Sabtu, 31 Desember 2011

Pijar

Tahun baru masih setengah jam lagi, tahun baru pertamaku di beranda rumah setelah tobat keluyuran mencari keramaian. Iya, kali ini aku butuh kesunyian. Tapi salah.

Komplek perumahan biasa dengan rumah yang hanya dibatasi pagar kurang dari dua meter, bukan perumahan elit, hanya rumah sederhana dengan pohon mangga atau rambutan di depannya. Aku pikir, berada di rumah saat tahun baru akan lebih tenang, tapi sama saja. Memang tidak seperti berada di lautan manusia, tapi keriuhannya hampir sama.

Sedari pukul 20:00 kembang api sudah menyala, berkali-kali. Meledakkan sinar lalu menyebar menjadi titik-titik warna. Terompet tak pernah ada jeda, bahkan anak-anak belum juga lelah berteriak.
Rumah arah jam sebelas, seperti sedang open house. Pagar dibuka lebar-lebar, suara musik karaoke melantunkan lagu 'Widuri' dengan suara fals Om-Om. Tetangga.
Rumah arah jam dua, juga membuka pagarnya lebar, mengeluarkan sofa dan meletakkannya di garasi. Dua orang laki-laki---anggota keluarganya, sibuk mengipasi sate. Diiringi tiga anak kecil bermain kembang api sambil berfoto dengan ibunya. Ramai.

''Kok ngelamun'' ujar seseorang, arah jam tiga. Sahabat kecilku--yang sudah setinggi pebasket, tampak menyangga piring berisi nasi dengan berbagai lauk. Kakinya dinaikkan ke atas kursi besi yang sama dengan kursiku, sesekali dia bersendawa tanpa peduli ada orang di sebelah yang diam-diam terganggu.

''Udah nambah berapa kali, Lu? Gue disisain gak tuh nasi di belakang?'' tanyaku pada cowok pemakan segala itu, dia hanya tersenyum. Mulutnya penuh, pipinya mengembang seperti dimasuki dua bola tenis. ''Bangkrut dah nyokap gue, dari kelas dua SD sampe lu setua ini. Besok-besok bayar lu!''

''Nyokap lu ikhlas-ikhlas aja tuh, ga kaya lu, mata duitan!'' jawabnya, lalu beringsut pergi membawa piring kosongnya. Sial!
Urat malunya memang sudah putus sejak dia lulus SMP, sejak cintanya ditolak adik kelas. Belasan tahun lalu.

''Disuruh makan tuh, katanya takut keburu dingin ikannya'' suara itu menyadarkanku, sekarang tangannya sibuk mengelap air dari semangka yang dimakan. ''Nyokap lu makin lama makin bawel deh, lu hasut ya, biar gue ga betah di sini?''

Pikiranku sedang kosong, aku sendiri bingung mengartikan ini semua. Awal tahun, lalu? Sepesimis itukah aku sampai lupa memikirkan besok?
Kemudia tiba-tiba sepasang tangan menggenggam jemari kananku, tangannya dingin, dan lengket.

''Lu megang-megang tangan gue mau meper, ya!!??'' semburku pada cowok berambut cepak di sebelah, raut wajahnya tenang dengan sedikit senyum menyimpul. Sedetik sempat terpikir kalau dia sedang kesurupan. ''Heh!!''

Dia tersenyum lagi, lalu perlahan menunduk menyembunyikan wajahnya. Curiga sedang dikerjai, akupun menarik tangan yang masih digenggam oleh tangan lengketnya. Erat. Susah sekali melepaskan jari-jari besar itu dari sela jariku. ''Kita udah temenan lama..'' katanya membuatku menaikkan alis, ''Ini soal perasaan gue sama lu''

Mataku melotot seketika, mudah-mudahan dia ngelantur gara-gara kebanyakan makan ikan bakar. ''Apa sih? Lu jangan ngerjain gue ya, macem-macem deh''

''Gue serius, untuk yang ke satu-dua-tiga..iya, tiga--tiga kalinya gue ngungkapin perasaan gue...'' matanya menatapku lurus, menusuk sampai aku enggan sekali membalasnya. Memang sudah dua kali aku menolaknya, kita sahabat, that's it! Tidak ada hal menye-menye seperti pacaran yang nantinya merusak belasan tahun umur pertemanan kami.

''Gue udah bilang juga, ini yang ketiga kalinya...gue ga mau---'' kata-kataku terputus melihat dia memperlihatkan benda kecil di genggaman tangan kanannya, bulatan seukuran jari dengan satu berlian kecil di tengah permukaan. Aku lirik wajah itu, wajah sahabatku, dia tersenyum. Senyum yang berbeda dari biasanya, senyum menghanyutkan, seperti ada kembang api meledak-ledak di matanya. Indah sekali.

''Habiskan sisa hidupmu bersamaku, Arini. Will you marry me?''

-

Rabu, 28 Desember 2011

Terlalu Gelap

Tundukkan kepalamu, jalan terus. Jangan pedulikan tatapan manusia-manusia minus hati dan perasaan itu. Kamu hanya dilihat sebelah mata, jadi menunduk sajalah.

Di bawah rintik hujan yang mulai menebal, aku menerobos kerumunan yang memang setiap hari terjadi di jalan sempit itu. Pemukiman padat penduduk, menyewa satu petak kamar untuk sekedar tidur atau berlindung. Mata semua orang--seperti biasa, tertuju ke arahku. Pandangan curiga, sinis, jijik. Urus saja diri kalian sendiri, Tuan dan Nyonya!
''Orderan ramai nih kayaknya...'' celetuk ibu-ibu setengah baya yang mengontrak kamar di sebelahku, dasternya mengatung, dan badannya agak gemuk. Apa pedulimu dengan orderanku? Apa pedulimu dengan pekerjaanku?
Aku memilih untuk diam, pura-pura tak mendengar. Nada bicaranya selalu ketus, dan tunggu...tinggal berpuluh tahun menumpang di tanah orang, bukan hal yang membanggakan, gerutuku dalam hati. Mulutnya masih menyindir sampai pintuku rapat tertutup, tak adakah pekerjaan yang lebih baik dari mencemooh orang, di sini?

Aku, Lestari, 25 tahun, memiliki satu anak yang ku titipkan pada ibu di kampung. Orang-orang sinis di luar menyebut pekerjaanku sebagai pelacur. Pekerja seks komersial, menjual diri agar bisa makan dan mengirimi anak uang. Membiarkan laki-laki tak dikenal menikmati tubuhku sebelum pergi dan melemparkan amplop.

Ku rebahkan badan di atas selembar kasur busa yang menipis, ruangan 2 x 2 meter dengan isi seadanya, dinding bercat hijau norak, plafon yang menghitam karena genteng sering bocor, juga tikus sebagai bonus.
Terlihat lembaran-lembaran uang menyembul dari mulut tas tangan di atas badan, dibayar mahal, pikirku. Aku bisa membelikan baju dan sepatu baru untuk anakku, dan oh...dia juga meminta mainan pesawat terbang. Pasti ibu penuhi, untukmu, apapun akan ibu lakukan.

''Maaf, Mbak, ini bukan kemauan saya...saya terpaksa meminta Mbak Tari pergi, maaf...''

Lagi. Aku diusir karena pekerjaanku, bukan hanya baru sekali ini, sebelumnya sudah berkali-kali aku terusir. Salah apa aku pada mereka? Menyebarkan penyakit? Apa mencuri? Mereka bukan orang yang memberi uang, bukan juga yang membelikan pakaian serta sepatu baru anakku, bukan?

Tas hitam besar sudah siap diangkat, para tetangga berdiri di pintu masing-masing sambil tersenyum puas. Puas sekali bisa mengusir PSK keluar dari lingkungan mereka. Puas sekali membersihkan wilayah dari noda. Hanya pemilik rumah ini yang tersenyum kecut, matanya menyiratkan perasaan bersalah yang teramat dalam. Jadi tak enak hati. Aku percaya masih ada orang baik, selalu ada, seperti dia.

Sindiran-sindiran masih terdengar sepanjang lorong selebar satu meter tempatku berjalan, seperti tidak pernah bosan, mungkin mereka pikir akan menambah pahala. Merasa suci untuk menghakimi, merasa paling benar, sok tahu.

Jangan menunduk, perintahku. Tegakkan kepala.
Urusan apa mereka dengan harga dirimu, jangan menunduk. Kalahkan kesombongan mereka, jangan merasa lemah. Tak pantas sekali menundukkan kepala di depan mereka, mereka bukan ibumu. Tegakkan kepala!

Menunduklah pada Tuhan-mu, malulah pada-Nya. Bukan mereka yang akan menghukummu, Tuhan-lah yang tau caranya. Dan Tuhan-mu tak pernah mengusirmu dari bumi-Nya, bukan?

-

Minggu, 25 Desember 2011

Dalam Gelap (Ending)

Hening masih saja hanya tentang kekosongan, tak ada isi meski banyak sekali ruang. Senyap semakin meresap tatkala suara meninggalkan gemanya, tak ada sumber, hanya gema saja.
Kekakuan merasuki diri, menyelinap di antara otot-otot dan denyut nadi. Membekukan jemari lalu bermain-main dengan arteri.

Sesal sudah didapat, maaf pun tak terhitung lagi. Si Suami mengatupkan ke-dua tangan di sisi Si Istri, menutup mata melirihkan doa. Perlahan disusurinya rosario yang menggantung di antara jari-jari, titik demi titikpun menetes membasahi pipi--tak bisa ku tahan, batinnya.
Si Kecil memandang Si Ayah, kakinya terus digerak-gerakan karena kursi yang didudukinya terlalu tinggi. Ikut mengatupkan dua tangan lalu menirukan gerak bibir Si Ayah, sesekali dia mengelus lengan serta pipi Si Ibu lembut.

''Papa, kapan mama bangun?'' tanyanya merasa sudah terlalu lama diam dan berdoa, Si Ayah membuka mata, menghela nafas lalu beranjak dan berjalan mengitari ranjang. Sebuah pelukan hangat, tanpa satu patah kata yang terucap. Membelai rambut keriting berwarna hitam legam, membenamkan kepala penuh pertanyaan ke dalam dadanya.

Kesepian belum akan beranjak, menyesaki kekosongan dengan angan. Menggiring pikiran ke alam yang tak masuk akal, perlahan meruntuhkan sisa-sisa harapan. Tuhan ada, asal manusia percaya.
Kesepian belum akan beranjak, kerapuhanlah yang sebentar lagi beranak-pinak. Mengurangi secuil demi secuil asa yang tertinggal, hingga habis dan terpaksa jatuh menyerah. Kalah.

''Mama pasti bangun...'' lirih Si Ayah. Si Anak masih ingin bertanya dan bertanya lagi, Si Anak masih ingin tahu, Si Anak masih tetap ingin Ibunya terbangun. Mungkin esok, atau lusa. Mungkin dia bisa ikut membaca doa rosario seperti Ayahnya, mungkin juga dia bisa terus bertanya agar ayahnya tak hanya terpejam dalam doa.

Kekosongan tak akan pernah beranjak, kerapuhan memilih untuk tetap tinggal. Menggerogoti senyum mencoretkan guratan, gurat-gurat kesedihan menindih garis senyuman. Gurat kekhawatiran memotong jalinan kegembiraan, perlahan. Sampai kapan tak ada yang tahu. Katakan, mungkin Kau mengetahuinya, Tuhan?

-

Jumat, 23 Desember 2011

Dalam Gelap (Bagian : Tiga)

Wajahnya pucat tanpa make up tipis seperti biasanya, bibirnya kering. Selang oksigen memperburuk penampilannya, dan pergelangan tangannya tertancam jarum yang membantu cairan infus masuk ke dalam tubuh.

Kamu kurus sekali sekarang.

Katamu, kamu tergila-gila padaku. Salah, akulah yang gila karena kamu. Sejak kita masih di sekolah menegah pertama, kamu pendiam, misterius tapi sopan--manis sekali. Aku mengamatimu selama lebih dari dua tahun, sejak obrolan tentang guru fisika aneh kita. Kamu lucu. Sampai kelulusan SMP, kamu menghilang, aku mengecek hampir semua SMA di Jakarta dan tak pernah menemukanmu.

Hari itu, bersama teman perempuanku--yang juga tidur bersamaku--aku melihatmu. Di seberang jalan dengan blazer merah dan wajah cemas. Kulawan lampu hijau, aku terobos dengan taruhan nyawa dan dengan cacian pengendara di jalan. Akhirnya aku menemukanmu, menepuk bahu dan melihat senyum itu lagi.
Kamulah pemberhentian dari pencarianku, petualanganku selesai saat menjabat tanganmu. Tidak ada lagi free sex, bahkan sesederhana alkohol, demi kamu. Berjalan di jalur yang benar seperti itu susah sekali, tapi apa? Aku melihatmu di ujung jalan, tersenyum, menghipnotis. Semua menjadi mudah, dan lihat sesudahnya...kamu menjadi ibu dari anakku. Tidak kah itu indah?

Cepatlah bangun, sebulan dalam tidur itu tidak bagus. Rindukah kamu pada anak kita? Dia selalu menyebut namamu dalam tidur, dia mencarimu diseluruh ruangan, dia lupa kalau malamnya dia menjengukmu di sini. Kasihan dia. Aku tak becus membuat sarapan, tadi...seragam sekolahnya salah. Aku memang bodoh, ayah yang bodoh.
Jadi, lekaslah buka matamu...aku rindu kamu...kami merindukanmu. Aku kosong tanpa kamu, sampai aku...sampai aku mendatangi perempuan itu lagi. Membuang-buang waktu dengannya, untuk mengusir penat, berlari dari kekacauan.
Melupakan kamu sejenak, maaf.

Maafkan aku...

Segalanya tidak akan sekacau ini kalau saja aku tak bermain api dengan rekan sekantor, aku sangat menyesal. Hari itu untuk pertama kali aku mendengarmu berteriak, hari itu untuk pertama kali melihatmu menangis karena marah. Aku sudah berdosa.
Kamu mengetahuinya, ponselku berdering dan kamu jawab. Aku melihat amarah di matamu, tak ada kelembutan di sana, benar-benar marah. Aku mengelak, aku beralasan, aku menolak menerima tuduhan. Kamu menangis, kamu marah. Aku mencoba menenangkan, menarik tanganmu agar tetap tinggal. Tapi kamu terus melawan, menyentakkan tangan hingga kehilangan keseimbangan. Lalu hening.... tidak ada tangisan, kamu tergeletak diam di lantai.

Meja kaca--sial!!, kepalamu, oh Tuhan...kamu membentur meja sialan itu. Aku benar-benar menyesal, jangan siksa aku seperti ini. Aku minta maaf, ini salahku.

Bangunlah, aku ingin meminta maaf. Aku menyesalinya, dan aku rindu kamu, kami rindu kamu. Aku dan jagoan kita, sangat merindukanmu.

-

Kamis, 22 Desember 2011

Dalam Gelap (Part: 2)

Aku mendekapnya sekali lagi, merajuk agar dia tetap tinggal. Membenamkan wajah di lehernya, mencium aroma tubuhnya mungkin untuk yang terakhir kali.

Menggandeng bocah kecil dan cerewet itu tak pernah dirasa senyaman kemarin, sayangnya mungkin juga untuk terakhir kali. Dua hari lagi tepat sebulan aku menemaninya seperti ibunya sendiri, aku mencintainya, aku mencintai ayahnya. Menjadi ibu dari anak-anaknya mungkin hal yang selalu ku impikan, sejak dulu, sejak kita masih berkutat dengan skripsi masing-masing.
Aku memujanya--bukan, bahkan lebih dari itu. Aku tergila-gila padanya. Apapun akan ku lakukan agar dia tetap berada di dekatku, sayangnya, dia lebih tertarik pada perempuan di seberang jalan.
Si Perempuan berdiri dengan gelisah, tampak sibuk dengan banyak map di tangan kiri dan berulang kali melihat jam tangan di tangan kanan. Rok selutut, atasan kemeja berenda berpotongan rendah, blazer merah dan high heels--sempurna. Si Pria menyebrangi zebra cross, menepuk bahu Si Wanita, kemudian tampak akrab. Mengeluarkan ponsel masing-masing, tertawa lalu melambaikan tangan sebelum kembali menyebrang. Semudah itu, sial!

Aku menikmati saat ini, saat hanya ada kita berdua. Tak memikirkan siapapun, siapapun. Mendekapmu seperti milik sendiri dan tak akan pergi demi anak dan istrimu yang sedang koma.
Jahat, pikirku. Menari-nari di atas musibah, memeluk suami orang tanpa rasa berdosa. Ini kesempatan, tak akan datang jika istrinya tidak terjatuh dengan kepala membentur meja kaca. Aku harus prihatin atau bersyukur atas kejadian ini?

''Aku harus pergi, cukup sampai hari ini. Harusnya aku di rumah sakit bersama istriku, bukan menusuknya dari belakang''

''Aku ingin ini lebih lama lagi, mungkin istrimu masih ingin tidur sampai bulan depan''

''Hentikan! Cukup! Kita selesai, terima kasih sudah menjaga anakku sebulan ini...''

''Bayarannya?'' tanyaku menggantung.

''Kau telah memilikiku, sepenuhnya. Impas?'' dia beranjak, lalu menyambar kunci mobil di atas meja. ''Aku pergi..''

Sebulan yang menyenangkan, aku benar-benar menikmatinya. Tiap menit waktumu, tiap jengkal tubuhmu. Dan hei, siapa yang jahat sekarang? Bersama wanita lain disaat istrinya koma? Kamu pasti kesepian. Istrimu terlalu baik untuk seukuran tukang selingkuh sepertimu, aku tahu riwayat hidupmu.

Sepertinya hidupmu berubah--semoga aku salah, karena dia. Wanita baik-baik, teman SMP, pernah menjadi pengaggum rahasianya sebelum dia pindah ke Malang. Pastilah seperti mimpi bisa bertemu lagi, lalu sekarang menjadi ibu dari anak laki-lakimu, kamu beruntung. Memang sudah seharusnya kamu meninggalkan dunia kita, free sex, drugs, alkohol. Sial! Sekarang aku melihatmu sebagai lelaki sempurna, lelaki yang pantas di nikahi. Sial!

Pintu dibanting dengan keras, ku sesap dalam-dalam kopi hitam di cangkir. Menyalakan rokok yang selama sebulan ini tak pernah aku sentuh, mengumpati diri. Sesal tempatnya memang di belakang, dia bisa saja menikahiku--dengan cara apapun, tapi tidak...mungkin aku tak bisa mengubahnya menjadi seperti sekarang. Wanita itu, dia sihir. Ah, persetan!

-

Rabu, 21 Desember 2011

Lepaskan Saja...

Lepaskan saja, dunia tak sebatas minus satu seperempat dan silinder. Jika butuh kacamata baru, katakan. Jika ingin tetap meraba-raba, tak apa, asal buang semua batasan.

Lepaskan saja, jika waktu masih memihak, tak apa.
Lepaskan saja, jika kaki masih kuat untuk menapak, itu juga tak apa.
Lepaskan semua, kala mata benar-benar sudah terbuka, itulah saatnya.
Apa yang dijanjikan masa lalu? Apa yang menjamin ia akan terus menghidupimu? Kalau--kalau hanya akan menyiksa, kalau hanya bisa memenjara, untuk apa?

Lepaskan saja, lepaskan pikulan beban yang mengaku harapan. Dunia tak seburam minus satu seperempat dan silinder, bukan?
Jadi tak apa, tak berdosa kalau ingin melangkah maju. Masa lalu merantai agar tetap tinggal, ia memberatkan gerak dengan ratapan. Lepaskan saja, harapan ada di depan, melesatkan asa, bukan menarik kembali ke belakang.
Jadi tak apa, tak akan menyakitkan membuat jejak baru. Lepaskan saja, dan segera kalahkan gravitasi masa lalu.

Toh, dunia tak semenyebalkan minus satu seperempat dan silinder, bukan?

-

Senin, 19 Desember 2011

Dalam Gelap

Gelap sekali di sini, aku tidak dapat melihat apapun selain merasakan hawa dingin yang menusuk.
''Hai, sayang...''.
Suara merdu itu selalu berhasil menenangkan hati, bau parfum menyengat hidung saat dia mencium keningku. Mungkin parfum yang ku belikan sudah habis, kali ini wanginya berbeda.
''Olaaa..mamaa...''
Ingin sekali aku terbahak setiap bocah kecil ini berteriak 'Olaaa..' sebagai pengganti 'Haloo', entah siapa yang mengajarinya begitu. Awas saja nanti kalau sampai aku tahu.
''Aku dapet nilai 6, ga apa-apa kan, Ma? Mama masih sayang aku, kan?'' bisiknya di telingaku.
Jagoanku memang pandai merayu, sama seperti papanya. Like father like son.
Digenggamnya jemariku sembari tak henti-hentinya berceloteh mengenai sekolah dan teman-temannya, anakku cerewet sekali. Kali ini seperti mamanya, aku memberi contoh yang buruk ternyata.

Tidak ada alasan untuk tidak bahagia, aku punya segalanya dalam paket bernama keluarga. Matipun aku tak akan menyesal.
Di kecupnya pipiku, kanan, kiri, dahi, hidung lalu bibir. ''Mama tahu? Aku sayaaaaaang banget sama mama'' ujarnya lagi. Manis sekali.
Mama juga sayang banget sama kamu, Nak. Tak peduli meski kamu selalu menyisakan makanan saat sarapan, tak peduli meski kamu main lumpur dan dengan sengaja mengotori lantai... Mama masih sayang kamu, apapun alasannya, Selamanya.

''Gimana, Dok?'' suara merdu itu lagi, pantas aku tergila-gila padanya dulu. Sesederhana suara saja mampu membuatku bertekuk lutut, bayangkan saat tiba-tiba saja dia melamarku. Rasanya seperti ingin meledak menjadi titik-titik debu.

''Lumayan, tekanan darah dan detak jantungnya normal. Harusnya istri anda sudah sadar, kami akan lebih rutin mengecek kondisinya. Tetap berdoa, masih ada banyak harapan. Semoga ini tidak berlangsung lebih dari sebulan''

Jadi, sudah hampir sebulan? Tertidur seperti orang mati bukan hal yang menyenangkan, percayalah. Terakhir yang ku ingat, kepalaku terhantam pinggiran meja kaca. Itu saja. Setelah itu gelap sampai hari ini, hanya terasa oksigen yang masuk melalui hidung, juga infus di pergelangan tangan yang sedari tadi di usap jagoan kecilku ini. Aku rindu keluargaku, Tuhan.

''Meski mama ga ke sekolah buat ambil buku raporku...aku masih sayang mama, kok. Sayaaaaang banget...''

-

Minggu, 18 Desember 2011

Di Mana Batas Masa Lalu?

Sayup terdengar alunan musik, tidak terlalu jelas namun cukup untuk mengisi kekosongan telinga di tengah sepi. Sebenarnya tidak benar-benar sepi, aku sedang duduk di keramaian, riuh. Anak-anak, orang dewasa, kendaraan bermotor, bunyi ringtone ponsel, suara tawa menggelegar, saut pembicaraan yang belum juga usai sedari tadi.

Bersumber dari Ipod seseorang yang tak ku kenal, berjarak dua langkah arah jam tiga. Benda kecil yang menyumpal telinganya bahkan tak mampu menahan musik agar hanya dia yang menikmatinya, aku bisa mendengarnya jelas.

''You're aching, you're breaking and i can see the pain in your eyes...''

Ah, Keane. Soundtrack hidup, musik abadi--buatku, yang sampai hari ini belum bosan kudengarkan.
Aku selalu di tarik masa lalu, aku pikir selama ini langkahku sudah jauh dari kamu, kali ini salah. Lagi. Potongan kecil tentangmu selalu berhasil melempar kenangan hingga jatuh tepat di tempatku, kali ini bisakah aku menyalahkan waktu?
Waktuku tidak mengenal batas, entah di mana letak masa lalu, entah di mana garis yang di sebut 'Batas'. Sesederhana musik yang kita dengar dulu, semudah itu juga batas waktu terhapus. Dua tahun lalu, satu tahun lalu, kemarin, tak ada yang berbeda. Aku pikir masa lalu adalah sesuatu di waktu lampau, tidak termasuk hal lain yang tiba-tiba mencelat menembus batas.

Memang tak berguna berada di keramaian, sepi tetap saja sepi. Riuh belum tentu bisa mengobati, terlebih sepiku bukan karena hening suara...sepiku adalah kehilangan senyummu. Salahkan waktu jika detiknya hanya menambah pilu, salahkan rindu, salahkan juga memori kepala karena tak bisa melupakan kamu.

Akhirnya dia pergi, orang yang duduk dua langkah arah jam tiga tadi. Sepiku masih sama, tak sedikitpun terobati juga terisi. Salahkan saja dia, dia tidak akan tahu, bukan? Dia yang mengusik masa laluku, membawanya menembus waktu lalu pergi begitu saja. Iya, salahkan saja dia.

Aku mencarinya, mencari garis pembatas masa lalu dengan masa ini. Bisakah membendung rindu agar tak terasa lagi? Di mana batas itu? Batas pemisah waktu 'Yang sudah' dan 'Yang akan' ter-paku.
Katakan padaku, di mana dapat kutemukan batas masa lalu?

-

Rabu, 14 Desember 2011

Hidup Adalah Perjalanan

Mungkin inilah kehidupan, berjalan, lalu berjalan, dan terus berjalan.

Apa itu kehidupan? Apa itu bahagia? Definisi 'hidup' ada beragam, kamu, saya, dia, mereka, semua memilikinya. Dan saya tidak bisa memaksa orang lain setuju dengan devinisi saya, begitupun sebaliknya.

Untuk saya, hidup adalah perjalanan. Dalam perjalanan itulah saya mengerti tetang perbedaan cara pandang, mengenai apa itu hidup, dan apa itu kebahagiaan.
Kenapa disebut bahagia, sedang yang dipunya hanya sebungkus nasi saja? Kenapa disebut hidup, sedang tempat tinggal saja tak bisa di rengkuh?

Saya berjalan lambat, atau mungkin jalan ditempat. Saya memilih jalan memutar yang notabene lebih mudah, dari pada harus mengambil resiko memanjat tebing agar sampai lebih cepat. Tujuan kita sama, di puncak. Hanya saja saya tidak punya nyali melawan ketakutan akan resiko yang akan saya peroleh, bodohnya saya.
Langkah saya terlalu lambat, entah kapan bisa sampai disana. Saya takut jatuh, saya takut terperosok dan saya takut melanggar aturan. Bahagia di mata saya sekarang, mungkin sebatas celoteh orang sekitar dan gelak tawa sesudahnya. Mungkin lebih, sedikit.

Saya tahu jalan ini masih panjang, pendek pun bukan saya yang mengaturnya. Perjalanan kadang tak menghitung banyaknya waktu, tapi hanya ingin apa yang terdapat di dalamnya. Perjalanan terkadang harus di hentikan, ada guntur, mungkin juga badai yang menahan langkah untuk sejenak tinggal dan menarik nafas panjang. Perjalanan memang tak sesederhana menentukan tujuan, menghitung biaya ataupun menyiapkan rencana dan peta.

Ada jarak diantara garis awal dan garis akhir, diantara langkah pertama dan tapak terakhir, juga di antara Basmallah dan Hamdallah. Disana ada perjalanan, ada proses membingungkan, ada persimpangan pilihan, bahkan banyak kerikil tajam. Tujuan awal bisa saja berubah di tengah jalan, peta dan kompas bisa saja digantikan lumut yang (katanya) selalu mengarah ke peradaban.

Hidup memang sebuah perjalanan, kemana arah yang diinginkan belum tentu masuk dalam rencana Tuhan. Pilihannya hanya berjalan, terus saja berjalan sampai menemukan tujuan. Tujuan apa? Saya juga sedang mencarinya. Mungkin tak sama dengan keinginan, tapi konsep bahagia bukan pada hasil akhir, bukan? Menurut saya, bahagia merupakan akumulasi dari semua hal sebelum tujuan itu tercapai. Berawal dari niat, hingga proses, barulah sampai ke tujuan. Itu bahagia, bahagia versi saya.

Setuju atau tidak, saya tidak peduli, toh orang bebas berpendapat. Saya memiliki hidup, serta kebahagiaan sendiri. Juga orang lain, tidak mungkin ada kesamaan volume bahagia pada masing-masih manusia. Tidak ada standarisasi, juga patokan untuk seseorang boleh mulai merasa bahagia.
Kita ada di perjalanan sendiri-sendiri, kemana langkah akan di arahkan hanya diri kita yang tahu, hanya kaki kita yang menapak. Jalani saja, nikmati saja.

-

Selasa, 13 Desember 2011

untitled

Gerimis sudah mulai turun, angin kencang menerpa daun dan pepohonan di ibu kota. Aku memakan potongan tempe terakhirku, sudah pukul dua siang dan aku baru memasukan makanan ke perut ini.
Matanya menatapku sambil tersenyum, lalu menyodorkan air minum dalam botol air mineral yang sudah lusuh. Tak perlu pikir panjang, aku sambar saja air ditangannya dan ku minum hanya setengah.
Klakson tak henti-hentinya berteriak mengancam, mengancam agar kendaraan lain cepat berjalan, mengancam kemacetan yang adalah dirinya sendiri. Aku tak peduli. Aku duduk tenang dengan makanan dan seseorang yang sangat ku sayang di hadapanku, matanya seperti terus tersenyum, teduh sekali. Makanan apapun yang dia bawa tak pernah ku tolak semata agar dia tertawa, aku suka sekali melihatnya tertawa.
''Tunggu, jangan pergi dulu. Abisin makanannya..'' ujarku ketika melihatnya beranjak dari duduk. Dia menurut lalu tersenyum, ''Ga boleh buang-buang makanan, kan?'' tambahku.
''Kamu mau membantuku menghabiskan ini?'' tanyanya, aku menggeleng lalu menggeser kertas bungkus makanan didepanku ke hadapannya.
''Ini bagian Kakak, aku sudah kenyang...'', ku geser lagi kertas makanan yang terpapar di lantai sampai hampir menyentuh kulit kakinya. Dia tersenyum lagi, kemudian mulai memakan setengah bagiannya. Satu bungkus nasi putih dan satu tempe goreng dari warteg sebrang jalan, tadinya. Tapi dia membaginya menjadi dua, buatku dan yg sekarang sedang dia makan.

Kakakku satu-satunya, anak laki-laki 12 tahun yang lebih tua 4 tahun dariku. Masih tersenyum, meski perutnya baru terisi makanan dari kemarin sore. Makannya lahap, sesekali dia menawariku dengan wajah seperti seseorang yang sudah kenyang. Segera ku tolak, setengah porsi nasi bungkus tak akan mengenyangkanmu sampai besok siang, Kak...juga tak akan mencukupi tenaga untuk menggendongku sampai ke gubug kita.

Kalau saja Tuhan memberiku kaki yang sempurna, mungkin aku bisa membantunya menjajakan koran, mengamen, atau bersamanya bermain hujan sambil menawarkan jasa ojek payung. Nyatanya, aku hanya berdiam diri di depan ruko tak laku, menunggunya selesai bekerja lalu makan berdua dari hasil kerja yang tak seberapa. Seperti halnya kali ini.

Dia menenggak semua isi air di botol, lalu meraih payung besar disampingnya. Hujan dan petir bergemuruh, saatnya dia mencari rezeki dari tetes-tetes air pemberian Tuhan. ''Kakak pergi dulu, ya. Kamu tunggu disini aja, inget..kalau ada apa-apa, teriak! Oke?'' katanya sambil memegang bahuku, tak pernah bosan dia mengulang kata itu. Teriak! Iya, aku memang hanya bisa teriak. ''Kamu mau dibeliin apa?'' tanyanya, aku tersenyum dan menggeleng cepat. ''bener? Ya udah...jadi kalau kakak beli boneka beruang jangan diminta ya..'' godanya membuatku cemberut seketika. Dia tertawa lebar lalu mengusap poniku, beranjak dan menghilang di keramain jalanan.

Tak apa tubuhku tak sempurna, Tuhan. Asal ada dia, aku tak akan mengeluh. Lindungi saja dia, tolong.

-

Senin, 12 Desember 2011

Yang Kedua

Sepertiga teh di dalam gelasku tercekat dileher, pagi ini dingin sekali, Jakarta pasti sedang sendu tak seperti biasanya.

Ku baca pesan terakhirmu yang baru sempat kubuka, dengan susah payah kutelan teh dan berharap ada sedikit kehangatan diperutku.
'Aku menikah hari ini, undangan sudah sampai, kan? Datanglah, aku sangat merindukanmu'. Rahangku mengeras membacanya, marah. Cemburu. Kecewa.

Satu bulan lalu, kamu mengabarkannya. Kita berdua duduk bersama, menggenggam jemari satu sama lain sebelum hal itu kamu beritakan. Aku, sudah dua tahun menjadi yang kedua, menjadi seseorang yang dianggap tak ada namun nyata. Juga memberimu sandaran disaat dia menyebabkan kesedihan dihatimu. Genggaman tanganmu tak seperti biasanya, kali ini bukan lagi kamu yang memanja, bukan kamu yang penuh rindu atau kamu yang serta merta memelukku ketika baru saja bertemu.
''Aku memilihnya, maaf...''
Sudah kuduga, inilah akhir dari kisah mendua, aku sudah menunggu hari itu lama. Memilih, kamu memilih dia, memilih yang pertama. Lalu aku, yang kedua? Aku tahu, aku akan jatuh dengan pilihanmu. Tapi bodohnya, aku masih menunggu, menunggu saat kamu benar-benar menjatuhkanku.
Aku beranjak, tak perlu ada penjelasan tentang mengapa kamu memilihnya. Jelas, aku tak lebih baik darinya.

Setahuku dulu, kamu menjanjikan masa depan, meyakinkanku tentang pernikahan. Bukan seperti ini, bukan undangan warna cokelat tua bertuliskan namamu dan namanya. Aku sudah jatuh, dan pesanmu pagi ini menguburku dalam ke perut bumi. Belum puas menjadikanku bayangan yang menemanimu kala sendirian? Belum cukup menjadikanku yang kedua yang tak pernah dianggap ada?

Merindukanku? Omong kosong! Buang jauh-jauh kata-kata mengiba seperti aku membuang undangan pernikahanmu dengan kebencian.
Aku teguk dua per tiga sisa teh dalam gelas, perlahan mencari ketenangan dengan sedikit kafein. Kafein tak pernah gagal meredam kegelisahanku, meski membuatku bodoh karena terus terjaga, tentu.
'Selamat menempuh hidup baru, Arka..', balasku. Lalu kumatikan ponsel dan mencabut SIM card di dalamnya, cukup kali ini menjadi yang kedua. Cukup hari ini menjadi bodoh karena cinta buta.

-

Minggu, 11 Desember 2011

Merah Marun Ruas Digenggaman

Di sebuah sofa merah marun lobby satu gedung perkantoran, aku menata kembali ruas-ruas hati yang baru saja terpecah setelah sedetik lalu terlengkapi.
Air mineral kemasan di atas meja setengah kosong, bukan lagi setengah isi seperti kemarin. Aku menggeleng ragu, haruskah secepat ini?
Alat pendingin ruangan juga hanya mampu membekukan jemari, dapatkah satu hembusan menyusup ke hati agar luka sedikit terobati? Lebih baik menganga tapi membeku, lebih baik mengeras dan kaku.
Langit tiba-tiba mendung, kenapa? Tak suka kah dengan caraku? Cara membenahi retakanku?
Ku putuskan untuk pergi, beranjak dari sofa merah marun di lobby gedung sore ini. Menungkupkan dua tangan mengikat ruas-ruas patah digenggaman, erat. Mungkin seruas tertinggal, mungkin seruas di curi orang, mungkin seruas terlanjur berantakan.
Bentuk utuh tidak lagi menyenangkan, buang saja bagian tak berguna, meski berlubang asal serupa.

-

Jumat, 09 Desember 2011

Seragam Sekolah Dan Gunung Sindoro

Bicara tentang Gunung Sindoro yang sedang hangat diberitakan di media, membawa gue ke sebuah masa, masa disaat masih mengenakan seragam sekolah, beberapa tahun lalu.

Gunung Sindoro letaknya di perbatasan Temanggung dan Wonosobo, which is ga jauh-jauh amat dari Banjarnegara. Saat gue masih sekolah, tiap hari, tiap pagi gue (pulangnya juga) dan temen-temen memang harus berjalan kaki kurang lebih 1 kilometer untuk bertemu jalan raya. Nasib hidup di pedesaan gitu, untuk menemukan mobil saja harus berjalan segitu jauhnya. Tapi, sekolah memang hal yang pantas diperjuangkan.
Perjalanan 1 kilometer itu harus melewati satu desa dan persawahan, di pagi hari, saat cuaca cerah atau sehabis hujan...langit warnanya biru kaya air laut. Padi menguning, kadang masih hijau, kadang baru ditanam, kadang baru dipanen, kadang gue sama temen-temen malah berhenti sebentar nonton petani bajak sawah. Udara segar, bau tanah persawahan, bau daun-daunan, bau sabun mandi murah yang kami pakai mandi sebelum berangkat sekolah. Di sebelah barat, ada Gunung Slamet berdiri kokoh seperti tiang pancang. Di depan kami, ada Gunung Lawe atau Gunung Pawinihan, lebih seperti pegunungan sih. Dan disebelah timur ada 2 gunung lagi, yaitu Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Dua gunung ini mungkin kembar, berjejer mirip...ya mirip dua gunung yang berjejer lah. Perbedaannya cuma ada dipuncak, yang satu rata, yang satu agak bergerigi kalau dilihat dari jauh. Satu temen gue pernah bilang kalau dulu, Gunung Sindoro dan Sumbing tuh hidup, begitupun Gunung Slamet. Mereka berantem dan bawa senjata (gue lupa senjatanya apa), makanya sekarang Gunung Sumbing puncaknya ga rata karena dipukulin Gunung Slamet. Dan Gunung Slamet ada bagian seperti cakaran (obrolan anak-anak), dan dulu gue percaya aja di ceritain gituan.

Selama gue sekolah, gunung-gunung itulah yang nemenin, mungkin juga jadi pelarian saat kepala pusing mikir ulangan. Bisa dibayangin lah kaya apa pemandangan ditempat gue berdiri dulu: di jalan dengan seragam sekolah dan ransel berat, melihat persawahan yang luas, lalu background gunung dan langit biru, petani dengan caping dan cangkul, suara aliran air untuk irigasi....gue punya hal yang anak-anak jaman sekarang ga punya :') .

Jadi begitu ada kabar Gunung Sindoro statusnya dinaikkan, ada masa lalu yang tiba-tiba muncul. Semoga hanya 'batuk' kecil, kaya Gunung Slamet yang belum lama ini juga pernah dinaikkan statusnya dan untungnya, Alhamdulillah udah aman. Semoga, amin.
Dulu juga pernah ke Jogjakarta, melewati gunung Sindoro-Sumbing. Jalannya pas banget ada ditengah-tengah dua gunung itu, gue bahkan sempet ambil gambar Gunung Sindoro dari jarak deket banget. Mudah-mudahan negative-nya masih ada, jadi kapan-kapan bisa dicetak.
Percaya aja sama Gusti Allah, keluarga Bu Lik gue juga ada di Wonosobo, Selomerto tepatnya, di belakang kecamatan (lengkap bener). Ga ada keluarga disana pun, pasti di doain juga...semuanya akan baik-baik saja. Insya Allah.

Dulu, kita sering gambar pemandangan yang isinya PASTI ada gunung, sawah, hutan, sungai kecil, matahari baru terbit dan burung yang serupa huruf 'W'....itu memang ada, gue pernah liat...saat gue masih berseragam sekolah dan terbungkuk karena ransel yang berat.

:')

-

Senin, 05 Desember 2011

Mundur

Mungkin ini saatnya, waktu yang tepat untuk benar-benar mundur dari persaingan sepihak yang aku buat sendiri. Satu kalimatmu hari ini, memberiku kesadaran bahwa aku tak akan pernah bisa memilikimu. Iya, aku menyerah setelah kerinduan panjang menghantuiku.

Aku pernah berdiri tegap di depan satu orang asing, menanyakan kesempatan yang tak pernah kupunya sampai hari ini. Aneh memang, jika rasa tumbuh hanya karena paragraf-paragraf yang tertata rapi. Aku iri, aku cinta kebebasanmu. Sering sekali ku ucap kata-kata itu, dan terbukti...aku selalu tertarik pada seseorang dengan kebebasan. Pecinta alam, petualangan, lalu tulisan, kemudian potret-potret menakjubkan tentang perjalanan. Apa yang salah jika tumbuhnya rasa bukan karena rupa? Apa yang aneh jika cerita mengenai perjalanan bisa dalam sekejap membuatku jatuh cinta?

Aku pernah mendapat jawaban pahit yang tersirat dari kata-kata bernada biasa, memukulku tepat di dada, menghasilkan sesak tiada tara. Seseorang telah lebih dulu berdiam disana, dihatinya. Aku salah tempat, aku kalah cepat. Meski tak ada siapa-siapa, belum tentu juga dapat kumasuki seenaknya. Aku terkekang jarak, aku terhalang waktu, dan aku bukan siapa-siapa.

Hari ini, siapa sudah memilikimu? Parasnya pasti ayu, ataukah dia masa lalu? Bukan urusanku, 'kan?

Aku pernah berbicara lantang tentang perasaan pada seorang asing, seseorang dengan bentuk tak sempurna penggangu isi kepala. Aku membela hati, aku melawan rasa takut demi gejolak terpendam didalamnya.
Kini hanya tinggal kesendirian yang menyepi, angan saja enggan menepi, kenyataan apalagi.
Benar, hari ini tepat untukku berhenti, untuk mundur, untuk sadar kalau resahmu tak akan bisa ku obati.

-

Sabtu, 03 Desember 2011

Rindu Itu...

Kamu tahu? Rindu itu kamu.
Aku pernah terbang karena kamu, karena kamu adalah rindu.
Aku pernah menyublim karena rindu, itulah kamu.

Aku juga pernah ragu karena kamu, karena rinduku hanya kamu.
Aku pernah resah, aku sebut itu rindu. Karena yang membayang tampak seperti wajahmu.

Aku sering menangisimu, tentu saja karena rindu. Rindu adalah kamu.
Aku kenal pilu, terima kasih, kamu.
Aku merasa perih, karena tak bisa memilikimu, rindu. Oh, bukankah rindu itu kamu?

Aku bisa saja jatuh karena rindu, kalau memang itu kamu.

-

Jumat, 02 Desember 2011

Talking About Myself : Bahasa

Kali ini nulis yang agak beda. Pake gue-elo, dan dengan bahasa yang ga baku-baku banget. Sekali-kali santai lah ya, galau mulu sih gue kerjaannya, apalagi kalau turun ujan, beuuhh...

Berbicara tentang 'Bahasa', kebetulan--bukan, ga ada kebetulan di dunia ini. Gue orang Jawa asli, nyokap-bokap asli Banjarnegara, Jawa Tengah. Banjarnegara itu letaknya diperbatasan, perbatasan Banyumas dan Wonosobo. Agak-agak labil bahasanya, dan Bahasa Ngapak itu basic buat gue. Tau kan Bahasa Ngapak? Bahasa medok khas Banyumas (bukan Tegal), sampai hari ini gue masih gunakan dan ga akan pernah lupa meski sudah di Jakarta. (asik kan gue)

Karena di perbatasan, jadi bahasa kita agak rancu. Ada yang ngapak banget, ada juga yang sudah 'terkontaminasi' bahasa Wonosobo. Wonosobo itu udah mulai halus bahasanya, ya itu, batasnya ada di daerah gue. Dari Banjarnegara ke barat udah mulai ngapak, kalau ke timur (which is Wonosobo-Solo-Jogja) udah mulai halus.

(bingung dah sono)

Gue sendiri, selain Bahasa Indonesia yang sudah fasih banget, bahasa Jawa gue juga udah nyampur-nyampur. Basic-nya ngapak, ada pengaruh dari Wonosobo juga, dan sekarang sehari-harinya ketemu bos yang orang Semarang. Orang yang aktif di Twitter pasti udah tau kadang gue nulis pake Bahasa Jawa, itu udah lumayan halus. Beda kalau ketemu sama satu akun ngapak, gue akan otomatis balik ke bahasa asal. Hei, gue punya banyak bahasa.

Suka kangen pengen pulang kampung kalo udah liat satu akun ngapak itu, maklum cuma pulang setahun sekali. Kalau udah homesick parah biasanya suka kesel, antara kangen dan ga bisa pulang. Pengen nendang satu orang juga, dia bolak-balik Jakarta-Wonosobo sering banget dan apapun yang dia bilang pasti bikin otak panas. (lirik tajam ke cowok sipit yang suka ngata-ngatain Liverpool). Dia belum tau rasanya ditendang pake perasaan kayaknya (sempet banget ya nulis beginian).

Oke, sebelum bahasan melenceng ke dia, mari kembali ke jalan yang benar. Bahasa Indonesia fasih lah pasti, bahasa Jawa oke, meski agak durhaka kalo menyangkut aksara Jawa, kromo alus, kromo inggil. Semoga diampuni, termasuk muka yang katanya Batak. Bahasa Inggris, yes-no doang mah kecil. Apalagi kalau 'i love you', gue hafal di luar kepala. Bahasa-bahasa itu belum termasuk Bahasa Tubuh, Bahasa Kalbu, Bahasa Isyarat, juga bahasa kalau lagi galau. Semuanya beda.

Udah, itu doang. Penting ga penting ya terserah gue, lha wong gue yang nulis. Dibaca ya syukur, ga dibaca juga ga dosa kan? (dikepruk massal).

Pokoke, ngapak wis ngalir lan nandes balung. Bahasa Indonesia udah nyatu sama nafas, bahasa kalbu hanya gue yang tau. Bahasa baku dipake buat galau, bahasa Jawa dipake buat nyepik.

Ojo wani-wani metu seko atiku, awas kowe.

-