Senin, 30 Januari 2012

Suatu Masa

Dear you...

Ada masa ketika kita pernah tersipu karena tak sengaja saling tatap, ketika aku masih mengenakan seragam biru putihku.
Aku pernah menulis namamu di semua lembar paling belakang buku tulisku, menyandingkan dengan namaku dan mengurungnya dengan sebuah gambar hati besar. Aku terbiasa menuliskan inisial namamu di atas meja sekolah diam-diam saat pelajaran masih berlangsung, melupakan pekerjaan rumah dari guru karena menganggapmu lebih penting bagiku.

Ada masa di saat kita duduk bersisian dan tak berani membuka pembicaraan, ada getar yang membuatku gagap meski hanya untuk menyapa seadanya. Sampai kamu memulainya, aku masih tetap menunduk tanpa bisa sedetikpun menatap wajahmu. Kita hanya berakhir dalam sepi, mengalah pada gagap yang sukses membungkam semua kata.

Ada masa di mana tanganmu menggenggam jemariku untuk pertama kalinya, aku masih ingat, aku belum juga berani menatap matamu. Mungkin sampai hari ini.
Ada beberapa waktu di mana kita diam-diam bergandengan di bawah meja saat berkumpul dengan teman, kita memang sudah terbiasa dan merasa terlalu nyaman bersembunyi.

Kita punya dunia yang hanya berisi aku dan kamu, kita dan kita, lalu aku dan kamu. Hanya berdua.

Hingga akhirnya, ada masa di mana kita kembali didekap gagap, duduk bersisian dengan bibir terkatup rapat. Aku dan kamu sedang bergulat dengan hati, mencari jalan keluar yang belum kita dapat sampai hari ini.

Kamu yang sedang di pulau seberang, semoga kamu bahagia. Nanti, akan ada masa kita duduk bersisian dengan gelak tawa tanpa gagap yang pernah kita rasa. Menutup cerita lama dengan cincin berbeda warna, serta dengan bangga menunjukan pasangan kita masing-masing.

Berbahagialah sepertiku hari ini, meski tanpamu, meski tanpa dunia yang pernah kita tinggali berdua.

Regards

Ketika Pertama

Ada banyak sarapan justru di tengah makan siang, bus kita tidak bisa menunggu dan angkot kita hanya satu jam sekali.

Ini bukan Jakarta, katamu saat pertama aku memutuskan untuk ikut menggendong ranselku di belakangmu. Wajahmu tak berpaling dari sarapan di sebuah warteg satu-satunya di luar pulau Jawa yang bisa kita temui, jam sudah menunjukan pukul dua siang dan kita baru mendapat makanan.
Tampak piring di depanmu hanya meninggalkan tempe dan sambal, lalu dengan cepat memindahkan tempe ke atas piringku.
Aku terkekeh menahan tawa yang sebentar lagi meledak, sikumu menyikut lenganku, mengingatkan kalau tempat itu bukan milik kita berdua.

'' Cepat habiskan, bus kita sebentar lagi berangkat, '' bisikmu di telingaku. Aku mengangguk sambil terus menahan tawa, menghabiskan nasi dan tempe pemberianmu lalu beranjak mengikutimu ke terminal. Aku akan terus mengingat punggung itu di kali pertama perjalananku bersamamu, tertutup jaket dan melekat ransel hitam kebesaranmu.

Sarapan hari itu bertahan sampai saat makan malam, tidak pernah ada keluhan yang keluar dari bibir kita. Masih belum apa-apa, kita baru menjejak satu kota, dan pasti masih ada sarapan-sarapan lain di jam makan siang berikutnya.

(Mr. Backpacker)

Kuyup Dan Kita

Hujan masih betah menahan kita yang sudah kuyup, tak ada lagi kehangatan di atas permukaan kulit kita. Hanya gigil, hanya biru bibir dan gigi gemertakan karena dingin.

Aku meniup kepalan kedua tangan dengan cepat, hanya udara dari dalam tubuh yang masih bisa menghangatkan. Kulihat tanganmu gemetaran, kakimu menjejak-jejak tanah mencoba menepis rasa beku. Kita lagi-lagi terdampar di kota antah-berantah, berpetualang mencari sesuatu yang kita sendiri taidak tahu apa.

'' Kita pernah lebih parah dari ini, '' ujarmu. Aku tersenyum tipis sambil terus menggosok jari-jemariku. Kita hanya bisa terduduk di depan toko yang sudah tutup, kita belum menemukan penginapan untuk sekedar singgah dan beristirahat. '' Kamu dingin? ''

Lalu tanpa aba-aba kamu melepas ransel besarmu dan memelukku, menggosok-gosok pipiku dengan jari dinginmu. '' Aku sudah bilang, aku akan merepotkanmu. Lihat, kan? ''

Kamu mendekapku lebih erat, tak ada jawaban sama sekali. Hanya ujung kepalaku yang samar terasa ada yang menciumnya, seperti tidak ada masalah, seperti di rumah sendiri yang hangat dan nyaman. Aku meringkuk dalam pelukmu, menguasai dadamu, memilikimu seutuhnya.

'' Tidurlah, sepertinya hujan masih lama. Aku akan terus memelukmu seperti ini sampai kamu selesai bermimpi. ''

(Mr. Backpacker)

Kopi Tubruk

Aku menguap untuk yang kesekian kalinya, masih ada dua map lagi sebelum aku bisa pulang. Jam di tanganku sudah menunjukan pukul sepuluh, dan tinggal kubukelku saja yang masih berpenghuni.

Aku menengok ke belakang, tampak seseorang sedang sibuk menggeser-geser tetikusnya dengan serius.
'' Kamu ga mau pulang aja? Gak apa-apa deh nanti aku pulang sendiri '' seruku. Wajahnya berpaling dari monitor laptopnya sesaat lalu melanjutkan pekerjaannya kembali.

'' Gak apa-apa, sekalian ngerjain kerjaanku. Di rumah sendirian juga, mending di sini ada temennya. ''

Aku mengalah, toh memang benar ada dia di sini. Menemaniku meski kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sudah dari sore dia memilih datang ke kantorku dari pada pulang ke rumahnya sendiri, padahal dia sendiri belum istirahat setelah lembur semalaman tanpa tidur.

'' Mau kopi? Nanti aku telponin pantry biar dibikinin, '' aku beranjak dari kursiku, lalu pindah ke sofa panjang tempatnya bekerja.

'' Mau kopi tubruk, tapi kamu yang bikinin. Gak mau kalau orang lain '' pendeknya. Aku menghela napas lelah, selama ini memang aku yang biasa membuatkannya kopi. Tapi tidak di saat pekerjaanku menumpuk seperti malam ini.

'' Kerjaanku masih banyak, Hon. Sekali ini aja, ya? Besok-besok janji deh... ''

'' Gak, aku maunya hari ini! '' potongnya. Aku beranjak dengan kesal, ada saja keinginannya yang tak bisa dilawan, bodohnya, aku menurut saja mengikuti perintahnya.
Kususuri koridor yang sudah gelap, pantry tampak masih ramai dengan suara TV dan sorak sorai penontonnya. Ada pertandingan bola tampaknya.

'' Mbak, mau bikin kopi? Kok gak telpon aja? '' kata salah satu OB melihatku membuka bungkus kopi tubruk instant dari lemari penyimpanan.

'' Ada pangeran tampan yang gak mau dibikinin kopi sama orang lain, egois! '' teriakku melawan suara TV. Dia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Aku kembali dengan mug hitam yang biasa kugunakan, kepul asap kopi panas tampak begitu menggoda di hidungku.

'' Cepat kerjakan pekerjaanmu, sudah terlalu malam '' katanya sedetik setelah kopi kuletak di atas meja. Apa lagi ini?

'' Sudah kubilang tadi, kalau mau pulang, pulang aja. Gak usah nungguin aku. Kenapa sekarang nyuruh-nyuruh segala? '' semburku. Sepertinya letih sudah menguasaiku sepenuhnya. Tak ada reaksi apa-apa sampai lima menit terdengar hentakan keras di meja kaca.

'' Aku gak pesan kopi tubruk instant. ''

'' Terus?? Kalau mau yang ga instant cari sendiri, aku gak jualan kopi tubruk di sini. Terserah mau nyari di mana, gak peduli!! ''

'' Don't yell at me! '' balasnya tegas.

'' Terus?? Aku capek tau gak! Kerjaan, laper, ngantuk, kamu...''

'' Kenapa? Aku kenapa? Aku cuma minta kopi tubruk, udah. ''

'' Kenapa gak sekalian bawa bibit pohon kopi biar aku bikinnya dari nol? Egois! Aku capek sama kamu, aku capek menuruti semua kemauanmu. Capek! '' lirihku. Mataku mulai berkaca-kaca, aku memang selalu menangis kalau marah dan aku benci itu. '' terserah kamu lah, terserah...''

'' Terus kamu maunya apa? Putus? Iya? '' tuduhnya.

'' Kalau itu mau kamu, aku nurut. Kita putus! '' seruku. Air mataku sudah tak bisa ditahan lagi, aku benar-benar sudah pasrah kalau ini berakhir sekarang.

'' Buatin aku kopi tubruk dengan tanganmu sendiri, baru kamu boleh minta putus. ''

'' AKU UDAH BILANG, AKU GAK JUALAN KOPI TUBRUK. AKU GAK BISA! '' teriakku. Aku benar-benar sudah kalut, aku sama sekali tidak menginginkan ini. '' Puas kamu, puas? ''

Kudengar langkahnya mendekat lalu terasa kursiku diputar ke belakang.
'' Kamu gak bisa, kan? '' tanyanya pelan sambil menndekapku. Aku menggeleng pelan sambil terus menangis dipelukannya. '' aku tahu, aku sudah tahu... Dengar, selama kamu belum bisa bikin kopi tubruk dengan tanganmu, kamu adalah milikku, takdirku. ''

Dekapannya makin erat seiring airmataku yang makin membanjiri kemejanya. '' Jangan pernah bisa bikin kopi tubruk, dan jangan pernah coba-coba belajar. Aku gak akan bisa hidup tanpa kamu di sisiku. ''


(bayar utang sama Mas @momo_DM)

Soto Koya

'' Soto koya aja, '' ujarmu pada ibu-ibu penmilik rumah makan. Malam begitu dingin sampai sarung tanganku tidak mampu menahan angin yang memaksa masuk menyapu kulitku.

Penginapan kami tampak begitu menyebalkan hingga kami tidak betah duduk di dalamnya, sebenarnya itu hanya alasan kami yang ingin berjalan-jalan sebelum pagi buta nanti akan melanjutkan ke puncak Bromo, tapi apa daya hanya sampai di tempat makan pinggir jalan yang masih buka.
Cepat kutarik kursi plastik di tempat paling dalam untuk menghindari angin, disusul dia yang langsung duduk di sampingku.

'' Aku hanya akan bertahan setengah jam kalau dinginnya kaya gini, '' celetukku sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangan. Dia melepas shawl abu-abu yang membelit lehernya lalu memakaikannya di kepalaku. '' oke, sekarang aku kaya perampok. '' candaku melihat hasil karyanya, shawlnya dibelitkan ke kepalaku dan membuatku terlihat seperti mumi gagal.

'' Mau coba punyaku? '' tawarnya. Kulihat mangkuknya penuh dengan mie instant lengkap dengan sayur dan telur. Aku yang hanya memesan teh manis panas langsung menyesal melihat penampakan makanan di depanku. Aku menggeleng dan membiarkan perutku keroncongan.

'' Nanti malem ga boleh ada yang ganggu orang tidur gara-gara kelaparan yaa...'' tambahnya.

'' Ih, kok gitu? Tega banget '' protesku. Dia tertawa selagi mulutnya penuh makanan, sedang aku puas dengan teh manis panasku. '' gak mau ikut lagi besok-besok, biarin deh ngelembur di kantor. Di sana mending gak kelaparan. ''

Dia melirik sebentar, tanpa respon apapun dia kembali melahap mie yang cuma tinggal separuh.

'' Ini, Mbak, soto koyanya. Maaf telat, tadi gasnya habis jadi agak lama. Maaf sekali lagi, silakan...'' tiba-tiba ibu pemilik rumah makan menyodorkan mangkuk dengan isi yang sama, hampir saja aku menangis bahagia di depan semangkuk mie instant.

'' Kamu tahu? Daripada lembur di kantor, aku lebih ikhlas kalau kamu kedinginan di sampingku. Gak peduli rupamu kaya mumi atau vampie Cina '' , bisiknya sambil diam-diam mencium pipiku dan menggenggam tanganku di bawah meja.
Tanpa sepengetahuanku, ternyata dia sudah memesan dua mangkuk soto koya dan segaja menggodaku agar aku kesal.


(bayar utang FF sama Mbak @wangi_MS)

Di Satu Waktu Dari Banyak Lainnya

Kadang waktu seperti terlalu cepat berlalu, hingga menghilangkan detik-detik kosong yang terlewat tanpa kita tahu.

Pernah ada waktu saat wajah malasmu muncul dengan rambut berantakan membuka pintu kaca menuju ke arahku, kamu menjatuhkan badan di atas kursi coffee shop favorit kita lalu menyerobot gelas latte-ku tanpa permisi. Gelasku masih kamu tawan ketika tanganmu mengulurkan ponsel pintarmu dan menunjukkan foto di dalamnya.

'' Green Canyon? '' tanyaku saat menemukan keterangan tempat foto tersebut. Kamu mengangguk sambil terus menyesap kopiku, ada saja hal yang selalu ingin kamu kerjakan. Katamu, alam adalah rumah untuk siapapun yang berjiwa bebas. Terserah, yang pasti kamu adalah satu-satunya tempatku kembali.

'' Aku akan pulang ke manapun aku mau, saat aku merasa nyaman, di situlah rumahku, '' ujarmu dulu.

Kupandangi terus wajah yang masih membuka-buka buku menu, kulitmu sudah tak seputih orang-orang kota lagi. Tapi bagiku, kulit yang sawo matang akibat matahari itu tidak menurunkan kadar ketampananmu sedikitpun.

'' Ikutlah denganku... '' katamu tiba-tiba. Aku terperanjat karena mata itu langsung menangkap pandanganku yang sedari tadi terpaku padamu, ada senyum simpul menghias bibirmu. Sungguh sangat manis. '' Lusa tanggal merah, berarti long weekend. Kita bisa lebih tenang bepergian. ''

Aku terkekeh tidak percaya, jadi untuk ini kamu mengajakku bertemu disaat kamu baru tidur satu jam?

'' Aku sudah baca blog-mu, sepertinya mendaki Krakatau kemarin sangat mengasyikan. Foto-fotonya bagus, '' aku mencoba mengalihkan perhatian, membiarkanmu kesal menunggu jawabanku. '' sepertinya akan baik-baik saja kalau aku tidak ada, kamu tak perlu menjaga siapapun. ''

Kulihat bibirmu mengatup rapat dan rahangmu mengeras, harusnya kamu tahu kalau aku tak akan pernah mau jauh darimu. Dan bukan salahku kalau sifat isengku tiba-tiba muncul ingin menggodamu.

'' Aku mau. '' jawabku dengan senyum lebar. Kamu membalas senyumku sambil bernafas lega lalu mengembalikan gelas latte-ku dengan senyum jahil. Kosong, sial!

Kamu beranjak, mencium keningku sebentar lalu mencuri cium bibirku. '' Aku harap, setiap hari adalah weekend agar kamu tak punya alasan untuk tidak pergi bersamaku. ''

Wajahku merah padam melihat orang di sekitar saling berbisik menyaksikan adegan kita, berbeda denganmu yang santai meninggalkan kafe dengan wajah sumringah.

Kini aku juga sedang ada di kafe yang sama, menunggumu datang, menatap lekat-lekat layar laptopku yang menampilkan halaman blogmu. Menunggu update tulisan khas-mu yang sudah membuatku jatuh cinta padamu, menanti fotomu yang tertawa gembira dengan latar pantai di Karimun Jawa.

(Mr. Backpacker)

Minggu, 29 Januari 2012

Mr. Backpacker

Nanti akan ada saat ketika kita hanya berdua yang terlihat kusut dengan kostum apa adanya, melantai di terminal atau menyendiri berdua di pojokan stasiun.
Kamu dengan jaket yang selalu membalut tubuh meski udara sangat panas, aku dengan kaus putih dan celana panjang seperti biasa. Aku akan terus memeluk ranselku, sedang kamu tak henti-hentinya menjepretkan kamera pada keramaian di sekitar.
Aku suka cara kita menghabiskan waktu bersama, dengan sedikit nyali dan satu kota yang hanya terpikirkan sepintas di kepala.
Aku suka caramu menjagaku di tengah hiruk manusia dalam ular besi panjang yang merayap berasap di jalannya.

'' Jangan jauh-jauh '' katamu sambil terus mengapit jari jemari yang mulai basah karena keringat. Aku selalu menunggu kata-kata itu, kalimat sederhana yang selalu dapat menahanku. Aku tak akan pernah bisa jauh darimu, awan tak akan berani menjauh dari angin. Aku ingin terus bergerak mengikutimu, ke manapun kamu bertiup.

Akan ada masa ketika hujan menghentikan langkah kita, ketika tetes air memaksa dua manusia berteduh di emperan tanpa keluh. Iya, kita hanya dua manusia yang sedang mengembara.
Kamu akan memeriksa Lonely Planet-mu dengan serius, sementara aku akan sibuk bertanya.
Akan ada masa ketika kita tersesat berdua, menghela napas lelah lalu kembali menyusuri jalan yang sama untuk kembali. Kita akan terus tersesat untuk belajar, belajar mencari jalan yang sesuai arah tujuan, belajar kembali menapaki kesalahan untuk memelajarinya, belajar tetap bersama meski ego kita sudah tak mau lagi berkompromi.

Lalu, akan ada masa di mana rasa puas melanda di ujung hari saat raga kembali ke titik awal perjalanan kita, aku masih menggenggam tanganmu, kita masih dengan kekusutan yang sama, dan kita masih tetap berdua.

'' Tetap bersamaku '' ujarmu setelah kaki kita menjejak lagi di Jakarta.

Sabtu, 28 Januari 2012

Merah

'' Kecewa? '' tanyanya sembari terus merangkul bahuku. Malam sudah terlalu larut, tapi toh masih ada manusia-manusia macam kami yang berani berjalan di pedestrian tanpa takut apapun.

Aku menengok membalas tatapan dan senyum bahagianya, kerlingan mata itu benar-benar terlihat mengejek. Sial!
'' Gak, kami sudah kebal '' jawabku santai. Aku mengamati gerombolan laki-laki di depanku, sama. Mereka juga sedang merayakan kemenangan malam ini, kemenangan Setan Merah atas Si Merah.

'' Uh, Liverpudlian yang baik '' ejeknya lagi. Bibirnya mengerucut, matanya menyipit membuat wajahnya terlihat lucu. '' gol pertama kamu keliatan seneng banget. ''

'' Iya, sampe Park Ji Sung merusak moment itu. Kakinya bisa keriting gitu. ''
aku berdecak kagum mengingat tim lawan berhasil membobol gawang timku, seperti yang aku bilang, merusak moment.

Dia terbahak mendengar istilah yang sedari tadi kuulang terus menerus, memang hanya kata-kata itu yang bisa menggambarkan isi otakku. '' timmu gak mau ganti aja? Kalah terus, '' tambahnya membuat langkahku terhenti.
Dia menahan kakinya yang sudah siap maju, lalu menatapku heran.

'' Ada yang bilang, kalau memilih tim sepak bola itu like choosing a wife. Oke, artinya choosing a husband buatku. '' timpalku. Alisnya naik dan dahinya mengerut. '' kita bisa mengagumi, menyukai, menyanjung tim lain, tapi...hanya satu tim yang akan selalu didukung. Dipeluk. Dimiliki. Tak pernah diabaikan...ini! ''
Aku menunjuk burung merah kecil di dada kiriku, di atas jersey Liverpool satu-satunya yang kupunya.

Dia memelukku, membuat dua warna menyatu di gelap malam. Menang dan kalah, merah dan merah. '' Apakah aku harus menjadi Liverpudlian untukmu? '' bisiknya di telingaku.

'' Untuk apa? ''

'' Agar kamu bisa memilihku menjadi suamimu, '' dia menangkup wajahku dengan dua telapak tangannya yang dingin, lalu mencium dahiku lembut. '' haruskah? ''

'' Bodoh, tentu saja tidak! '' jawabku cepat. Aku mendekapnya erat, merasakan degup jantungku memacu cepat di atas dadanya. Ada pijar yang menyala di dalam sana, seperti letupan-letupan yang terus meninggi bersama sorak kemenangan tim lawan. '' damn! Kenapa pengikut setan sepertimu begitu menarik di mataku! '' seruku dalam pelukannya.
Aku jatuh cinta pada rivalku sendiri, ini penyakitku, para Glory Hunters memang terlalu menarik.

*ditulis di tengah pertandingan Liverpool Vs Manchester United, dengan hasil akhir 2-1 untuk Liverpool.

Kamis, 26 Januari 2012

Testimoni

Untuk #15haringeblogFF

Gak terasa udah hari terakhir, hari ke-15. Lumayan ngebul kepala gue mikirin judul yang dipost tiap tengah malam itu, gue sebagai amatiran digembleng 15 hari berturut-turut nulis flash fiction tanpa jeda istirahat... Dan God, gue pikir di hari ke-6 gue bakal nyerah karena kehabisan ide, juga karena judul yang ya-ampun-bunuh-aja-gue itu. But i did it!

Disiplin nulis itu susah, dan lewat #15haringeblogFF ini gue belajar disiplin nulis tiap hari tanpa bisa beralasan gak ada mood. Nulis, nulis dan nulis.
Keuntungannya banyak, selain mengasah kemampuan nulis, gue juga jadi punya teman baru, blog banyak dikunjungi dan dikomentari, ketemu penulis-penulis yang masya-Allah-itu-otaknya-terbuat-dari-apa? Sampe bisa menghasilkan tulisan sebagus itu. Menambah rasa percaya diri untuk ' Muncul ' dan belajar berani bertanya kekurangan pada penulis lain.

Banyak berterima kasih sama Masmin @momo_DM dan juga Yumin @wangiMS yang menggagas adanya #15haringeblogFF ini, meski sering diprotes karena judul-judul yang ajaib, tapi tetep kebal dan proyeknya tetep jalan sampai hari terakhir. :')
Saya absen sehari by the way :D *ngaku dan bangga* :)))

*kirim lope-lope untuk semua yang berpartisipasi di #15haringeblogFF *

Big thanks for @adit_adit @rin_hapsarina @danissyamra @nadyyapratiwi dan yang mungkin lupa gue mention... Terima kasih sudah mendampingi amatiran ini belajar.

Rabu, 25 Januari 2012

Menikahlah Denganku

Cinta tidak hanya buta, untukku, cinta juga tak kenal malu.

Sebut aku begitu, melihatnya memeluk bocah kecil yang sedang tidur telungkap di dadanya membuatku luluh setelah dua tahun menolak laki-laki itu. Lihat tepukan halus telapak tangannya di atas punggung anak berumur tiga tahun itu, sepertinya aku terlambat menyadari kalau laki-laki ber-rahang tegas di sebelahku memiliki sifat kebapakan. Hangat tatapannya pada gadis kecil itu, pelukan eratnya tiap kali mereka bertemu, aku benar-benar sudah dibutakan trauma masa lalu. Gadis itu memerlukan ayah, anakku butuh panutan lain selain ibunya.

'' Sini biar aku yang bawa ke kamar '' ujarku melihat Keiko--anakku sudah terlalu lama dipelukannya. Perlahan kuambil boneka kecilku dari dadanya dan menggendongnya ke kamar berpintu merah jambu. Sedikit kaget ketika pintu kamar tak sengaja kubanting, tapi dasar sudah ngantuk ada gajah main lompat talipun tak akan mengganggu.

'' Capek? '' tanyaku sambil memberikan segelas air putih dingin. Kemeja putihnya kucel dan wajahnya tampak lelah, seharian menemani Keiko mengacak-acak isi apartement memang bukan untuk umurnya lagi. Tangannya memijit dahi sendiri sedang matanya terpejam rapat. '' Tadi dicoret-coret Keiko kenapa diem aja? '' ujarku melihat bulatan-bulatan dari pensil alisku di dahinya.

'' Biarinlah, anak kecil ya gitu. Yang penting kan bisa diilangin '' jawabnya santai. Entah mendapat angin apa, tapi di detik itu aku merasa anakku sudah memilih ayahnya sendiri. Mungkin hanya aku yang buta, menolak cintanya karena trauma masa lalu, mengeneralisir laki-laki seperti mantan suamiku yang bajingan itu.

'' Adji, menikahlah denganku '' ucapku di depannya. Dia terperanjat kaget, hampir saja gelas di tangannya jatuh ke sofa. Wajahnya kebingungan, alis kirinya naik dan bibirnya membeku. '' Keiko mencintaimu, dia membutuhkanmu ''

Perlahan wajahnya melunak, terdengar desahan nafas lega darinya. '' Kamu? '' tanyanya, '' Kamu ga cinta aku seperti Keiko mencintaiku? ''

Giliran aku yang terdiam, jawaban apa yang tepat untuk pertanyaan itu? Mencintainya? Belum, tapi mungkin saja aku yang buta, atau sebenarnya aku sudah mencintainya sejak dulu?
'' Aku... Aku...''

'' Nggak! '' potongnya cepat. Wajahku memerah, terasa sekali darah mengalir seluruhnya ke wajah. Panas. Malu. Ditariknya tubuhku ke pelukannya, air mataku sudah tidak bisa dibendung lagi.
'' Nggak...'' lanjutnya pelan, '' Menikahlah denganku...''

Tangisku makin menjadi saat tahu kata-katanya memang sengaja dipotong untuk mengerjaiku, pelukan itu mengencang membelit tubuh gemetarku. '' Apa tadi aku sempat mematahkan hatimu? '' guraunya yang kubalas dengan cubitan-cubitan di perut dan pinggangnya.

Sebut aku tak tahu malu, paling tidak...aku bukan pengecut.

(#15haringeblogFF #lastday)

Sah!

'' Jadi kita sudah sah menjadi sepasang kekasih? ''

Katanya saat bulan hanya terlihat seperti kail pancing, matanya hanya berjarak 10 cm dari mataku dan hidung mancungnya menempel di hidungku. Aku mengangguk pelan sembari tak henti-hentinya tersenyum mendengar suara berat itu mengatakan cinta, kupagut bibir yang sedari tadi sudah menunggu. Kuusap cambang tipis di antara telinga dan dagu sambil menarik rahangnya sedikit ke depan, aku memang tergila-gila pada pria ini sejak temanku menunjukkan fotonya dua bulan lalu.

Dan sekarang, dia benar-benar menjadi milikku. Berdua di atap gedung apartemennya, dengan dua kursi lipat dan berbotol-botol coke yang telah dibeli sebelumnya. Tampan, anak pengusaha yang memilih menjadi traveler, baik hati, menarik dan begitu menggoda. Betapa beruntung seorang perempuan yatim piatu jebolan panti asuhan yang suka mengotak-atik peralatan elektronik ini, mungkin bulan sudah luluh hatinya setelah berpuluh tahun dirindukan punguk. Atau bulan memohon pada Tuhan-nya untuk bereinkarnasi menjadi punguk juga? Kau salah kaprah, Kirana.

'' Pernah ke Bromo? '' tanyanya setelah bibirnya terlepas dari bibirku, ditariknya tubuhku hingga pelukan di tengah malam itu terasa begitu hangat. Aku menggeleng sambil melingkarkan tanganku ke pinggangnya.

'' Ikutlah denganku, lusa aku berangkat dan aku mau itu menjadi trip kita yang pertama, ya? ''

Kuangkat sedikit kepalaku, menatap mata cokelat yang memantulkan cahaya redup bulan lalu mengangguk pasti untuk kedua kalinya malam ini. Aku tak akan membuang kesempatan bepergian dengannya, terlebih setelah malam ini.
Dia tak akan pernah tahu ada timer yang telah kusetel satu jam lalu di sebuah gedung penuh orang-orang kotor, hanya tinggal menunggu sebentar lagi, dan...BOOM!!
Aku merasakan dentuman sesaat setelah kami kembali berpagut, getaran lemah terasa dari jarak berpuluh kilometer jauhnya, getaran yang sudah familiar ditiap jengkal kulitku. Meledak, menghancurkan manusia-manusia tak berperasaan, mengirim mereka ke kuburan dengan tumpukan dosa yang tak sempat ditebus.

'' Aku senang malam ini kamu ada di sampingku, seperti mimpi '' ujarku. Iya, dan yang paling penting...aku punya alibi.

(#15haringeblog44 #lastday)

Selasa, 24 Januari 2012

Untukmu Di Sana

Untuk sepupuku:
Aku rindu tawamu

Dua tahun lalu tangisku pecah, di kala siang di hari minggu. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku saat makan siangku baru habis separuh, pesan dari Bu Lik-ku, Bu Lik kita. Hanya tiga kata yang dia tulis, hanya sebaris kalimat tanpa titik.

'' Ji, Eko meninggal ''

Kunyahan di rahangku seketika membeku, aku mencoba mengartikan dan mengerti maksud kalimat tersebut. Kubaca sekali lagi, lalu sekali lagi hingga kuberanikan diri memencet tombol ' Memanggil ' pada ponselku. Kamu tahu? Aku mendengar tiga kata itu diucapkan dengan tangisan, aku mendengar banyak tangisan di sana. Sayangnya, aku masih belum sadar juga. Aku mematung tanpa bisa berekspresi, aku kaget dan bingung dengan situasi saat itu.

Aku cepat-cepat menghubungi Ibu, mengabarkan apa yang baru saja kudengar dengan telingaku sendiri. Ibukulah yang pertama menjerit, tangisnya meledak di ujung telepon dan membuatku sadar kalau detik itu aku telah kehilangan kamu. Aku menutup telepon dengan mata kosong dan berair, aku baru bisa menangis setelah kekagetanku beberapa saat berlalu. Aku menangisimu.

Kita tumbuh berdua, meski kamu dua tahun lebih muda dan laki-laki, kita selalu bermain bersama. Bersekolah di tempat yang sama sampai aku hijrah ke Jakarta menyusul orang tuaku. Aku selalu ingat masa-masa saat kita bermain di sungai, berpanas-panasan di sawah, sampai ngabuburit di jembatan kampung kita. Aku masih ingat makanan favorit kita saat Idul Fitri, makanan yang selalu dilarang oleh orang tua kita ketika merayakan hari besar : rujak :')

Lalu, beberapa tahun kemudian pesan itu memotong kebersamaan kita. Aku tahu kamu sakit, tapi aku tak pernah menyangka kamu akan pergi secepat itu. Kamu bahkan belum sempat pamit, belum sempat bertemu denganku setelah hampir setahun. Kenapa kamu tidak menungguku?

Ku kirimkan surat untukmu yang sudah tenang di sana, di sisi-Nya. Aku yakin kamu bahagia sekarang, tempatmu pastilah indah, bersama-Nya tak akan ada rasa sakit lagi. Hanya aku, hanya kami yang terus merindukanmu. Hanya aku yang terus merasa kehilangan teman mainku, berbahagialah di sana, sepupuku. Berbahagialah seperti aku bahagia pernah menjadi sepupumu.

Doaku untukmu.

(untuk #30harimenulissuratcinta)

Ini Bukan Judul Terakhir

Ku pandangi tubuh telanjang di atas ranjang berukuran sedang di depanku, dadanya naik turun mencoba mengambil oksigen di dalam ruangan pengap penuh perabotan elektronik yang masih berantakan.

'' Masih bermimpi, sayang? '' bisikku ke telinganya. Suntikan obat bius setengah jam lalu seperti membuatnya mati suri, ikatan tali di pergelangan tangannya mengendur karena usaha melawan saat melihatku mengambil kamera polaroid untuk mengambil gambarnya. '' Ayahmu pasti sedang menangis di istananya, putranya yang baik hati dan penurut, kabur demi kekasihnya. Lalu pulang dengan bentuk lembaran foto-foto mengenaskan. Haha..''

Kutinggalkan tubuhnya tetap polos di tempat tidurku, lalu beranjak menuju ke komponen-komponen kecil dan kabel-kabel yang belum juga selesai dikerjakan. Sesekali kulirik tubuh lelaki itu saat rintihan lirih terdengar, aku mendengus cuek dan kembali berkonsentrasi ke pekerjaanku.

'' Kamu bodoh, Henry '' gerutuku sambil mendengarkan radio kecil berisik yang terus berbunyi mengeluarkan perbincangan beberapa laki-laki saling bersahutan, '' Polisi bodoh! Dibayar berapa kalian sampai sibuk mengurusiku? ''

Ke mana kalian saat ibuku meminta perlindungan dari laki-laki jahat itu? Ke mana kalian saat ibuku ditusuk orang tak dikenal hingga mati di pinggir jalan? Ke mana kalian saat bocah kecil itu menangisi satu-satunya orang yang dipunya? Ke mana kalian saat aku, saat aku meminta dan memohon keadilan?

'' Kamu tahu, Henry? Laki-laki yang mendatangiku itu mengaku telah membayar orang untuk membunuh ibuku, dia tertawa bahagia karena wanita yang dihamilinya tak akan mengganggu lagi. Jahatnya dia ''

Iya, aku masih ingat gelegar tawanya di depan wajah sembabku. Wajahnya seperti iblis yang lolos dari neraka dan bebas bergerak di dunia, wajah kebapakannya sungguh mengerikan. Yang paling lucu adalah, kamu, kekasihku, adalah kakak tiriku. Kita satu ayah, Henry. Aku telah tidur dengan kakakku sendiri, kita lucu sekali.

Kutarik kursi kayu kecil ke samping ranjang, memerhatikan tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kakinya yang juga terikat. Lalu kuambil pisau lipat di laci meja dan mengarahkannya ke wajah yang lebam karena tinjuku.

'' Aku tahu karma akan membalas perbuatan Ayahmu, Henry. But you know what? Aku akan mendahului karma, aku yang akan membalasnya ''. Kugariskan pisau di pipi kiri sampai setetes darahnya terlihat dan erangan lemahnya terdengar, kupikir akan menyenangkan kalau sedikit goresan di wajahnya ditambah. Sebelum tubuhnya meledak bersama bom rakitanku yang juga akan membunuh hati ayahnya seketika, aku menunggu gelegar tawa iblisnya menggema di pemakaman anaknya sendiri.

'' Ayahmu akan tahu, ini bukan judul terakhir yang kubuat untuk hidupnya. Kalau nanti kamu selamat, jaga ibumu baik-baik ''

(#15haringeblogFF)

Resep : Ayam Bumbu (Bukan Dari) Bali

Bahan:
- ayam
- air
- daun jeruk (dicacah)
- sereh
- lengkuas
- daun salam
- saos tiram
- garam
- gula merah
- penyedap rasa (mecin / royco)

Bumbu yang dihaluskan
- cabai rawis hijau (makin banyak makin bagus)
- bawang putih

Cara memasak

- tumis bumbu halus hingga harum, masukan sereh, daun salam dan lengkuas.
- masukan ayam, tambahkan air, aduk rata.
- tambahkan daun jeruk, saus tiram, garam, gula dan penyedap rasa.
- aduk terus sampai air menyusut dan ayam matang (tambahkan air kalau perlu), angkat. Siap dihidangkan.

*resep warisan, tidak ada ukuran berapa-berapanya karena diukur dengan 'kira-kira'.
*ditulis biar ga lupa :D

Senin, 23 Januari 2012

Kalau Odol Jatuh Cinta

Aku memunggunginya seolah kami sedang mempertahankan ego masing-masing, ingin sekali berbalik untuk memeluknya sebentar atau sekedar melihat wajahnya.

'' Kau masih di sana? '' tanyaku pelan. Aku takut ketika waktunya aku berbalik dia sudah tidak ada, aku takut kehilangan dia.

'' Iya, aku masih di sini. Tak perlu khawatir '' jawabnya. Aku akan selalu khawatir tentang keberadaannya, tentang hadirnya di sisiku setiap hari.
Kami dipertemukan seminggu yang lalu dan sapaan pertamanya sangatlah memikatku, tutur katanya saat menceritakan perihal tempat kami akan tinggal bersama seperti suntikan obat bius yang menenangkan. Aku suka menatap wajahnya yang selalu tegap menghadap ke depan, lengkungan leher yang ingin sekali kurangkul, juga sentuhan badannya di tubuhku.
Tetapi, kita sering membelakangi seperti ini, menghadap ke arah yang berbeda, berbincang tanpa menatap muka sedikitpun. Rasanya begitu kosong meski hadirnya tak pernah jauh dari tempatku, ingin sekali berteriak pada siang agar cepat berganti malam ketika tiba waktunya kami disatukan.

'' Sebentar lagi genap tiga bulan aku di sini... '' ujarnya yang masih di posisi membelakangiku.

'' Lalu? '' tanyaku menggantung. Aku mendengar desahan napasnya berkali-kali sebelum melanjutkan perkataannya.

'' Artinya, sebentar lagi aku diganti dengan yang baru '' lanjutnya. Aku tertegun mendengarnya, mencoba menafsirkan kata-katanya. '' aku pasti merindukanmu meski sudah di tempat sampah ''

'' Maksudmu? Aku kurang paham, coba jelaskan lagi '' potongku dingin.

'' Pemilik kita akan menggantiku setiap 3 bulan sekali, seperti kamu yang akan diganti saat badanmu menipis, kosong dan tidak berguna ''

Lagi-lagi aku tertegun, aku sudah jatuh cinta dan sama sekali belum siap kehilangannya. Apa itu aturan 3 bulan sekali harus diganti? Toh bukannya sama saja selama tidak digunakan untuk menyikat lantai?
'' Tapi aku membutuhkanmu di sisiku '' rajukku. Ingin sekali aku berbalik kalau saja aku mampu melakukannya.

'' Iya, aku juga. Tapi, Pemilik kita tidak. Dia hanya membeli kita, memanfaatkan dan membuang setelah beberapa lama. Aku menyukaimu, pasta gigiku '' badannya sedikit bergeser, terdengar decitnya saat bergesekan dengan gelas kaca bening tempat kami tinggal selama ini. Sebuah tangan besar menariknya keluar dan membuangnya ke tempat sampah, dialah Pemilik kami yang datang untuk memisahkannya dariku.

Ternyata begini rasanya kehilangan, sakit meski kami hanya sepasang odol dan sikat gini. Aku jatuh cinta padanya, pada semua yang terbentuk di wujudnya. Berada dalam hening kamar mandi, bersahabat dengan air, menciumnya setiap hari saat akan digunakan...aku pasti akan sangat merindukannya, sikat gigiku.

(#15haringeblogFF)

Wonosobo

Kan kuceritakan lagi tentangnya untukmu,
Kotaku, Wonosobo
.

Udaranya masih sangat dingin, sampai ada asap keluar setiap kita menghembuskan napas. Ingat?
Pagi ini aku menyusuri kebun kentang lagi, harum tanah pagi yang bercampur dengan bau dedaunan serta titik-titik embun selalu menarik perhatian untuk disusuri. Senjataku hanya satu, adalah sarung hasil merampas dari bapak untuk menghangatkan tubuh.
Bayangkan aku berjalan-jalan seperti Hansip yang baru pulang tugas, jelek memang.
Aku bertelanjang kaki di atas aspal jalan yang menurun, berkelok, lalu menanjak. Sesekali tanganku menyambar rumput, menarik bunganya dan menjadikannya menjadi buket kecil di tangan lalu membawanya pulang.

Kalau aku bosan, ada Tlaga Warna menanti untuk dikunjungi. Kamu pasti sudah hafal jalan ke sana, nanti kalau kamu datang...janji, ikutlah bersamaku. Ada manisan Carica yang belum sempat kamu coba, mi ongklok dan ohh...tempe kemul favorit kita. Aku sudah tidak sabar berdiri menunggumu di terminal, memeriksa satu per satu plat nomor bus yang sesuai dengan nomor dalam pesan singkatmu sehari sebelumnya.

Kapan cutimu dikabulkan? Aku punya teman di kota Banjarnegara, kita bisa merampok salak pondoh dari kebunnya. Kita pasti mabuk salak di sana, lalu kita bisa minum dawet ayu langsung dari sana, dari kota asalnya. Aku benar-benar sudah tidak sabar, memelukmu dihawa sedingin Wonosobo akan meringankan tugas sarung bapak untuk menghangatkan tubuhku.

Aku menunggumu, menantimu hadir di beranda rumahku dengan kopi hitam dan singkong goreng yang masih panas. Merapatkan tubuh yang menggigil karena tidak terbiasa hidup di desa dengan suhu sedingin Wonosobo, sembari mematung melihat bintang di gelapnya malam yang pekat. Menikmati gemersik gesekan daun karena angin, juga suara kodok dan jangkrik di sekeliling kita.

Sudah kuingatkan, tinggal pesan berisi nomor plat bus yang kamu tumpangi masuk ke ponselku. Kita akan berpetualang seperti maumu yang tak pernah kukabulkan, janji.

Regards


(untuk #30harimenulissuratcinta)

Minggu, 22 Januari 2012

Merindukanmu Itu Seru!

Sudah di lembar yang ketiga, dan kini aku terbiasa melakukannya.

Kupandangi lagi dua lembar kertas berwarna biru di atas amplop berwarna senada, coretan tanganku masih sama seperti beberapa tahun lalu ternyata. Pena merah marun masih betah menari di atas lembar ketiga, aku punya banyak stok cerita yang siap kutuliskan di sana.

Paragraf kedua, aku masih betah membahas adegan lembur di rumah kosku dulu. Dia selalu datang dengan kopi instant berpuluh-puluh bungkus, dan dapur adalah tempat pertama yang dia datangi. '' Kopi adalah belahan jiwaku '' katanya tiap kali aku protes dengan kunjungan ke dapurnya. Manusia macam apa yang meminum kopi lima cangkir semalaman? Iya, manusia macam dia.

Lembur membuatku memiliki waktu lebih untuk berdekatan dengannya, melihatnya berkonsentrasi pada layar laptop hitam kesayangan, memerhatikan alis yang sesekali naik sambil menggelengkan kepala. Foto-fotonya menakjubkan, tak apa menjadi asisten yang sering lembur sampai pagi kalau keuntungannya bisa melihat jepretannya. I'm in love with him, aku jatuh cinta pada semua foto yang dia ambil, aku jatuh cinta pada caranya mengubah objek biasa menjadi sangat menarik dipandang.

Lembar keempat, aku tuliskan keluh kesah saat hadirnya tidak lagi menemani. Sepi. Tak ada lagi aroma kopi yang seolah merayuku untuk meminum dan minum lagi. Aku merindukannya, sungguh.

'' Kopi adalah belahan jiwaku, dan kamu adalah belahan lainnya '' ucapnya ketika menyampaikan niat pindah ke Papua.

Aku mulai terbiasa bercerita lewat tulisan tangan, menyertakan kode pos, prangko, juga alamat di amplopnya. Aku mulai menyukai kantor pos dan Pak Pos dengan seragam berwarna orange-nya. Aku suka desir gelisah menunggu balasan yang pasti disertai dengan foto-foto berukuran besar; alam Papua, masyarakatnya, hingga sesederhana semut di batang pohon kelapa.

'' Untuk separuh belahan jiwaku, kamu dapat salam dari belahan jiwa lain; kopi di cangkirku ''

(15haringeblogFF)

Sabtu, 21 Januari 2012

Hey You

Dear @dikacrutin

Oke, aku akan mulai menulis setelah kamu senyum.
Sudah? Oke, aku tunggu.
Itu dia, my favorite, your smile.
Sebenarnya agak semu kalau surat cinta tidak ditulis dengan pena dan kertas, bukankah menyenangkan membacanya? Tulisan tangan di atas kertas warna-warni dan bergambar, kamu juga bisa menebak karakter Si Pengirim lewat coretannya, bukan?
Tapi ya sudahlah, toh aku belum tahu harus mengirim ke mana. Yang pasti, kita adalah warga Pamulang tercinta. Pamulang hore, mana suaranyaaa??? :D

Mari bahas hal lain, kamu bersedia menjadi objek bahasannya, Ar? Selain senyum dan hobi karaokemu, apa yang bisa aku bahas di sini? Oh, sial! Aku belum tahu apapun tentang kamu ternyata.
Aku bukan secret admirer, pasti kutulis nama terang di akhir surat nanti. Biar orang lain bersembunyi, biar orang lain diam-diam mengagumi. Aku tidak terlalu peduli. Bolehkah aku mengaggumi secara terang-terangan? Pantaskah? Sudikah?

Senang bisa menulis sedikit buat kamu, ya meski kadar kemanisan surat ini belum ada apa-apanya dari surat yang lain. Tapi boleh juga kalau sekali-kali dicoba ke semut, yang jelas ini bukan bentuk lain dari kecoa meski sama-sama menarik perhatian semut :D

Seseorang, tolong ajari aku membuat kalimat penutup. Oke... Bye, Ar. :)

Regards
Rara

Jumat, 20 Januari 2012

Senyum Untukmu Yang Lucu

Senyum untukmu yang lucu, kamu yang telah menemaniku hingga rambutku kelabu. Terima kasih.

Pernah ada saat yang pahit ketika ego menguasai kita, aku ingin menang, dan kamu tidak mau kalah. Pernah ada saat yang menyakitkan membelit kita, aku ingin terus bersamamu, dan kamu ingin berpisah dariku.
Pernah ada waktu, ketika kita menomorduakan ego demi tempat kecil di sebuah desa...adalah sepetak rumah beserta isinya. Aku tersenyum untuk hidup kita yang lucu, untuk segala arah yang pernah kita pilih.

'' Cobalah, kamu akan menemukan jawaban setelahnya '' katamu dulu. Aku menurut dan melangkah gamang ke depan orang tuamu, menebalkan wajah untuk memintamu menjadi istriku.
Aku tersenyum untuk kita, untuk semua keputusan tiba-tiba yang membawaku ke kehidupan duniawi bersamamu.

Lembut senyummu masih melekat dalam ingatan, samar tangismu masih terlihat seperti halnya proyektor yang memutar adegan sedih terus menerus di kepala. Bagaimana aku dapat hidup tanpamu? Sedang jiwaku terlepas begitu saja dari ragamu. Kini aku hanya separuh, nyawaku mungkin hanya cukup untuk hidup sehari saja.

Kubakar dupa untukmu, di depan rumah pribadimu. Foto hitam putih kecil menyatu dengan nisan beserta ukiran-ukiran huruf yang tak pernah aku lulus saat memelajarinya. Aku terbiasa dengan aksara Jawa, dan asing dengan huruf-huruf Cina yang sering kamu ajarkan padaku.

Senyumku untukmu, untuk kamu penyebab rindu yang telah lelap dalam damai. Terima kasih.

Kamis, 19 Januari 2012

Inilah Aku Tanpamu

Hari ini panas.

Mataku terpaku pada sepatu hitam berhak tinggi yang kukenakan, sudah harus diganti sepertinya. Warna hitamnya mulai kusam dan ada baret yang sanggat mengganggu mata, tapi selama haknya belum copot seperti di iklan permen, aku tak akan menggantinya. Bus TransJakartaku entah kapan datang, sudah setengah jam dan aku masih berdiri mematung di tempatku.

Pantofel cokelat mengilap seperti ingin ikut mengintimidasi sepatuku, dan sukses membuatku malas memandanginya lagi.
'' Hai, mau pulang juga? '' ternyata suara Si Tuan Pemilik Pantofel. Aku menengok dan hampir saja limbung dengan keseimbangan karena kaget. '' kaget, ya? Haha '' dia tertawa memerlihatkan gigi rapinya. Kirana, selamat bertemu masa lalumu!

'' Eh, ha-hai juga. Iya, mau pulang '' balasku terbata. Kirana, lari! Lari sekarang juga! Desakku pada diri sendiri. Aku menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal, gugup. '' Mmm.. Sendiri? '' mampus! Kenapa harus memperpanjang obrolan dengan mantan pacar!

'' Enggak, aku sama kamu '' , gombal! Ingin sekali kucakar wajahnya dengan hak 10 cm-ku. '' Kamu sendiri? Pacarmu? ''.
Ini lebih gawat lagi, aku belum dapat penggantinya! Apa yang akan dia katakan kalau perempuan yang dulu dengan congkak sesumbar bisa mencari pengganti dalam waktu seminggu, ternyata masih sendiri di tahun kedua setelah berpisah? Mampus!

'' Belum, belum punya pacar '' kataku, kupalingkan wajah ke arah lain sengaja menyembunyikan rasa malu dan gugup yang bercampur mirip gado-gado Betawi. Kalau mencari waktu untuk kabur, inilah saatnya Kirana.

'' Ohh ya? '' tanyanya menggantung. Apa? Tertawa saja, tidak perlu ditahan, nanti jadi penyakit. '' Kok bisa? Laki-laki di Jakarta sepertinya sudah buta semua, kamu yang secantik ini bisa kelewat ''

Iya..iya..iya...terus saja menggombal, sepatuku juga masih stand by menunggu terbang ke wajah gantengmu.
'' Well, inilah aku tanpamu...'' ujarku seperti orang kesurupan, kalau saja kalimat ini bukan tema flash fiction ke-9, Si Penulis pastilah enggan memasukannya di tengah adegan gombal-gombalan. Tak sudi.

'' Apa? Kamu lucu banget sih '' lanjutnya sambil menyikut lenganku. '' aku juga masih single sejak kita pisah ''.

Oke, terus? Pentingkah itu untukku? Apa aku bisa langsung kurus saat mengetahui dia masih single? Bukankah lebih tenang bekerja tanpa ada yang mengganggu?

'' Balikan, yuk '' pintanya sambil menggenggam tanganku.

(#15haringeblogFF)

Inilah Aku Tanpamu (2)

Inilah aku, tanpamu, sekarang.

Inilah aku yang sudah terhempas beberapa blok dari masa lalu denganmu, sempat ingin terus kembali, dan nyaris saja tenggelam dalam pilu.
Kita pernah bersisian di satu arah, mengapit lengan serta samar mengalunkan nyanyian. Aku terpaku pada langkah pastimu, aku terpukau pada teguh tatapmu. Aku pernah melihatmu di sampingku dengan jarak sejengkal jemari, berbisik lirih serasa angin, merengkuh tubuh layaknya
sulur merambat.

Tapi kini inilah aku, tanpamu.
Melompat beberapa bab dari hitungan kenangan dalam buku bersampul merah jambu tertuliskan namamu, mungkin saja ini jilid akhir ceritaku denganmu. Dua tahun menggoreskan kisah, mengumpulkan kata demi kata, membuat paragraf baru, menyadur kalimat-kalimat indah, hingga ada sebuah titik yang mengakhirinya.

Ada bagian yang hilang, lembarku menipis saat aku menemukan robekan kepercayaan yang tercecer. Katakan, siapa dia?
Inilah aku tanpamu, inilah aku di baris terakhir kertas kita. Aku sudah melewati banyak cerita dan diakhiri tanda tanya, aku ingin titik. Titik yang bisa menutup lembar tanpa pertanyaan, titik dipaling belakang kalimat penutup cerita kita.

Aku Benci Kamu Hari Ini

'' Aku benci kau hari ini '' katanya. Aku diam, aku tetap berkonsentrasi pada makananku.

Dentang piring yang beradu dengan sendok terdengar sangat menyakitkan, memang bukan hanya hari ini dia melakukannya, tapi perkataannya tadi benar-benar menohok jantungku. Aku masih diam. Tatapannya begitu nanar setiap kali aku mengajaknya berbincang, dan bukan hanya kali ini saja.

Berawal dari hari naas itu, hari di mana ayahnya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Aku bersama beliau, tepatnya... Akulah yang memaksa ayahnya pergi. Aku ingin memberi kejutan di hari ulang tahun orang yang ada di hadapanku ini, ayahnya sedang sakit dan bersedia ikut setelah aku menjelaskan rencanaku. Dan entah bagaimana kelanjutannya, saat sadar aku sudah ada di rumah sakit dengan perban di sana-sini.

Untukku, hari itu adalah kiamat. Ayahnya meninggal dan akulah penyebabnya, begitu pikirnya. Memang, dia masih bertahan di sampingku, dia tidak meninggalkanku, tetapi aku dimusuhi. Melihatku seperti melihat hama yang harus dibasmi, tapi hama ini sangat menyayanginya, hama ini sangat mencintainya.

'' Aku minta maaf, maafkan aku '' ujarku pelan. Matanya menusuk mataku, lalu dia beranjak dengan marah. '' tunggu! ''

Langkahnya tertahan, punggungnya berbalik dan menatap sinis padaku. Aku beranjak, derit kursi seperti hanya satu-satunya suara merdu di sini.
'' Aku tahu aku salah, tapi... '' kataku menggantung, kulihat rahangnya mengeras dan bibirnya terkatup rapat.

'' Tapi bisakah, bisakah kau mencintaiku lagi? Paling tidak, cintai ibumu sehari saja, anakku. Sehari saja... ''

(#15haringeblogFF)

Rabu, 18 Januari 2012

Masa Lalu, Tulisku

Jakarta, 19 Januari 2012
Untuk kamu, di sana

Selamat dini hari, malam berlalu terlalu cepat, bukan? Harusnya aku sudah lelap, tapi jari-jemariku memaksa menulis ini. Mencoba mengusir insomnia dengan memikirkan banyak kata untukmu, berharap kau suka saat membacanya nanti.
Aku sudah cukup menunggu hadirmu, sejak perpisahan kita, sejak terakhir senyum itu menyimpul nyata di depan mataku. Aku pikir, itu sudah lama sekali. Entah, mungkin sehariku bukan 24 jam lagi, tapi 33 jam. Lama sekali.

Kapan kamu pulang? Kapan kamu kembali? Kapan kamu menampakkan wujudmu di hadapanku lagi? Aku mulai rindu jabatan tanganmu, aku mulai menginginkan hangat kulitnya di kulitku. Kapan aku bisa merasakannya seperti dulu? Seperti saat kita belum benar-benar mengenal dia. Jangan paksa aku menyebut nama, kamu tahu persis berapa luka yang terbuka meski hanya menyebut namanya.

Dan malam sudah benar-benar berakhir, dini hari sudah tergantikan fajar. Aku masih ingin merangkai beberapa kata lagi, aku harap kamu belum bosan membacanya.
Jangan terpuruk karena salah di masa lalu kita, aku sudah memaafkanmu. Aku suka melihatmu merasa bersalah, dulu. Sekarang, aku lebih menyukaimu jika tak ada sinar sedih yang memancar, aku sangat membencinya.

Matahari di sini mulai meninggi, dan aku belum juga berniat mengakhiri suratku. Sudah bosan? :D
Lain waktu, boleh aku lanjutkan suratku? Melanjutkan kebosananmu dengan tulisanku, mungkin? Atau sekedar mengingatkanmu kalau amarahku sudah benar-benar musnah?
Baik-baik di sana, selamat pagi, selamat melepas dini hari.

Salam hangatku

Selasa, 17 Januari 2012

Sepucuk Surat (Bukan) Dariku

Tinggal satu lagi, sudah berapa jumlah untuk hari ini aku sendiri kurang tahu, aku bosan menghitungnya.

Kulangkahkan kaki ke sebuah rumah kecil di pinggiran desa, bertembok anyaman bambu dengan bangku kayu yang sudah rapuh di depannya. Ini yang terakhir, batinku.
Aku pernah melihat rumah ini semalam, hanya ada seorang wanita usia 50 tahunan, janda. Tubuhnya kurus, kulitnya hitam namun bersih. Tapi aku tidak terlalu jelas dengan wajahnya, hanya teringat rambut yang mulai memutih di kanan dan kiri kepalanya.

Ada seikat kayu bakar di samping rumah, mungkin dia masih menggunakan tungku untuk memasak, pikirku. Aku menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan dan mengetuk pintu kayu yang sudah lapuk. Sepi. Tidak ada yang menyahut. Perlahan, kubuka pintu tanpa handle itu. Decitnyapun sudah lemah, bukan jenis decitan pintu-pintu kokoh seperti layaknya sebuah pintu. Ada, itu dia wanita yang aku cari.

'' Kamu siapa? Ada perlu apa? '' tanyanya. Aku mendekat ke pembaringannya, hanya ranjang dari kayu dengan tikar dan sebuah bantal usang. Dia bersandar pada tembok bambunya, menutupi badan yang kedinginan dengan sarung biru berlubang di sana sini.

'' Saya membawa surat untuk Ibu, penting '' jawabku.

'' Surat? Dari siapa? Aku sudah tidak punya keluarga jauh lagi '' lanjutnya dengan wajah keheranan.

'' oh maaf, saya lupa. Ini tidak ditulis di atas kertas, jadi bukan surat, tapi pesan '', aku memegang tangan kurusnya, menatap dalam ke matanya yang layu. '' Ibu, hanya sampai hari ini.... Sebentar lagi ibu akan terbebas, ini hari terakhir ibu di dunia ''

Dia tersenyum tipis, '' Aku tahu, aku sudah menduganya. Terima kasih ''

Ini yang terakhir untuk hari ini, batinku. Entah nanti malam wajah siapa yang akan muncul dimimpiku, entah rumah siapa yang akan terlihat. Semoga aku masih berani mengabarkan maut kepada seseorang, semoga masih tersisa sedikit keberanian menyampaikan surat terakhirnya di dunia.

Ibu

Untuk Ibu...

Aku masih sama, belum bisa berbuat apa-apa, belum bisa membuatmu bangga. Tapi, aku masih anakmu, bukan?
Aku masih sama, masih seorang gadis kecil di depanmu, masih mengharapkan pelukmu meski tak pernah ada budaya saling peluk di antara kita. Selama aku masih hidup, kamu akan tetap menjadi anak kecil, katamu.

Aku tahu, Ibu. Aku memang tak akan menjadi dewasa di depanmu, aku akan terus bersembunyi di ketiakmu saat aku takut. Jadi aku memilih untuk pergi, untuk tidak seatap denganmu.
'' Gak mau ngerepotin '' jawabku pada setiap pertanyaan yang mengarah padaku. Aku ingin menjadi dewasa, Bu. Aku ingin menjauh dari ketiakmu sesekali, menghadapi ketakutanku sendiri, memecahkan masalahku tanpa bantuanmu. Aku ingin tidak menjadi gadis kecilmu sesekali, Ibu.

Aku masih sama, masih seorang anak kecil di depanmu, Ibu. Aku masih belum menjadi siapa-siapa, aku terlalu takut untuk jauh dari ketiakmu.
Aku ingin menjadi dewasa, dan aku rindu menjadi gadis kecilmu sekarang. Aku rindu suapan sendok plastik dan rayuanmu, aku rindu ancamanmu saat mandi menjadi momok menakutkan untukku. Aku rindu ada di hadapanmu, menjadi gadis kecilmu.

Aku masih sama, Ibu. Aku belum menjadi apa-apa, aku juga belum menjadi dewasa. Bedanya, rinduku kini mempunyai jarak, tempatku kini menjadi bumerang yang seringkali menyiksa saat mengingatmu. Ternyata aku masih gadis kecilmu yang dulu, Ibu. Masih seperti dulu. Masih ingin bersembunyi di ketiakmu.


*Untuk #30harimenulissuratcinta

Senin, 16 Januari 2012

Ada Dia Di Matamu

Hanya kita yang mengetahui, mungkin sebaiknya tidak ada orang lain, raga ataupun bayangannya.
Seharusnya memang tidak ada orang lain.

Malam mulai membisiki senyap, ada kamu didekatku, ada tubuhmu di dekapanku. Telingaku memang sepi, hanya degup jantungmu yang bersahut-sahutan dengan jantungku. Aku merasakannya, mendengarnya melalui pori dan juga kulitku. Dan telingaku seperti tuli, hanya hembusan nafas dari hidungmu yang samar berbisik. Ah, aku masih bisa mendengar ternyata.

Matanya terpejam dengan bulu mata lentik alami, kelopak menutupi sinar bening yang selalu menyorot dari dalam matanya. Aku menyukainya, menatapnya saat tertidur seperti melihat cinta, hingga aku sadar kalau itu sementara. Iya, hanya sampai dia terjaga sebentar lagi. Aku tak akan berusaha menebak bayangan lain selain wujudku di balik kelopak itu, aku sudah tahu.
Aku ingin sekali lupa, mungkin untuk sesaat saja, boleh?

Ada dia di matamu, ada masa lalu yang sengaja kau paku di langkahmu sampai detik ini.
Sampai denyut nadi ini, ini, lalu yang ini, juga yang ini. Hanya ada dia.

Kelopak mata itu menyamarkan topeng yang dipasang dengan cantik di pupil matanya, menutupi dusta, membiarkanku berilusi seolah telah memilikinya utuh. Membuatku mengira kalau hatinya tak pernah terbagi, mengira kalau angannya hanya terisikan aku.

Diamku adalah kelu karena terlanjur banyak mencintaimu, aku kalah, aku mengalah agar kamu selalu di sini; di sisiku.

(#15haringeblogFF #day6)

Hashtag Abuser

Untuk Kakak Jonathanend

Hai, Kakak atau Mas Jon. Sudah lembur hari ini? Aku bingung, Mas Jon. Tema surat cinta untuk Selebtwit benar-benar membuatku pusing tujuh keliling Stadion Gelora Bung Karno, capek, kan? Iya, daripada aku keliling dunia, ongkosnya pun gak ada juga Mas Jon. Mas Jon mau bayarin aku? Alhamdulillah.

Aku sebagai The Joni's yang masih setia membaca hashtag dan menemani Mas Jon nonton FTV, dengan senang hati menulis surat cinta ini spesial pakai telur dua untuk Mas Jon seorang. Sebenarnya Mas Jon gak lucu, hashtag Mas Jon-lah yang mampu mengubah dunia menjadi berwarna. Kalau di twitterku warnanya jadi ada birunya, pakai Web soalnya aku. Mas Jon, aku pada hashtagmu. Tiada hari tanpa hashtag Mas Jon, bagai air di daun talas, ada udang di balik batu, gajah dudukpun tak akan mampu menghalangiku. Lihat kan, Mas Jon? Aku jadi rada-rada karena follow Mas Jon, apel jatuh tak jauh dari pohon rambutan yang mas Jon tongkrongi, kenapa? karena mungkin dia latah. Jadi kalau aku gila, Mas Jon lah penyebabnya.

Sangat benar kalau ada yang bilang pacar Mas Jon cantik, Mas Jon juga.... Oke, ganteng. Dan fitnah kalau katanya Mas Jon mirip Joshua, Mas Jon itu mirip Vidi. Itu lho, yang suka Cherrybelle bilang '' Vidi.. Vidi.. Vidi '' sambil tengannya ditaruh di bawah dagu, gitu. Unyu, kan?
Mas Jon baik-baik, ya, di sana. Sehari saja gak baca hashtagmu, aku merasa lagi digantungin, galaunya lebih parah dari Aurel kalau dia lagi patah hati. Mas Jon harus tahu rasanya! Jangan sakit biar lembur jalan terus, aku The Joni's garis keras akan selalu mendukungmu. Dan menunggu update twittermu, kalau kata Charly ex-nya ST12, '' Yang penting aku padamu ''.

Regards
The Joni's sejati
Rara

Ps: Mas Jon sudah datang ke hotel bintang lima, di Bandung? Cuma mengingatkan.

Minggu, 15 Januari 2012

'' Jadilah Milikku, Mau? ''

Asap tipis mengepul dari mushroom soup yang baru dihidangkan di mangkuknya, hanya ada kami berdua di sini.

Di sebuah tempat makan di pinggiran Jakarta, kami saling menggenggam jemari dan sesekali memandang satu sama lain, kemudian terkekeh malu. Dia menyeruput mushroom soupnya dengan hati-hati, mencecap kemudian mengangguk yakin. Itu makanan kesukaannya dan hanya restoran ini yang bisa membuatnya puas mengenai rasa.

'' Hari ini kau cantik sekali '' kataku di tengah acara makan-makan kami. Dia melirik, lalu melanjutkan lagi mengaduk-aduk soupnya. '' Apa kau selalu terlihat secantik ini? '' godaku.

Dia menggeleng, menyeruput teh hijaunya lalu menghela nafas panjang. '' Jangan melucu '' jawabnya ketus.

Kugenggam telapak tangan kirinya, menatapnya lembut dan sedikit beranjak untuk mencium keningnya. Kutatap lagi mata itu, juga bibir yang masih terlihat menggoda. Entah, tapi selalu ada sinar yang memancar dari wajahnya. '' Jadilah milikku, mau? ''

Dia terkekeh lagi, menyangga dagunya menggunakan tangan kanan. Diam sejenak, memandang heran ke arahku, lalu tersenyum. '' Kau sudah tahu jawabannya, bukan? ''

'' Oh ya? Jawaban apa? '' pancingku, dia merengut lalu menarik tangan dari genggamanku. Ada raut kecewa di wajahnya yang kini berpaling ke luar jendela.

'' Yakin belum tahu? '' balasnya setelah mata kami kembali beradu, '' meski umur pernikahan kita sudah 26 tahun? '' diangkatnya tangan kanan sambil memainkan jari memerlihatkan cincin putih di jari manisnya. '' Kau sudah tua, Henry. Dan pikun ''

Aku tertawa kencang, sampai pengunjung lain menengok heran ke arah kami. Aku memang sudah tidak muda lagi, mungkin dia benar, aku sudah pikun.

'' jadilah milikku, setiap hari, di sisa hari tua kita, mau? ''

(#15haringeblogFF #day5)

Untuk Tukang Posku

Untuk Tukang Posku

Selamat pagi, aku menunggu sepedamu mampir ke rumahku, siang ini. Bawakan aku sepucuk surat dari seseorang, atau dari sahabat penaku seperti biasa. Sudah sebulan, bukan?
Dulu aku menyapamu tiap sore, berbincang sebentar menanyakan skor pertandingan bola tim kita masing-masing. Sudah sebulan, bukan? Apakabar Milan? Kau tahu aku hanya menonton Liga Inggris, kau juga tahu aku sering lupa jadwalnya dan kau dengan senang hati mengingatkanku, tapi...sudah sebulan.
Apakah seseorang lupa mengirimiku surat? Apakah sahabat penaku sudah lupa caranya menulis? Apakah kau baik-baik saja?

Ku kirim surat ini untukmu, untuk Tukang Posku. Ada alamat rumahmu di sisi depan amplopku, juga ada namaku di sana. Pernahkah seseorang mengirimimu surat? Seseorang yang rindu berbincang denganmu, sepertiku?

Tolong balas suratku dan antarkan sendiri ke rumahku, tanpa prangko, dengan tanganmu sendiri. Aku ingin melihat tulisanmu, yang pertama. Jadikan yang pertama karena aku akan membalasnya lagi, lalu kau akan punya alasan menulis untuk kedua, ketiga, keempat kalinya.

Semoga kau baik-baik saja.

Regards
Rara

Aku Mau Kamu, Titik!

Macet bukanlah teman baik, macet adalah alasan untuk waktu agar mencibir kita yang kehilangan detiknya, setiap hari.

Aku melirik wanita itu, terlelap tenang di kursi sebelahku. Jalan TB Simatupang tak pernah mau berdamai, ingin sekali kuteriaki setiap pengguna jalan di sana. Cepatlah, kami sedang terburu-buru!
Sudah hampir satu jam, dan hanya satu meter bergerak. Kalau saja pekerjaan mengharuskanku pindah, dengan senang hati aku akan menuruti. Papua, Kalimantan, Pulau Rote pun aku tak akan menolak.

Cepatlah, kami sedang terburu-buru.

'' Masih di sini-sini juga ternyata... '' suara lembut itu mengagetkanku, dia terbangun. Wajahnya sangat khawatir, aku tahu, senyumnya bukan senyum seperti biasa yang tiga tahun telah kami lewati.

'' Kok bangun, tidur lagi aja ya...nanti kamu capek '' ujarku sambil mengusap lengannya, dia mengangguk pelan lalu memejamkan matanya kembali. Lagu 'I'll Be Home For Christmas' mengalun pelan di radio, menenangkan, sekaligus menyedihkan ketika pandangan hanya dapat melihat riuh di jalan.

Cepatlah, kami sedang terburu-buru.

'' Kalau seandainya...''

'' Sstt... '' potongku, '' Semua akan baik-baik saja. Percayalah ''. Cepat, apa yang kalian lakukan di jalanan sesiangan ini, manusia? Aku terburu-buru, tolong...

'' Lepaskan aku '' lirihnya, aku menengok, melawan tatapannya yang sendu. '' Biarkan aku yang mengalah ''

'' Nggak, kamu harus tetap bersamaku. Bersama kami. Kita semua '' pandanganku kabur oleh airmata, akhirnya aku menangis, akhirnya kutumpahkan bulir itu di depannya. '' Aku mau kamu, titik! ''

Tangannya mengusap pipi kiriku, lalu turun menggenggam jemari di atas persneling.
Baru tujuh bulan, dan sebentar lagi kami akan mempunyai anak kembar. Antara anak dan istri, itu bukan pilihan. Itu pembunuhan, semuanya sama dengan kehilangan.

Prematur, lalu? Aku hanya melihatnya kesakitan, akankah hari ini? Inikah hari di mana aku akan kehilangannya?

'' Selamatkan mereka... '' lirihnya.

#15haringeblogFF #day4
Follow me @_raraa

Sabtu, 14 Januari 2012

Menunggu

Untuk orang yang belum terengkuh

Aku merindumu, merindukan seseorang yang aku belum tahu. Siapakah sebenarnya kamu?
Hari ini, seperti biasa, aku selalu punya waktu untuk memikirkanmu. Memikirkan bentuk wajahmu, memikirkan seberapa tinggi kamu di sebelahku.
Aku selalu punya sempat yang kuselipkan di antara detik-detik sibukku, mungkin semenit, atau satu jam melukiskan harap ingin bertemu.
Aku masih menunggu...
Ataukah aku berjalan saja? Aku yakin kamu benci melihat wanita yang terus berdiam diri. Menatap kosong ke udara, mengetuk-ketukan ujung sepatu ke tanah, mengumpat karena tidak sabar. Menunggumu. Haruskah aku beranjak mencarimu?
Tolong beri aku tanda, apapun. Agar aku tak salah mengenali, agar aku tahu kalau dia itu kamu.

Jaga dirimu baik-baik, saat kita bertemu nanti...aku ingin melihatmu tidak sedang terbaring di rumah sakit :)

Salam hangat

*untuk #30hariMenulisSuratCinta #day1

Jumat, 13 Januari 2012

'' Kamu Manis '' Kataku

Halte TransJakarta siang itu ramai, tidak seperti dugaanku. Hari minggu, bukan hari kantor, bukan after hour, bukan hari sabtu di mana beberapa jam lagi adalah malam minggu.

Kutebar pandanganku ke seluruh sudut halte, ke setiap wajah di sana, tapi tidak...tidak ada sosok yang ingin kutemui hari itu. Yakin dengan kedua mataku, kuputuskan untuk duduk, menunggu, bersiap menangkap kilatan mata seorang teman lama. Entah masih bisa kukenali atau tidak, sudah enam tahun sejak kelulusan saat kami bersekolah di sekolah menengah pertama dulu. Dulu sekali.

Itu dia, jeans hitam dan kaus berwarna biru tua. Rambutnya tidak lagi sepunggung dan dikuncir ekor kuda, rambutnya kini sebahu dengan poni menutupi dahi. Aku berdiri menyambutnya, memaku pandangan pada matanya yang masih mencari.
Senyumnya merekah saat mata kami bertemu di satu titik, dan membuatku menjadi sedikit gugup.

'' Henry? '' tanyanya, aku tersenyum lagi. Bahkan sudah bisa dihitung tertawa saking lebarnya. '' hei, kamu tinggi banget sekarang ''

'' Lama tak jumpa, Kirana '' kujabat tangan yang dulu mungil dan kurus, '' kamu manis '' kataku. Kata-kata pertamaku, dan membuatku kaget dengan ucapanku sendiri. Dia terbahak, sedang aku sibuk menyembunyikan malu di wajahku.

****

Bibirnya tak pernah berhenti tersenyum, menceritakan lagi masa-masa sekolah dan itu membuat kami seperti mundur enam tahun dari umur hari ini.

'' Mau jadi pacarku? '' iya, kalimat memalukan lain. Refleks. Membuatku ingin mati detik itu juga. Matanya membesar, alis kirinya naik, lalu dia menggeleng heran sambil menyimpulkan senyum.
Sudah kepalang tanggung, pikirku. Maju, atau malu. Memang terlalu pagi, tapi enam tahun lalu--selama tiga tahun, aku belajar bersamanya, mengamatinya, menerima jawaban ' Tidak ' berkali-kali saat meminta contekan darinya. Aku masih bisa melihat sisa-sisa ketegasan enam tahun lalu, rahang serta sorot mata yang tajam. Sorot yang selalu kuhindari ketika tak sengaja dia menatapku.

'' Secepat ini? '' tanyanya sambil menggeser gelas orange juice di depannya.

'' Secepat tiga tahun masa sekolah kita, secepat degup jantungku sekarang. Dengar, kamu memang bukan wanita satu-satunya setelah kita lulus...tapi kesempatan ini baru datang setelah enam tahun. Aku pantas menanyakannya, bukan? ''

Dia tertawa renyah, kepalanya masih menggeleng tak percaya, tetapi pipinya bersemu merah dan mulai dia menghindari tatapanku.

'' Apa kamu selalu terus terang mengenai perasaanmu, Henry? '' godanya.

'' Iya. Denganmu ''

-

(tantangan #15haringeblogFF #day3)
Follow me @_raraa

Kamis, 12 Januari 2012

Dag Dig Dug

Kudekap tubuhnya di atas ranjang besi bersprei putih bersih, di dalam sebuah ruangan, di tempat yang paling aku benci: Rumah sakit.

Kami berjejal di atasnya, ranjang itu harusnya hanya untuk pasien, tidak termasuk calon suaminya. Di luar hujan, jendela kaca berembun dengan air yang terus mengguyur di sisi luarnya. Vertikal. Tak berjeda.
Erat sekali, tangan kirinya memeluk pinggangku, sedang kepalanya bersandar di bahu--lebih ke menepelkannya di leher. Sudah seminggu, dan pernikahan kami tinggal dua bulan lagi.

'' Jantungmu bagus, detaknya stabil. Dag...dig...dug... '' katanya kemarin, dengan posisi yang sama seperti hari ini. Iya, tapi tidak dengan jantungmu, batinku.

Dia bisa saja tiba-tiba terjatuh, jantungnya bisa saja terhenti seketika, dan aku bisa kehilangan dia kapanpun. Ini tidak adil, kami baru ingin membentuk keluarga, kami sudah berencana punya banyak anak untuk rumah kami, dan kami sudah berangan menjadi tua bersama. Kenapa?
Perutku serasa diperas dan dipelintir mengetahuinya, jantung di dalam dada sebelah kiri calon istriku lemah. Lalu sampai kapan dia bertahan? Tidak ada yang tahu, dokter bukanlah Tuhan, dia juga manusia, bukan?

Pelukannya mengendur, kepalanya terangkat sedikit. Dia menatapku, menatap airmataku.

'' Kamu menangis, lagi '' katanya dengan nada mengeluh. '' kamu itu laki-laki ''

Aku tersenyum, tapi hatiku tercabik melihat tidak sedikitpun terlukis kesedihan di raut wajahnya. Kutahan bibirku yang masih bergetar, ku tangkup wajah itu dengan kedua telapak tangan. Menatap dalam mata coklat tua bening, mengusap pipinya dengan ibu jari perlahan.
'' Boleh aku minta tolong padamu? '' tanyaku, dia mengangguk, dia bahkan tersenyum. Dia masih bisa tersenyum.

'' Kirana, katakan pada jantungmu...berdetaklah, berdetaklah untukku ''

-
(Tantangan #15haringeblogFF #day2.)

Rabu, 11 Januari 2012

'' Halo, Siapa Namamu? ''

Aku menatap langit-langit kamar tidurku, ini malam ketujuh. Aku masih belum percaya dapat memilikinya, memiliki rumah ini.

Jam dinding di tembok di atas cermin menunjukan pukul dua dini hari, aku paku pandanganku pada jarum yang terus bergerak. Berputar, kembali lagi, statis. Lantai kayu yang dingin sempat membuatku malas beranjak; kalau saja mengisi perut itu tidak penting. Sejak siang memang tidak ada makanan yang masuk selain keripik kentang di mobil, terlalu sibuk. Alasan klasik.

Langkahku terhenti di ruang makan, menyipitkan mata berusaha melawan cahaya lampu yang benderang memedihkan.

'' Oh, kau juga lapar? '' tanyaku sambil membuka kulkas, mengambil selai cokelat dan meletakannya di meja. Aku tarik kursi tepat di sebelahnya duduk, mengambil roti dan mulai mengoles selai. Kulirik kopi di cangkirnya diam-diam, setengah kosong, pikirku.

'' Kau aneh sekali... '' lanjutku padanya, '' bukannya kopi hanya akan membuatmu insomnia? ''.

Dia menengok ke arahku, dari sudut mataku terlihat dia tersenyum yang membuat wajahnya aneh. Dengan wajah setampan itu, dia akan lebih menawan kalau tidak tersenyum lebar seperti anak-anak. Selama kepindahanku, dialah yang tak pernah absen menemaniku. Berdua di dalam rumah yang lumayan besar ini kadang terasa kurang, harusnya ada banyak keluargaku di sini.

'' Kau pasti pernah bertemu mereka '' aku menunjuk foto keluarga di meja yang penuh hiasan-hiasan kecil. '' Mereka semua--kecuali aku, sudah meninggal. Kecelakaan. ''

Kutelan kunyahan roti terakhir, menghela nafas dan membuang semua kesedihan yang tiba-tiba menyeruak memenuhi dada.
Menggiring airmata memenuhi kelenjarnya.
'' Terima kasih telah menerimaku di sini, tapi sepertinya ada yang terlupa...'' aku menoleh padanya, menunggu dia membalas tatapanku. '' Halo, siapa namamu? ''

Dia menoleh, menatapku dengan mata kosongnya, dan... Hilang.

(Tantangan #15haringeblogFF)
Day #1

Talking About Myself : Two Worlds

Lagi, bicara tentang diri sendiri. Tadinya cuma iseng, tapi kepancing juga pengen nulis lebih panjang dari sekedar 140 karakter.

Awalnya, gue ngomongin tentang teman dunia maya. Ujung-ujungnya kepikiran juga kalau gue gak pernah kasih tau Id Twitter gue ke teman dunia nyata, sederhana sih; pengen punya dunia yang orang sama sekali gak kenal gue siapa. Dan Twitter tempat yang tepat, gue bisa milih siapapun buat jadi temen, juga milih tombol 'Block' untuk siapapun juga.

Di sini dua dunia terbentuk, jelas banget gue memberi batasan pada dunia-dunia itu. Gue punya dunia nyata, dan dunia maya.
Dunia nyata adalah realita yang sedang gue jalani, gue kerjakan dan kenyataan yang gak bisa dihindari. Gue di dunia nyata adalah raga utuh; sebagai anak, sebagai teman, sebagai pekerja, sebagai manusia.
Sedang di dunia maya, gue hanya berbentuk tulisan dan foto kecil (narsis). Tapi, dalam tulisan-tulisan itulah gue muncul dengan sisi-sisi lain. Sisi yang gak pernah ada di dunia nyata, sisi yang gak mungkin diperlihatkan pada orang-orang di sana.

Sebut gue katak, kura-kura ataupun buaya karena dua dunia tersebut. Gue punya realita yang harus dijalani tanpa bisa sign out beberapa jam, ada kehidupan nyata, ada bumi yang terus berputar dan dipijak. Ibaratnya gue udah kecebur, kepalang basah, dan sedang mempertahankan diri biar gak mati tenggelam.
Tapi sekarang gue punya dunia baru; dunia maya, dunia yang bernyawa dari koneksi internet dan pulsa tentunya. Dunia lain seperti wujud daratan tempat gue duduk nanti, tempat gue berdiri tanpa takut mati tenggelam. Gue bertemu teman baru, guru baru, orang-orang optimis, dan menemukan mimpi.

Gue belajar untuk punya tujuan dari sebuah perjalanan, menikmati proses, bertahan, juga belajar menghadapi pesimisme--ketidak-mungkinan. Bahwa selalu ada jalan untuk siapa yang mencari. Gue bisa bermimpi, dan gue akan cari cara untuk segera terjaga dan menggapainya.

Gagal dan berhasil adalah milik orang-orang yang mencoba.

Gue bukan bermuka dua, hanya saja terlalu banyak sisi yang sulit mencampurnya menjadi satu adonan.
Gue adalah seorang pendiam di dunia nyata, sebagian orang lebih suka menyebut 'Sombong' karena (mungkin) wajah yang serius; cara berjalan yang terburu-buru; ataupun pelit bicara dan senyum. FYI aja, selain tempo bicara gue yang kecepetan, juga karena gue terlahir sebagai 'Listener' sejati.
Dunia maya? Jangan tanya. 'Petakilan' adalah kata yang pas, bisa dibilang sisi malu-maluin gue ada dalam paket lengkap. Tapi lagi-lagi, gue punya mimpi. Gue punya hal yang membuat gue hidup. Menulis.

Jadi para makhluk dunia nyata, ada banyak keriaan yang gak pernah kalian lihat.
Dan para penghuni dunia maya, jangan berekspektasi terlalu tinggi. I'm not that humble, diem-diem gue sedang berguru ke kalian. Thank you, for a lot of lessons you gave. Guys, you are the great teachers with no salary :D

Untuk semua : terima kasih masih setia, masih ada buat gue dengan segala ketertutupan; dengan segala rahasia; dengan semua tingkah menyebalkan gue. There's nothing i can say, but thank you. Thank you very much.

Selasa, 10 Januari 2012

Adanya

Matahari meredup lagi pagi ini, tidak kah kau lihat itu, kawan? Mendung kembali bergelayut pada langit, tidak kah kau merasakannya? Hawa dingin menyelimuti kulit kita, dingin pagi di pinggiran kota Jakarta.

Langkahmu tak sedikitpun melambat, tidak kah kau lelah? Aku meruntut jejakmu di belakang, punggungmu tak sesentipun terbungkuk, tidak kah berat beban di bahumu?

Nafasmu tersengal, aku membalas senyum saat wajahmu menoleh. Kehilangan teman berjalan, kawan? Melihatku memperhatikanmu? Ada kilas lain menghampiri matamu, ada seberkas titik cahaya di pupilnya. Katakanlah, aku tahu mimik wajah itu, pasti ada sesuatu.

Lenganmu mengapitku, menarik langkah malas yang masih kunikmati.
'' Aku akan pindah ke Kalimantan '' ujarmu tiba-tiba.

Aku tahu, kawan, pasti ada sesuatu.

-

Jejak Kecil

Angin dingin semilir di tengah bulan Januari, fajar sudah merekah.

Aku melangkahkan kaki perlahan, menghindari genangan sisa air hujan semalam. Ada jejak sandal-sandal beralas tanah, di pinggir sebelah kiri, di jalan yang sedang kulalui.
Jejak kecil, pikirku. Mungkin dia baru tujuh tahun, mungkin dengan payung besar yang hampir menutupi seluruh badannya.
Jejaknya masih ada, dia berusaha membersihkan alas kakinya dengan menggosok-gosokkannya. Aku lihat itu, garis panjang akibat gesekan aspal dan sandal berlumpur. Aku juga sering melakukannya, seperti sedang bermain ice skating dengan sandal jepit dan lumpur sebagai pengganti lapisan es. Menyenangkan sekali.

Jejaknya menghilang, sandalnya sudah bersih, pikirku lagi. Di sini, mungkin dia berjalan perlahan; ada sampah memenuhi jalan; gotnya meluap. Mungkin juga angin yang menciutkan nyalinya, atau petir yang memaksanya berdoa. Anak kecil selalu punya alasan untuk bertemu hujan, selalu ada cara keluar dari rumah. Atau... Selalu ada keberanian untuk berhadapan dengan alam demi sesuatu. Sesuatu yang sangat dia atau orang lain ingini. Mungkin.

Aku kehilangan jejaknya, matahari kian meninggi, hangatnya sedikit mengobati gigil di balik kemejaku. Ku langkahkan kaki lebih cepat, angin bulan Januari sedang tidak bersahabat dengan tubuh. Mungkin juga karena usia, iya, aku bukan masih tujuh tahun yang berani melawan angin; aku adalah umurnya dikalikan tiga.

-

Minggu, 08 Januari 2012

Hilang Sehelai

Tangannya menyisir helaian-helaian hitam di kepalanya, matanya kosong dan mulutnya tak berhenti menggumam.

'' Apa aku sakit? '' tanyanya pada seseorang yang berada di sampingnya. Sembari mengangkat tinggi sebelah tangan, dia menunjukan helaian rambut yang terbawa saat menyisir. '' Apa aku sakit? '' ulangnya.

Matanya tertuju pada rambut hitam panjang itu, meniupnya pelan, berulang-ulang. '' Kamu mau coba-coba meninggalkanku? Kamu mau pergi dariku? ''
Disimpannya semua ke dalam saku atasan baju biru muda yang dikenakannya, badannya menunduk dalam mencari sisa rambut yang terjatuh di sekitar telapak kaki yang telanjang.

'' Kembali, jangan tinggalkan aku sendirian... '' gumamnya, kini tangannya meremas saku dengan kencang, seperti tak ingin ada yang tercecer. Seperti tak ingin kehilangan lagi. '' Tinggal, tetap tinggal. Aku memang jahat, aku jahat. Tapi, jangan pergi, anakku ''

Badannya melantai dan menggigil, matanya mengerjap ketakutan, dan tangannya menarik-narik rambut dengan kasar. '' Ibu yang salah, anakku. Ibu yang salah, bawa ibu pulang... Ibu tidak sakit ''

Perempuan muda di sampingnya dengan sabar mengajaknya bicara, meskipun memang sia-sia. Dipapahnya tubuh tua yang gemetaran, wajah keibuan, juga rambut yang masih hitam legam seperti dulu. Hanya matanya yang terlihat rapuh, selalu berair, selalu ketakutan. Matanya penuh dengan penyesalan.

'' Ibu memang salah, Henry. Bawa ibu pulang, anakku... '' racaunya. Perempuan itu tersenyum, lalu menyuapkan butiran obat terakhirnya untuk hari ini.

-

Jumat, 06 Januari 2012

Isakmu

Kepalanya tertunduk dalam, setetes airmata tampak jatuh ke atas lengan kurusnya. Ada sengguk yang coba diredam, ada sakit yang sekuat tenaga dipendam.

Kepalanya terantuk-antuk di depan meja kerjanya, kursi kerjanya sesekali berdecit menahan tubuh yang sedang tersedu. Diusapnya airmata yang semakin deras, kemudian kepala itu menegak memerlihatkan wajah sembab. Matanya semerah darah, hidungnya bak jambu air.

'' Henry, cepat mandi dan tukar bajumu. Tamu-tamu sudah terlalu lama menunggu...'' wanita itu tampak seperti malaikat, wajah keibuan, tutur katanya seperti motivator yang menenangkan. Melongokkan kepala dari pintu yang dibuka sesuai ukuran kepala dan mengingatkan anak laki-lakinya untuk bergegas.

Dengan malas, diseretnya langkah menuju lemari pakaian. Lalu mematung, memandang lipatan baju nan rapi di setiap raknya. Ditariknya celana bahan warna hitam dengan kasar hingga satu tumpukan itu menyeruak keluar, lalu menyambar kemeja putih bersih sekuat tenaga, hingga penggantungnya patah.

Aku masih mendengar tangis dari dalam kamar mandi, juga suara barang-barang berjatuhan. Dia sangat marah kali ini, pikirku. Aku masih menunggunya di pinggir tempat tidur, dengan wajah memelas sama seperti saat aku ingin meminta maaf karena telah bersalah padanya.

Dia keluar, dengan mengenakan celana hitam dan kemeja putih bersih. Handuknya langsung dilempar ke tempat tidur nyaris mengenai wajahku, lalu berjalan ke meja rias yang penuh dengan kosmetikku.
'' Aku minta maaf '' ujarku sambil beranjak mendekatinya, '' maafkanlah aku ''

'' Kenapa? '' dia menangis, tangannya berpegangan pada pinggiran meja sambil menatap cermin, terkepal, dan... PRANGG!!
Dia meninju cermin sampai pecah berceceran, tangannya berdarah tapi sepertinya dia tidak sedikitpun peduli.

'' Maafkan aku, tolong jangan siksa dirimu sendiri...tolong ''

Dia terduduk di bangku segi empat itu, meraih foto pernikahan kami dan memeluknya. Derai air mata tak kunjung reda, isaknya kian menjadi sambil terus memanggil-manggil namaku. Dan aku, hanya bisa memandang tanpa bisa menyentuhnya. Tanganku selalu gagal membelai rambutnya, sekarang aku bahkan bisa menembus badannya saat aku ingin sekali memeluknya.

Ibumu pencemburu, dia yang memberi barang itu untukku. Katanya itu vitamin, katanya aku tidak akan lemas lagi setelah meminumnya. Aku tak pernah menduga itu obat insomnia, obat tidur. '' Minumlah, ini baik untuk kesehatanmu '' katanya.
Aku mulai mengantuk, aku ingat aku tidur di kamar ini, di kamar kita. Dan ketika aku terbangun, seperti ada yang berbeda. Tubuhku menjadi ringan, dan aku bisa melihat wajah pucatku di atas tempat tidur kita.
Aku mati.

Aku menyesal, aku ingin meminta maaf untuk kebodohanku percaya dengan omongan ibumu. Aku belum sempat memelukmu, aku masih ingin ada di sampingmu. Menjadi ibu dari anak-anakmu kelak. Sungguh.

Dia beranjak, mengusap luka dengan tissue dan menghilang di balik pintu tanpa menoleh lagi.

Kamis, 05 Januari 2012

Sekolah Tuhan

Hujan-Mu masih gemertik di atas pelindung tidurku, sedari siang aku selalu bertemu air. Bumi pasti menyukainya, seperti aku menyukai senja-Mu.

Aku ingin berkeluh-kesah, Tuhan. Engkau tahu umat-Mu yang satu ini pelit bicara, mengeluh dalam doa saja aku malas. Adakah kotak surat di sana? Aku akan menuliskannya dengan senang hati untuk-Mu. Engkau tidak pernah tidur, dapatkah Engkau melihat keresahanku dalam banyak keresahan umat-Mu? Dapatkah melihat manusia kecil dengan tahi lalat di tangan kiri, ini?

Pagi ini, lagi-lagi Kau mengujiku. Pagi yang kering, bahkan mendung belum beranjak dari mimpinya. Aku mengaku rapuh, aku mengaku lemah, aku tidak lebih tangguh dari cobaan-Mu. Salahkah aku, Tuhan? Salahkah jika aku mengikuti mau-Mu? Salahkah jika aku berkata sebenarnya?

Kau ajarkan tentang kejujuran, aku belajar melakukan ajaran-Mu. Tapi Kau melihatnya, bukan? Kau mendengarnya, bukan? Pagi ini ujian-Mu membuatku takut berkata jujur, pagi ini cobaan-Mu membuatku ingin belajar berbohong.
Engkau tidak tuli, sakitkah Engkau mendengar kata-katanya? Aku merasakannya, Tuhan. Sakit sekali.
Kenapa seperti ini? Kenapa sesakit ini?

Aku ingin menangis, aku ingin membela diri. Tapi Kau tahu 'kan, Tuhan? Sama sekali tidak berguna, aku yang salah. Aku selalu salah. Aku goblok, aku tidak memakai otakku. Jadi, semuanya memang salahku. Benarkah begitu, Tuhan? Pastilah aku murid terbodoh dalam 'Sekolah'-Mu, pastilah banyak warna merah pada raporku.

Sudah berapa kali aku tinggal kelas, Tuhan? Ujian-Mu selalu mematikanku, cobaan-Mu membuatku lemah. Pasti ada pelajaran yang terlewat, bisa Kau ulangi bagian itu? Agar aku lebih kuat, agar aku cepat naik kelas.

Kau tidak akan pernah meninggalkanku sendirian, 'kan? Jangan pernah berkedip saat mengawasiku, Tuhan. Aku manusia kecil dengan tahi lalat di tangan kiri, jangan pernah lepaskan genggaman-Mu dari tanganku. Aku membutuhkannya.

-

Rabu, 04 Januari 2012

Lukisanmu Kelabu

Senjaku sedang dirundung kelabu, siluet-siluet tentangmu memudar. Ada kisah di balik senja berkabut, ada tawa dalam hangat sore, juga ada tangis dalam lukisan awan.

Ini tentangmu, tentang rasaku, tentang bukan dua orang yang tak sengaja bertemu. Bunga-bunga dalam perutku menggeliat, orang bilang itu kupu-kupu. Tapi, bukankah hidup kupu-kupu hanya sebentar?
Serasa hanya ada dirimu, seperti alunan melodi paling merdu di muka bumi. Dulu.

Mungkin ini hanya tentang perasaanku, hal yang kamu tak pernah miliki untukku. Tentang gejolak yang menggelitik akal sehat, tentang angan-angan menyesatkan. Ah, omong kosong!

Senjaku memang sedang kelabu, jinggaku memucat. Angin menerbangkan semua garis-garis senyum wajahmu, dan hanya tertinggal arsiran bayang awan saja. Bisa ku ulangi melukis, mungkin Tuhan bersedia membantu? Mungkin ada awalan baru, atau beri saja aku sketsa wajah pilihan-Mu. Aku akan warnai dengan warna senja, jingga.

-

Selasa, 03 Januari 2012

Masih Tertidur

Kubuka pintu kamarku perlahan, suara decit engselnya memang sudah sangat mengganggu tapi selalu lupa diperbaiki. Nampan berisi nasi goreng buatanku dan segelas susu cokelat kesukaannya tertata rapi di atas sebuah nampan, dia pasti menyukainya.

Kamar masih gelap, tirai berwarna cokelat tua itu menutupi sinar matahari pagi. Pantaslah dia masih betah bermimpi, kamar ini memang terlalu nyaman untuk menahannya tetap tertidur. Aku letakkan nampan di atas meja, mematikan lampu kecil dan memencet remote AC.
Matanya tertutup rapat, rambut hitam panjangnya bahkan tidak berantakan sepertiku saat bangun tidur. Ku kecup keningnya pelan, lalu kupagut bibir keringnya. Dia tidak juga terbangun.

Selimut tebal bermotif bunga krisan melekat pada tubuhnya, hati-hati aku singkap hingga kaki jenjangnya terlihat. Gaun warna merah menyala masih dikenakannya, kalung mutiara putih dan anting bermatakan permata kecil juga tidak dilepas. Dia begitu cantik, dia tahu aku menyukainya.

'' Cantik, bangunlah...'' bisikku pada telinganya. Hening. Seingatku, semalam dia sudah tidur saat aku pulang kantor. Lelah kah, dia?
'' Kamu pucat sekali, sayang... Kamu sakit? '' aku tempelkan punggung telapak tanganku di dahinya, tidak panas. Aneh. Mungkin dia kurang vitamin, dia membenci sayur dan buah-buahan. Menjijikan, katanya.

''Henry, sampai kapan kau mau berbicara pada jasad istrimu? Cepatlah, Ibu tunggu kau di meja makan '' suara itu muncul dari arah pintu, Ibuku.

'' Iya, Bu. Sebentar aku pamit dulu sama istriku..'' jawabku. Ku tatap lagi wajah pucat itu, ku belai seperti saat pertama dia menerimaku sebagai kekasihnya. Masih sama, tidak...seperti ada yang kurang. Memang benar, dia harus pakai lipstick, iya, perona bibir. Warna merah menyala, seperti gaunmu yang juga warna kesukaanku.
'' Kamu cantik sekali '' ku kecup lagi bibir itu, menyalakan kembali pendingin ruangan lalu menyemprotkan parfum padanya. Parfum favoritnya. '' Selamat tidur, mimpi yang indah. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu ''

Pintu kembali berdecit saat aku menutupnya, ku longokkan kepala sebelum pintu benar-benar tertutup. Kakinya indah sekali.

-

Senin, 02 Januari 2012

Hidden Slide

Klien-klien penting sudah duduk mengelilingi meja kaca persegi panjang dengan tatapan yang sulit ditafsirkan. Layar besar untuk gambar sudah siap sebelum aku sampai, dan dari luar ruangan, Henry serius mengawasi. Hanya dibatasi kaca dia mengucap sesuatu yang aku yakini sebagai 'Good luck', sayang bukan pacarku.

Kegugupanku bukan tanpa sebab, selain klien yang penting--maka tidak boleh ada satu kekuranganpun, juga karena Inggit--rekanku yang menyiapkan materi dari ide-ide di otak kami, sakit. Hanya separuh materi selesai dan dengan sepihak mengoper finishing ke Henry, bahkan dia tidak pernah brainstorming tentang detail dari proyek ini. Mati!

''Oke, selamat siang. Mari kita mulai...'' akhirnya kata-kata itu keluar, sambil memberi aba-aba pada Dani--rekan yang dipaksa menjadi asisten--untuk membagikan desain kasar sebelum aku mulai menjelaskan. ''Desain-desain yang sudah ada di kertas tersebut masih kasar, belum 100 % bulat. Jadi, masih sangat bisa diubah. Tapi kami mengajukan ini sebagai ide terbaik yang kami punya untuk gedung yang akan dibangun.''

aku menunggu sejenak, memberi waktu untuk mereka membuka-buka kertas penuh garis dan warna di atasnya. Di luar, Henry tampak santai, cowok incaran satu kantor itu memang dambaan cewek-cewek normal.
Tapi, dialah yang pertama kubunuh kalau klien menolak desain kami hanya karena finishingnya mengecewakan.
''Saya akan jelaskan satu-persatu, mungkin akan lebih mudah jika gambarnya lebih besar''. Aku mengangguk ke arah Dani, laptop di depannya sudah tersambung pada layar besar di belakangku. Sementara aku menjelaskan, mereka akan melihat detail yang tidak bisa dilihat di atas kertas.

Tanpa menoleh aku mulai dengan gambar pertama, tampak gedung bergaya Eropa, mencatut bagunan tua belanda yang dikembangkan hingga terlihat lebih modern. Artistik dan modern. Kemudian, disusul dengan gambar interior sampai dengan desain basement untuk parkir.
Itulah, yang ada di kertas masing-masing termasuk kertas di tanganku. Bedanya aku punya materi lebih untuk menjelaskan selain apa yang sudah tersimpan di otak.

''Maaf, anda yakin desain itu yang diajukan?'' suara itu memecah konsentrasiku, hampir saja gagap karena belum siap menerima pertanyaan.

''Benar sekali, Pak Radi. Seperti yang sudah anda lihat di kertas, gambar-gambar di belakang saya ini menjadi penyempurna--'' tapi sebelum perkataanku selesai, Pak Radi beranjak dan pamit keluar. Mampus gue!
Terlihat Henry menahannya di luar, menangkupkan dua tangan seperti meminta maaf dan menunjuk koridor yang mengarah ke pintu keluar.
''Kalian, benahi semuanya dan ikut saya keluar dari ruangan ini'' Ujar Pak Radi setelah masuk kembali ke ruangan, tanpa ba-bi-bu tiga orang rekannya mengikuti dari belakang lalu pergi dengan Henry. Ah, tamatlah riwayatku.

Aku bertukar pandang dengan Dani, dia melemparkan ponselnya ke atas meja dengan wajah tak lebih baik dari wajahku yang sudah pucat. ''Ada yang salah dengan desain gue, ya Dan?'' tanyaku. Aku bolak-balik lagi kertas di atas meja dan menurutku itu sempurna. ''Ini semua sesuai dengan permintaan pas meeting padahal''

Henry masuk ke ruangan dengan senyum khasnya, aku sendiri masih gemetar karena penolakan desain tadi--yang juga dikerjakannya. ''Gimana?'' tanyanya dengan santai, andai dia bukan seniorku--dan ganteng, pasti sudah ku cabik mukanya. ''Kamu dapet ide itu dari mana, sih?''.
Aku diam terduduk di kursiku, keterkejutanku masih menguasai tampaknya. ''Gak tau...'' jawabku pelan, seperti ingin mati. Aku buka lagi lembaran-lemabarn di depanku, tidak ada yang salah. Lalu aku menarik laptop Dani untuk memastikan.
''Pasti ada yang salah, gak mungk..in.. Ini, ini apa?'' tatapanku langsung mengarah ke Dani begitu gambar-gambar di laptop muncul memenuhi mata. ''YA TUHAN, DANI, INI APA?''.

Dani mematung dan jarinya menunjuk ke arah Henry yang bersender di pinggiran meja di sebelah kananku. Cepat ku lemparkan pandanganku ke arahnya, dia tersenyum. Ini apa maksudnya?
''Mas, Mas gak bermaksud buat nyingkirin saya dari kantor ini dengan cara kotor, kan?'' tuduhku, lagi-lagi harus ku tahan amarah mengingat dia adalah senior. ''Mas mau saya dipecat gara-gara ini?''

''Pak Radi gak pulang, beliau ada di ruang meeting sebelah. Dan...'' tanpa mengubah ekspresi dia memperlihatkan layar Blackberrynya ''Inggit bilang, desain kamu diterima. Pak Radi puas sama hasil kerja kalian''

''Tapi apa maksudnya mengubah gambarku dan memindahkan klien ke ruangan sebelah? Inggit bukannya lagi sakit? Dan, Dani, kenapa lu biarin gambar-gambar itu muncul?''

''Biar aku yang jelasin...'' potong henry, dia memutar kursiku sampai menghadap layar besar di depan. Mengangguk pada Dani, lalu terkuaklah semua. ''Kamu tau ini gambar apa? Eh, maaf, maksudnya foto apa?'' ujarnya melihat gambar kedua setelah gedung desainku. ''iya, ini gambar gereja. Next...'' gambar berganti menjadi rupa altar dengan bunga-bunga putih yang indah. ''Ini altar, lalu..''

Dan muncul lah banyak foto sudut-sudut gereja yang sudah dihiasi bunga, gereja berukuran sedang dengan interior menakjubkan. Ketika aku memutar kembali kursi berniat protes, Henry sudah berlutut di depanku, membawa kotak kecil biru tua yang sudah terbuka.

''Maafkan ulahku dan sekutuku...'' dia mengerling ke arah Dani, ''Maukah kamu berlutut di altar itu bersamaku? Maukah, kamu bersumpah di depan-Nya untuk menemaniku sampai aku mati?'' dia menarik nafas dalam ''I used to love you, Kirana. Will you marry me?''

-Requested by @adit_adit (sungkem pada guru)