Selasa, 08 November 2011

Take Your Chance

Sore itu, ada hal lain yang menarik perhatianku. Seseorang dengan buku tebal dan kacamata, duduk di kursi besi hitam yang berada tepat didepan gereja. Belum pernah ku lihat dia disana, dan belum pernah ada yang bisa memaksaku berpaling dari megahnya gereja.

Esoknya, masih dengan tumpukan pekerjaan yang aku bawa pulang, aku melihatnya lagi. Dengan setelan jas hitam dan kemeja putih, wajahnya masih sama, teduh dan terlihat tegas dengan kacamata ber-frame tebal tertumpu dihidung mancungnya. Lagi-lagi aku tak berani menyapa, ada perasaan meledak-ledak meski hanya melihatnya sekilas. Sudah lama sekali aku kehilangan perasaan ini, entah apa namanya.

Hari-hari berikutnya masih sama, dia, membaca buku ataupun koran, kemeja rapi, kacamata, juga perasaanku yang makin tak karuan. Ingin sekali mendapat keberanian untuk menyapa, paling tidak menatap mata atau melihat senyumnya. Tapi keberanianku hanya sebatas memperhatikan dari jauh lalu melewatinya saat mendekat, itu saja.

Jumat sore, ditempat yang sama, dengan kemeja putih yang sudah terlipat lengannya, dia sibuk menulis sesuatu, entah apa. Sesekali menyambar kopi dalam gelas yang aku hafal sekali logo coffee shop-nya, karena aku juga menyukai kopi disana. Ponselnya pun tak berhenti berdering, dilanjutkan pembicaraan dengan bahasa Belanda yang aku sendiri tidak terlalu peduli artinya.

Setelah hari itu, aku tidak melihatnya lagi. Hanya jemaat gereja yang kadang mengisi kursi besi disana, atau entah siapa. Ada yang hilang dari pandangan, dan juga ledakan bertubi-tubi di dada.

''kenapa seperti ini?''

Seperti sesuatu tercabut dari perutku, kosong. Dada serasa sesak saat mendapati kursi besi tanpa sosoknya, inikah kehilangan?

Aku melewati jalan itu sepeti biasa, melihat lagi gereja yang sesaat lalu tak ku lihat karena tertutup bayangan seseorang. Gereja Westerkerk masih sama, berdiri megah dan sesekali keluar masuk jemaat yang sudah atau ingin beribadat. Aku duduk di kursi besi hitam itu, menatap jalanan dengan mobil yang berlalu lalang dan sedikit berharap dia akan datang. Tak ada yang menarik selain bangunan dibelakangku, mobil, pohon, semuanya biasa. Juga harapan yang hanya sekedar harapan.

Rabu pagi, entah apa yang menarikku ke gereja itu. Segelas kopi sudah ditangan, kususuri trotoar sembari memperhatikan puncak menara gereja yang meninggi hingga tengkuk tak lagi kuat melawan langit. Di kursi besi, tampak dua anak kecil dengan setelan jas dan gaun berwarna putih. Mungkin mereka kakak beradik, pikirku. Sebelum sempat menyapa, seseorang dengan gaun warna pastel keluar dan membawa anak-anak itu masuk. Aku duduk lagi disana, di kursi besi hitam yang beberapa waktu lalu menyita perhatianku.

Sesaat kemudian, terdengar suara riuh dari dalam gereja. Aku baru sadar kalau orang-orang yang sedari tadi keluar masuk gereja mengenakan pakaian rapi, jas, gaun selutut dan...ada mobil pengantin. Aku segera membereskan buku yang sejak tadi ingin ku baca, tapi terlambat...pintu gereja terbuka, satu persatu orangpun keluar memenuhi pelataran yang cukup luas. Gaun putih pengantin wanita sungguh indah, dengan senyum yang terus mengembang dia menggandeng lengan suaminya yang juga tampan. Wajah teduh dan kacamata berbingkai tebal, sangat menawan dengan jas hitamnya...seperti sudah familiar....

Nyaris saja gelas kopiku terjatuh, senyum yang sempat mengembang hilang seketika. Dia, iya..itu dia. Orang yang selama ini hanya kulewati, orang yang telah mengalihkan pandanganku dari menara gereja, orang yang belum sempat ku tatap dan kulihat senyumnya...orang yang beberapa waktu lalu duduk ditempatku dengan kopi dan bukunya. Itu, dia.

Mereka berjalan menuju mobil yang sudah disiapkan, melambaikan tangan lalu pergi meninggalkan kerumunan kebahagian di depan gereja. Juga meninggalkan rasa penasaran dan ledakan-ledakan kecil didadaku, ini lucu. Lalu apa selanjutnya?

Aku terduduk kembali di kursi besi, masa bodoh dengan riuh orang disekitar. Aku hanya ingin menyadarkan diri sendiri tentang hal yang seharusnya sudah ku ketahui, bahwa aku berhadapan dengan ketidak pastian.

Andai saja aku punya sedikit niat menyapa, didepan gereja yang tak seramai tempat lain...harusnya aku bisa berpura-pura duduk lalu menawarinya kopi untuk berbasa-basi.

Andai saja langkahku tidak tergesa-gesa, mungkin aku akan tahu siapa orang yang tiba-tiba datang dan memeluknya.

Andai saja aku sabar menunggu angin menyibak koran yang dipegangnya, mungkin aku akan melihat gelas lain selain miliknya.

Andai saja..iya, andai saja kesempatan itu masih ada, pastilah tidak perlu aku melihat pernikahannya. Andai saja keberanianku tak hanya sebatas berpura-pura seperti tidak merasa apa-apa, pasti aku sudah berada jauh dari Westerkerk hari itu.

Keramaian terurai, kini semua sudah selesai. Penantianku pun tak perlu dijawab, hanya tinggal menara gereja dan kursi besi....

Toh penyesalan selalu ada dibelakang, yang ada didepan tentu saja kesempatan.

Take your chance, sepahit-pahitnya penyesalan adalah membuang kesempatan.

-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar