut, atasan kemeja berenda berpotongan rendah, blazer merah dan high heels--sempurna. Si Pria menyebrangi zebra cross, menepuk bahu Si Wanita, kemudian tampak akrab. Mengeluarkan ponsel masing-masing, tertawa lalu melambaikan tangan sebelum kembali menyebrang. Semudah itu, sial!

Aku menikmati saat ini, saat hanya ada kita berdua. Tak memikirkan siapapun, siapapun. Mendekapmu seperti milik sendiri dan tak akan pergi demi anak dan istrimu yang sedang koma.
Jahat, pikirku. Menari-nari di atas musibah, memeluk suami orang tanpa rasa berdosa. Ini kesempatan, tak akan datang jika istrinya tidak terjatuh dengan kepala membentur meja kaca. Aku harus prihatin atau bersyukur atas kejadian ini?

''Aku harus pergi, cukup sampai hari ini. Harusnya aku di rumah sakit bersama istriku, bukan menusuknya dari belakang''

''Aku ingin ini lebih lama lagi, mungkin istrimu masih ingin tidur sampai bulan depan''

''Hentikan! Cukup! Kita selesai, terima kasih sudah menjaga anakku sebulan ini...''

''Bayarannya?'' tanyaku menggantung.

''Kau telah memilikiku, sepenuhnya. Impas?'' dia beranjak, lalu menyambar kunci mobil di atas meja. ''Aku pergi..''

Sebulan yang menyenangkan, aku benar-benar menikmatinya. Tiap menit waktumu, tiap jengkal tubuhmu. Dan hei, siapa yang jahat sekarang? Bersama wanita lain disaat istrinya koma? Kamu pasti kesepian. Istrimu terlalu baik untuk seukuran tukang selingkuh sepertimu, aku tahu riwayat hidupmu.

Sepertinya hidupmu berubah--semoga aku salah, karena dia. Wanita baik-baik, teman SMP, pernah menjadi pengaggum rahasianya sebelum dia pindah ke Malang. Pastilah seperti mimpi bisa bertemu lagi, lalu sekarang menjadi ibu dari anak laki-lakimu, kamu beruntung. Memang sudah seharusnya kamu meninggalkan dunia kita, free sex, drugs, alkohol. Sial! Sekarang aku melihatmu sebagai lelaki sempurna, lelaki yang pantas di nikahi. Sial!

Pintu dibanting dengan keras, ku sesap dalam-dalam kopi hitam di cangkir. Menyalakan rokok yang selama sebulan ini tak pernah aku sentuh, mengumpati diri. Sesal tempatnya memang di belakang, dia bisa saja menikahiku--dengan cara apapun, tapi tidak...mungkin aku tak bisa mengubahnya menjadi seperti sekarang. Wanita itu, dia sihir. Ah, persetan!

-

Rabu, 21 Desember 2011

Lepaskan Saja...

Lepaskan saja, dunia tak sebatas minus satu seperempat dan silinder. Jika butuh kacamata baru, katakan. Jika ingin tetap meraba-raba, tak apa, asal buang semua batasan.

Lepaskan saja, jika waktu masih memihak, tak apa.
Lepaskan saja, jika kaki masih kuat untuk menapak, itu juga tak apa.
Lepaskan semua, kala mata benar-benar sudah terbuka, itulah saatnya.
Apa yang dijanjikan masa lalu? Apa yang menjamin ia akan terus menghidupimu? Kalau--kalau hanya akan menyiksa, kalau hanya bisa memenjara, untuk apa?

Lepaskan saja, lepaskan pikulan beban yang mengaku harapan. Dunia tak seburam minus satu seperempat dan silinder, bukan?
Jadi tak apa, tak berdosa kalau ingin melangkah maju. Masa lalu merantai agar tetap tinggal, ia memberatkan gerak dengan ratapan. Lepaskan saja, harapan ada di depan, melesatkan asa, bukan menarik kembali ke belakang.
Jadi tak apa, tak akan menyakitkan membuat jejak baru. Lepaskan saja, dan segera kalahkan gravitasi masa lalu.

Toh, dunia tak semenyebalkan minus satu seperempat dan silinder, bukan?

-

Senin, 19 Desember 2011

Dalam Gelap

Gelap sekali di sini, aku tidak dapat melihat apapun selain merasakan hawa dingin yang menusuk.
''Hai, sayang...''.
Suara merdu itu selalu berhasil menenangkan hati, bau parfum menyengat hidung saat dia mencium keningku. Mungkin parfum yang ku belikan sudah habis, kali ini wanginya berbeda.
''Olaaa..mamaa...''
Ingin sekali aku terbahak setiap bocah kecil ini berteriak 'Olaaa..' sebagai pengganti 'Haloo', entah siapa yang mengajarinya begitu. Awas saja nanti kalau sampai aku tahu.
''Aku dapet nilai 6, ga apa-apa kan, Ma? Mama masih sayang aku, kan?'' bisiknya di telingaku.
Jagoanku memang pandai merayu, sama seperti papanya. Like father like son.
Digenggamnya jemariku sembari tak henti-hentinya berceloteh mengenai sekolah dan teman-temannya, anakku cerewet sekali. Kali ini seperti mamanya, aku memberi contoh yang buruk ternyata.

Tidak ada alasan untuk tidak bahagia, aku punya segalanya dalam paket bernama keluarga. Matipun aku tak akan menyesal.
Di kecupnya pipiku, kanan, kiri, dahi, hidung lalu bibir. ''Mama tahu? Aku sayaaaaaang banget sama mama'' ujarnya lagi. Manis sekali.
Mama juga sayang banget sama kamu, Nak. Tak peduli meski kamu selalu menyisakan makanan saat sarapan, tak peduli meski kamu main lumpur dan dengan sengaja mengotori lantai... Mama masih sayang kamu, apapun alasannya, Selamanya.

''Gimana, Dok?'' suara merdu itu lagi, pantas aku tergila-gila padanya dulu. Sesederhana suara saja mampu membuatku bertekuk lutut, bayangkan saat tiba-tiba saja dia melamarku. Rasanya seperti ingin meledak menjadi titik-titik debu.

''Lumayan, tekanan darah dan detak jantungnya normal. Harusnya istri anda sudah sadar, kami akan lebih rutin mengecek kondisinya. Tetap berdoa, masih ada banyak harapan. Semoga ini tidak berlangsung lebih dari sebulan''

Jadi, sudah hampir sebulan? Tertidur seperti orang mati bukan hal yang menyenangkan, percayalah. Terakhir yang ku ingat, kepalaku terhantam pinggiran meja kaca. Itu saja. Setelah itu gelap sampai hari ini, hanya terasa oksigen yang masuk melalui hidung, juga infus di pergelangan tangan yang sedari tadi di usap jagoan kecilku ini. Aku rindu keluargaku, Tuhan.

''Meski mama ga ke sekolah buat ambil buku raporku...aku masih sayang mama, kok. Sayaaaaang banget...''

-

Minggu, 18 Desember 2011

Di Mana Batas Masa Lalu?

Sayup terdengar alunan musik, tidak terlalu jelas namun cukup untuk mengisi kekosongan telinga di tengah sepi. Sebenarnya tidak benar-benar sepi, aku sedang duduk di keramaian, riuh. Anak-anak, orang dewasa, kendaraan bermotor, bunyi ringtone ponsel, suara tawa menggelegar, saut pembicaraan yang belum juga usai sedari tadi.

Bersumber dari Ipod seseorang yang tak ku kenal, berjarak dua langkah arah jam tiga. Benda kecil yang menyumpal telinganya bahkan tak mampu menahan musik agar hanya dia yang menikmatinya, aku bisa mendengarnya jelas.

''You're aching, you're breaking and i can see the pain in your eyes...''

Ah, Keane. Soundtrack hidup, musik abadi--buatku, yang sampai hari ini belum bosan kudengarkan.
Aku selalu di tarik masa lalu, aku pikir selama ini langkahku sudah jauh dari kamu, kali ini salah. Lagi. Potongan kecil tentangmu selalu berhasil melempar kenangan hingga jatuh tepat di tempatku, kali ini bisakah aku menyalahkan waktu?
Waktuku tidak mengenal batas, entah di mana letak masa lalu, entah di mana garis yang di sebut 'Batas'. Sesederhana musik yang kita dengar dulu, semudah itu juga batas waktu terhapus. Dua tahun lalu, satu tahun lalu, kemarin, tak ada yang berbeda. Aku pikir masa lalu adalah sesuatu di waktu lampau, tidak termasuk hal lain yang tiba-tiba mencelat menembus batas.

Memang tak berguna berada di keramaian, sepi tetap saja sepi. Riuh belum tentu bisa mengobati, terlebih sepiku bukan karena hening suara...sepiku adalah kehilangan senyummu. Salahkan waktu jika detiknya hanya menambah pilu, salahkan rindu, salahkan juga memori kepala karena tak bisa melupakan kamu.

Akhirnya dia pergi, orang yang duduk dua langkah arah jam tiga tadi. Sepiku masih sama, tak sedikitpun terobati juga terisi. Salahkan saja dia, dia tidak akan tahu, bukan? Dia yang mengusik masa laluku, membawanya menembus waktu lalu pergi begitu saja. Iya, salahkan saja dia.

Aku mencarinya, mencari garis pembatas masa lalu dengan masa ini. Bisakah membendung rindu agar tak terasa lagi? Di mana batas itu? Batas pemisah waktu 'Yang sudah' dan 'Yang akan' ter-paku.
Katakan padaku, di mana dapat kutemukan batas masa lalu?

-

Rabu, 14 Desember 2011

Hidup Adalah Perjalanan

Mungkin inilah kehidupan, berjalan, lalu berjalan, dan terus berjalan.

Apa itu kehidupan? Apa itu bahagia? Definisi 'hidup' ada beragam, kamu, saya, dia, mereka, semua memilikinya. Dan saya tidak bisa memaksa orang lain setuju dengan devinisi saya, begitupun sebaliknya.

Untuk saya, hidup adalah perjalanan. Dalam perjalanan itulah saya mengerti tetang perbedaan cara pandang, mengenai apa itu hidup, dan apa itu kebahagiaan.
Kenapa disebut bahagia, sedang yang dipunya hanya sebungkus nasi saja? Kenapa disebut hidup, sedang tempat tinggal saja tak bisa di rengkuh?

Saya berjalan lambat, atau mungkin jalan ditempat. Saya memilih jalan memutar yang notabene lebih mudah, dari pada harus mengambil resiko memanjat tebing agar sampai lebih cepat. Tujuan kita sama, di puncak. Hanya saja saya tidak punya nyali melawan ketakutan akan resiko yang akan saya peroleh, bodohnya saya.
Langkah saya terlalu lambat, entah kapan bisa sampai disana. Saya takut jatuh, saya takut terperosok dan saya takut melanggar aturan. Bahagia di mata saya sekarang, mungkin sebatas celoteh orang sekitar dan gelak tawa sesudahnya. Mungkin lebih, sedikit.

Saya tahu jalan ini masih panjang, pendek pun bukan saya yang mengaturnya. Perjalanan kadang tak menghitung banyaknya waktu, tapi hanya ingin apa yang terdapat di dalamnya. Perjalanan terkadang harus di hentikan, ada guntur, mungkin juga badai yang menahan langkah untuk sejenak tinggal dan menarik nafas panjang. Perjalanan memang tak sesederhana menentukan tujuan, menghitung biaya ataupun menyiapkan rencana dan peta.

Ada jarak diantara garis awal dan garis akhir, diantara langkah pertama dan tapak terakhir, juga di antara Basmallah dan Hamdallah. Disana ada perjalanan, ada proses membingungkan, ada persimpangan pilihan, bahkan banyak kerikil tajam. Tujuan awal bisa saja berubah di tengah jalan, peta dan kompas bisa saja digantikan lumut yang (katanya) selalu mengarah ke peradaban.

Hidup memang sebuah perjalanan, kemana arah yang diinginkan belum tentu masuk dalam rencana Tuhan. Pilihannya hanya berjalan, terus saja berjalan sampai menemukan tujuan. Tujuan apa? Saya juga sedang mencarinya. Mungkin tak sama dengan keinginan, tapi konsep bahagia bukan pada hasil akhir, bukan? Menurut saya, bahagia merupakan akumulasi dari semua hal sebelum tujuan itu tercapai. Berawal dari niat, hingga proses, barulah sampai ke tujuan. Itu bahagia, bahagia versi saya.

Setuju atau tidak, saya tidak peduli, toh orang bebas berpendapat. Saya memiliki hidup, serta kebahagiaan sendiri. Juga orang lain, tidak mungkin ada kesamaan volume bahagia pada masing-masih manusia. Tidak ada standarisasi, juga patokan untuk seseorang boleh mulai merasa bahagia.
Kita ada di perjalanan sendiri-sendiri, kemana langkah akan di arahkan hanya diri kita yang tahu, hanya kaki kita yang menapak. Jalani saja, nikmati saja.

-

Selasa, 13 Desember 2011

untitled

Gerimis sudah mulai turun, angin kencang menerpa daun dan pepohonan di ibu kota. Aku memakan potongan tempe terakhirku, sudah pukul dua siang dan aku baru memasukan makanan ke perut ini.
Matanya menatapku sambil tersenyum, lalu menyodorkan air minum dalam botol air mineral yang sudah lusuh. Tak perlu pikir panjang, aku sambar saja air ditangannya dan ku minum hanya setengah.
Klakson tak henti-hentinya berteriak mengancam, mengancam agar kendaraan lain cepat berjalan, mengancam kemacetan yang adalah dirinya sendiri. Aku tak peduli. Aku duduk tenang dengan makanan dan seseorang yang sangat ku sayang di hadapanku, matanya seperti terus tersenyum, teduh sekali. Makanan apapun yang dia bawa tak pernah ku tolak semata agar dia tertawa, aku suka sekali melihatnya tertawa.
''Tunggu, jangan pergi dulu. Abisin makanannya..'' ujarku ketika melihatnya beranjak dari duduk. Dia menurut lalu tersenyum, ''Ga boleh buang-buang makanan, kan?'' tambahku.
''Kamu mau membantuku menghabiskan ini?'' tanyanya, aku menggeleng lalu menggeser kertas bungkus makanan didepanku ke hadapannya.
''Ini bagian Kakak, aku sudah kenyang...'', ku geser lagi kertas makanan yang terpapar di lantai sampai hampir menyentuh kulit kakinya. Dia tersenyum lagi, kemudian mulai memakan setengah bagiannya. Satu bungkus nasi putih dan satu tempe goreng dari warteg sebrang jalan, tadinya. Tapi dia membaginya menjadi dua, buatku dan yg sekarang sedang dia makan.

Kakakku satu-satunya, anak laki-laki 12 tahun yang lebih tua 4 tahun dariku. Masih tersenyum, meski perutnya baru terisi makanan dari kemarin sore. Makannya lahap, sesekali dia menawariku dengan wajah seperti seseorang yang sudah kenyang. Segera ku tolak, setengah porsi nasi bungkus tak akan mengenyangkanmu sampai besok siang, Kak...juga tak akan mencukupi tenaga untuk menggendongku sampai ke gubug kita.

Kalau saja Tuhan memberiku kaki yang sempurna, mungkin aku bisa membantunya menjajakan koran, mengamen, atau bersamanya bermain hujan sambil menawarkan jasa ojek payung. Nyatanya, aku hanya berdiam diri di depan ruko tak laku, menunggunya selesai bekerja lalu makan berdua dari hasil kerja yang tak seberapa. Seperti halnya kali ini.

Dia menenggak semua isi air di botol, lalu meraih payung besar disampingnya. Hujan dan petir bergemuruh, saatnya dia mencari rezeki dari tetes-tetes air pemberian Tuhan. ''Kakak pergi dulu, ya. Kamu tunggu disini aja, inget..kalau ada apa-apa, teriak! Oke?'' katanya sambil memegang bahuku, tak pernah bosan dia mengulang kata itu. Teriak! Iya, aku memang hanya bisa teriak. ''Kamu mau dibeliin apa?'' tanyanya, aku tersenyum dan menggeleng cepat. ''bener? Ya udah...jadi kalau kakak beli boneka beruang jangan diminta ya..'' godanya membuatku cemberut seketika. Dia tertawa lebar lalu mengusap poniku, beranjak dan menghilang di keramain jalanan.

Tak apa tubuhku tak sempurna, Tuhan. Asal ada dia, aku tak akan mengeluh. Lindungi saja dia, tolong.

-

Senin, 12 Desember 2011

Yang Kedua

Sepertiga teh di dalam gelasku tercekat dileher, pagi ini dingin sekali, Jakarta pasti sedang sendu tak seperti biasanya.

Ku baca pesan terakhirmu yang baru sempat kubuka, dengan susah payah kutelan teh dan berharap ada sedikit kehangatan diperutku.
'Aku menikah hari ini, undangan sudah sampai, kan? Datanglah, aku sangat merindukanmu'. Rahangku mengeras membacanya, marah. Cemburu. Kecewa.

Satu bulan lalu, kamu mengabarkannya. Kita berdua duduk bersama, menggenggam jemari satu sama lain sebelum hal itu kamu beritakan. Aku, sudah dua tahun menjadi yang kedua, menjadi seseorang yang dianggap tak ada namun nyata. Juga memberimu sandaran disaat dia menyebabkan kesedihan dihatimu. Genggaman tanganmu tak seperti biasanya, kali ini bukan lagi kamu yang memanja, bukan kamu yang penuh rindu atau kamu yang serta merta memelukku ketika baru saja bertemu.
''Aku memilihnya, maaf...''
Sudah kuduga, inilah akhir dari kisah mendua, aku sudah menunggu hari itu lama. Memilih, kamu memilih dia, memilih yang pertama. Lalu aku, yang kedua? Aku tahu, aku akan jatuh dengan pilihanmu. Tapi bodohnya, aku masih menunggu, menunggu saat kamu benar-benar menjatuhkanku.
Aku beranjak, tak perlu ada penjelasan tentang mengapa kamu memilihnya. Jelas, aku tak lebih baik darinya.

Setahuku dulu, kamu menjanjikan masa depan, meyakinkanku tentang pernikahan. Bukan seperti ini, bukan undangan warna cokelat tua bertuliskan namamu dan namanya. Aku sudah jatuh, dan pesanmu pagi ini menguburku dalam ke perut bumi. Belum puas menjadikanku bayangan yang menemanimu kala sendirian? Belum cukup menjadikanku yang kedua yang tak pernah dianggap ada?

Merindukanku? Omong kosong! Buang jauh-jauh kata-kata mengiba seperti aku membuang undangan pernikahanmu dengan kebencian.
Aku teguk dua per tiga sisa teh dalam gelas, perlahan mencari ketenangan dengan sedikit kafein. Kafein tak pernah gagal meredam kegelisahanku, meski membuatku bodoh karena terus terjaga, tentu.
'Selamat menempuh hidup baru, Arka..', balasku. Lalu kumatikan ponsel dan mencabut SIM card di dalamnya, cukup kali ini menjadi yang kedua. Cukup hari ini menjadi bodoh karena cinta buta.

-

Minggu, 11 Desember 2011

Merah Marun Ruas Digenggaman

Di sebuah sofa merah marun lobby satu gedung perkantoran, aku menata kembali ruas-ruas hati yang baru saja terpecah setelah sedetik lalu terlengkapi.
Air mineral kemasan di atas meja setengah kosong, bukan lagi setengah isi seperti kemarin. Aku menggeleng ragu, haruskah secepat ini?
Alat pendingin ruangan juga hanya mampu membekukan jemari, dapatkah satu hembusan menyusup ke hati agar luka sedikit terobati? Lebih baik menganga tapi membeku, lebih baik mengeras dan kaku.
Langit tiba-tiba mendung, kenapa? Tak suka kah dengan caraku? Cara membenahi retakanku?
Ku putuskan untuk pergi, beranjak dari sofa merah marun di lobby gedung sore ini. Menungkupkan dua tangan mengikat ruas-ruas patah digenggaman, erat. Mungkin seruas tertinggal, mungkin seruas di curi orang, mungkin seruas terlanjur berantakan.
Bentuk utuh tidak lagi menyenangkan, buang saja bagian tak berguna, meski berlubang asal serupa.

-

Jumat, 09 Desember 2011

Seragam Sekolah Dan Gunung Sindoro

Bicara tentang Gunung Sindoro yang sedang hangat diberitakan di media, membawa gue ke sebuah masa, masa disaat masih mengenakan seragam sekolah, beberapa tahun lalu.

Gunung Sindoro letaknya di perbatasan Temanggung dan Wonosobo, which is ga jauh-jauh amat dari Banjarnegara. Saat gue masih sekolah, tiap hari, tiap pagi gue (pulangnya juga) dan temen-temen memang harus berjalan kaki kurang lebih 1 kilometer untuk bertemu jalan raya. Nasib hidup di pedesaan gitu, untuk menemukan mobil saja harus berjalan segitu jauhnya. Tapi, sekolah memang hal yang pantas diperjuangkan.
Perjalanan 1 kilometer itu harus melewati satu desa dan persawahan, di pagi hari, saat cuaca cerah atau sehabis hujan...langit warnanya biru kaya air laut. Padi menguning, kadang masih hijau, kadang baru ditanam, kadang baru dipanen, kadang gue sama temen-temen malah berhenti sebentar nonton petani bajak sawah. Udara segar, bau tanah persawahan, bau daun-daunan, bau sabun mandi murah yang kami pakai mandi sebelum berangkat sekolah. Di sebelah barat, ada Gunung Slamet berdiri kokoh seperti tiang pancang. Di depan kami, ada Gunung Lawe atau Gunung Pawinihan, lebih seperti pegunungan sih. Dan disebelah timur ada 2 gunung lagi, yaitu Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Dua gunung ini mungkin kembar, berjejer mirip...ya mirip dua gunung yang berjejer lah. Perbedaannya cuma ada dipuncak, yang satu rata, yang satu agak bergerigi kalau dilihat dari jauh. Satu temen gue pernah bilang kalau dulu, Gunung Sindoro dan Sumbing tuh hidup, begitupun Gunung Slamet. Mereka berantem dan bawa senjata (gue lupa senjatanya apa), makanya sekarang Gunung Sumbing puncaknya ga rata karena dipukulin Gunung Slamet. Dan Gunung Slamet ada bagian seperti cakaran (obrolan anak-anak), dan dulu gue percaya aja di ceritain gituan.

Selama gue sekolah, gunung-gunung itulah yang nemenin, mungkin juga jadi pelarian saat kepala pusing mikir ulangan. Bisa dibayangin lah kaya apa pemandangan ditempat gue berdiri dulu: di jalan dengan seragam sekolah dan ransel berat, melihat persawahan yang luas, lalu background gunung dan langit biru, petani dengan caping dan cangkul, suara aliran air untuk irigasi....gue punya hal yang anak-anak jaman sekarang ga punya :') .

Jadi begitu ada kabar Gunung Sindoro statusnya dinaikkan, ada masa lalu yang tiba-tiba muncul. Semoga hanya 'batuk' kecil, kaya Gunung Slamet yang belum lama ini juga pernah dinaikkan statusnya dan untungnya, Alhamdulillah udah aman. Semoga, amin.
Dulu juga pernah ke Jogjakarta, melewati gunung Sindoro-Sumbing. Jalannya pas banget ada ditengah-tengah dua gunung itu, gue bahkan sempet ambil gambar Gunung Sindoro dari jarak deket banget. Mudah-mudahan negative-nya masih ada, jadi kapan-kapan bisa dicetak.
Percaya aja sama Gusti Allah, keluarga Bu Lik gue juga ada di Wonosobo, Selomerto tepatnya, di belakang kecamatan (lengkap bener). Ga ada keluarga disana pun, pasti di doain juga...semuanya akan baik-baik saja. Insya Allah.

Dulu, kita sering gambar pemandangan yang isinya PASTI ada gunung, sawah, hutan, sungai kecil, matahari baru terbit dan burung yang serupa huruf 'W'....itu memang ada, gue pernah liat...saat gue masih berseragam sekolah dan terbungkuk karena ransel yang berat.

:')

-

Senin, 05 Desember 2011

Mundur

Mungkin ini saatnya, waktu yang tepat untuk benar-benar mundur dari persaingan sepihak yang aku buat sendiri. Satu kalimatmu hari ini, memberiku kesadaran bahwa aku tak akan pernah bisa memilikimu. Iya, aku menyerah setelah kerinduan panjang menghantuiku.

Aku pernah berdiri tegap di depan satu orang asing, menanyakan kesempatan yang tak pernah kupunya sampai hari ini. Aneh memang, jika rasa tumbuh hanya karena paragraf-paragraf yang tertata rapi. Aku iri, aku cinta kebebasanmu. Sering sekali ku ucap kata-kata itu, dan terbukti...aku selalu tertarik pada seseorang dengan kebebasan. Pecinta alam, petualangan, lalu tulisan, kemudian potret-potret menakjubkan tentang perjalanan. Apa yang salah jika tumbuhnya rasa bukan karena rupa? Apa yang aneh jika cerita mengenai perjalanan bisa dalam sekejap membuatku jatuh cinta?

Aku pernah mendapat jawaban pahit yang tersirat dari kata-kata bernada biasa, memukulku tepat di dada, menghasilkan sesak tiada tara. Seseorang telah lebih dulu berdiam disana, dihatinya. Aku salah tempat, aku kalah cepat. Meski tak ada siapa-siapa, belum tentu juga dapat kumasuki seenaknya. Aku terkekang jarak, aku terhalang waktu, dan aku bukan siapa-siapa.

Hari ini, siapa sudah memilikimu? Parasnya pasti ayu, ataukah dia masa lalu? Bukan urusanku, 'kan?

Aku pernah berbicara lantang tentang perasaan pada seorang asing, seseorang dengan bentuk tak sempurna penggangu isi kepala. Aku membela hati, aku melawan rasa takut demi gejolak terpendam didalamnya.
Kini hanya tinggal kesendirian yang menyepi, angan saja enggan menepi, kenyataan apalagi.
Benar, hari ini tepat untukku berhenti, untuk mundur, untuk sadar kalau resahmu tak akan bisa ku obati.

-

Sabtu, 03 Desember 2011

Rindu Itu...

Kamu tahu? Rindu itu kamu.
Aku pernah terbang karena kamu, karena kamu adalah rindu.
Aku pernah menyublim karena rindu, itulah kamu.

Aku juga pernah ragu karena kamu, karena rinduku hanya kamu.
Aku pernah resah, aku sebut itu rindu. Karena yang membayang tampak seperti wajahmu.

Aku sering menangisimu, tentu saja karena rindu. Rindu adalah kamu.
Aku kenal pilu, terima kasih, kamu.
Aku merasa perih, karena tak bisa memilikimu, rindu. Oh, bukankah rindu itu kamu?

Aku bisa saja jatuh karena rindu, kalau memang itu kamu.

-

Jumat, 02 Desember 2011

Talking About Myself : Bahasa

Kali ini nulis yang agak beda. Pake gue-elo, dan dengan bahasa yang ga baku-baku banget. Sekali-kali santai lah ya, galau mulu sih gue kerjaannya, apalagi kalau turun ujan, beuuhh...

Berbicara tentang 'Bahasa', kebetulan--bukan, ga ada kebetulan di dunia ini. Gue orang Jawa asli, nyokap-bokap asli Banjarnegara, Jawa Tengah. Banjarnegara itu letaknya diperbatasan, perbatasan Banyumas dan Wonosobo. Agak-agak labil bahasanya, dan Bahasa Ngapak itu basic buat gue. Tau kan Bahasa Ngapak? Bahasa medok khas Banyumas (bukan Tegal), sampai hari ini gue masih gunakan dan ga akan pernah lupa meski sudah di Jakarta. (asik kan gue)

Karena di perbatasan, jadi bahasa kita agak rancu. Ada yang ngapak banget, ada juga yang sudah 'terkontaminasi' bahasa Wonosobo. Wonosobo itu udah mulai halus bahasanya, ya itu, batasnya ada di daerah gue. Dari Banjarnegara ke barat udah mulai ngapak, kalau ke timur (which is Wonosobo-Solo-Jogja) udah mulai halus.

(bingung dah sono)

Gue sendiri, selain Bahasa Indonesia yang sudah fasih banget, bahasa Jawa gue juga udah nyampur-nyampur. Basic-nya ngapak, ada pengaruh dari Wonosobo juga, dan sekarang sehari-harinya ketemu bos yang orang Semarang. Orang yang aktif di Twitter pasti udah tau kadang gue nulis pake Bahasa Jawa, itu udah lumayan halus. Beda kalau ketemu sama satu akun ngapak, gue akan otomatis balik ke bahasa asal. Hei, gue punya banyak bahasa.

Suka kangen pengen pulang kampung kalo udah liat satu akun ngapak itu, maklum cuma pulang setahun sekali. Kalau udah homesick parah biasanya suka kesel, antara kangen dan ga bisa pulang. Pengen nendang satu orang juga, dia bolak-balik Jakarta-Wonosobo sering banget dan apapun yang dia bilang pasti bikin otak panas. (lirik tajam ke cowok sipit yang suka ngata-ngatain Liverpool). Dia belum tau rasanya ditendang pake perasaan kayaknya (sempet banget ya nulis beginian).

Oke, sebelum bahasan melenceng ke dia, mari kembali ke jalan yang benar. Bahasa Indonesia fasih lah pasti, bahasa Jawa oke, meski agak durhaka kalo menyangkut aksara Jawa, kromo alus, kromo inggil. Semoga diampuni, termasuk muka yang katanya Batak. Bahasa Inggris, yes-no doang mah kecil. Apalagi kalau 'i love you', gue hafal di luar kepala. Bahasa-bahasa itu belum termasuk Bahasa Tubuh, Bahasa Kalbu, Bahasa Isyarat, juga bahasa kalau lagi galau. Semuanya beda.

Udah, itu doang. Penting ga penting ya terserah gue, lha wong gue yang nulis. Dibaca ya syukur, ga dibaca juga ga dosa kan? (dikepruk massal).

Pokoke, ngapak wis ngalir lan nandes balung. Bahasa Indonesia udah nyatu sama nafas, bahasa kalbu hanya gue yang tau. Bahasa baku dipake buat galau, bahasa Jawa dipake buat nyepik.

Ojo wani-wani metu seko atiku, awas kowe.

-

Rabu, 30 November 2011

Dihapus Waktu

''Bapak nyari kunci, tadi di letak dimana ya?'' katanya, sore itu. Aku baru saja pulang dari bekerja, dan menemukan ayahku mondar-mandir sambil membuka satu persatu laci di rumah. Hari itu adalah awal, awal dimana aku mulai kehilangan dirinya secara perlahan.

Matanya kosong, menatap lurus ke arah tanaman apotek hidup di beranda belakang, dulu dia dan almarhumah Ibu yang menanamnya sendiri. Badannya kurus, kedua tangannya dipangku di atas paha, kulitnya tak secerah dulu, juga tak sekencang saat dia masih suka mengantarku dengan Vespa merah hati miliknya ketempat ku bekerja. Raut wajah itu dulu selalu tersenyum, ketika Ibu pergipun, Ayah masih tersenyum meski matanya penuh dengan kesedihan. Kontras sekali dengan hari ini.

''Bapak, sedang apa?'' tanyaku sambil menggenggam jemari kurusnya. Dia melirik sebentar, lalu kembali menatap tanaman-tanaman yang hanya berjarak 2 meter didepannya. Air mataku selalu dapat ku tahan, setiap hari, sejak dokter memvonis Bapak mengidap Alzheimer, hampir dua tahun yang lalu.

''Bapak ingat aku?'' tanyaku lagi, pertanyaan ini tak pernah lupa ku tanyakan setiap harinya. Meski harus menerima kenyataan kalau Ayahku sudah lupa, tapi tak ada salahnya, bukan? ''Aku anakmu, Pak...dan aku sayang banget sama Bapak...''.
Ku letakkan kepala dipangkuannya, meraih tangannya dan ku 'paksa' mengusap rambutku. Seperti dulu, seperti saat Ibu meninggal dan aku tak bisa berhenti menangis. Atau seperti saat aku terbangun dari mimpi buruk dini hari, dan berlari ke kamarnya karena takut.

Ku pikir, kunci pintu yang ada di kulkas hari itu hanya sekedar pikun biasa yang diderita pria 54 tahun. Aku pikir, tak apa kalau Ayahku lupa kapan hari ulang tahunku. Tapi tidak, Ayahku lupa cara mengenakan sarung saat shalat, lupa hari dan tanggal sampai lupa siapa namaku...tidakkah itu menyakitkan? Kamu kehilangan tawa seseorang secara perlahan, karena waktu menghapus semua memori selama hidupnya? Menangislah, kataku pada diri sendiri.

''Bapak tau, hari ini aku berulang tahun...'' ujarku kembali setelah air mata pertama terjatuh, ''Aku senang Bapak masih sehat, dan insya Allah...tahun depan, kita masih seperti ini. Ditempat ini, kita berdua''. Akui saja, akui kalau kamu sudah kehilangan Ayahmu...akui saja. Bahkan otakku sudah ikut memberi sugesti tanpa bisa ku kendalikan lagi, memang hanya raga ini yang tersisa, tidak ada satupun kenangan yang masih dapat diingat olehnya, tak satupun.
Tangannya tiba-tiba bergerak mengusap rambutku pelan, aku tersentak kaget dan langsung bangkit menatap wajah itu. Matanya menatapku lama, dengan bibir bergetar dia mencoba tersenyum, mengangkat tangan kanan dan mengusap pipiku.

''Se-selam-at..u-u-ulang..tatata-ta-hun...'' lirihnya.

-

Sabtu, 26 November 2011

'' Apa Sudah Terisi ? ''

''Masihkah ada kesempatan untuk ku memiliki hatimu?''

Senja cepat sekali berakhir, matahari sudah tenggelam, tapi waktuku banyak dan aku masih sabar menunggunya. Di sebuah food court tempat perbelanjaan Jakarta, aku memilih tempat tepat didepan jendela yang mengarah ke barat. Segelas air putih dan secangkir kopi sudah habis sedari tadi, mataku menerawang ke langit yang menghitam. Kosong. Awan juga lenyap, tinggal bintang buatan yang selalu menempel di gedung-gedung perkantoran.

''Maaf lama, tadi macet banget...'' seseorang yang sudah 1 jam kutunggu akhirnya datang. Senyumnya belum berubah sejak kami bertemu di book fair dulu, masih saja membuatku tak ingin berpaling darinya. ''...lapeeerr, mau makan dong. Menu mana nih?'' lanjutnya sambil menebar pandangan mencari waiter disana.
Sepiring nasi goreng sudah habis dilahapnya, segelas jus tomatpun ludes. Dia mengeluarkan botol air mineral dari dalam tas selempang yang diletakan di kursi sebelah, lalu segera menenggaknya. Aku tersenyum tanpa sedetikpun mengalihkan pandangan, kesukaannya dengan air putih mungkin salah satu daya tarik tersendiri yang dia miliki.
''Aku mau ngomong sesuatu...'' kataku setelah dia menyimpan kembali air mineralnya ke dalam tas. Dahinya berkerut, lalu tersenyum.
''Tumben, mau ngomong apa sih?'' tanyanya.
''Apa kabar hatimu?''
''Hati? Mmm..baik, senang, seperti biasa. Emang kenapa?''
''Bukan itu...'' lanjutku pelan, ku hirup nafas dalam-dalam dan ku tatap lagi mata itu. ''Maksudku..hatimu, apa sudah terisi?''
''Terisi? Ngomong yang jelas dong, bingung nih..'' lucu sekali wajahnya saat dia bingung, andai saja tidak sedang membicarakan hati, pasti aku sudah terbahak-bahak didepannya.
''Iya, terisi. Apa hatimu sudah terisi? Apa hatimu sudah termiliki?....''
''Kamu...''
''...apa aku masih punya kesempatan untuk mengisinya?'' kata ku mantap. Sudah lama aku menunggu hari ini, sejak bertemu, hati memang sudah merasakan sesuatu. Tapi aku acuh, love at the first sight is non sense and i don't believe it. Tapi, semakin lama bersamanya, semakin sering membaca tulisannya, rasa itu semakin kuat dan semakin kuat. Hingga suatu hari, aku sadar kalau aku benar-benar sedang jatuh cinta, padanya.
''Aku ga tau....'' ujarnya memecah keheningan, wajahnya berpaling ke kegelapan diluar seolah ingin menghindari cecaran mataku.
''oohh...jadi memang udah ga ada kesempatan lagi kan buatku?''. Dia kembali menatapku, entah sampai kapan sorot itu masih bisa ku kagumi. Setelah ini, mungkin dia akan menjauh, menganggapku seorang wanita agresif, mungkin juga dia akan langsung menghilang.
''Aku ga bilang begitu....''
''Ga apa-apa, kok. Aku sudah tau...''

Masa lalunya belum benar-benar dia lepas, meski hanya satu kalimat dia menulis tentang 'Dia'...aku tahu, hatinya masih tertambat. Perempuan itu pastilah istimewa, mungkin cantik dan mungkin baik hati. Hingga untuk dilupakan saja, dia belum bisa. Andai aku jadi dia, tak akan pernah ku lepas laki-laki bermata sipit di hadapanku ini. Andai aku jadi dia, tak akan pernah ku tinggalkan kehangatan senyumnya. Tidak akan pernah.

Matanya tertuju ke bulan sabit di langit, entah apa yang dia pikirkan tentang aku setelah terang-terangan mengaku mengenai hati. Aku tidak peduli, aku sudah cukup tersiksa menyimpan ini sendirian. Tak apa kalau kesempatan tidak ada dipihakku, aku akan berusaha mengerti.

''Maaf...'' ucapnya lirih. Aku hanya tersenyum dan menggeleng, aku kehilangan dia...
''Ga apa-apa''

-

Kamis, 24 November 2011

Selamat Hari Guru

Guru, saya pernah bercita-cita menjadi seorang guru Bahasa Inggris. Ibu Wilujeng Hartanti, guru bahasa Inggris saya yang entah kenapa bisa sangat menginspirasi. Caranya berinteraksi dengan murid ataupun cara menerangkan pelajaran. Tenses sampai vocabulary diterangkan dengan cara yang sangat berbeda untuk memudahkan kami mencerna. Juga satu-satunya guru yang memanggil saya dengan menyebut nama tengah. Awalnya agak sedikit aneh, tapi lama kelamaan saya malah suka dipanggil seperti itu.
Terdengar lebih akrab ditelinga saya.

Lain lagi dengan Pak Sobron, guru matematika yang wajahnya sangat tegas dengan kumis 'Pager Kabupaten'nya (Pak Sardijan yang bilang begitu lho, pak). Saya pernah dihukum berdiri didepan kelas dan diperintahkan untuk tertawa tanpa boleh berhenti, salah saya yang cekikikan saat jam pelajaran berlangsung. Malu sekali kalau ingat kejadian itu.
Ada satu lagi, Dwi Lina Rahmawati. Juga guru matematika saya, dari kedua guru tersebut saya jadi tidak takut matematika. Saya malah lebih memilih matematika dari pada PPKN atau IPS.

Matematika adalah tentang kepastian. Jawaban dari soal matematika itu sudah harga mati, salah satu angka ataupun salah menempatkan koma (,) saja...dipastikan salah. Tidak ada toleransi 'Jawaban nyerempet' dan diberi nilai setengah seperti PPKN.

Dan satu-satunya guru sejarah yang sangat humble sekaligus tegas adalah Ibu Milati Aliyah. Yang tidak lain adalah istri dari Pak 'Pager Kabupaten' Sobron. Beliau senang sekali bercanda dengan 'Pitechantropus Erectus' dan 'Homo Sapiens'. Kalau ulangan, hanya dibacakan soal dan tidak bisa diulang, jadi mau tak mau harus menyimak.

Para guru tersebut dan yang tidak sempat disebut, telah mengajarkan banyak hal. Pelajaran pasti, disiplin iya, kejujuran dan juga mengajarkan jalan pintas saat mengerjakan matematika. Bukan nyontek, jalan pintas adalah cara pengerjaan matematika dengan cara yang lebih singkat dan benar. Sama halnya seperti mengingat jumlah hari dalam bulan dengan menghitung ruas tulang punggung telapak tangan.

Selamat Hari Guru, terima kasih telah mengantar saya sampai detik ini dengan ilmu yang susah payah diajarkan. Maaf jika dulu, saya pernah membuat kesal, pernah menulis contekan rumus di penghapus, juga pernah mengeluh kenapa soal ulangan begitu sulit dikerjakan. Semoga terus diberi kesehatan, semoga tetap menjadi teladan.

Terima kasih guru, terima kasih telah menjadi bagian penting dalam perjalanan saya, terima kasih banyak para pahlawan tanpa tanda jasa.

-

Akal Sehat (?)

Menunggumu tak seperti dugaanku, menunggumu sama saja mengitari waktu yang entah dimana ujungnya. Aku baru memulainya, tapi lelah sudah mulai menggelayuti pikiran. Masihkah kamu pura-pura tidak tahu tentang perasaanku? Masihkah samar rasa yang sudah jelas tergambar?

Aku menunggu tanpa tahu kepastian akan datang, tapi aku tak pernah berniat ingin berhenti. Haruskah aku sebodoh ini?

Jika hati sudah tertambat, kemana perginya akal sehat? Jangan permainkan rasa, cinta....
Bahkan aku belum fasih mengejamu meski dengan mata terbuka.

Ingatkan aku agar cepat berhenti dari perjalanan tanpa tujuan, beri aku gambaran tebing terjal ataupun angin kencang... Supaya dapat secepatnya mematahkan rindu, supaya aku takut meski hanya untuk sekedar menunggu.

-

Senin, 21 November 2011

Katamu...

Katamu ''Aku tidak tahu...''
Iya, mungkin maksudmu ''Bukan, bukan kamu..''

Aku bosan, kalau saja rindu dapat disimpan dalam kotak kenangan dan membuangnya jauh ke lautan...tak akan miris melihatnya terus saja berkeliaran.

Katamu ''Aku tidak tahu...''
Mungkin maksudnya ''Aku sudah punya dia...''

Lalu sia-sialah semua rindu...
Lalu matilah semua harap akan hadirmu disisiku.

Katamu ''Aku tidak berkata itu...''
Mungkin maksudmu ''Dia lebih baik dari mu..''

Kamu pandai menghaluskan pilu
Bagiku tak ada bedanya, toh tetap saja perih rasanya.

Katamu, ''Aku tidak tahu...''

-

Kamis, 17 November 2011

Di Jumat Pagi

Kemarin, saya terheran-heran dengan bos saya yang tiba-tiba menelpon rumah dan menanyakan keadaan anaknya. Bukan apa-apa, bos saya tidak sekedar menelpon, dia menelpon sambil menangis tersedu-sedu. Saya pikir dia sedang bertengkar dengan seseorang, atau apalah. Tapi saya salah.

Pagi ini, saat saya sudah memulai aktifitas saya, juga sedang memikirkan nasib perut yang masih kosong tentunya. Bos saya datang dan hanya butuh waktu 2 menit untuk menunggu dia bercerita.

''Kemaren aku ke Rumah Sakit Dharmais...'' ujarnya memecah keheningan, saya menengok dan langsung memperlihatkan muka hah-apa-bu? ke arahnya. ''...anak temenku sakit, kena kanker''. Sebelum saya sempat bertanya, dia melanjutkan dg nada bicara yang masih biasa ''Kelenjar getah bening...''

''Umur berapa? Kok bisa?'' tanya saya begitu ada sela untuk bertanya.

''Belum genap 5 tahun, awalnya tuh dia gondongan, terus kena hernia...nah, begitu mau dioperasi baru ketahuan kalau dia kena kanker...''

''udah lama? Dari kapan?'' potong saya.

''Baru kemaren, dia gondongan sebulan lamanya..mbok ya orang tuanya ngerti, diperiksain kek, apa kek. Begitu ketauan, udah berat. Dokter aja udah angkat tangan...'' katanya penuh amarah. Saya masih mendengarkan dan berusaha tidak terbawa kemarahan bos saya.

''Kemaren...aku kesana, kasihan liatnya. Tangan kanannya kaku, penuh jarum infus sampe dipakein kayu segala. Leher sebelah kanan diperban, dia cuma bisa tidur miring...'' kata-katanya mulai melemah, dia berusaha mengendalikan nafasnya sendiri. ''...dia cuma bisa merintih 'Sakit mama...sakit mama..sakit mam...' ''.

.................................

Kata-katanya tercekat, dia menunduk sambil menyeka air mata yang keluar. Hampir saja saya menangis, tapi saya coba bertahan meski sudah diujung dan tinggal jatuh saja.

''Kasihan...aku sampai nangis-nangis didepan orang tuanya, gak kuat liat dia begitu'' lanjutnya sembari menegakkan lagi kepala yang tadi tertunduk. ''Makanya kemaren ibu langsung telpon rumah, ga tau gimana rasanya kalo Si Mas kaya gitu. Kalo perlu, Si Mas di scan seluruh tubuh. Biarin deh bayar...'' Si Mas itu anaknya, karena orang Jawa jadi dipanggil 'Mas'.

Saya sesegera mungkin menetralkan perasaan, saya juga merasakan kesedihan meski dia bukan anak saya sendiri. Belum genap 5 tahun, dan sudah terkena kanker...entah seperti apa jadinya dunia saya kalau hal itu terjadi pada anak saya. (amit-amit).

''Aku tuh suka bingung, kenapa anak seperti itu harus dilahirkan ke dunia?'' tanyanya yang mengakhiri sesi sedih-sedihan pagi ini.

Well, kalau saya Tuhan, saya pasti akan langsung menjawab pertanyaan itu. Saya tidak akan membiarkan manusia mengambil kesimpulan sendiri atas keputusan saya, tapi sayangnya saya bukan Tuhan. Saya juga manusia biasa, saya suka menyimpulkan, saya hobi menerka-nerka dan saya...pernah menyalahkan Tuhan. Atas jalan hidup saya, atas nasib yang saya jalani, juga atas kehilangan yang saya tidak ingini.

Apapun yang sudah, sedang, maupun akan terjadi, saya pikir Tuhan selalu ada di pihak yang benar. Dan siapa yang bisa menentang-Nya?. Kata orang, selalu ada maksud disetiap kejadian. Iya, itu memang benar.
Dan Tuhan menciptakan sesuatu dengan alasan, bukan?

Yang terbaik adalah keputusan-Nya. Kita hanya bisa berdoa, berusaha, dan tentu saja percaya bahwa Dia ada tak jauh dari kita.

-

Senin, 14 November 2011

Aku Ingin Melihatnya

Mana hati yang sudah terisi?

Mana ruang yang sudah terkunci?

Aku ingin melihatnya...

Kelabu sore ini sia-sia, tak ada hujan atau jingga senja, hanya gelap dan angin yang merontokkan dedaunan. Mendung ini menarik sedikit ingatanku kepadamu, tentang rasa yang dipendam dan tawa yang terlalu masam.

Hatimu terisi, iya..aku tahu. Aku melihatnya tanpa harus bertanya, juga tanpa perlu mengintip kisahmu. Mungkin jemarimu sudah terlampau sering menuliskan namanya di kertas rahasia, tersimpan di rak lemari dan terukir dalam di hati. Aku tahu dan aku tidak peduli, kalau rindu sudah memburu, apa yang harus ku takuti?

Setengah luka sudah dibuat, akulah pelakunya. Ku tutup dengan canda, ku lapis stempel bahagia, dan ku tampakan seperti tak ada apa-apa.

Mana masa lalu yang memenuhi hati? Kan ku cari nadi dan ku putus hingga dia mati.

Mana cerita yang kamu tulis dalam resah saat merindunya? Kan ku siram dengan tinta sampai tak dapat kamu bedakan titik, serta koma.

Mana senyum yang menyatu dengan gravitasi dan menarikku menghantam bumi?

Mana hati yang tak akan pernah dapat ku miliki?

Aku ingin melihatnya...

-

Kamis, 10 November 2011

Jangan Dia

Sepiku selalu menyusupi malam dengan sengaja, mencari sedikit celah yang aku sendiri tidak mampu menutupi.
Mungkin kerapuhan sudah bukan lagi rahasia, hingga sepi saja tahu adanya.

Aku pasrah tentang kesendirian, tentang hawa hambar yang sudah ku hafal kapan datang. Sayangnya, aku tak paham cara agar dia hilang. Biar getir membekukan jiwa, toh akupun akan terbiasa.

Jika ada obatnya, katakan kalau itu tidak ada pada senyumnya. Katakan kalau lensung pipit itu bukanlah jawabannya.

-

Selasa, 08 November 2011

Take Your Chance

Sore itu, ada hal lain yang menarik perhatianku. Seseorang dengan buku tebal dan kacamata, duduk di kursi besi hitam yang berada tepat didepan gereja. Belum pernah ku lihat dia disana, dan belum pernah ada yang bisa memaksaku berpaling dari megahnya gereja.

Esoknya, masih dengan tumpukan pekerjaan yang aku bawa pulang, aku melihatnya lagi. Dengan setelan jas hitam dan kemeja putih, wajahnya masih sama, teduh dan terlihat tegas dengan kacamata ber-frame tebal tertumpu dihidung mancungnya. Lagi-lagi aku tak berani menyapa, ada perasaan meledak-ledak meski hanya melihatnya sekilas. Sudah lama sekali aku kehilangan perasaan ini, entah apa namanya.

Hari-hari berikutnya masih sama, dia, membaca buku ataupun koran, kemeja rapi, kacamata, juga perasaanku yang makin tak karuan. Ingin sekali mendapat keberanian untuk menyapa, paling tidak menatap mata atau melihat senyumnya. Tapi keberanianku hanya sebatas memperhatikan dari jauh lalu melewatinya saat mendekat, itu saja.

Jumat sore, ditempat yang sama, dengan kemeja putih yang sudah terlipat lengannya, dia sibuk menulis sesuatu, entah apa. Sesekali menyambar kopi dalam gelas yang aku hafal sekali logo coffee shop-nya, karena aku juga menyukai kopi disana. Ponselnya pun tak berhenti berdering, dilanjutkan pembicaraan dengan bahasa Belanda yang aku sendiri tidak terlalu peduli artinya.

Setelah hari itu, aku tidak melihatnya lagi. Hanya jemaat gereja yang kadang mengisi kursi besi disana, atau entah siapa. Ada yang hilang dari pandangan, dan juga ledakan bertubi-tubi di dada.

''kenapa seperti ini?''

Seperti sesuatu tercabut dari perutku, kosong. Dada serasa sesak saat mendapati kursi besi tanpa sosoknya, inikah kehilangan?

Aku melewati jalan itu sepeti biasa, melihat lagi gereja yang sesaat lalu tak ku lihat karena tertutup bayangan seseorang. Gereja Westerkerk masih sama, berdiri megah dan sesekali keluar masuk jemaat yang sudah atau ingin beribadat. Aku duduk di kursi besi hitam itu, menatap jalanan dengan mobil yang berlalu lalang dan sedikit berharap dia akan datang. Tak ada yang menarik selain bangunan dibelakangku, mobil, pohon, semuanya biasa. Juga harapan yang hanya sekedar harapan.

Rabu pagi, entah apa yang menarikku ke gereja itu. Segelas kopi sudah ditangan, kususuri trotoar sembari memperhatikan puncak menara gereja yang meninggi hingga tengkuk tak lagi kuat melawan langit. Di kursi besi, tampak dua anak kecil dengan setelan jas dan gaun berwarna putih. Mungkin mereka kakak beradik, pikirku. Sebelum sempat menyapa, seseorang dengan gaun warna pastel keluar dan membawa anak-anak itu masuk. Aku duduk lagi disana, di kursi besi hitam yang beberapa waktu lalu menyita perhatianku.

Sesaat kemudian, terdengar suara riuh dari dalam gereja. Aku baru sadar kalau orang-orang yang sedari tadi keluar masuk gereja mengenakan pakaian rapi, jas, gaun selutut dan...ada mobil pengantin. Aku segera membereskan buku yang sejak tadi ingin ku baca, tapi terlambat...pintu gereja terbuka, satu persatu orangpun keluar memenuhi pelataran yang cukup luas. Gaun putih pengantin wanita sungguh indah, dengan senyum yang terus mengembang dia menggandeng lengan suaminya yang juga tampan. Wajah teduh dan kacamata berbingkai tebal, sangat menawan dengan jas hitamnya...seperti sudah familiar....

Nyaris saja gelas kopiku terjatuh, senyum yang sempat mengembang hilang seketika. Dia, iya..itu dia. Orang yang selama ini hanya kulewati, orang yang telah mengalihkan pandanganku dari menara gereja, orang yang belum sempat ku tatap dan kulihat senyumnya...orang yang beberapa waktu lalu duduk ditempatku dengan kopi dan bukunya. Itu, dia.

Mereka berjalan menuju mobil yang sudah disiapkan, melambaikan tangan lalu pergi meninggalkan kerumunan kebahagian di depan gereja. Juga meninggalkan rasa penasaran dan ledakan-ledakan kecil didadaku, ini lucu. Lalu apa selanjutnya?

Aku terduduk kembali di kursi besi, masa bodoh dengan riuh orang disekitar. Aku hanya ingin menyadarkan diri sendiri tentang hal yang seharusnya sudah ku ketahui, bahwa aku berhadapan dengan ketidak pastian.

Andai saja aku punya sedikit niat menyapa, didepan gereja yang tak seramai tempat lain...harusnya aku bisa berpura-pura duduk lalu menawarinya kopi untuk berbasa-basi.

Andai saja langkahku tidak tergesa-gesa, mungkin aku akan tahu siapa orang yang tiba-tiba datang dan memeluknya.

Andai saja aku sabar menunggu angin menyibak koran yang dipegangnya, mungkin aku akan melihat gelas lain selain miliknya.

Andai saja..iya, andai saja kesempatan itu masih ada, pastilah tidak perlu aku melihat pernikahannya. Andai saja keberanianku tak hanya sebatas berpura-pura seperti tidak merasa apa-apa, pasti aku sudah berada jauh dari Westerkerk hari itu.

Keramaian terurai, kini semua sudah selesai. Penantianku pun tak perlu dijawab, hanya tinggal menara gereja dan kursi besi....

Toh penyesalan selalu ada dibelakang, yang ada didepan tentu saja kesempatan.

Take your chance, sepahit-pahitnya penyesalan adalah membuang kesempatan.

-

Hidup Dalam Pilihan

Siang tadi, saya dikejutkan oleh satu pesan singkat yang dikirim seseorang. Ditengah pekerjaan, sekitar pukul 10.00 WIB, ponsel saya bergetar sesaat. Setelah dicek, ada satu nama yang sudah familiar sekali ditelinga saya...dia adalah teman kecil saya. Sahabat yang sekarang sudah berkeluarga dan dianugerahi seorang putri, lucu sekali.

''Lagi ngapain, Ji?'', tulisnya dipesan pertama. 'Ji' adalah nama tengah saya, tidak banyak yang tahu hanya keluarga dan teman-teman masa kecil saya saja. ''Biasa, kerja. Kamu lg apa?'', balasku. Sejenak, pikiran saya mundur ke belasan tahun lalu, masa disaat kami masih berangkat sekolah, mengaji, juga bermain bersama. Waktu berjalan cepat, tak terasa belasan tahun sudah berlalu.

''Lagi capek pikiran'', katanya. Dahi saya sedikit mengkernyit, baru kali ini dia menghubungi saya dengan nada putus asa seperti itu. Sejak dia menikah hampir dua tahun lalu, dia tidak pernah bercerita apapun tentang hidupnya. ''Lho, ada apa?'', saya bukan ingin tahu, itu adalah refleks yang tanpa sadar saya ucapkan saat seseorang menemui saya dengan lipatan diwajahnya. Saya sebut itu pancingan, jika dia ingin bercerita saya akan dengarkan, dan kalaupun tidak...saya tak akan menyesal.

''Masalah...kalo ini permainan, aku pengen udahan aja''
Dheg!! Dada saya tiba-tiba sesak, saya tidak pernah menyangka dia akan mengeluarkan kata-kata itu, setidaknya bukan disaat umur pernikahannya belum genap dua tahun. ''Hushh...pamali, ga boleh bilang begitu'' ujarku ditengah keterkejutan yang belum reda.

''Pikiranku, Ji...kalo bisa dipertahankan, pasti diusahain. Tapi kalo ga bisa, mungkin ini sudah jalan hidupku'' lanjutnya.

''Berrumah tangga emang ga gampang, jangan mikir yang engak-enggak. Resiko hidup dengan orang lain ya pasti banyak halangan'' tambahku, entah benar atau tidak cara saya menjawab, saya hanya mencoba tenang menghadapi pengakuannya.

''kalau sudah ga ada rasa saling mengerti, menghargai atau mungkin udah ga ada rasa suka, bukannya malah nyakitin hati masing-masing?''Saya menghela nafas panjang, dada serasa makin sesak mengetahui keadaan sahabat saya yang sedang menemui karang penghalang. Sebut saja ini menggurui, karena kalimat-kalimat selanjutnya mungkin sudah termasuk sok tahu. Saya bilang, kalau pengertian, menghargai bahkan rasa suka bisa dibuat. Yang namanya keluarga, apapun masih bisa dirundingkan. Sudah sejauh itu salah kalau merasa menyesal , terlebih ada malaikat kecil yang tidak tahu apa-apa. Just don't be selfish! Hidup tidak enak masih bisa diubah kalau ada usaha, insya Allah ada jalan lain selain bubar.

''Aku akan coba pertahankan sebisaku...'' katanya. Sungguh saya ingin membantu kalau saya bisa, tapi apa? Dulu, saya mungkin bisa membantunya membuat PR. Diapun bisa membantu saya memanjat pohon kelapa demi sebuah sapu lidi untuk tugas sekolah. Ini benar-benar ada diluar jangkauan saya, saya sendiripun belum merasakan sebuah pernikahan. Semua ucapan saya bisa jadi hanya omong kosong.

''Bicara sama yang di Atas, banyak-banyak berdoa..'' tambahku, saya bahkan sudah kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri didepannya.

''Insya Allah...'' tutupnya singkat.

Ibu saya bilang, pernikahan bukan hal mudah. Saat berpacaran senang-senang dan membayangkan menikah itu indah...salah. Menikah artinya kita masuk ke hidup baru, banyak masalah, banyak halangan, banyak bertengkar...menikah artinya menyatukan dua kepala, dan itu sulit.

Saya mengerti, kali ini saya diingatkan oleh sahabat saya sendiri bahwa orang tua selalu benar. Istilah 'Sudah makan asam garam' juga benar, orang tua mengetahui segalanya dari pengalaman.

Untuk sahabat saya, maaf pembicaraan kita dibahas sampai sepanjang ini. Saya tahu kamu tangguh, jangan pernah menyerah pada nasib. Mungkin saat ini rodamu sedang terperosok lumpur, atau mungkin menancap sebuah paku disana.
Kamu masih muda, kamu pasti sanggup menggerakannya.

Jangan pernah menyerah, jangan menangis...doaku selalu menyertai. Dan jangan lupa, Allah selalu ada untukmu.

-

Sabtu, 05 November 2011

Dalam Jingga Sebuah Rasa

Senja hanya membungkam kami, sepertinya tak ada lagi kata yang harus diucap ataupun pertanyaan terpendam yang harus diungkap. Kami hanya dua sosok mati tanpa rasa ingin kembali, kami dua hati yang tak mungkin lagi terpaut. Keramaian mengunci bahasa tubuh tanpa tahu cara membuka pembicaraan, kami dua raga yang tak lagi menghangatkan.

Mungkin hati sudah kosong, mungkin rasa terlalu getir untuk sekedar dicecap. Kami hilang arah setelah berdua menapaki titian penuh aksara tanpa titik, hanya ada tanda tanya, banyak sekali. Mungkin hati sudah bosan dengan irama degup jantung yang melemah ditiap menitnya, atau hati sudah tahu alasan degup buruk yang tak tertata.

Cinta membuat ruang hampa pemisah nada dalam birama tak bernama, entah seperti apa bunyi sepi yang terlukis seolah itu adalah nyanyian suka ria. Kami sudah kehilangan indah detak jantung saat bertatap muka, bukan ini senandung kala cinta masih tertata, bukan ini ketukan saat rasa masih bernyawa.

Aku menyebutnya akhir, kami mengiyakannya dalam senyap suara diantara pasir putih yang tersapu ombak. Dalam senja yang mengisahkan kedamaian, kami melepas semua riak sesal pertanda sesuatu yang telah terjadi dibelakang. Menebar semua benci, mengubur amarah dalam-dalam, hingga melarutkan hal yang kami sebut cinta ke lautan tak bertepi.

Entah bersisa atau terbawa semua, kami menyimpannya dalam jarak sejauh karang dan palung samudera. Begitu sukar diukur meski sudah setengah mati menyelaminya, jadi biarlah...yang hanyut mungkin seharusnya terhanyut dan menyatu dengan lautan. Hanya tinggal aku, yang sudah terpisah dengannya...aku ingin segera beranjak dan menghindari pasang, aku tak ingin tenggelam, aku tak ingin hempasan ombak melemparku ke dasar lara disela karang penggores luka.

Disenja yang kini meredup, kami terdiam dan memisahkan cinta dan rindu secara diam-diam. Memilah rasa yang sudah tidak berguna, dan menuliskan satu nama lain...berharap hati menyukai irama degup jantungnya.

Dalam jingga sebuah rasa, satu akhir ketika irama berhenti bernada, dalam sunyi juga senyap damainya senja.

-

Kamis, 03 November 2011

Terlalu Sederhana

Andai saja bisa mengubahnya menjadi sedikit dapat dimengerti...mungkin rasanya tak akan seperih ini.

Apa yang didapat dari jarak tanpa sebuah perjalanan dan tujuan? Mungkin hanya sekedar fatamorgana rasa, aku belum tahu juga.

Andai luka dapat mengerucut setelah mendapati sebab-musababnya, tanpa harus diobati, tanpa harus menyadari seberapa dalam sembilu tertanam disana.

Mungkin cinta memang terlalu sederhana, sesederhana alasan kenapa rindu selalu tiba-tiba ada. Semudah senyum terpana meski hanya membaca sebaris nama, jadi apa itu cinta?

Degup tak beraturan ketika menatap matanya? Aku bahkan belum melihatnya nyata, entah seperti apa lengkungan tawa di wajahnya. Apa itu yang kamu sebut cinta, Ratna?

-

Selasa, 01 November 2011

'' Siapa Kamu? ''

Siapa kamu?





Siapa aku? Aku bukan siapa-siapa. Siapa aku? Aku bukan orang penting. Siapa aku? Aku juga belum tahu.





Jangan tanya siapa aku, karena aku juga belum dapat menjawabnya. Aku bukan siapa-siapa, aku bukan apa-apa, dan jangan tanya 'kenapa?'. Aku belum dapat menjelaskannya hari ini, ataupun besok. Mungkin lusa, atau setahun lagi, atau dua tahun lagi(?). Semua terlalu rumit untuk dijelaskan, jangan memaksa aku untuk bicara karena semua akan sia-sia.





Bukan hal yang jahat, bukan juga hal yang akan merugikan hidup, hanya hal yang tidak ingin aku buka hari ini saja. Tidak ada maksud apapun, aku hanya ingin mencuri sedikit tawa kalian untuk bernafas. Saya suka melihat orang lain tertawa, aku tidak pernah bosan menyerap dan mengubahnya menjadi sepotong semangat. Aku suka berpura-pura, berpura-pura tertawa. Kenapa? Aku hanya tidak ingin memperlihatkan airmata yang kalau aku mau...aku bisa mengeluarkannya kapan saja. Aku belajar tertawa dari tawa, aku belajar untuk berhenti mengeluh dari senyum yang sangat mendamaikan.





Tidak penting siapa aku, kalian jauh lebih penting untuk dipikirkan. Kalian yang sampai hari ini masih aku coba jaga agar tidak pernah pergi. Kalian yang terkadang tidak aku sapa, aku pikir kalian butuh ruang dimana tidak semua orang boleh masuk, termasuk aku. Aku tidak akan pernah lupa, ingatanku terlalu kuat untuk membuang wajah yang pernah tersenyum dan menangis bersama. Aku tidak akan pernah lupa.





Jangan berpikir untuk pergi, acuhku bukan benci. Jangan berpikir aku telah lupa, diamku sama sekali tidak bermaksud untuk tak peduli. Aku hanya diam, itu saja.





''Siapa kamu?''





Bersabarlah, aku sedang berusaha menyusun langkah untuk dapat menjawabnya. Dan tersenyumlah, karena aku...karena aku belajar tersenyum dari senyum kalian. Jangan ingatkan aku dengan airmata, jangan pernah pergi meski aku memintanya.





Aku tidak pernah bisa mengatakannya, tapi apa yang tidak bisa kutulis dengan kata..





Untuk teman, untuk sahabat, untuk keluarga...terima kasih untuk hari yang mungkin sudah terlupa, terima kasih untuk tawa yang sudah menghapus tangis, terima kasih untuk waktu yang sampai hari ini belum dapat kuganti. Terima kasih banyak :') .








-

Rabu, 26 Oktober 2011

Tapak Masa Lalu

Suara angin terdengar jelas hingga sempat memotong pembicaraan kami, '' Aku lagi dipinggir pantai " katanya malam itu. Jauh dikota Padang dan aku di Jakarta, rasanya sulit sekali mencari ketenangan selain mendengar suara itu. Desir angin dan suara ombak terbawa masuk ke kamarku yang kecil dan seadanya di pinggiran kota, seolah-olah mendekatkan kita dijarak yang entah berapa jauhnya.

'' Aku sayang kamu ", ujarku seletah keheningan mencekik diantara deru ombak diujung telepon. Lalu hening kembali. Lama sekali kami terjebak dalam pikiran masing-masing, entah apa yang sedang dia pikirkan saat itu. " Aku juga, aku juga sayang kamu ", akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutnya dengan sedikit tercekat, dan disusul satu tarikan nafas yang sangat dalam.

'' Kamu selalu bisa bikin aku nangis ", lanjutnya dengan nada yang dibuat tenang. Aku masih diam. Sejak kita berpisah dua tahun lalu, ketika pembicaraan seperti ini dimulai, air matanya senang sekali ikut campur. Aku tersenyum kecut, bahkan dia lebih sering menangis dibandingkan aku. Tak aku sangka, kalau kesalahan itu masih terus membekas seolah tidak dapat dimaafkan.

Dua tahun lalu, aku memutuskan untuk memutus satu hubungan jarak jauh dengannya. Hubungan yang sudah mulai dipupuk dari aku masih duduk di bangku SMP, sampai hari itu. Aku tidak tahu ternyata hatinya sudah terbagi, bukan dengan orang lain, tapi dengan saudara jauhku sendiri. Kabar yang beredar begitu, dan aku makin tidak terima saat dia mengakui perbuatannya. Aku marah, aku bercermin mencari kekuranganku...memang benar, aku masih banyak kekurangan. Aku pikir terlalu lama jika menunggu satu moment pertemuan dengannya, jadi aku putuskan untuk mengatakannya lewat telepon. Hari itu, aku melepaskan seseorang yang sejak kecil aku kagumi dan aku bayangkan ada disisiku selamanya.

Aku mencoba hidup seperti biasa, aku berusaha melupakan kejadian itu dan sama sekali tidak mudah. Hingga akhirnya aku bisa menerima, iya, dia salah, akupun. Tapi tidak benar rasanya jika aku terus memperdalam luka, aku mau sembuh dan bukan dengan menyimpan amarah untuknya.

'' Orang yang dapat kamu pasti beruntung...'', Katanya pelan. Suara angin semakin kencang, tapi keheningan masih belum melebur diantara kami. Setelah aku memaafkan, setelah aku lupa, setelah keadaan membaik dan setelah perasaan kami mulai tumbuh kembali....kami malah tidak bisa menyatukannya. Ada hal yang selalu memberi kami jarak, rasa bersalahnya justru semakin besar saat aku sudah kembali tersenyum.

Kamu ga mau jadi orang yang beruntung itu? . Batinku ternyata lebih banyak bicara dari pada bibir ini, aku hanya diam tanpa tahu cara bagaimana menimpali kalimatnya. '' Harusnya ini masih bisa diperbaiki '', hanya kata-kata ini yang masih mampu aku ucapkan, selalu kata-kata itu.

'' Hmmh...aku takut kamu terluka lagi, sudah cukup hatimu sakit karena aku...'' timpalnya. '' Aku sayang kamu, sayang banget...kamu orang baik, kamu juga berhak dapet yang lebih baik dan aku...tidak sebaik itu..'', suaranya melemah bercampur dengan sapuan angin yang bercampur ombak. Aku tersenyum hambar, perih sekali rasanya dihadapkan oleh kenyataan yang tidak diingikan. Bahwa kami sudah benar-benar tidak bisa bersatu kembali.

Aku selalu membuatnya menangis karena telah memaafkan, mungkin ini akan terus berlangsung sampai waktu berikutnya jika kami masih berusaha menyatukan hati. Kesalahannya akan terus terlihat setiap kali mengingatku, begitupun airmata yang pasti akan terus meleleh dari matanya.

Aku lagi-lagi harus berusaha, bukan memaafkan...melainkan ikhlas melepas kembali cinta pertamaku. Melepas laki-laki yang sering menangis tanpa aku sakiti, dan jika ada istilah ' Saat ada laki-laki yang menangis untukmu, nikahi dia ''.... aku hanya bisa tertawa. Nyatanya, aku memilih meninggalkan laki-laki itu.

Aku lega jika meninggalkannya adalah baik untuknya, aku rela menanggalkan perasaan cinta ... asal tidak ada air mata lagi. Tidak pernah ada penyesalan dalam hal ini, Aku belajar memaafkan, aku belajar menjadi orang yang lebih baik, aku berusaha sabar dan aku belajar untuk menerima.

Dalam satu perjalanan, mungkin kita pernah terperosok, mungkin juga pernah salah arah...tapi jejak tetaplah jejak, akan terus berbekas dan menorehkan satu kisah lama. Itu hal biasa. Aku tidak pernah menyesal, hal yang sudah dilalui dimasa lalu..aku anggap sebagai penanda dari Tuhan, untuk mempermudah jalanku ke masa depan.

Aku tidak pernah menyesal, sungguh.

-

Senin, 24 Oktober 2011

Senja

Saya mencintai senja, segaris warna jingga juga redup cahaya matahari yang sebentar lagi kembali ke peraduannya. Saya menikmati menit demi menit jingga berubah menjadi malam, menghitung mundur keindahan yang sebentar lagi kosong oleh kegelapan.


Senja hari ini adalah senja tanpa jingga, Jakarta memang dapat mengubah apa saja...termasuk juga senja saya. Hanya ada wajah lelah, klakson kendaraan bermotor dan hiruk pikuk pikiran serta masalah masing-masing penghuninya. Senja saya terhalang kabel listrik...senja saya tertutup gedung-gedung pencakar langit.


Satu langit, satu senja dengan perasaan berbeda. Saya berada sama dibawah langit yang mulai redup oleh cahaya, denganmu. Saya juga berpijak diatas bumi, dimana kakimu juga menapakinya. Apakah kamu melihat langit? Apakah kamu merasakan hal yang sama dengan saya? Bahwa senja kita tidak semenarik biasanya..bahwa langit tak seluas seperti langit kampung halaman kita?


Satu jingga, bermacam cerita tercipta. Saya mengisinya dengan sedikit lukisan tentangmu, sekelebat senyum yang selalu melintas, juga satu paragraf rasa iri karena berbagai gambaran kisah perjalananmu. Saya menyukai senja dengan segala rupa, jingga, mendung, bahkan hujan pun tak menghalangiku untuk tetap mematung menatapnya.

Saya menikmati senja dengan cara saya, mencintai secara sempurna, dan mengukirnya dalam di memori kepala.


-

Kamis, 20 Oktober 2011

Perasaan Hari Ini

Untuk seseorang yang mungkin akan membuatku jatuh cinta.
Aku tahu Tuhan sudah menempatkanmu ditempat dan waktu yang tepat, mungkin bukan hari ini atau besok, ataupun lusa. Tapi aku yakin waktunya tidak akan lama.

I think that possibly maybe i'm falling for you...

Aku sudah jatuh cinta denganmu dari hari ini, dari detik kosong yang terus berjalan. Juga dari ruang hati yang masih dipersiapkan, untukmu. Orang pernah berkata ''Aku tidak dapat berjanji akan mencintaimu selamanya, aku hanya akan mencintaimu setiap hari dan akan terus mengulanginya''.

Aku setuju, aku melakukannya dari hari ini. sejak aku belum benar-benar mengenalmu dan sejak mata kita belum pernah saling berpandangan.




>> click: http://www.youtube.com/watch?v=kLfjhSmvFjM&feature=player_detailpage > untuk aku dan kamu yang mungkin sedang jatuh cinta, a simple song with extraordinary feelings inside.

Aku mungkin sedang jatuh cinta, dengan seseorang ataupun sesuatu. Dengan ini > http://www.youtube.com/watch?v=swWYvpsLr4o&feature=player_detailpage > maka jatuh cintamu akan sempurna.

I just wanna hold you..
I just wanna kiss you..
I just wanna love all my life..

Call me crazy, but it's true: i love you..

-

Rabu, 19 Oktober 2011

Think Of You

http://www.youtube.com/watch?v=uwlGtH_F0n4&feature=player_detailpage


Think Of Love


....When i think of love, i just think of you.


Ini adalah salah satu lagu yang saya sangat suka, musik sederhana, lirik yang terus membuat senyum. Meski mungkin kedengaran agak gombal, but just listen. Saya bahkan tidak pernah bosan mendengarnya dari beberapa tahun lalu. Banyak musisi yang tidak 'kebagian tempat', padahal karyanya tidak kalah dengan yang sudah sering muncul di televisi. Salah satunya ini, 'Risin' Black Hole'.


Sometimes i wanna give you all the love that i have

Cause when you smile, it's seems all problems are vanished to the sky...


Oh i was thinking, why i need you more..why i need you more..


Sometimes i wanna give you all the time that i have

Cause when you die, my world come tumbling down in front of me


Oh i was thinking, why i need you more

Each day..


When i think love i just think of you

I said i want you..i want you to be my wife..

Sometimes i wanna give you all the love that i have
Cause you ain't say nothing, why i wanna share my life with you
Oh i was thinking, why i need you more..

Would you marry me?

...........

-

Senin, 17 Oktober 2011

Dibatas Jakarta Dan Tentang Penantian

27 Agustus, 2011.
Terminal Lebak Bulus masih gelap, hari itu pukul 05.00 WIB. Saya, ibu dan bapak saya sudah sampai disana dengan menggunakan taksi, itu adalah hari dimana saya dan keluarga memutuskan pulang kampung setelah satu tahun penuh merantau di Jakarta. Pikiran kami sudah ada di kampung halaman sejak sebelum bulan ramadhan, sepertinya memang kami sudah bosan dan ingin segera bertemu keluarga besar.

Tiga tas besar sudah dipindahkan dari bagasi taksi ke bawah pohon rambutan, tempat dimana orang-orang seperti saya menunggu kedatangan bus. Kami pikir, kami sudah cukup pagi untuk berada di terminal..tapi ternyata, ada yang jauh lebih pagi melebihi saya. Loket tiket masih tutup, hanya ada kertas kecil bertuliskan 'Tiket dijual diatas bus'. Iya, setiap tahun memang seperti ini keadaannya. Loket tidak melayani pembelian tiket, yang kami lakukan hanya menunggu dan menunggu bus kami datang. Tidak sampai disitu, setelah bus datang kami masih harus berebut kursi dengan banyak penumpang lain. Tahun ini, kaki saya lebam sampai seminggu lamanya karena terdorong banyak laki-laki yang juga ingin cepat masuk ke dalam bus. Sungguh perjuangan yang melelahkan.

Pukul 05.30 WIB kami mulai menunggu, banyak sekali macam manusia disana, banyak wajah-wajah seperti saya. Wajah anggota keluarga yang rindu kampung halamannya, wajah perantau yang sudah bosan dengan hiruk pikuk Jakarta, juga wajah kosong dan putus asa. Udara masih dingin, lalu perlahan muncul semburat cahaya kuning dari arah timur. Hari sudah mulai siang, dan kami masih menunggu kepastian.

Kami duduk dimanapun badan dapat ditumpu, di pelataran, di pojok, sampai menjadi penunggu pohon rambutan. Dari jauh, saya memperhatikan ibu saya yang sedang berbincang dengan seseorang. Seorang wanita tua, mungkin sekitar 60 tahunan, dengan badan kurus dan jilbab yang sudah tidak rapi lagi. untuk beberapa saat, ibu saya tampak mengangguk dan menimpali perkataan wanita itu. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi wanita itu tampak semangat menceritakannya.

Setelah ibu saya kembali, saya langsung bertanya apa yang mereka bicarakan. ibu saya bercerita kalau dia sedang menunggu anak satu-satunya dari pukul 11.00 WIB kemarin, ''Anakku satu-satunya sudah menikah 9 bulan, dia takut sama istrinya. Dia telpon bialng dia mau kasih aku uang, aku disuruh nunggu di sini, tapi smpai sekarang dia belum datang'' kata ibu saya menirukan cara wanita itu berbicara. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, saya dapat melihat bibirnya menyunggingkan sedikit senyum meski matanya berkaca-kaca. Saat itu baru pukul 07.30 WIB, artinya dia sudah menunggu 19 jam lebih disana.

Dia terus meracu pada siapa saja yang duduk didekatnya, bercerita tentang apa saja berusaha membunuh waktu, mungkin sampai putranya datang nanti. Entah kapan. Saya hanya memandangnya dari jauh, menatap raut itu sesekali berharap saat saya menengok, putra satu-satunya sudah ada disampingnya. Saya tidak dapat melakukan apapun, saya bukan siapa-siapa dan saya bukan orang yang pandai berbicara jika ingin menemaninya berbincang.

Saya sedang melihat seorang ibu, yang menunggu dan terus menunggu. Mungkin sebentar lagi seseorang akan datang, toh lebih baik berharap dari pada mengeluh, bukan? Saya melihat kesabaran seorang ibu, saya melihat ketulusannya. Kalau hanya semata karena uang, saya yakin tidak akan sesabar itu. Putranyalah motivasi dia masih duduk di emperan, sendiri dan tanpa kepastian.
Yang dia tahu, putranya akan datang dan penantiannya terbayar. Itu saja.

Hari makin siang, dzuhur, dan setelah berjam-jam menunggu satu bus datang dengan disambut banyak orang yang langsung berhamburan. Saya satu diantara banyak orang itu, kaki lebam-lebam menjadi bukti meski tetap saja saya tidak mendapat kursi.

Hingga bus saya berangkat, saya belum melihat wanita itu bertemu putranya. Saya tidak tahu sampai kapan dia menunggu, saya hanya membawa wajah itu sampai hari ini. Dialah seorang IBU.

-

Rabu, 12 Oktober 2011

Satu Waktu Di Masa Lampau

Bertiga, kita beriringan menyusuri bibir sungai, masa itu. Aku dan kalian, kita belumlah setua sekarang juga belum serumit hari ini. Dengan bertelanjang kaki kalian memimpin langkahku di depan, aku mengikuti, memang selalu begitu. Kita masih bebas dengan tawa lepas dan pikiran lugu dari pagi hingga malamnya.

Aku menjadi yang termuda, terlemah dan tidak punya darah laki-laki sedikitpun. Aku tidak pandai memanjat, tidak lihai berenang di sungai, bahkan tidak becus memegang parang. Jiwa dan keberanian kalian adalah hal yang tak pernah aku miliki sampai hari ini, aku masih sama seperti dulu, asal kalian tahu.

Aku ingat hari itu, di bawah pohon kopi, kita bertiga. Bertiga menikmati sepoi angin, menghirup harum bunga kopi yang baru saja bermekaran dan membicarakan dunia kita. Sekolah, pekerjaan rumah, hingga seseorang yang sedang kita suka. Kita benar-benar tidak punya rahasia, mungkin itu yang mengikat kita sampai hari ini.

Sekarang, semua sudah berubah. Aku dan kalian banyak diubah oleh perjalanan, aku dan kalian sudah tumbuh sesuai jalan hidup kita masing-masing. Kalian sudah memiliki keluarga kecil, dan aku masih sendirian. Bukan masalah, toh kalian juga yang meramalkan urutan ini, aku yang terakhir menemukan seseorang. Kalian benar.

Hari ini aku masih seperti dulu, seperti sudah kalian tahu. Terima kasih untuk masa kecil nakal yang tidak terlupakan, kalian pastilah lelah mengajariku untuk berani. Mungkin juga kalian bosan melindungi bocah kecil yang begitu menuruti peraturan, aku iri dengan pembangkangan yang kalian lakukan. Hingga kita berpisah, aku belum bisa membangkang seperti kalian. Kalian harus mengajariku suatu hari nanti, sebelum salah satu dari kita mati tentu saja.

Untuk dua sahabat masa kecilku, dan keluarga. Aku masih ingat hari itu.

-

Selasa, 11 Oktober 2011

Ketika Gelap Mengisi

Ketika cahaya sengaja dicari untuk menerangi kegelapan, mengisi ruang yang sebentar lagi berlumut...saat itu mata sudah lelah. Ketika riuh suara burung hanya terdengar tanpa dapat dilihat, ingatan tentang rupa mahkluk kecil bersayap digali hingga saat terakhir menatapnya.

Mata rupanya sudah tua, mungkin juga sudah terlalu renta untuk dapat membuka dan menikmati dunia. Macam warna, banyak wajah, yang dulu sempat terekam kini tidak dapat dilihat lagi. Hanya kegelapan, hanya suara dan hanya sekelompok kira-kia saat kamu menunjuk sebuah benda. Aku sudah tidak dapat melihatnya.

Saya pernah melihat macam bunga, saya pernah mengagumi langit dan seisinya, saya juga pernah mencuri pandang dengan seseorang yang saya suka. Hanya untuk separuh umur, hanya untuk bekal saya di hari tua. Awal kegelapan yang sangat indah, sisanya...saya hanya dapat menerka-nerka.

Dulu, saya memang memiliki dunia...kini, saya juga punya satu dunia, dunia nan gelap. Mata sudah tak lagi bekerja, mungkin hingga terdengar suara malaikat pencabut nyawa yang juga belum pasti saya dapat melihat wujudnnya.

Saya hanya belum siap kehilangan cahaya, saya masih ingin menatap langit juga senja, saya suka kelip bintang di malam hari, saya juga suka mengisi ingatan dengan wajahnya. Tapi tidak lagi...langit jingga sore hari sudah berganti malam, kelip bintangpun tak akan bersuara, bahkan wajah itu belum saya miliki seutuhnya. Gelap, saya sudah memasuki sisa waktu setelah bermain-main dengan dunia, waktu dimana saya kehilangan warna.

Saya buta.

-

Rabu, 28 September 2011

Kalah

Aku menghilang, aku bersembunyi agar dapat menatapmu lebih dalam tanpa satu orangpun tahu. Itu aku, aku yang diam-diam tersipu dari balik batasan tebal diantara kita. Menyukai dengan cara yang sangat tidak masuk akal, mungkin sebuah benda mati, atau mungkin . . . seorang kamu.

Lalu aku mencoba lari dari kenyataan, bahwa aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Aku menjauh, menutup semua jalan menuju kearahmu. Semua serba tak masuk akal, aku, kamu, dan mengenai semua kalimat-kalimat yang terlanjur ku ucap.

Aku ingat sesuatu, dulu aku juga pernah merasakan ini. Cerita tentang aku dan 'kamu' yang lain, cerita yang berhasil menyita waktuku sampai dia menggoreskan sesuatu dengan sangat dalam di hati. Sakitnya masih terasa, goresan itu membatu dan berdarah disaat yang bersamaan setiap namanya teringat. Karenanya, aku menjadi seorang penakut. Aku takut akan sebuah kota, kota tempat seseorang yang memenangkan hatinya tinggal. Seperti ada balok menghantam, setiap nama kota itu terdengar. Harusnya aku amnesia, tapi sebaliknya . . . ingatan tentangnya datang perlahan, lalu bersama-sama menjatuhkanku kedasar tanah. Aku benar-benar takut.

Dan kamu, awal ini sama seperti saat itu. Aku suka mengeja kata demi kata yang kamu tulis, kamu selalu membuatku iri dengan semua kisah perjalananmu. Tapi . . . aku juga melihat ketakutan di depan sana, aku takut ini akan berakhir sama.

Aku ingin secepatnya berhenti sebelum menemukan garis akhir, aku merasa ini sudah terlalu jauh. Aku takut, aku takut menghadapi kenyataan, aku takut mengetahui kalau aku akan kalah.

Sekarang aku memang sudah kalah, lagi.

_

Selasa, 13 September 2011

Cinta Itu Sederhana

Cinta itu sederhana, rasa antara dua manusia yang tak sanggup dilukiskan dengan kata-kata. Cinta itu tak serumit rajutan selimut ataupun tenunan kain. Jika dapat benar-benar merasakannya, cinta hanyalah ketulusan yang datang dalam diri. Hati yang terus menerus memberi, jiwa yang selalu ingin mengisi, atau jemari yang ingin terus menggenggam. Cinta tidaklah sesulit memisahkan minyak di dalam air, tentu saja jika kamu tahu cara merawatnya.

Bagiku, cinta adalah kamu. Raut wajah yang sayu karena lelah, juga nafas halus penanda lelap tidurmu. Kamu adalah bentuk nyata dari sebuah angan, tanda bahwa khayalanku juga tidaklah dapat sesempurna lukisan. Cinta adalah kamu, kelemahan yang membuat rasa hormatku kepadamu setara dengan ibuku sendiri. Aku melihatmu dari sisi lain hidupmu, bahkan bersebrangan dengan sisimu. Cinta adalah kamu, kamu yang selalu mengeluh dan tidak pernah siap menghadapi kenyataan dunia, kamu yang masih sering goyah saat meniti jalan hidupmu.

Bagaimana aku dapat menyebutnya cinta?

Karena cinta itu sederhana, sesederhana menciptakan rinduku di kala sepi. Semudah menghiraukan garis pensil di lembaran buku gambar yang bersih.
Mungkin benar aku terlalu banyak berwacana, nyatanya kamu masih melihat cinta itu dari sisi yang berbeda. Tapi, apa? Aku belum bosan menyebutnya sederhana, sesederhana guratan senyum di ujung bibirmu, dan mungkin akan terus seperti itu.


_

Rabu, 22 Juni 2011

Berbicara Kematian

Hidup dan mati mungkin rahasia Tuhan,saya percaya itu.Jika saya juga mempercayai akan umur pendek,saya harap Tuhan tidak akan membenci saya.Hari ini,kemarin,kemarin lusa ataupun seminggu yang lalu...saya merasa bahwa hidup saya memanglah tidak lama lagi.Dengan kata lain,saya seolah ada didepan ajal saya sendiri.Memang saya salah kalau saya berbicara demikian,tapi ini yang sering saya rasakan.Saya merasa sebentar lagi,saya akan meninggalkan dunia ini.

Tapi,disaat-saat seperti itulah saya merasa berat untuk pergi.Saya tidak ingin ibu saya menangis karena saya,saya tidak ingin beliau menangisi tubuh saya.Seketka juga saya teringat keluarga,lalu teman-teman yang saya miliki.Saya tidak ingin pergi meninggalkan mereka,saya tidak ingin sendirian.Perasaan ini selalu muncul,saya tidak tahu cara mengendalikan firasat sok tahu saya.

Jika memang firasat saya benar,setidaknya saya sudah sempat pamit.Meminta maaf,berterima kasih ataupun tersenyum sebelum saya benar-benar pergi.Saya memang orang yang gampang menyerah,kali ini saya menyerah oleh firasat tak masuk akal.

Satu hal lagi tentang kematian,saya merasa siap jika sudah waktunya pergi.Tuhan telah mengirimkan 'ganti' untuk ditempatkan di posisi saya,jadi saya tidak perlu khawatir meninggalkan ibu sendirian.Ini mungkin pertanda,bahwa Tuhan telah menyiapkan hadiah karena Dia telah mengambil salah satu anggota keluarga.

Doa saya sederhana,jika memang waktu saya tinggal sebentar...tolong beri saya kesempatan untuk memeluk dan meminta maaf kepada mereka yang selama ini ada disamping saya.Beri saya waktu untuk mengucapkan kata-kata indah yang selama ini hanya saya simpan di hati,Tuhan.Jika ini takdirMu dan ini yang terbaik,insya Allah saya siap.
Sesungguhnya,hanya kepadaMu lah saya tertunduk.


_

Rabu, 15 Juni 2011

Tentang Hati Hari Ini

Kita bukan lagi kita yang dulu,kita juga bukan lagi aku dan kamu yang dulu.Hari ini,kita tidak lebih dari seorang teman tanpa batas,batas rahasia yang sebenarnya malah memisahkan dunia dan hati kita.Aku tidak lagi merasa bahwa kamu nyaman,bahwa kamu melindungi dan bahwa kamu 'melihat' aku.Hanya sekedar simbol jika kita masih saling menyapa,hanya sebuah topeng jika kita masih tersenyum dan tertawa.

Hati kita tidak lagi sedekat dulu,untuk melihatmu saja aku harus bekerja keras.Hati ini tidak lagi hampir brsinggungan,apalagi untuk disatukan...itu sangatlah mustahil.Kalau saja kamu tahu,kalau saja kamu sedekat hati ini denganku...kamu tidak akan bersusah payah mengerti perasaanku.Perasaan sederhana yang masih tidak dapat aku pahami ini,belum pergi.Meski aku berteriak,''Saya sudah lupa!'' sebenarnya itu dusta.Aku berdusta padamu dan perasaanku sendiri.

Sakitnya belumlah hilang,entah sampai kapan.Tapi aku akui kalau aku sangat menderita,aku sangat dekat denganmu..lalu tiba-tiba aku ditarik keluar mejauh,olehmu.Aku tidak dapat menolak,diam adalah satu-satunya jalan untuk 'damai' dengan perasaan.

Tentang hati hari ini,adalah tentang perasaan yang terkumpul diam-diam.Mengenai kegembiraan,kepedihan,cemburu,kecewa dan mundur untuk kalah.Aku memang sudah kalah dan aku selalu kalah.Oleh kehidupan,oleh cobaan,juga oleh kamu.Aku tidak tahu cara untuk menang,apalagi memenangkan hatimu..lebih dari sekedar tidak mungkin.

Tentang hati hari ini...tentang 'kita' yang sudah menjadi 'aku' dan 'kamu'.

Senin, 09 Mei 2011

Tentang Rindu

Rasa rindu kadang mengganggu,tapi siapa yang dapat menolaknya?Saat hati terasa kosong,ada hal yang ingin sekali saya masukan ke dalamnya,kamu.Saya tahu itu mustahil,tapi setidaknya saya memiliki seseorang yang saya tahu bahwa saya menyayanginya.Entah,kamu merasakan hal yang sama atau tidak,saya rasa tidak.Saya suka memikirkan kamu,disetiap menit kosong saya.Saya suka membayangkan senyummu,disetiap jeda nafas yang saya sendiri tidak dapat menghitungnya.Saya suka perhatian kamu,kamu yang datang disaat yang tepat.Saya suka cara kamu masuk ke dalam hidup saya,meski sebenarnya saya juga tahu bahwa kamu tidak akan ada selamanya disana.
Kenyataan memang tidak selamanya indah,saya menemui banyak kenyataan pahit.Bahwa semua mimpi,keinginan,kebutuhan ataupun seseorang...tidak seperti hal-hal ajaib dalam sulap.Dapat diambil sesuai keinginan,dapat memilih mana yang akan kamu butuhkan.Sayangnya,hidup terlalu rumit untuk hanya sekedar dibandingkan dengan sulap atau apapun.Saya mendapati kenyataan yang saya terima tidak manis seperti semua bayangan dikepala saya,pahit selalu ada.Bahkan getir sampai tidak dapat dirasakan saking kebalnya raga dari kenyataan pahit.
Saya tahu,saat ini saya mungkin sangat rindu dengan seseorang.Tapi saya tidak terlalu berharap mendapatkan hal yang sama ,saya ingin,saya juga butuh..tapi semua ada diluar kendali.Saya bukan hati yang dapat menciptakan perasaan,saya juga bukan otak yang dapat mengendalikan arah pikiran.
Iya,saya hanya tahu kalau saat ini,bahwa detik ini...saya sedang merindukannya.

Selasa, 26 April 2011

Aku Dan Kita

Saya tahu,saya salah....
Bukan maksud saya mencampur perasaan yang sebenarnya
Tadinya saya hanya ingin main-main
Tapi,saya mengaku kalau saya ingkar janji

Saya tidak ingin hati ini terluka lagi
Saya tidak lagi ingin menelan kepahitan yang sama
Tadinya saya hanya ingin mencari pelarian saja
pelarian dari apa yang saya sebut itu salah

Mencintainya...

Saya lari dari rasa sakit
Saya lari dari kekecewaan
Saya ingin lari dari masa lalu
Maka.kutemukan dia...
Dia yang saat ini masih saja membayangi hari
Dia yang sebenarnya juga sudah melukai hati ini

Saya menjadikannya pelarian sementara
Saya senang,dan saya memang benar-benar melangkah jauh dari masa lalu
Hidup seperti biasa dan saya mulai benar-benar jatuh cinta
Saya jatuh cinta dengan pelarian saya sendiri

Hampir di setiap menit saya memikirkan dia
Dan Saya menjadi manusia biasa yang sedang jatuh cinta
Saya tenggelam dalam lautan rasa
Lalu saya tersadar,bahwa rasa itu salah

Mungkin Saya juga salah memilih orang
Bukan dia yang seharusnya saya cinta
Ini juga salah saya
Dia,saya berbeda
Kami tak mungkin bersatu dan tak mungkin menyatu

Kami berbeda...

Kami bahkan tak mampu menyamakan satu hal sederhana
Saya kecewa,kali ini saya juga salah memilih jalan
Jalan ini harusnya menuju ke masa depan
Tapi kini,saya dilempar kembali ke masa lalu
Saat dimana saya menelan kepahitan,saat dimana saya dikecewakan

Ini semua salah saya
Cinta memang tak bisa memilih kepada siapa dia berpaut
Hatipun tak mampu menolak rasa yang berwarna
Memang semua salah saya...