''Bapak nyari kunci, tadi di letak dimana ya?'' katanya, sore itu. Aku baru saja pulang dari bekerja, dan menemukan ayahku mondar-mandir sambil membuka satu persatu laci di rumah. Hari itu adalah awal, awal dimana aku mulai kehilangan dirinya secara perlahan.
Matanya kosong, menatap lurus ke arah tanaman apotek hidup di beranda belakang, dulu dia dan almarhumah Ibu yang menanamnya sendiri. Badannya kurus, kedua tangannya dipangku di atas paha, kulitnya tak secerah dulu, juga tak sekencang saat dia masih suka mengantarku dengan Vespa merah hati miliknya ketempat ku bekerja. Raut wajah itu dulu selalu tersenyum, ketika Ibu pergipun, Ayah masih tersenyum meski matanya penuh dengan kesedihan. Kontras sekali dengan hari ini.
''Bapak, sedang apa?'' tanyaku sambil menggenggam jemari kurusnya. Dia melirik sebentar, lalu kembali menatap tanaman-tanaman yang hanya berjarak 2 meter didepannya. Air mataku selalu dapat ku tahan, setiap hari, sejak dokter memvonis Bapak mengidap Alzheimer, hampir dua tahun yang lalu.
''Bapak ingat aku?'' tanyaku lagi, pertanyaan ini tak pernah lupa ku tanyakan setiap harinya. Meski harus menerima kenyataan kalau Ayahku sudah lupa, tapi tak ada salahnya, bukan? ''Aku anakmu, Pak...dan aku sayang banget sama Bapak...''.
Ku letakkan kepala dipangkuannya, meraih tangannya dan ku 'paksa' mengusap rambutku. Seperti dulu, seperti saat Ibu meninggal dan aku tak bisa berhenti menangis. Atau seperti saat aku terbangun dari mimpi buruk dini hari, dan berlari ke kamarnya karena takut.
Ku pikir, kunci pintu yang ada di kulkas hari itu hanya sekedar pikun biasa yang diderita pria 54 tahun. Aku pikir, tak apa kalau Ayahku lupa kapan hari ulang tahunku. Tapi tidak, Ayahku lupa cara mengenakan sarung saat shalat, lupa hari dan tanggal sampai lupa siapa namaku...tidakkah itu menyakitkan? Kamu kehilangan tawa seseorang secara perlahan, karena waktu menghapus semua memori selama hidupnya? Menangislah, kataku pada diri sendiri.
''Bapak tau, hari ini aku berulang tahun...'' ujarku kembali setelah air mata pertama terjatuh, ''Aku senang Bapak masih sehat, dan insya Allah...tahun depan, kita masih seperti ini. Ditempat ini, kita berdua''. Akui saja, akui kalau kamu sudah kehilangan Ayahmu...akui saja. Bahkan otakku sudah ikut memberi sugesti tanpa bisa ku kendalikan lagi, memang hanya raga ini yang tersisa, tidak ada satupun kenangan yang masih dapat diingat olehnya, tak satupun.
Tangannya tiba-tiba bergerak mengusap rambutku pelan, aku tersentak kaget dan langsung bangkit menatap wajah itu. Matanya menatapku lama, dengan bibir bergetar dia mencoba tersenyum, mengangkat tangan kanan dan mengusap pipiku.
''Se-selam-at..u-u-ulang..tatata-ta-hun...'' lirihnya.
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar