Rabu, 30 November 2011

Dihapus Waktu

''Bapak nyari kunci, tadi di letak dimana ya?'' katanya, sore itu. Aku baru saja pulang dari bekerja, dan menemukan ayahku mondar-mandir sambil membuka satu persatu laci di rumah. Hari itu adalah awal, awal dimana aku mulai kehilangan dirinya secara perlahan.

Matanya kosong, menatap lurus ke arah tanaman apotek hidup di beranda belakang, dulu dia dan almarhumah Ibu yang menanamnya sendiri. Badannya kurus, kedua tangannya dipangku di atas paha, kulitnya tak secerah dulu, juga tak sekencang saat dia masih suka mengantarku dengan Vespa merah hati miliknya ketempat ku bekerja. Raut wajah itu dulu selalu tersenyum, ketika Ibu pergipun, Ayah masih tersenyum meski matanya penuh dengan kesedihan. Kontras sekali dengan hari ini.

''Bapak, sedang apa?'' tanyaku sambil menggenggam jemari kurusnya. Dia melirik sebentar, lalu kembali menatap tanaman-tanaman yang hanya berjarak 2 meter didepannya. Air mataku selalu dapat ku tahan, setiap hari, sejak dokter memvonis Bapak mengidap Alzheimer, hampir dua tahun yang lalu.

''Bapak ingat aku?'' tanyaku lagi, pertanyaan ini tak pernah lupa ku tanyakan setiap harinya. Meski harus menerima kenyataan kalau Ayahku sudah lupa, tapi tak ada salahnya, bukan? ''Aku anakmu, Pak...dan aku sayang banget sama Bapak...''.
Ku letakkan kepala dipangkuannya, meraih tangannya dan ku 'paksa' mengusap rambutku. Seperti dulu, seperti saat Ibu meninggal dan aku tak bisa berhenti menangis. Atau seperti saat aku terbangun dari mimpi buruk dini hari, dan berlari ke kamarnya karena takut.

Ku pikir, kunci pintu yang ada di kulkas hari itu hanya sekedar pikun biasa yang diderita pria 54 tahun. Aku pikir, tak apa kalau Ayahku lupa kapan hari ulang tahunku. Tapi tidak, Ayahku lupa cara mengenakan sarung saat shalat, lupa hari dan tanggal sampai lupa siapa namaku...tidakkah itu menyakitkan? Kamu kehilangan tawa seseorang secara perlahan, karena waktu menghapus semua memori selama hidupnya? Menangislah, kataku pada diri sendiri.

''Bapak tau, hari ini aku berulang tahun...'' ujarku kembali setelah air mata pertama terjatuh, ''Aku senang Bapak masih sehat, dan insya Allah...tahun depan, kita masih seperti ini. Ditempat ini, kita berdua''. Akui saja, akui kalau kamu sudah kehilangan Ayahmu...akui saja. Bahkan otakku sudah ikut memberi sugesti tanpa bisa ku kendalikan lagi, memang hanya raga ini yang tersisa, tidak ada satupun kenangan yang masih dapat diingat olehnya, tak satupun.
Tangannya tiba-tiba bergerak mengusap rambutku pelan, aku tersentak kaget dan langsung bangkit menatap wajah itu. Matanya menatapku lama, dengan bibir bergetar dia mencoba tersenyum, mengangkat tangan kanan dan mengusap pipiku.

''Se-selam-at..u-u-ulang..tatata-ta-hun...'' lirihnya.

-

Sabtu, 26 November 2011

'' Apa Sudah Terisi ? ''

''Masihkah ada kesempatan untuk ku memiliki hatimu?''

Senja cepat sekali berakhir, matahari sudah tenggelam, tapi waktuku banyak dan aku masih sabar menunggunya. Di sebuah food court tempat perbelanjaan Jakarta, aku memilih tempat tepat didepan jendela yang mengarah ke barat. Segelas air putih dan secangkir kopi sudah habis sedari tadi, mataku menerawang ke langit yang menghitam. Kosong. Awan juga lenyap, tinggal bintang buatan yang selalu menempel di gedung-gedung perkantoran.

''Maaf lama, tadi macet banget...'' seseorang yang sudah 1 jam kutunggu akhirnya datang. Senyumnya belum berubah sejak kami bertemu di book fair dulu, masih saja membuatku tak ingin berpaling darinya. ''...lapeeerr, mau makan dong. Menu mana nih?'' lanjutnya sambil menebar pandangan mencari waiter disana.
Sepiring nasi goreng sudah habis dilahapnya, segelas jus tomatpun ludes. Dia mengeluarkan botol air mineral dari dalam tas selempang yang diletakan di kursi sebelah, lalu segera menenggaknya. Aku tersenyum tanpa sedetikpun mengalihkan pandangan, kesukaannya dengan air putih mungkin salah satu daya tarik tersendiri yang dia miliki.
''Aku mau ngomong sesuatu...'' kataku setelah dia menyimpan kembali air mineralnya ke dalam tas. Dahinya berkerut, lalu tersenyum.
''Tumben, mau ngomong apa sih?'' tanyanya.
''Apa kabar hatimu?''
''Hati? Mmm..baik, senang, seperti biasa. Emang kenapa?''
''Bukan itu...'' lanjutku pelan, ku hirup nafas dalam-dalam dan ku tatap lagi mata itu. ''Maksudku..hatimu, apa sudah terisi?''
''Terisi? Ngomong yang jelas dong, bingung nih..'' lucu sekali wajahnya saat dia bingung, andai saja tidak sedang membicarakan hati, pasti aku sudah terbahak-bahak didepannya.
''Iya, terisi. Apa hatimu sudah terisi? Apa hatimu sudah termiliki?....''
''Kamu...''
''...apa aku masih punya kesempatan untuk mengisinya?'' kata ku mantap. Sudah lama aku menunggu hari ini, sejak bertemu, hati memang sudah merasakan sesuatu. Tapi aku acuh, love at the first sight is non sense and i don't believe it. Tapi, semakin lama bersamanya, semakin sering membaca tulisannya, rasa itu semakin kuat dan semakin kuat. Hingga suatu hari, aku sadar kalau aku benar-benar sedang jatuh cinta, padanya.
''Aku ga tau....'' ujarnya memecah keheningan, wajahnya berpaling ke kegelapan diluar seolah ingin menghindari cecaran mataku.
''oohh...jadi memang udah ga ada kesempatan lagi kan buatku?''. Dia kembali menatapku, entah sampai kapan sorot itu masih bisa ku kagumi. Setelah ini, mungkin dia akan menjauh, menganggapku seorang wanita agresif, mungkin juga dia akan langsung menghilang.
''Aku ga bilang begitu....''
''Ga apa-apa, kok. Aku sudah tau...''

Masa lalunya belum benar-benar dia lepas, meski hanya satu kalimat dia menulis tentang 'Dia'...aku tahu, hatinya masih tertambat. Perempuan itu pastilah istimewa, mungkin cantik dan mungkin baik hati. Hingga untuk dilupakan saja, dia belum bisa. Andai aku jadi dia, tak akan pernah ku lepas laki-laki bermata sipit di hadapanku ini. Andai aku jadi dia, tak akan pernah ku tinggalkan kehangatan senyumnya. Tidak akan pernah.

Matanya tertuju ke bulan sabit di langit, entah apa yang dia pikirkan tentang aku setelah terang-terangan mengaku mengenai hati. Aku tidak peduli, aku sudah cukup tersiksa menyimpan ini sendirian. Tak apa kalau kesempatan tidak ada dipihakku, aku akan berusaha mengerti.

''Maaf...'' ucapnya lirih. Aku hanya tersenyum dan menggeleng, aku kehilangan dia...
''Ga apa-apa''

-

Kamis, 24 November 2011

Selamat Hari Guru

Guru, saya pernah bercita-cita menjadi seorang guru Bahasa Inggris. Ibu Wilujeng Hartanti, guru bahasa Inggris saya yang entah kenapa bisa sangat menginspirasi. Caranya berinteraksi dengan murid ataupun cara menerangkan pelajaran. Tenses sampai vocabulary diterangkan dengan cara yang sangat berbeda untuk memudahkan kami mencerna. Juga satu-satunya guru yang memanggil saya dengan menyebut nama tengah. Awalnya agak sedikit aneh, tapi lama kelamaan saya malah suka dipanggil seperti itu.
Terdengar lebih akrab ditelinga saya.

Lain lagi dengan Pak Sobron, guru matematika yang wajahnya sangat tegas dengan kumis 'Pager Kabupaten'nya (Pak Sardijan yang bilang begitu lho, pak). Saya pernah dihukum berdiri didepan kelas dan diperintahkan untuk tertawa tanpa boleh berhenti, salah saya yang cekikikan saat jam pelajaran berlangsung. Malu sekali kalau ingat kejadian itu.
Ada satu lagi, Dwi Lina Rahmawati. Juga guru matematika saya, dari kedua guru tersebut saya jadi tidak takut matematika. Saya malah lebih memilih matematika dari pada PPKN atau IPS.

Matematika adalah tentang kepastian. Jawaban dari soal matematika itu sudah harga mati, salah satu angka ataupun salah menempatkan koma (,) saja...dipastikan salah. Tidak ada toleransi 'Jawaban nyerempet' dan diberi nilai setengah seperti PPKN.

Dan satu-satunya guru sejarah yang sangat humble sekaligus tegas adalah Ibu Milati Aliyah. Yang tidak lain adalah istri dari Pak 'Pager Kabupaten' Sobron. Beliau senang sekali bercanda dengan 'Pitechantropus Erectus' dan 'Homo Sapiens'. Kalau ulangan, hanya dibacakan soal dan tidak bisa diulang, jadi mau tak mau harus menyimak.

Para guru tersebut dan yang tidak sempat disebut, telah mengajarkan banyak hal. Pelajaran pasti, disiplin iya, kejujuran dan juga mengajarkan jalan pintas saat mengerjakan matematika. Bukan nyontek, jalan pintas adalah cara pengerjaan matematika dengan cara yang lebih singkat dan benar. Sama halnya seperti mengingat jumlah hari dalam bulan dengan menghitung ruas tulang punggung telapak tangan.

Selamat Hari Guru, terima kasih telah mengantar saya sampai detik ini dengan ilmu yang susah payah diajarkan. Maaf jika dulu, saya pernah membuat kesal, pernah menulis contekan rumus di penghapus, juga pernah mengeluh kenapa soal ulangan begitu sulit dikerjakan. Semoga terus diberi kesehatan, semoga tetap menjadi teladan.

Terima kasih guru, terima kasih telah menjadi bagian penting dalam perjalanan saya, terima kasih banyak para pahlawan tanpa tanda jasa.

-

Akal Sehat (?)

Menunggumu tak seperti dugaanku, menunggumu sama saja mengitari waktu yang entah dimana ujungnya. Aku baru memulainya, tapi lelah sudah mulai menggelayuti pikiran. Masihkah kamu pura-pura tidak tahu tentang perasaanku? Masihkah samar rasa yang sudah jelas tergambar?

Aku menunggu tanpa tahu kepastian akan datang, tapi aku tak pernah berniat ingin berhenti. Haruskah aku sebodoh ini?

Jika hati sudah tertambat, kemana perginya akal sehat? Jangan permainkan rasa, cinta....
Bahkan aku belum fasih mengejamu meski dengan mata terbuka.

Ingatkan aku agar cepat berhenti dari perjalanan tanpa tujuan, beri aku gambaran tebing terjal ataupun angin kencang... Supaya dapat secepatnya mematahkan rindu, supaya aku takut meski hanya untuk sekedar menunggu.

-

Senin, 21 November 2011

Katamu...

Katamu ''Aku tidak tahu...''
Iya, mungkin maksudmu ''Bukan, bukan kamu..''

Aku bosan, kalau saja rindu dapat disimpan dalam kotak kenangan dan membuangnya jauh ke lautan...tak akan miris melihatnya terus saja berkeliaran.

Katamu ''Aku tidak tahu...''
Mungkin maksudnya ''Aku sudah punya dia...''

Lalu sia-sialah semua rindu...
Lalu matilah semua harap akan hadirmu disisiku.

Katamu ''Aku tidak berkata itu...''
Mungkin maksudmu ''Dia lebih baik dari mu..''

Kamu pandai menghaluskan pilu
Bagiku tak ada bedanya, toh tetap saja perih rasanya.

Katamu, ''Aku tidak tahu...''

-

Kamis, 17 November 2011

Di Jumat Pagi

Kemarin, saya terheran-heran dengan bos saya yang tiba-tiba menelpon rumah dan menanyakan keadaan anaknya. Bukan apa-apa, bos saya tidak sekedar menelpon, dia menelpon sambil menangis tersedu-sedu. Saya pikir dia sedang bertengkar dengan seseorang, atau apalah. Tapi saya salah.

Pagi ini, saat saya sudah memulai aktifitas saya, juga sedang memikirkan nasib perut yang masih kosong tentunya. Bos saya datang dan hanya butuh waktu 2 menit untuk menunggu dia bercerita.

''Kemaren aku ke Rumah Sakit Dharmais...'' ujarnya memecah keheningan, saya menengok dan langsung memperlihatkan muka hah-apa-bu? ke arahnya. ''...anak temenku sakit, kena kanker''. Sebelum saya sempat bertanya, dia melanjutkan dg nada bicara yang masih biasa ''Kelenjar getah bening...''

''Umur berapa? Kok bisa?'' tanya saya begitu ada sela untuk bertanya.

''Belum genap 5 tahun, awalnya tuh dia gondongan, terus kena hernia...nah, begitu mau dioperasi baru ketahuan kalau dia kena kanker...''

''udah lama? Dari kapan?'' potong saya.

''Baru kemaren, dia gondongan sebulan lamanya..mbok ya orang tuanya ngerti, diperiksain kek, apa kek. Begitu ketauan, udah berat. Dokter aja udah angkat tangan...'' katanya penuh amarah. Saya masih mendengarkan dan berusaha tidak terbawa kemarahan bos saya.

''Kemaren...aku kesana, kasihan liatnya. Tangan kanannya kaku, penuh jarum infus sampe dipakein kayu segala. Leher sebelah kanan diperban, dia cuma bisa tidur miring...'' kata-katanya mulai melemah, dia berusaha mengendalikan nafasnya sendiri. ''...dia cuma bisa merintih 'Sakit mama...sakit mama..sakit mam...' ''.

.................................

Kata-katanya tercekat, dia menunduk sambil menyeka air mata yang keluar. Hampir saja saya menangis, tapi saya coba bertahan meski sudah diujung dan tinggal jatuh saja.

''Kasihan...aku sampai nangis-nangis didepan orang tuanya, gak kuat liat dia begitu'' lanjutnya sembari menegakkan lagi kepala yang tadi tertunduk. ''Makanya kemaren ibu langsung telpon rumah, ga tau gimana rasanya kalo Si Mas kaya gitu. Kalo perlu, Si Mas di scan seluruh tubuh. Biarin deh bayar...'' Si Mas itu anaknya, karena orang Jawa jadi dipanggil 'Mas'.

Saya sesegera mungkin menetralkan perasaan, saya juga merasakan kesedihan meski dia bukan anak saya sendiri. Belum genap 5 tahun, dan sudah terkena kanker...entah seperti apa jadinya dunia saya kalau hal itu terjadi pada anak saya. (amit-amit).

''Aku tuh suka bingung, kenapa anak seperti itu harus dilahirkan ke dunia?'' tanyanya yang mengakhiri sesi sedih-sedihan pagi ini.

Well, kalau saya Tuhan, saya pasti akan langsung menjawab pertanyaan itu. Saya tidak akan membiarkan manusia mengambil kesimpulan sendiri atas keputusan saya, tapi sayangnya saya bukan Tuhan. Saya juga manusia biasa, saya suka menyimpulkan, saya hobi menerka-nerka dan saya...pernah menyalahkan Tuhan. Atas jalan hidup saya, atas nasib yang saya jalani, juga atas kehilangan yang saya tidak ingini.

Apapun yang sudah, sedang, maupun akan terjadi, saya pikir Tuhan selalu ada di pihak yang benar. Dan siapa yang bisa menentang-Nya?. Kata orang, selalu ada maksud disetiap kejadian. Iya, itu memang benar.
Dan Tuhan menciptakan sesuatu dengan alasan, bukan?

Yang terbaik adalah keputusan-Nya. Kita hanya bisa berdoa, berusaha, dan tentu saja percaya bahwa Dia ada tak jauh dari kita.

-

Senin, 14 November 2011

Aku Ingin Melihatnya

Mana hati yang sudah terisi?

Mana ruang yang sudah terkunci?

Aku ingin melihatnya...

Kelabu sore ini sia-sia, tak ada hujan atau jingga senja, hanya gelap dan angin yang merontokkan dedaunan. Mendung ini menarik sedikit ingatanku kepadamu, tentang rasa yang dipendam dan tawa yang terlalu masam.

Hatimu terisi, iya..aku tahu. Aku melihatnya tanpa harus bertanya, juga tanpa perlu mengintip kisahmu. Mungkin jemarimu sudah terlampau sering menuliskan namanya di kertas rahasia, tersimpan di rak lemari dan terukir dalam di hati. Aku tahu dan aku tidak peduli, kalau rindu sudah memburu, apa yang harus ku takuti?

Setengah luka sudah dibuat, akulah pelakunya. Ku tutup dengan canda, ku lapis stempel bahagia, dan ku tampakan seperti tak ada apa-apa.

Mana masa lalu yang memenuhi hati? Kan ku cari nadi dan ku putus hingga dia mati.

Mana cerita yang kamu tulis dalam resah saat merindunya? Kan ku siram dengan tinta sampai tak dapat kamu bedakan titik, serta koma.

Mana senyum yang menyatu dengan gravitasi dan menarikku menghantam bumi?

Mana hati yang tak akan pernah dapat ku miliki?

Aku ingin melihatnya...

-

Kamis, 10 November 2011

Jangan Dia

Sepiku selalu menyusupi malam dengan sengaja, mencari sedikit celah yang aku sendiri tidak mampu menutupi.
Mungkin kerapuhan sudah bukan lagi rahasia, hingga sepi saja tahu adanya.

Aku pasrah tentang kesendirian, tentang hawa hambar yang sudah ku hafal kapan datang. Sayangnya, aku tak paham cara agar dia hilang. Biar getir membekukan jiwa, toh akupun akan terbiasa.

Jika ada obatnya, katakan kalau itu tidak ada pada senyumnya. Katakan kalau lensung pipit itu bukanlah jawabannya.

-

Selasa, 08 November 2011

Take Your Chance

Sore itu, ada hal lain yang menarik perhatianku. Seseorang dengan buku tebal dan kacamata, duduk di kursi besi hitam yang berada tepat didepan gereja. Belum pernah ku lihat dia disana, dan belum pernah ada yang bisa memaksaku berpaling dari megahnya gereja.

Esoknya, masih dengan tumpukan pekerjaan yang aku bawa pulang, aku melihatnya lagi. Dengan setelan jas hitam dan kemeja putih, wajahnya masih sama, teduh dan terlihat tegas dengan kacamata ber-frame tebal tertumpu dihidung mancungnya. Lagi-lagi aku tak berani menyapa, ada perasaan meledak-ledak meski hanya melihatnya sekilas. Sudah lama sekali aku kehilangan perasaan ini, entah apa namanya.

Hari-hari berikutnya masih sama, dia, membaca buku ataupun koran, kemeja rapi, kacamata, juga perasaanku yang makin tak karuan. Ingin sekali mendapat keberanian untuk menyapa, paling tidak menatap mata atau melihat senyumnya. Tapi keberanianku hanya sebatas memperhatikan dari jauh lalu melewatinya saat mendekat, itu saja.

Jumat sore, ditempat yang sama, dengan kemeja putih yang sudah terlipat lengannya, dia sibuk menulis sesuatu, entah apa. Sesekali menyambar kopi dalam gelas yang aku hafal sekali logo coffee shop-nya, karena aku juga menyukai kopi disana. Ponselnya pun tak berhenti berdering, dilanjutkan pembicaraan dengan bahasa Belanda yang aku sendiri tidak terlalu peduli artinya.

Setelah hari itu, aku tidak melihatnya lagi. Hanya jemaat gereja yang kadang mengisi kursi besi disana, atau entah siapa. Ada yang hilang dari pandangan, dan juga ledakan bertubi-tubi di dada.

''kenapa seperti ini?''

Seperti sesuatu tercabut dari perutku, kosong. Dada serasa sesak saat mendapati kursi besi tanpa sosoknya, inikah kehilangan?

Aku melewati jalan itu sepeti biasa, melihat lagi gereja yang sesaat lalu tak ku lihat karena tertutup bayangan seseorang. Gereja Westerkerk masih sama, berdiri megah dan sesekali keluar masuk jemaat yang sudah atau ingin beribadat. Aku duduk di kursi besi hitam itu, menatap jalanan dengan mobil yang berlalu lalang dan sedikit berharap dia akan datang. Tak ada yang menarik selain bangunan dibelakangku, mobil, pohon, semuanya biasa. Juga harapan yang hanya sekedar harapan.

Rabu pagi, entah apa yang menarikku ke gereja itu. Segelas kopi sudah ditangan, kususuri trotoar sembari memperhatikan puncak menara gereja yang meninggi hingga tengkuk tak lagi kuat melawan langit. Di kursi besi, tampak dua anak kecil dengan setelan jas dan gaun berwarna putih. Mungkin mereka kakak beradik, pikirku. Sebelum sempat menyapa, seseorang dengan gaun warna pastel keluar dan membawa anak-anak itu masuk. Aku duduk lagi disana, di kursi besi hitam yang beberapa waktu lalu menyita perhatianku.

Sesaat kemudian, terdengar suara riuh dari dalam gereja. Aku baru sadar kalau orang-orang yang sedari tadi keluar masuk gereja mengenakan pakaian rapi, jas, gaun selutut dan...ada mobil pengantin. Aku segera membereskan buku yang sejak tadi ingin ku baca, tapi terlambat...pintu gereja terbuka, satu persatu orangpun keluar memenuhi pelataran yang cukup luas. Gaun putih pengantin wanita sungguh indah, dengan senyum yang terus mengembang dia menggandeng lengan suaminya yang juga tampan. Wajah teduh dan kacamata berbingkai tebal, sangat menawan dengan jas hitamnya...seperti sudah familiar....

Nyaris saja gelas kopiku terjatuh, senyum yang sempat mengembang hilang seketika. Dia, iya..itu dia. Orang yang selama ini hanya kulewati, orang yang telah mengalihkan pandanganku dari menara gereja, orang yang belum sempat ku tatap dan kulihat senyumnya...orang yang beberapa waktu lalu duduk ditempatku dengan kopi dan bukunya. Itu, dia.

Mereka berjalan menuju mobil yang sudah disiapkan, melambaikan tangan lalu pergi meninggalkan kerumunan kebahagian di depan gereja. Juga meninggalkan rasa penasaran dan ledakan-ledakan kecil didadaku, ini lucu. Lalu apa selanjutnya?

Aku terduduk kembali di kursi besi, masa bodoh dengan riuh orang disekitar. Aku hanya ingin menyadarkan diri sendiri tentang hal yang seharusnya sudah ku ketahui, bahwa aku berhadapan dengan ketidak pastian.

Andai saja aku punya sedikit niat menyapa, didepan gereja yang tak seramai tempat lain...harusnya aku bisa berpura-pura duduk lalu menawarinya kopi untuk berbasa-basi.

Andai saja langkahku tidak tergesa-gesa, mungkin aku akan tahu siapa orang yang tiba-tiba datang dan memeluknya.

Andai saja aku sabar menunggu angin menyibak koran yang dipegangnya, mungkin aku akan melihat gelas lain selain miliknya.

Andai saja..iya, andai saja kesempatan itu masih ada, pastilah tidak perlu aku melihat pernikahannya. Andai saja keberanianku tak hanya sebatas berpura-pura seperti tidak merasa apa-apa, pasti aku sudah berada jauh dari Westerkerk hari itu.

Keramaian terurai, kini semua sudah selesai. Penantianku pun tak perlu dijawab, hanya tinggal menara gereja dan kursi besi....

Toh penyesalan selalu ada dibelakang, yang ada didepan tentu saja kesempatan.

Take your chance, sepahit-pahitnya penyesalan adalah membuang kesempatan.

-

Hidup Dalam Pilihan

Siang tadi, saya dikejutkan oleh satu pesan singkat yang dikirim seseorang. Ditengah pekerjaan, sekitar pukul 10.00 WIB, ponsel saya bergetar sesaat. Setelah dicek, ada satu nama yang sudah familiar sekali ditelinga saya...dia adalah teman kecil saya. Sahabat yang sekarang sudah berkeluarga dan dianugerahi seorang putri, lucu sekali.

''Lagi ngapain, Ji?'', tulisnya dipesan pertama. 'Ji' adalah nama tengah saya, tidak banyak yang tahu hanya keluarga dan teman-teman masa kecil saya saja. ''Biasa, kerja. Kamu lg apa?'', balasku. Sejenak, pikiran saya mundur ke belasan tahun lalu, masa disaat kami masih berangkat sekolah, mengaji, juga bermain bersama. Waktu berjalan cepat, tak terasa belasan tahun sudah berlalu.

''Lagi capek pikiran'', katanya. Dahi saya sedikit mengkernyit, baru kali ini dia menghubungi saya dengan nada putus asa seperti itu. Sejak dia menikah hampir dua tahun lalu, dia tidak pernah bercerita apapun tentang hidupnya. ''Lho, ada apa?'', saya bukan ingin tahu, itu adalah refleks yang tanpa sadar saya ucapkan saat seseorang menemui saya dengan lipatan diwajahnya. Saya sebut itu pancingan, jika dia ingin bercerita saya akan dengarkan, dan kalaupun tidak...saya tak akan menyesal.

''Masalah...kalo ini permainan, aku pengen udahan aja''
Dheg!! Dada saya tiba-tiba sesak, saya tidak pernah menyangka dia akan mengeluarkan kata-kata itu, setidaknya bukan disaat umur pernikahannya belum genap dua tahun. ''Hushh...pamali, ga boleh bilang begitu'' ujarku ditengah keterkejutan yang belum reda.

''Pikiranku, Ji...kalo bisa dipertahankan, pasti diusahain. Tapi kalo ga bisa, mungkin ini sudah jalan hidupku'' lanjutnya.

''Berrumah tangga emang ga gampang, jangan mikir yang engak-enggak. Resiko hidup dengan orang lain ya pasti banyak halangan'' tambahku, entah benar atau tidak cara saya menjawab, saya hanya mencoba tenang menghadapi pengakuannya.

''kalau sudah ga ada rasa saling mengerti, menghargai atau mungkin udah ga ada rasa suka, bukannya malah nyakitin hati masing-masing?''Saya menghela nafas panjang, dada serasa makin sesak mengetahui keadaan sahabat saya yang sedang menemui karang penghalang. Sebut saja ini menggurui, karena kalimat-kalimat selanjutnya mungkin sudah termasuk sok tahu. Saya bilang, kalau pengertian, menghargai bahkan rasa suka bisa dibuat. Yang namanya keluarga, apapun masih bisa dirundingkan. Sudah sejauh itu salah kalau merasa menyesal , terlebih ada malaikat kecil yang tidak tahu apa-apa. Just don't be selfish! Hidup tidak enak masih bisa diubah kalau ada usaha, insya Allah ada jalan lain selain bubar.

''Aku akan coba pertahankan sebisaku...'' katanya. Sungguh saya ingin membantu kalau saya bisa, tapi apa? Dulu, saya mungkin bisa membantunya membuat PR. Diapun bisa membantu saya memanjat pohon kelapa demi sebuah sapu lidi untuk tugas sekolah. Ini benar-benar ada diluar jangkauan saya, saya sendiripun belum merasakan sebuah pernikahan. Semua ucapan saya bisa jadi hanya omong kosong.

''Bicara sama yang di Atas, banyak-banyak berdoa..'' tambahku, saya bahkan sudah kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri didepannya.

''Insya Allah...'' tutupnya singkat.

Ibu saya bilang, pernikahan bukan hal mudah. Saat berpacaran senang-senang dan membayangkan menikah itu indah...salah. Menikah artinya kita masuk ke hidup baru, banyak masalah, banyak halangan, banyak bertengkar...menikah artinya menyatukan dua kepala, dan itu sulit.

Saya mengerti, kali ini saya diingatkan oleh sahabat saya sendiri bahwa orang tua selalu benar. Istilah 'Sudah makan asam garam' juga benar, orang tua mengetahui segalanya dari pengalaman.

Untuk sahabat saya, maaf pembicaraan kita dibahas sampai sepanjang ini. Saya tahu kamu tangguh, jangan pernah menyerah pada nasib. Mungkin saat ini rodamu sedang terperosok lumpur, atau mungkin menancap sebuah paku disana.
Kamu masih muda, kamu pasti sanggup menggerakannya.

Jangan pernah menyerah, jangan menangis...doaku selalu menyertai. Dan jangan lupa, Allah selalu ada untukmu.

-

Sabtu, 05 November 2011

Dalam Jingga Sebuah Rasa

Senja hanya membungkam kami, sepertinya tak ada lagi kata yang harus diucap ataupun pertanyaan terpendam yang harus diungkap. Kami hanya dua sosok mati tanpa rasa ingin kembali, kami dua hati yang tak mungkin lagi terpaut. Keramaian mengunci bahasa tubuh tanpa tahu cara membuka pembicaraan, kami dua raga yang tak lagi menghangatkan.

Mungkin hati sudah kosong, mungkin rasa terlalu getir untuk sekedar dicecap. Kami hilang arah setelah berdua menapaki titian penuh aksara tanpa titik, hanya ada tanda tanya, banyak sekali. Mungkin hati sudah bosan dengan irama degup jantung yang melemah ditiap menitnya, atau hati sudah tahu alasan degup buruk yang tak tertata.

Cinta membuat ruang hampa pemisah nada dalam birama tak bernama, entah seperti apa bunyi sepi yang terlukis seolah itu adalah nyanyian suka ria. Kami sudah kehilangan indah detak jantung saat bertatap muka, bukan ini senandung kala cinta masih tertata, bukan ini ketukan saat rasa masih bernyawa.

Aku menyebutnya akhir, kami mengiyakannya dalam senyap suara diantara pasir putih yang tersapu ombak. Dalam senja yang mengisahkan kedamaian, kami melepas semua riak sesal pertanda sesuatu yang telah terjadi dibelakang. Menebar semua benci, mengubur amarah dalam-dalam, hingga melarutkan hal yang kami sebut cinta ke lautan tak bertepi.

Entah bersisa atau terbawa semua, kami menyimpannya dalam jarak sejauh karang dan palung samudera. Begitu sukar diukur meski sudah setengah mati menyelaminya, jadi biarlah...yang hanyut mungkin seharusnya terhanyut dan menyatu dengan lautan. Hanya tinggal aku, yang sudah terpisah dengannya...aku ingin segera beranjak dan menghindari pasang, aku tak ingin tenggelam, aku tak ingin hempasan ombak melemparku ke dasar lara disela karang penggores luka.

Disenja yang kini meredup, kami terdiam dan memisahkan cinta dan rindu secara diam-diam. Memilah rasa yang sudah tidak berguna, dan menuliskan satu nama lain...berharap hati menyukai irama degup jantungnya.

Dalam jingga sebuah rasa, satu akhir ketika irama berhenti bernada, dalam sunyi juga senyap damainya senja.

-

Kamis, 03 November 2011

Terlalu Sederhana

Andai saja bisa mengubahnya menjadi sedikit dapat dimengerti...mungkin rasanya tak akan seperih ini.

Apa yang didapat dari jarak tanpa sebuah perjalanan dan tujuan? Mungkin hanya sekedar fatamorgana rasa, aku belum tahu juga.

Andai luka dapat mengerucut setelah mendapati sebab-musababnya, tanpa harus diobati, tanpa harus menyadari seberapa dalam sembilu tertanam disana.

Mungkin cinta memang terlalu sederhana, sesederhana alasan kenapa rindu selalu tiba-tiba ada. Semudah senyum terpana meski hanya membaca sebaris nama, jadi apa itu cinta?

Degup tak beraturan ketika menatap matanya? Aku bahkan belum melihatnya nyata, entah seperti apa lengkungan tawa di wajahnya. Apa itu yang kamu sebut cinta, Ratna?

-

Selasa, 01 November 2011

'' Siapa Kamu? ''

Siapa kamu?





Siapa aku? Aku bukan siapa-siapa. Siapa aku? Aku bukan orang penting. Siapa aku? Aku juga belum tahu.





Jangan tanya siapa aku, karena aku juga belum dapat menjawabnya. Aku bukan siapa-siapa, aku bukan apa-apa, dan jangan tanya 'kenapa?'. Aku belum dapat menjelaskannya hari ini, ataupun besok. Mungkin lusa, atau setahun lagi, atau dua tahun lagi(?). Semua terlalu rumit untuk dijelaskan, jangan memaksa aku untuk bicara karena semua akan sia-sia.





Bukan hal yang jahat, bukan juga hal yang akan merugikan hidup, hanya hal yang tidak ingin aku buka hari ini saja. Tidak ada maksud apapun, aku hanya ingin mencuri sedikit tawa kalian untuk bernafas. Saya suka melihat orang lain tertawa, aku tidak pernah bosan menyerap dan mengubahnya menjadi sepotong semangat. Aku suka berpura-pura, berpura-pura tertawa. Kenapa? Aku hanya tidak ingin memperlihatkan airmata yang kalau aku mau...aku bisa mengeluarkannya kapan saja. Aku belajar tertawa dari tawa, aku belajar untuk berhenti mengeluh dari senyum yang sangat mendamaikan.





Tidak penting siapa aku, kalian jauh lebih penting untuk dipikirkan. Kalian yang sampai hari ini masih aku coba jaga agar tidak pernah pergi. Kalian yang terkadang tidak aku sapa, aku pikir kalian butuh ruang dimana tidak semua orang boleh masuk, termasuk aku. Aku tidak akan pernah lupa, ingatanku terlalu kuat untuk membuang wajah yang pernah tersenyum dan menangis bersama. Aku tidak akan pernah lupa.





Jangan berpikir untuk pergi, acuhku bukan benci. Jangan berpikir aku telah lupa, diamku sama sekali tidak bermaksud untuk tak peduli. Aku hanya diam, itu saja.





''Siapa kamu?''





Bersabarlah, aku sedang berusaha menyusun langkah untuk dapat menjawabnya. Dan tersenyumlah, karena aku...karena aku belajar tersenyum dari senyum kalian. Jangan ingatkan aku dengan airmata, jangan pernah pergi meski aku memintanya.





Aku tidak pernah bisa mengatakannya, tapi apa yang tidak bisa kutulis dengan kata..





Untuk teman, untuk sahabat, untuk keluarga...terima kasih untuk hari yang mungkin sudah terlupa, terima kasih untuk tawa yang sudah menghapus tangis, terima kasih untuk waktu yang sampai hari ini belum dapat kuganti. Terima kasih banyak :') .








-