Rabu, 26 Oktober 2011

Tapak Masa Lalu

Suara angin terdengar jelas hingga sempat memotong pembicaraan kami, '' Aku lagi dipinggir pantai " katanya malam itu. Jauh dikota Padang dan aku di Jakarta, rasanya sulit sekali mencari ketenangan selain mendengar suara itu. Desir angin dan suara ombak terbawa masuk ke kamarku yang kecil dan seadanya di pinggiran kota, seolah-olah mendekatkan kita dijarak yang entah berapa jauhnya.

'' Aku sayang kamu ", ujarku seletah keheningan mencekik diantara deru ombak diujung telepon. Lalu hening kembali. Lama sekali kami terjebak dalam pikiran masing-masing, entah apa yang sedang dia pikirkan saat itu. " Aku juga, aku juga sayang kamu ", akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutnya dengan sedikit tercekat, dan disusul satu tarikan nafas yang sangat dalam.

'' Kamu selalu bisa bikin aku nangis ", lanjutnya dengan nada yang dibuat tenang. Aku masih diam. Sejak kita berpisah dua tahun lalu, ketika pembicaraan seperti ini dimulai, air matanya senang sekali ikut campur. Aku tersenyum kecut, bahkan dia lebih sering menangis dibandingkan aku. Tak aku sangka, kalau kesalahan itu masih terus membekas seolah tidak dapat dimaafkan.

Dua tahun lalu, aku memutuskan untuk memutus satu hubungan jarak jauh dengannya. Hubungan yang sudah mulai dipupuk dari aku masih duduk di bangku SMP, sampai hari itu. Aku tidak tahu ternyata hatinya sudah terbagi, bukan dengan orang lain, tapi dengan saudara jauhku sendiri. Kabar yang beredar begitu, dan aku makin tidak terima saat dia mengakui perbuatannya. Aku marah, aku bercermin mencari kekuranganku...memang benar, aku masih banyak kekurangan. Aku pikir terlalu lama jika menunggu satu moment pertemuan dengannya, jadi aku putuskan untuk mengatakannya lewat telepon. Hari itu, aku melepaskan seseorang yang sejak kecil aku kagumi dan aku bayangkan ada disisiku selamanya.

Aku mencoba hidup seperti biasa, aku berusaha melupakan kejadian itu dan sama sekali tidak mudah. Hingga akhirnya aku bisa menerima, iya, dia salah, akupun. Tapi tidak benar rasanya jika aku terus memperdalam luka, aku mau sembuh dan bukan dengan menyimpan amarah untuknya.

'' Orang yang dapat kamu pasti beruntung...'', Katanya pelan. Suara angin semakin kencang, tapi keheningan masih belum melebur diantara kami. Setelah aku memaafkan, setelah aku lupa, setelah keadaan membaik dan setelah perasaan kami mulai tumbuh kembali....kami malah tidak bisa menyatukannya. Ada hal yang selalu memberi kami jarak, rasa bersalahnya justru semakin besar saat aku sudah kembali tersenyum.

Kamu ga mau jadi orang yang beruntung itu? . Batinku ternyata lebih banyak bicara dari pada bibir ini, aku hanya diam tanpa tahu cara bagaimana menimpali kalimatnya. '' Harusnya ini masih bisa diperbaiki '', hanya kata-kata ini yang masih mampu aku ucapkan, selalu kata-kata itu.

'' Hmmh...aku takut kamu terluka lagi, sudah cukup hatimu sakit karena aku...'' timpalnya. '' Aku sayang kamu, sayang banget...kamu orang baik, kamu juga berhak dapet yang lebih baik dan aku...tidak sebaik itu..'', suaranya melemah bercampur dengan sapuan angin yang bercampur ombak. Aku tersenyum hambar, perih sekali rasanya dihadapkan oleh kenyataan yang tidak diingikan. Bahwa kami sudah benar-benar tidak bisa bersatu kembali.

Aku selalu membuatnya menangis karena telah memaafkan, mungkin ini akan terus berlangsung sampai waktu berikutnya jika kami masih berusaha menyatukan hati. Kesalahannya akan terus terlihat setiap kali mengingatku, begitupun airmata yang pasti akan terus meleleh dari matanya.

Aku lagi-lagi harus berusaha, bukan memaafkan...melainkan ikhlas melepas kembali cinta pertamaku. Melepas laki-laki yang sering menangis tanpa aku sakiti, dan jika ada istilah ' Saat ada laki-laki yang menangis untukmu, nikahi dia ''.... aku hanya bisa tertawa. Nyatanya, aku memilih meninggalkan laki-laki itu.

Aku lega jika meninggalkannya adalah baik untuknya, aku rela menanggalkan perasaan cinta ... asal tidak ada air mata lagi. Tidak pernah ada penyesalan dalam hal ini, Aku belajar memaafkan, aku belajar menjadi orang yang lebih baik, aku berusaha sabar dan aku belajar untuk menerima.

Dalam satu perjalanan, mungkin kita pernah terperosok, mungkin juga pernah salah arah...tapi jejak tetaplah jejak, akan terus berbekas dan menorehkan satu kisah lama. Itu hal biasa. Aku tidak pernah menyesal, hal yang sudah dilalui dimasa lalu..aku anggap sebagai penanda dari Tuhan, untuk mempermudah jalanku ke masa depan.

Aku tidak pernah menyesal, sungguh.

-

Senin, 24 Oktober 2011

Senja

Saya mencintai senja, segaris warna jingga juga redup cahaya matahari yang sebentar lagi kembali ke peraduannya. Saya menikmati menit demi menit jingga berubah menjadi malam, menghitung mundur keindahan yang sebentar lagi kosong oleh kegelapan.


Senja hari ini adalah senja tanpa jingga, Jakarta memang dapat mengubah apa saja...termasuk juga senja saya. Hanya ada wajah lelah, klakson kendaraan bermotor dan hiruk pikuk pikiran serta masalah masing-masing penghuninya. Senja saya terhalang kabel listrik...senja saya tertutup gedung-gedung pencakar langit.


Satu langit, satu senja dengan perasaan berbeda. Saya berada sama dibawah langit yang mulai redup oleh cahaya, denganmu. Saya juga berpijak diatas bumi, dimana kakimu juga menapakinya. Apakah kamu melihat langit? Apakah kamu merasakan hal yang sama dengan saya? Bahwa senja kita tidak semenarik biasanya..bahwa langit tak seluas seperti langit kampung halaman kita?


Satu jingga, bermacam cerita tercipta. Saya mengisinya dengan sedikit lukisan tentangmu, sekelebat senyum yang selalu melintas, juga satu paragraf rasa iri karena berbagai gambaran kisah perjalananmu. Saya menyukai senja dengan segala rupa, jingga, mendung, bahkan hujan pun tak menghalangiku untuk tetap mematung menatapnya.

Saya menikmati senja dengan cara saya, mencintai secara sempurna, dan mengukirnya dalam di memori kepala.


-

Kamis, 20 Oktober 2011

Perasaan Hari Ini

Untuk seseorang yang mungkin akan membuatku jatuh cinta.
Aku tahu Tuhan sudah menempatkanmu ditempat dan waktu yang tepat, mungkin bukan hari ini atau besok, ataupun lusa. Tapi aku yakin waktunya tidak akan lama.

I think that possibly maybe i'm falling for you...

Aku sudah jatuh cinta denganmu dari hari ini, dari detik kosong yang terus berjalan. Juga dari ruang hati yang masih dipersiapkan, untukmu. Orang pernah berkata ''Aku tidak dapat berjanji akan mencintaimu selamanya, aku hanya akan mencintaimu setiap hari dan akan terus mengulanginya''.

Aku setuju, aku melakukannya dari hari ini. sejak aku belum benar-benar mengenalmu dan sejak mata kita belum pernah saling berpandangan.




>> click: http://www.youtube.com/watch?v=kLfjhSmvFjM&feature=player_detailpage > untuk aku dan kamu yang mungkin sedang jatuh cinta, a simple song with extraordinary feelings inside.

Aku mungkin sedang jatuh cinta, dengan seseorang ataupun sesuatu. Dengan ini > http://www.youtube.com/watch?v=swWYvpsLr4o&feature=player_detailpage > maka jatuh cintamu akan sempurna.

I just wanna hold you..
I just wanna kiss you..
I just wanna love all my life..

Call me crazy, but it's true: i love you..

-

Rabu, 19 Oktober 2011

Think Of You

http://www.youtube.com/watch?v=uwlGtH_F0n4&feature=player_detailpage


Think Of Love


....When i think of love, i just think of you.


Ini adalah salah satu lagu yang saya sangat suka, musik sederhana, lirik yang terus membuat senyum. Meski mungkin kedengaran agak gombal, but just listen. Saya bahkan tidak pernah bosan mendengarnya dari beberapa tahun lalu. Banyak musisi yang tidak 'kebagian tempat', padahal karyanya tidak kalah dengan yang sudah sering muncul di televisi. Salah satunya ini, 'Risin' Black Hole'.


Sometimes i wanna give you all the love that i have

Cause when you smile, it's seems all problems are vanished to the sky...


Oh i was thinking, why i need you more..why i need you more..


Sometimes i wanna give you all the time that i have

Cause when you die, my world come tumbling down in front of me


Oh i was thinking, why i need you more

Each day..


When i think love i just think of you

I said i want you..i want you to be my wife..

Sometimes i wanna give you all the love that i have
Cause you ain't say nothing, why i wanna share my life with you
Oh i was thinking, why i need you more..

Would you marry me?

...........

-

Senin, 17 Oktober 2011

Dibatas Jakarta Dan Tentang Penantian

27 Agustus, 2011.
Terminal Lebak Bulus masih gelap, hari itu pukul 05.00 WIB. Saya, ibu dan bapak saya sudah sampai disana dengan menggunakan taksi, itu adalah hari dimana saya dan keluarga memutuskan pulang kampung setelah satu tahun penuh merantau di Jakarta. Pikiran kami sudah ada di kampung halaman sejak sebelum bulan ramadhan, sepertinya memang kami sudah bosan dan ingin segera bertemu keluarga besar.

Tiga tas besar sudah dipindahkan dari bagasi taksi ke bawah pohon rambutan, tempat dimana orang-orang seperti saya menunggu kedatangan bus. Kami pikir, kami sudah cukup pagi untuk berada di terminal..tapi ternyata, ada yang jauh lebih pagi melebihi saya. Loket tiket masih tutup, hanya ada kertas kecil bertuliskan 'Tiket dijual diatas bus'. Iya, setiap tahun memang seperti ini keadaannya. Loket tidak melayani pembelian tiket, yang kami lakukan hanya menunggu dan menunggu bus kami datang. Tidak sampai disitu, setelah bus datang kami masih harus berebut kursi dengan banyak penumpang lain. Tahun ini, kaki saya lebam sampai seminggu lamanya karena terdorong banyak laki-laki yang juga ingin cepat masuk ke dalam bus. Sungguh perjuangan yang melelahkan.

Pukul 05.30 WIB kami mulai menunggu, banyak sekali macam manusia disana, banyak wajah-wajah seperti saya. Wajah anggota keluarga yang rindu kampung halamannya, wajah perantau yang sudah bosan dengan hiruk pikuk Jakarta, juga wajah kosong dan putus asa. Udara masih dingin, lalu perlahan muncul semburat cahaya kuning dari arah timur. Hari sudah mulai siang, dan kami masih menunggu kepastian.

Kami duduk dimanapun badan dapat ditumpu, di pelataran, di pojok, sampai menjadi penunggu pohon rambutan. Dari jauh, saya memperhatikan ibu saya yang sedang berbincang dengan seseorang. Seorang wanita tua, mungkin sekitar 60 tahunan, dengan badan kurus dan jilbab yang sudah tidak rapi lagi. untuk beberapa saat, ibu saya tampak mengangguk dan menimpali perkataan wanita itu. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi wanita itu tampak semangat menceritakannya.

Setelah ibu saya kembali, saya langsung bertanya apa yang mereka bicarakan. ibu saya bercerita kalau dia sedang menunggu anak satu-satunya dari pukul 11.00 WIB kemarin, ''Anakku satu-satunya sudah menikah 9 bulan, dia takut sama istrinya. Dia telpon bialng dia mau kasih aku uang, aku disuruh nunggu di sini, tapi smpai sekarang dia belum datang'' kata ibu saya menirukan cara wanita itu berbicara. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, saya dapat melihat bibirnya menyunggingkan sedikit senyum meski matanya berkaca-kaca. Saat itu baru pukul 07.30 WIB, artinya dia sudah menunggu 19 jam lebih disana.

Dia terus meracu pada siapa saja yang duduk didekatnya, bercerita tentang apa saja berusaha membunuh waktu, mungkin sampai putranya datang nanti. Entah kapan. Saya hanya memandangnya dari jauh, menatap raut itu sesekali berharap saat saya menengok, putra satu-satunya sudah ada disampingnya. Saya tidak dapat melakukan apapun, saya bukan siapa-siapa dan saya bukan orang yang pandai berbicara jika ingin menemaninya berbincang.

Saya sedang melihat seorang ibu, yang menunggu dan terus menunggu. Mungkin sebentar lagi seseorang akan datang, toh lebih baik berharap dari pada mengeluh, bukan? Saya melihat kesabaran seorang ibu, saya melihat ketulusannya. Kalau hanya semata karena uang, saya yakin tidak akan sesabar itu. Putranyalah motivasi dia masih duduk di emperan, sendiri dan tanpa kepastian.
Yang dia tahu, putranya akan datang dan penantiannya terbayar. Itu saja.

Hari makin siang, dzuhur, dan setelah berjam-jam menunggu satu bus datang dengan disambut banyak orang yang langsung berhamburan. Saya satu diantara banyak orang itu, kaki lebam-lebam menjadi bukti meski tetap saja saya tidak mendapat kursi.

Hingga bus saya berangkat, saya belum melihat wanita itu bertemu putranya. Saya tidak tahu sampai kapan dia menunggu, saya hanya membawa wajah itu sampai hari ini. Dialah seorang IBU.

-

Rabu, 12 Oktober 2011

Satu Waktu Di Masa Lampau

Bertiga, kita beriringan menyusuri bibir sungai, masa itu. Aku dan kalian, kita belumlah setua sekarang juga belum serumit hari ini. Dengan bertelanjang kaki kalian memimpin langkahku di depan, aku mengikuti, memang selalu begitu. Kita masih bebas dengan tawa lepas dan pikiran lugu dari pagi hingga malamnya.

Aku menjadi yang termuda, terlemah dan tidak punya darah laki-laki sedikitpun. Aku tidak pandai memanjat, tidak lihai berenang di sungai, bahkan tidak becus memegang parang. Jiwa dan keberanian kalian adalah hal yang tak pernah aku miliki sampai hari ini, aku masih sama seperti dulu, asal kalian tahu.

Aku ingat hari itu, di bawah pohon kopi, kita bertiga. Bertiga menikmati sepoi angin, menghirup harum bunga kopi yang baru saja bermekaran dan membicarakan dunia kita. Sekolah, pekerjaan rumah, hingga seseorang yang sedang kita suka. Kita benar-benar tidak punya rahasia, mungkin itu yang mengikat kita sampai hari ini.

Sekarang, semua sudah berubah. Aku dan kalian banyak diubah oleh perjalanan, aku dan kalian sudah tumbuh sesuai jalan hidup kita masing-masing. Kalian sudah memiliki keluarga kecil, dan aku masih sendirian. Bukan masalah, toh kalian juga yang meramalkan urutan ini, aku yang terakhir menemukan seseorang. Kalian benar.

Hari ini aku masih seperti dulu, seperti sudah kalian tahu. Terima kasih untuk masa kecil nakal yang tidak terlupakan, kalian pastilah lelah mengajariku untuk berani. Mungkin juga kalian bosan melindungi bocah kecil yang begitu menuruti peraturan, aku iri dengan pembangkangan yang kalian lakukan. Hingga kita berpisah, aku belum bisa membangkang seperti kalian. Kalian harus mengajariku suatu hari nanti, sebelum salah satu dari kita mati tentu saja.

Untuk dua sahabat masa kecilku, dan keluarga. Aku masih ingat hari itu.

-

Selasa, 11 Oktober 2011

Ketika Gelap Mengisi

Ketika cahaya sengaja dicari untuk menerangi kegelapan, mengisi ruang yang sebentar lagi berlumut...saat itu mata sudah lelah. Ketika riuh suara burung hanya terdengar tanpa dapat dilihat, ingatan tentang rupa mahkluk kecil bersayap digali hingga saat terakhir menatapnya.

Mata rupanya sudah tua, mungkin juga sudah terlalu renta untuk dapat membuka dan menikmati dunia. Macam warna, banyak wajah, yang dulu sempat terekam kini tidak dapat dilihat lagi. Hanya kegelapan, hanya suara dan hanya sekelompok kira-kia saat kamu menunjuk sebuah benda. Aku sudah tidak dapat melihatnya.

Saya pernah melihat macam bunga, saya pernah mengagumi langit dan seisinya, saya juga pernah mencuri pandang dengan seseorang yang saya suka. Hanya untuk separuh umur, hanya untuk bekal saya di hari tua. Awal kegelapan yang sangat indah, sisanya...saya hanya dapat menerka-nerka.

Dulu, saya memang memiliki dunia...kini, saya juga punya satu dunia, dunia nan gelap. Mata sudah tak lagi bekerja, mungkin hingga terdengar suara malaikat pencabut nyawa yang juga belum pasti saya dapat melihat wujudnnya.

Saya hanya belum siap kehilangan cahaya, saya masih ingin menatap langit juga senja, saya suka kelip bintang di malam hari, saya juga suka mengisi ingatan dengan wajahnya. Tapi tidak lagi...langit jingga sore hari sudah berganti malam, kelip bintangpun tak akan bersuara, bahkan wajah itu belum saya miliki seutuhnya. Gelap, saya sudah memasuki sisa waktu setelah bermain-main dengan dunia, waktu dimana saya kehilangan warna.

Saya buta.

-