Sabtu, 31 Maret 2012

Tak Apa, Ra...

Mungkin tak apa sedikit menangis.
Kamu juga manusia biasa.
Toh, air mata diciptakan dengan alasan.
Benar, tak apa kalau kamu ingin menangis.
Dadamu sudah sesak sejak lama, bukan?
Rahangmu sudah mengeras, entah sejak kapan.
Bibirmu terkatup menahan semua amarah dan kecewa, benar?
Menangislah...
Menangislah...
Tuhan tak akan menghukum tangisanmu.
Dia tak akan menghitungnya sebagai dosa.

Menangislah...kamu hanya manusia biasa.

Untuk kali ini saja, izinkan air matamu menyapa bumi.
Jangan memaksanya agar terus tersembunyi.
Jangan berkata kalau dia tidak ada.
Jangan mengelak kalau kamu sebenarnya menginginkannya.

Menangislah.
Menangislah, Ra.
Tangisan bukan dosa, tangisan milik semua makhluk-Nya.
Kamu sudah lelah, bukan?
Kamu tak mampu lagi menyembunyikannya.
Kamu harus menangis sekarang juga.

Tolong, menangislah...
Jangan siksa batinmu hanya karena ingin melihat orang lain terus tertawa.
Mereka tak akan pergi hanya karena air mata.
Mereka tak akan menghilang begitu saja.

Jadi menangislah...
Menangis seperti saat kamu sedang berada di titik paling lemah hidupmu.
Tak ada yang membantu.
Tak ada yang mengulurkan tangan.
Tak ada pegangan.
Menangislah...

Sudah, tak perlu malu. Malu hanya boleh dirasakan saat kamu gagal tanpa berusaha, saat kamu enggan mencoba.

Menangislah, Ra...
Menangislah sesekali.
Menangislah hari ini.
Satu kali saja, beri tahu bumi kalau kamu manusia biasa...
Menangislah....

Rapuh

Ada hal-hal yang tak perlu ditampakkan wujudnya; kelemahan, rasa sakit, kemarahan, kesedihan...

Ada rapuh yang sudah sekuat hati disembunyikan, dipendam, disamarkan dengan wajah dan tingkah seperti orang paling kuat. Namun, ada titik paling rawan untuk bisa melihat kalau semua penampakan tentang keteguhan hanyalah pura-pura.

Aku merasakannya. Kerapuhan yang dimiliki dan disembunyikan dengan keyakinan bahwa 'Hei, gue kuat. Ini cuma hal kecil.' Setiap orang mungkin pernah mempunyai keyakinan itu, dan beberapa orang di antaranya pernah gugur setelah sekian lama meyakininya.

Aku sudah runtuh beberapa kali, kerapuhan yang ditutupi, kemarahan yang pelan ditiup agar mati...nyatanya hanya terakumulasi. Terkumpul, dan bersiap memuntahkan semuanya di satu waktu.

Tapi aku sudah sekuat tenaga berusaha menahannya, mengabaikan semua amarah, menguatkan diri dan tersenyum seperti biasa. Bukan kerapuhan yang ingin aku tunjukkan, bukan pula kemarahan. Bukan.
Jadi maaf jika sudah terlanjur melihatnya, juga jika tak sengaja merasakan getahnya.

Ada sesal, ada rasa terpuruk mengingat kekalahan. Aku dikalahkan amarah, aku tak bisa memenangkan keyakinan kalau aku kuat. Kali ini aku mengaku, aku rapuh.

Ada rahasia yang tanpa sengaja dibuka dengan siratan;
Ketidakmampuan, kegagalan, letih berkepanjangan, usaha yang belum juga mendapat titik terang. Lalu, sesekali akan ditampakkan dengan sengaja; dengan air mata, dengan kata 'Menyerah,' dengan menyendiri.

Ada sebab, ada akibat, ada masalah, ada putus asa, dan ada jalan keluar. Ada amarah, ada kekecewaan, ada kekalahan, ada keinginan untuk mundur, dan akan selalu ada kesempatan untuk berperang. Maju. Lalu berusaha lagi.

Akan selalu ada jeda di setiap langkah yang diambil; untuk sejenak bernapas, untuk sesaat memikirkan jejak yang sudah dibuat, dan untuk melanjutkannya.

Pasti ada keraguan dan segalanya yang sudah kutulis di atas, tapi akan terselip sedikit keyakinan. Pasti. Dan masih kuyakini hingga detik ini.

Rabu, 28 Maret 2012

Semangkuk Bakso Tahu

''Enak?''

Dia menyodorkan potongan jeruk nipis di piring kecil ke hadapanku, semangkuk soto betawi hasil coba-cobanya dihidangkan khusus untukku malam ini.

''Enak, ini bisa bikin soto betawi. Katanya kemarin nggak bisa,'' jawabku. Dia terkekeh dan tersipu malu.

***

''Enak?''

Tanyanya antusias saat sepotong schotel macaroni baru kusuap seujung garpu, aku tersenyum lebar menatapnya.

''Kamu sudah jago masak ternyata, enak!''

***

''Gimana, enak?''

Wajahnya mengikuti gerakan tanganku saat menyendok kuah kari yang sudah disiramkan ke nasi putih di piringku, dahinya mengernyit dan kedua telapak tangannya saling bertaut.

''Aku nggak perlu berkomentar, ini enak, sayang,'' ucapku yakin membuatnya menghela napas lega.

***

''Aku nggak yakin sama ini, enak nggak?''

Dia menggeser semangkuk bakso tahu ke depanku, mendekatkan botol saus dan kecap juga mengambilkan sendok untukku.
Untuk yang kesekian kalinya di dua tahun umur pernikahan kami, aku selalu menjadi kelinci percobaannya. Dia yang tak pernah memasak semasa lajang, menguatkan tekad belajar dari buku-buku resep masakan untuk menyenangkanku--suaminya. Ingin jadi istri seutuhnya, bilangnya waktu itu.

Aku tak pernah menolak, aku tak ingin dia kecewa, aku hanya ingin dia tersenyum dan bahagia hidup bersamaku.

''Sayang, ini bakso tahu terenak yang pernah kumakan.''

Dia berseru kegirangan, lalu menciumku sampai hampir menumpahkan air minum di gelasku.

Maaf.

Indera pencecapanku sudah tak berfungsi dari satu setengah tahun lalu. Maaf, telah mengacuhkan larangan merokok darimu.

Maaf telah banyak berbohong padamu.

Selasa, 27 Maret 2012

Selamat Ulang Tahun, Kamu...

Dia tidak menyukai kue tart untuk ulang tahun, selalu cupcake. Hari inipun sama seperti ulang tahunnya yang lalu-lalu pernah dirayakan.

Sekotak cupcake bergambar pernak-pernik perempuan kutata sedemikian rupa di atas piring lebar yang kuambil dari dalam lemari dapur. Rumah sepi, dia memang tak suka keramaian, entah saat ulang tahun ataupun hari-hari biasa.

''Berisik!'' umpatnya saat kutanyakan penyebab kebenciannya pada keramaian.

Satu lilin merah kecil kuletakan tepat di puncak piramida cupcake, api tampak menari-nari mengikuti semilir angin dari beranda belakang. Perlahan kulangkahkan kaki, menjejaki tangga dengan sangat hati-hati, meminimalisir suara dan menjaga api agar tetap menyala.

CKLEK...

Pintu kamar kubuka perlahan, sepi, seperti tak ada kehidupan di dalamnya.
Itu dia, perempuan muda berdiri di depan meja kayu menatapku dingin.
Aku maju selangkah demi selangkah ke arahnya, meletakan tumpukan cupcake di atas meja yang membatasi kami.
Lalu dia tersenyum membalas senyumku. Manis.

''Selamat ulang tahun, kamu...''

Ucapku pada cermin berukuran 1 x 2 meter di depanku.


*ditulis (telat) untuk #FFspesial ulang tahun Mas @momo_DM.

Maaf ya, Mas :D *sungkem*

Sarung

''Ayo, twitpic lagi pake sarung,'' desakku pada Narendra lewat twitter.

Malam baru saja dimulai, dan perbincangan di jejaring sosial menghangat seiring dengan waktu luang yang kami miliki. Narendra yang adalah suami dari Nareswari--pasangan yang sempat aku temui di sebuah coffee shop di Yogyakarta--memancing bahasan yang tidak biasa.

Sarung.

Iya, satu benda itu benar-benar menggelitikku juga menarikku ke masa kecil. Benda yang dulu kugunakan untuk bermain ninja dengan teman-temanku, mengenakannya di kepala, diikat sedemikian rupa hingga menyerupai ninja yang hanya terlihat matanya.

''Ninja sama maling beda tipis,'' tulisku lagi.

Aku terbahak untuk beberapa waktu, mengingat masa kecilku dan membayangkan Narendra mengenakannya dengan caraku. Tuan Arsitek bersarung adalah bayangan paling lucu yang ada di kepalaku.

Lalu bayangan lain muncul. Biru--Mr. Backpacker-ku-- mengenakan sarungnya. Dini hari, ketika aku sudah masuk terlalu dalam ke alam mimpi, saat tubuhku bahkan sudah malas bergerak. Dia membuka pintu kamar perlahan, menuju kamar mandi dan keluar dengan wajah basah.

Aku pikir, dia hanya ingin menyegarkan wajahnya dengan mencuci muka; lembur tiap malam pastilah melelahkan dan tak segampang yang terlihat. Tapi tidak, dia mengambil sajadah di lemari dan menggelarnya di depan tempat tidur kami.

Dia sholat malam.

Ada rasa yang sulit aku ungkapkan saat melihat dia menghadap Tuhan-nya sambil membelakangiku, sentuhan lembut tepat di hati. Damai. Indah dalam cahaya remang lampu yang menenangkan.

''Belum landing, ya? Liat Naren pake sarung, tiba-tiba jadi inget kamu lagi sholat malam. Kangen :( '' tulisku di belakang username twitter-nya.

Tawa yang sedari tadi tak bisa kuhentikan seketika meredup, rindu tiba-tiba menggerayangi seluruh pikiranku. Mengisinya dengan ingatan tentang sholat malam yang diam-diam sengaja kulihat dari balik selimut, dengan sarung coklat-nya, dengan tiap gerakan yang dibarengi takbir lirih dari bibirnya. Juga dengan kedua tangan yang tak pernah lupa dia tadahkan di saat berdoa.

Aku melihatnya setiap malam, di tiap dini hariku, di sela waktunya bekerja.

Dia tak pernah lupa akan Tuhan-nya.

Aku merindukanmu. Semuanya tentangmu kini sedang berkelebat bergantian di depan mataku. Cepatlah pulang, sebelum rinduku membuatku mati rasa karena terlalu lama menunggumu, Biru.


*untuk seseorang yang sedang dalam perjalanan dari Perth menuju Jakarta; Biru.

Minggu, 25 Maret 2012

Kisah Kupu-Kupu Yang Lucu

Gerimis tiba-tiba saja membasahi bumi, kukepakkan sayapku berkali-kali agar tetesan air segera menyingkir dan aku bisa kembali terbang.

''Hujan,'' terdengar suara dari balik daun jambu biji yang merunduk menutupi ranting. ''Kamu takut hujan?''

Aku tidak menyahut, suara mungil dari balik daun terdengar lemah dan nyaliku belum siap jika yang bersuara adalah bunglon. Aku bisa langsung dilahapnya.

''Kamu mau menemaniku sebentar? Atau menjagaku beberapa saat?'' gerakan angin menyibak daun dan memperlihatkan Si Pemilik Suara. Ulat. Seekor ulat hijau yang sudah terbungkus kepongpong tipis. ''Aku sendirian.''

Aku terbang mendekat, mengamati gumpalan yang menempel di bagian bawah ranting. ''Kamu hendak berubah menjadi kupu-kupu, bukan?'' tanyaku. ''Sayapmu pasti indah dan berwarna-warni.''

''Aku sendirian,'' ulangnya. ''Maukah kamu menjagaku sampai aku menjadi kupu-kupu? Kamu akan menjadi capung pertama yang melihat sayapku.''

Setelah itu tak ada suara lagi, hanya tinggal kepongpong yang terlindungi daun jambu. Aku akan menemaninya seperti yang dia mau, aku juga ingin menjadi capung pertama yang melihat sayapnya. Pasti indah.

Sudah sebelas hari, aku masih menunggunya. Sesekali aku mencari makan dan terbang agar sayapku terkena sinar matahari, tapi tetap, aku akan kembali berdia di bawah kepongpong yang menempel di ranting dan terlindungi oleh daun jambu.
Tiba-tiba ada suara gemersik, lalu ada kaki-kaki kecil yang keluar dari pupa dan merangkaki ranting. Biru tua, dengan garis hitam mengelilinginya, terlihat menggantung. Masih basah.

Aku masih menunggunya, menatap sayap biru tua indah dengan garis hitam mengelilinginya yang perlahan mengepak. Perlahan, kemudian mengepak lebih cepat dan...terbang.

Dia terbang. Ulat yang sebelas hari lalu memintaku menemaninya kini terbang, menjauh.

''Capung, terima kasih, '' suara merdu mengagetkanku. Aku baru terbang satu meter dari pohon jambu, dan sayap biru tua indah itu telah menghadangku. ''Terima kasih sudah menjagaku.''

Aku terbang memutarinya, memerhatikan sayap-sayapnya. ''Sayapmu indah, aku melihatnya sebelum makhluk lain melihatnya. Terima kasih. ''

''Mau menemaniku terbang dengan sayap baruku? ''

Aku memutarinya sekali lagi, mengamati sayap yang jauh berbeda dengan milikku.

''Kita berbeda, aku capung dan kamu kupu-kupu. Kupu-kupu yang lucu, dan indah. Pergilah ke kawananmu, aku tak akan menagih apapun darimu. ''

Kamu indah, dan aku tak cukup indah terbang bersamamu. Sayapmu lebar berwarna, sayapku ciut dan bening. Kita berbeda.

Lalu sayap itu menjauh, terbang di antara daun-daun di kebun jambu biji setelah sebelas hari terkurung dan tumbuh dalam kepongpong sempitnya. Terima kasih telah menjadikanku makhluk pertama yang melihatnya, kupu-kupu.

Senin, 19 Maret 2012

Payung Ungu Amela

Wajah mungil, mata sipit yang memang keturunan Cina dan rambut panjang lurus berponi sampai sebatas mata masih jelas terlihat meski hujan lebat membatasi pandanganku.

Aku duduk di kursi goyang dengan secangkir teh, seperti sore-soreku biasanya. Di beranda samping, aku mengawasi gadis kecil dengan payung ungu muda kesayangannya, kakinya yang telanjang bebas melompat dan berlari di atas rerumputan jepang yang sengaja kutanam untuk menngimbangi bonsai milikku. Samar terdengar nyanyian-nyanyian dengan nada sumbang dan cadel dari bibir mungilnya.

'' Ocia, sini.. '' panggilnya sembari mendekat. Tetesan airnya kini mulai membasahi lantai kayu melalui ujung-ujung jeruji payung yang sengaja dia putar-putar.

Aku terkekeh sambil menggelengkan kepala, sejenak wajahnya terlihat kecewa meski akhirnya hujan kembali membuatnya sibuk dan lupa pada penolakanku.

Amela, cucu perempuanku yang baru beumur 5 tahun memang menyukai hujan, terlebih sekarang dia mempunyai payung ungu yang didapat dariku saat ulang tahun sebulan lalu. Tawanya selalu ceria, gigi serinya baru saja tanggal dan dia menyimpannya di bawah bantal berharap peri gigi akan mendatanginya saat tengah malam.

Hari ini payung ungunya sudah tidak lagi digunakan, musim hujan telah usai 90 hari lalu. Ada di pojokan, sepertinya masih basah atau mungkin karena mata tuaku saja yang sudah tidak beres.

'' Ocia...'' panggil seseorang. Aku mengenal suara mungil ini, gadis kecil dengan poni sebatas mata dan gigi serinya yang baru tanggal.

'' Amela? '' sahutku sembari memicingkan mata ke arah pintu.

'' Ini untuk Ocia, '' lanjutnya. Tangannya mengulurkan payung ungu ke arahku, aku tersenyum lembut, melambaikan tangan menyuruhnya mendekat.

'' Untukku? Amela sudah tidak suka payung pemberian Ocia? ''

Dia menggeleng, lalu tersenyum manis. '' Aku suka... ''

'' Tapi? '' tanyaku menggantung.

'' Tapi, di surga sedang musim semi. ''


*ditulis untuk #FFhore tema ketiga.
Thanks to Widi, yang ngasih tau panggilan Nenek in Chinese. :)

Rabu, 14 Maret 2012

Cinta Itu Menyembuhkan

Kurasuki hening haru di sekitarku, kutatap lekat-lekat wanita yang kucintai dengan gaun putih panjang di depan altar.

Ada senyum bahagia yang terpancar dari wajahnya siang itu, dengan secangkir kopi dan tiramisu di atas mejanya. Dia berdiri menyambutku, memelukku erat lalu dengan cepat menghapus titik air di sudut matanya.

'' Kamu yakin? '' Tanyaku. Dia mengangguk cepat dengan senyum tak kalah meyakinkan.

'' Iya, aku yakin. Aku terima, '' jawabnya pasti. '' Cinta itu menyembuhkan, aku ingat itu. Dan inilah obat yang kucari, aku menerima pinangannya. ''

Sesak segera merambati dadaku, menguak lagi luka yang pernah kubuat. Menyakitinya, menjadikan dia seperti wanita kedua yang tak berarti. Aku menghunjamnya tepat di ulu hati, memberi kabar yang tidak pernah dia sangka sebelumnya.

'' Aku sudah beristri, dan sebentar lagi mempunyai seorang putra, '' jelasku pelan akhir tahun lalu. '' Maaf, aku tak pernah memberitahumu sebelumnya. ''

Ada tangis, ada kemarahan, ada kekecewaan yang membuatku menyesal telah berdiam selama enam bulan ke belakang. Ada tatapan penuh kebencian yang sekilas berkelebat di matanya, dan sedetik kemudian diikuti tamparan keras di pipi kiriku.

Aku menyesal atas semua kebohonganku, maaf.

Cinta itu menyembuhkan, cintanya menyembuhkanmu dari sayatan luka yang sudah kubuat. Kamu menemukan obat, kamu menemukannya, kamu pantas berdiri berdampingan di altar dengan orang yang menit ini menyematkan cincin di jari manis kananmu.

Aku berdiri di kursi deretan ketiga setelah keluargamu, menjadi orang asing yang merasa pernah masuk ke hidup pengantin wanita di depan sana. Menjadi orang yang tak pernah dikenali namun telah dengan mudah menjatuhkanmu dengan kenyataanku, sesakku terulang kembali. Sesalku datang seperti setan yang menggelayuti bahuku, juga terbayang dosa yang tak pernah bisa kulupa dan akan terus menghantui.

Cinta itu harusnya menyembuhkan, bukan melukai, bukan diam-diam, bukan indah yang didasari kebohongan. Bukan bertujuan untuk mengecewakan seperti ulahku padamu.


*Ditulis untuk #FFhore tema ke-2.

Senin, 12 Maret 2012

Ingatkah?

Ada senyummu yang pernah kukagumi dulu, ada lengkung tak terlupakan, juga ada lesung pipit menitik di pipi sebelah kiri.

Aku melihatnya dari jarak 10 meter dari tempatku, dengan ponsel yang terus saja kamu pandangi, dengan kemeja bergaris yang sudah terlipat di bagian lengannya. Langkahku memelan, mengulur waktu agar bisa menatap sosok yang masih sangat kucintai. Tanpa sadar airmata menetes di wajahku, kukatupkan rapat-rapat bibir yang gemetaran, kugigit kuat-kuat lidahku agar perasaan ini tidak terlalu menyakitkan.

'' Maaf, kamu tidak apa-apa? ''

Sengaja kutabrakan bahu kananku dengan bahu kirinya, sengaja kujatuhkan buku-buku yang sedang kubawa. Sengaja kubuat diriku terjatuh agar dia menyadari aku ada, agar dia melihat kalau seseorang yang mencintainya masih memperhatikannya.
Tangannya cekatan, sama seperti dulu, mengambilkan buku-bukuku dan mengulurkannya dengan senyum bersalah.

'' Sekali lagi maaf, saya kurang memperhatikan jalan, '' tambahnya. Aku tersenyum, berlagak seperti tak ada gejolak yang berdentum hebat di dadaku. Membalas senyumnya dan dengan sengaja berlama-lama menatap dua mata yang kurindukan.

Ada bekas jahitan di dahinya.

'' Terima kasih, saya juga ceroboh. Maafkan saya juga, '' balasku.

Tidakkah kamu mengingat wajahku? Tidakkah kamu tak asing dengan suaraku? Dan tidakkah kamu mengenal cincin putih di jari manis kiriku yang tertulis namamu di bagian dalamnya?

Tidakkah kecelakaan itu menyisakan sedikit kenangan tentangku? Tentang kita? Tentang rajutan asa yang pernah kita buat bersama?

Ingatkah, kalau kamu pernah mencintaiku dan berjanji akan terus mencintaiku selamanya?

Jumat, 09 Maret 2012

Masih Sama

'' Good night, kamu mau aku kasih tahu sesuatu? I love you. ''

Aku membaca pesanmu dengan hati yang entah di mana letaknya, sepertinya ia sudah melompat jauh dari tempatnya berkat pesanmu. Ucapanmu yang pertama, dua tahun lalu, di akhir obrolan kita membicarakan rencana perjalanan ke Ujung Genteng lewat sambungan telepon. Aku masih mengingat jelas ketenangan suaramu saat mengatakannya, suara berat dan hembus napas yang juga menguasai telingaku sepenuhnya.

'' I do really love you, '' ulangmu saat itu.

Pipiku merona, degupku memacu dan lidahku kelu seketika. Ada desir yang tiba-tiba menyerangku, merambati tiap jengkal kulit dan membuatnya meremang. Ada hal magis dalam suara yang akhirnya kumiliki sampai hari ini, menghipnotis, menyusupi alam bawah sadar dengan bermacam kelembutan.

Aku menahan pekik yang sebentar lagi lolos dari leherku, mengatur irama hembus angin yang keluar dari paru-paru agar tak menyalipi cepatnya detak jantung. Kututup rapat kedua mata, lalu mencari sosok yang sedang berbicara di sebrang di balik gelap kelopaknya.

'' I knew it, Bi. I love you too, '' kataku. Sama seperti hari ini aku membalas pesanmu, satu kalimat yang sama, satu kalimat pertama yang kuucapkan di penghujung dini hari kita dulu.

Sudah dua tahun dan kalimatmu masih belum berubah, masih urung berkembang memanjang atau menjadi lebih manis. Dan sudah dua tahun, aku masih belum juga menemukan jawaban lain, jawaban yang juga lebih panjang, jawaban yang lebih manis untukmu.

Sudah dua tahun, dan kamu masih sama. Masih Biru-ku yang dulu, Biru-ku yang terkadang berubah menjadi romantis saat jauh dariku.

Masih Sama

'' Good night, kamu mau aku kasih tahu sesuatu? I love you. ''

Aku membaca pesanmu dengan hati yang entah di mana letaknya, sepertinya ia sudah melompat jauh dari tempatnya berkat pesanmu. Ucapanmu yang pertama, dua tahun lalu, di akhir obrolan kita membicarakan rencana perjalanan ke Ujung Genteng lewat sambungan telepon. Aku masih mengingat jelas ketenangan suaramu saat mengatakannya, suara berat dan hembus napas yang juga menguasai telingaku sepenuhnya.

'' I do really love you, '' ulangmu saat itu.

Pipiku merona, degupku memacu dan lidahku kelu seketika. Ada desir yang tiba-tiba menyerangku, merambati tiap jengkal kulit dan membuatnya meremang. Ada hal magis dalam suara yang akhirnya kumiliki sampai hari ini, menghipnotis, menyusupi alam bawah sadar dengan bermacam kelembutan.

Aku menahan pekik yang sebentar lagi lolos dari leherku, mengatur irama hembus angin yang keluar dari paru-paru agar tak menyalipi cepatnya detak jantung. Kututup rapat kedua mata, lalu mencari sosok yang sedang berbicara di sebrang di balik gelap kelopaknya.

'' I knew it, Bi. I love you too, '' kataku. Sama seperti hari ini aku membalas pesanmu, satu kalimat yang sama, satu kalimat pertama yang kuucapkan di penghujung dini hari kita dulu.

Sudah dua tahun dan kalimatmu masih belum berubah, masih urung berkembang memanjang atau menjadi lebih manis. Dan sudah dua tahun, aku masih belum juga menemukan jawaban lain, jawaban yang juga lebih panjang, jawaban yang lebih manis untukmu.

Sudah dua tahun, dan kamu masih sama. Masih Biru-ku yang dulu, Biru-ku yang terkadang berubah menjadi romantis saat jauh dariku.

Rabu, 07 Maret 2012

Perubahan

Sejak kamu berubah, aku merasakan sudah tidak lagi sama. Tentang kita, tentang kamu, tentang apa yang sedang berjalan di antara aku dan kamu.

'' Selamat pagi, '' sapamu pagi ini. Secangkir kopi kulihat sudah habis setengahnya, bersisian dengan sketch book yang masih sibuk kamu coret-coret. Kacamata geek-mu masih bertengger sejak semalam, kebiasaan yang sudah berjalan 6 bulan sejak hobi menulismu membelok ke hal berbau desain.

Tidak ada kopi untukku pagi ini.

Siangnya, aku tak menerima pesan berasal dari nomormu. Sepertinya kamu sudah menjadi pelupa sejak sketch book dan software baru di komputermu membuatkan dunia baru untukmu.

Tidak ada pesan mengingatkan untukku makan, siang ini.

Sorenya, aku menemukan rumah kosong, kamar rapi dan kosong, dapur tempatmu biasa membuat kue kosong, ruang kerja tampatmu tertawa berjam-jam karena lelucon dunia maya juga kosong.

' Aku pergi ke acara komunitas, makanan sudah siap di meja makan, ' tulismu di secarik kertas berwarna biru muda yang ditempel di pintu kulkas.

Tidak ada yang menemaniku makan malam, sore ini.

sore berganti malam, kemudian larut menjelang; kamu baru pulang dengan gulungan kertas panjang dan senyum menyimpul. Aku menyapamu seperti biasa, memelukmu, melupakan kopi, pesan pengingat, ataupun teman makan malam.
Aku mendengarkan tiap cerita yang kamu tuturkan di atas tempat tidur; tentang teman baru, tentang hobi baru, tentang proyek yang tiba-tiba tercetus saat berkumpul dengan komunitas baru. Aku menahan diri untuk menyela, aku tak ingin berinterupsi tentang kekacauan yang aku alami di kantor hari ini demi melihat binar di wajahmu.

Tidak ada saling menceritakan hari, malam ini. Hanya kamu, dan ceritamu.

Hingga kamu tertidur, senyum itu belum menghilang lengkungnya. Bahkan kamu lupa mencium pipiku, Sayang. Perubahan perlahan sejak 6 bulan lalu membuatku harus kembali menjadi pengertian, sama seperti saat membiasakan diri hidup berdua setelah menikah denganmu.
Mengerti, menerima kalau manusia tidak diciptakan untuk tidak berkembang; untuk tidak berdiam; menerima kalau manusia juga memiliki pilihan.

Aku akan coba terbiasa dengan cangkir kosongku, dengan jam penunjuk waktu makan siang, dengan rumah kosong, juga dengan kecup sebelum tidur yang menghilang. Aku akan belajar lagi untuk mengerti, untuk kertas yang lebih sering kamu pandangi, untuk senyum yang bukan berasal dari lelucon kita. Aku akan melihat lagi pilihan yang sedang kamu jajaki, pilihan yang mengharuskan untuk meninggalkan Ms. Word dan beralih ke hal manual bernama sketch book.

Aku akan berbaur dengan segala perubahanmu, dengan semua kebiasaanmu yang tidak lagi sama, semata agar aku bisa terus mempertahankanmu tetap di sisiku. Selamanya.

Minggu, 04 Maret 2012

Puzzle

Untukku, kehilangan dan perpisahan adalah potongan-potongan puzzle kehidupan yang paling menyakitkan.

Kamu.

Sudah berulang-ulang aku merasakannya, berulang kali, lalu lagi, dan terus kehilangan lagi. Tetapi, rasanya masih terlalu pahit untuk getir yang kupikir tak akan terasa saat kembali mengaliri. Dia, lalu dia, dia, kemudian kamu.
Kamu. Bagian puzzle yang kutemukan untuk melengkapi, potongan yang kuragukan bisa menutupi sisa kosong yang masih kumiliki; iya, kamu.

Kehilanganmu seperti memaksaku untuk tidak percaya pada hal yang orang sebut cinta, pada sesuatu yang mereka elu-elukan keberadaannya. Kehilanganmu menceloskan harapan yang kamu siratkan dalam tiap kecup di bibirku, dalam tiap hangat yang kamu janjikan dalam pelukmu.
Kehadiran hanya sebatas semu, pada akhirnya toh kamu harus tetap pergi. Memisahkan diri dari hingar bingar kekacauan yang kita buat, menjauhi keyakinan dan menggantinya menjadi sebuah keraguan.

Kehilangan dan perpisahan seolah potongan yang harus kumiliki, kucari adanya agar hidupku sempurna. Seperti gelap malam dengan cahaya siang, sama halnya tangis dengan tawa. Seimbang.
Katanya semua diciptakan berpasang-pasangan, atau mungkin kusebut saja saling menggantikan. Terus bergulir saling mengisi, kemudian diganti dan diganti sampai menemukan kepastian.
Bukan dunia peri yang sedang kutinggali, hanya satu buku berisi bagian-bagian tak beraturan dengan berbagai emosi yang menunggu kutata rapi.

Seperti menyusun puzzle dalam buku; kutempelkan setiap cerita berwujud sketsa satu demi satu, dan tak lupa kini menempatkan namamu di satu sisi. Sampai aku sadar saat kamu menjelma menjadi wujud nyata dari perpisahan dan kehilangan... Aku memilih untuk berhenti. Aku jera bermain-main dengan pencarian, aku sudah bosan menemukan banyak kehilangan.

Karena kehilangan dan perpisahan adalah potongan tersulit yang bisa kuterima, aku menganggapnya sebagai bagian paling rumit dari sebuah puzzle dalam kehidupan. Dari rangkaian puzzle-ku yang masih berantakan.

Kamis, 01 Maret 2012

(Jarak) Setengah Lingkar Bumi

Mungkin tidaklah terlihat jauh kelip bintang yang kulihat sekarang, hanya berbatas udara, hanya selompatan dari tempatku berada. Aku mungkin bisa memanjat pekat malam untuk meraihnya, asal semua bukanlah tipuan fatamorgana gelap gulita tentu saja.

26 Desember 2010, mata indahmu menggenang air dan memerah. Natal belum 24 jam dan kemeriahannya luruh seketika berganti hening yang terus mendekapi malam kita.

'' Aku harus pergi, maaf, '' lirihmu memecah kebekuan. '' Inggris, beasiswa, impian. ''

Aku menatapmu penuh dengan pertanyaan yang siap kuajukan saat kamu menegakkan kepalamu nanti, tapi belum, tidak, kamu tetap menunduk menyembunyikan isak yang tertahan. Dua telapak tanganmu menyatu di pangkuan, saling menggenggam erat seperti kebiasaanmu saat sedang ketakutan atau menangis.

'' Maaf... ''

-

2 Maret 2012, sudah lebih dari setahun sejak malam saat aku melepasmu pergi ke Inggris. Sejak terakhir aku melihatmu menangis setelah Natal, sejak terakhir aku memeluk dan mengusap rambut hitammu di beranda belakang.

Aku merindukanmu.

'' Jangan pernah lelah menungguku, '' bilangmu di pelukanku yang terakhir. '' Kita hanya berjarak setengah lingkar bumi, artinya; kamu tak perlu mencari ujung dunia untuk menemuiku. ''

Tapi, apakah kamu ingat kalau bumi tak berujung? Bulatan biru ini sudah mengecohmu, setengah lingkar bumi adalah jarak terjauh, ia bisa membedakan warna langit kita, ia bisa memberimu empat musim dalam setahun--dua musim lebih banyak dariku. Sedang satu lingkar utuh akan membawa langkahmu memutar dan kembali padaku, bukan?
Aku meruntut deretan kelip di atas sana, kamu bilang ada rasi paling indah yang selalu sama kalau aku percaya. Ada planet tak terjamah yang sedang berevolusi, ada galaksi penuh bintang di luar Bimasakti.

Aku tak peduli.

-

5 Februari 2012, suara merdumu mengisi kekosongan di dalam kepalaku kembali. Menyapa hangat dengan ucapan selamat pagi waktu Eropa, meredam rindu yang kukekang biaknya. Ada getar dan degup yang sama seperti saat aku bertemu pertama kali di rooftop denganmu, memburu dan tak beraturan.
Setengah lingkar bumi kali itu terbayarkan, sayangnya untuk yang terakhir.

'' Kita tidak akan bisa, '' bilangmu pelan. '' Kita tidak akan pernah bisa. ''

Iya, setengah lingkar bumi memang jarak terjauh yang benar-benar berhasil memisahkan kita.


*ditulis untuk ulang tahun NBC Bandung yang pertama.
Happy Birthday.

-@_raraa