Wajah mungil, mata sipit yang memang keturunan Cina dan rambut panjang lurus berponi sampai sebatas mata masih jelas terlihat meski hujan lebat membatasi pandanganku.
Aku duduk di kursi goyang dengan secangkir teh, seperti sore-soreku biasanya. Di beranda samping, aku mengawasi gadis kecil dengan payung ungu muda kesayangannya, kakinya yang telanjang bebas melompat dan berlari di atas rerumputan jepang yang sengaja kutanam untuk menngimbangi bonsai milikku. Samar terdengar nyanyian-nyanyian dengan nada sumbang dan cadel dari bibir mungilnya.
'' Ocia, sini.. '' panggilnya sembari mendekat. Tetesan airnya kini mulai membasahi lantai kayu melalui ujung-ujung jeruji payung yang sengaja dia putar-putar.
Aku terkekeh sambil menggelengkan kepala, sejenak wajahnya terlihat kecewa meski akhirnya hujan kembali membuatnya sibuk dan lupa pada penolakanku.
Amela, cucu perempuanku yang baru beumur 5 tahun memang menyukai hujan, terlebih sekarang dia mempunyai payung ungu yang didapat dariku saat ulang tahun sebulan lalu. Tawanya selalu ceria, gigi serinya baru saja tanggal dan dia menyimpannya di bawah bantal berharap peri gigi akan mendatanginya saat tengah malam.
Hari ini payung ungunya sudah tidak lagi digunakan, musim hujan telah usai 90 hari lalu. Ada di pojokan, sepertinya masih basah atau mungkin karena mata tuaku saja yang sudah tidak beres.
'' Ocia...'' panggil seseorang. Aku mengenal suara mungil ini, gadis kecil dengan poni sebatas mata dan gigi serinya yang baru tanggal.
'' Amela? '' sahutku sembari memicingkan mata ke arah pintu.
'' Ini untuk Ocia, '' lanjutnya. Tangannya mengulurkan payung ungu ke arahku, aku tersenyum lembut, melambaikan tangan menyuruhnya mendekat.
'' Untukku? Amela sudah tidak suka payung pemberian Ocia? ''
Dia menggeleng, lalu tersenyum manis. '' Aku suka... ''
'' Tapi? '' tanyaku menggantung.
'' Tapi, di surga sedang musim semi. ''
*ditulis untuk #FFhore tema ketiga.
Thanks to Widi, yang ngasih tau panggilan Nenek in Chinese. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar