Aku menghilang, aku bersembunyi agar dapat menatapmu lebih dalam tanpa satu orangpun tahu. Itu aku, aku yang diam-diam tersipu dari balik batasan tebal diantara kita. Menyukai dengan cara yang sangat tidak masuk akal, mungkin sebuah benda mati, atau mungkin . . . seorang kamu.
Lalu aku mencoba lari dari kenyataan, bahwa aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Aku menjauh, menutup semua jalan menuju kearahmu. Semua serba tak masuk akal, aku, kamu, dan mengenai semua kalimat-kalimat yang terlanjur ku ucap.
Aku ingat sesuatu, dulu aku juga pernah merasakan ini. Cerita tentang aku dan 'kamu' yang lain, cerita yang berhasil menyita waktuku sampai dia menggoreskan sesuatu dengan sangat dalam di hati. Sakitnya masih terasa, goresan itu membatu dan berdarah disaat yang bersamaan setiap namanya teringat. Karenanya, aku menjadi seorang penakut. Aku takut akan sebuah kota, kota tempat seseorang yang memenangkan hatinya tinggal. Seperti ada balok menghantam, setiap nama kota itu terdengar. Harusnya aku amnesia, tapi sebaliknya . . . ingatan tentangnya datang perlahan, lalu bersama-sama menjatuhkanku kedasar tanah. Aku benar-benar takut.
Dan kamu, awal ini sama seperti saat itu. Aku suka mengeja kata demi kata yang kamu tulis, kamu selalu membuatku iri dengan semua kisah perjalananmu. Tapi . . . aku juga melihat ketakutan di depan sana, aku takut ini akan berakhir sama.
Aku ingin secepatnya berhenti sebelum menemukan garis akhir, aku merasa ini sudah terlalu jauh. Aku takut, aku takut menghadapi kenyataan, aku takut mengetahui kalau aku akan kalah.
Sekarang aku memang sudah kalah, lagi.
_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar