''Enak?''
Dia menyodorkan potongan jeruk nipis di piring kecil ke hadapanku, semangkuk soto betawi hasil coba-cobanya dihidangkan khusus untukku malam ini.
''Enak, ini bisa bikin soto betawi. Katanya kemarin nggak bisa,'' jawabku. Dia terkekeh dan tersipu malu.
***
''Enak?''
Tanyanya antusias saat sepotong schotel macaroni baru kusuap seujung garpu, aku tersenyum lebar menatapnya.
''Kamu sudah jago masak ternyata, enak!''
***
''Gimana, enak?''
Wajahnya mengikuti gerakan tanganku saat menyendok kuah kari yang sudah disiramkan ke nasi putih di piringku, dahinya mengernyit dan kedua telapak tangannya saling bertaut.
''Aku nggak perlu berkomentar, ini enak, sayang,'' ucapku yakin membuatnya menghela napas lega.
***
''Aku nggak yakin sama ini, enak nggak?''
Dia menggeser semangkuk bakso tahu ke depanku, mendekatkan botol saus dan kecap juga mengambilkan sendok untukku.
Untuk yang kesekian kalinya di dua tahun umur pernikahan kami, aku selalu menjadi kelinci percobaannya. Dia yang tak pernah memasak semasa lajang, menguatkan tekad belajar dari buku-buku resep masakan untuk menyenangkanku--suaminya. Ingin jadi istri seutuhnya, bilangnya waktu itu.
Aku tak pernah menolak, aku tak ingin dia kecewa, aku hanya ingin dia tersenyum dan bahagia hidup bersamaku.
''Sayang, ini bakso tahu terenak yang pernah kumakan.''
Dia berseru kegirangan, lalu menciumku sampai hampir menumpahkan air minum di gelasku.
Maaf.
Indera pencecapanku sudah tak berfungsi dari satu setengah tahun lalu. Maaf, telah mengacuhkan larangan merokok darimu.
Maaf telah banyak berbohong padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar