Senin, 17 Oktober 2011

Dibatas Jakarta Dan Tentang Penantian

27 Agustus, 2011.
Terminal Lebak Bulus masih gelap, hari itu pukul 05.00 WIB. Saya, ibu dan bapak saya sudah sampai disana dengan menggunakan taksi, itu adalah hari dimana saya dan keluarga memutuskan pulang kampung setelah satu tahun penuh merantau di Jakarta. Pikiran kami sudah ada di kampung halaman sejak sebelum bulan ramadhan, sepertinya memang kami sudah bosan dan ingin segera bertemu keluarga besar.

Tiga tas besar sudah dipindahkan dari bagasi taksi ke bawah pohon rambutan, tempat dimana orang-orang seperti saya menunggu kedatangan bus. Kami pikir, kami sudah cukup pagi untuk berada di terminal..tapi ternyata, ada yang jauh lebih pagi melebihi saya. Loket tiket masih tutup, hanya ada kertas kecil bertuliskan 'Tiket dijual diatas bus'. Iya, setiap tahun memang seperti ini keadaannya. Loket tidak melayani pembelian tiket, yang kami lakukan hanya menunggu dan menunggu bus kami datang. Tidak sampai disitu, setelah bus datang kami masih harus berebut kursi dengan banyak penumpang lain. Tahun ini, kaki saya lebam sampai seminggu lamanya karena terdorong banyak laki-laki yang juga ingin cepat masuk ke dalam bus. Sungguh perjuangan yang melelahkan.

Pukul 05.30 WIB kami mulai menunggu, banyak sekali macam manusia disana, banyak wajah-wajah seperti saya. Wajah anggota keluarga yang rindu kampung halamannya, wajah perantau yang sudah bosan dengan hiruk pikuk Jakarta, juga wajah kosong dan putus asa. Udara masih dingin, lalu perlahan muncul semburat cahaya kuning dari arah timur. Hari sudah mulai siang, dan kami masih menunggu kepastian.

Kami duduk dimanapun badan dapat ditumpu, di pelataran, di pojok, sampai menjadi penunggu pohon rambutan. Dari jauh, saya memperhatikan ibu saya yang sedang berbincang dengan seseorang. Seorang wanita tua, mungkin sekitar 60 tahunan, dengan badan kurus dan jilbab yang sudah tidak rapi lagi. untuk beberapa saat, ibu saya tampak mengangguk dan menimpali perkataan wanita itu. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi wanita itu tampak semangat menceritakannya.

Setelah ibu saya kembali, saya langsung bertanya apa yang mereka bicarakan. ibu saya bercerita kalau dia sedang menunggu anak satu-satunya dari pukul 11.00 WIB kemarin, ''Anakku satu-satunya sudah menikah 9 bulan, dia takut sama istrinya. Dia telpon bialng dia mau kasih aku uang, aku disuruh nunggu di sini, tapi smpai sekarang dia belum datang'' kata ibu saya menirukan cara wanita itu berbicara. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, saya dapat melihat bibirnya menyunggingkan sedikit senyum meski matanya berkaca-kaca. Saat itu baru pukul 07.30 WIB, artinya dia sudah menunggu 19 jam lebih disana.

Dia terus meracu pada siapa saja yang duduk didekatnya, bercerita tentang apa saja berusaha membunuh waktu, mungkin sampai putranya datang nanti. Entah kapan. Saya hanya memandangnya dari jauh, menatap raut itu sesekali berharap saat saya menengok, putra satu-satunya sudah ada disampingnya. Saya tidak dapat melakukan apapun, saya bukan siapa-siapa dan saya bukan orang yang pandai berbicara jika ingin menemaninya berbincang.

Saya sedang melihat seorang ibu, yang menunggu dan terus menunggu. Mungkin sebentar lagi seseorang akan datang, toh lebih baik berharap dari pada mengeluh, bukan? Saya melihat kesabaran seorang ibu, saya melihat ketulusannya. Kalau hanya semata karena uang, saya yakin tidak akan sesabar itu. Putranyalah motivasi dia masih duduk di emperan, sendiri dan tanpa kepastian.
Yang dia tahu, putranya akan datang dan penantiannya terbayar. Itu saja.

Hari makin siang, dzuhur, dan setelah berjam-jam menunggu satu bus datang dengan disambut banyak orang yang langsung berhamburan. Saya satu diantara banyak orang itu, kaki lebam-lebam menjadi bukti meski tetap saja saya tidak mendapat kursi.

Hingga bus saya berangkat, saya belum melihat wanita itu bertemu putranya. Saya tidak tahu sampai kapan dia menunggu, saya hanya membawa wajah itu sampai hari ini. Dialah seorang IBU.

-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar