Selasa, 08 November 2011

Hidup Dalam Pilihan

Siang tadi, saya dikejutkan oleh satu pesan singkat yang dikirim seseorang. Ditengah pekerjaan, sekitar pukul 10.00 WIB, ponsel saya bergetar sesaat. Setelah dicek, ada satu nama yang sudah familiar sekali ditelinga saya...dia adalah teman kecil saya. Sahabat yang sekarang sudah berkeluarga dan dianugerahi seorang putri, lucu sekali.

''Lagi ngapain, Ji?'', tulisnya dipesan pertama. 'Ji' adalah nama tengah saya, tidak banyak yang tahu hanya keluarga dan teman-teman masa kecil saya saja. ''Biasa, kerja. Kamu lg apa?'', balasku. Sejenak, pikiran saya mundur ke belasan tahun lalu, masa disaat kami masih berangkat sekolah, mengaji, juga bermain bersama. Waktu berjalan cepat, tak terasa belasan tahun sudah berlalu.

''Lagi capek pikiran'', katanya. Dahi saya sedikit mengkernyit, baru kali ini dia menghubungi saya dengan nada putus asa seperti itu. Sejak dia menikah hampir dua tahun lalu, dia tidak pernah bercerita apapun tentang hidupnya. ''Lho, ada apa?'', saya bukan ingin tahu, itu adalah refleks yang tanpa sadar saya ucapkan saat seseorang menemui saya dengan lipatan diwajahnya. Saya sebut itu pancingan, jika dia ingin bercerita saya akan dengarkan, dan kalaupun tidak...saya tak akan menyesal.

''Masalah...kalo ini permainan, aku pengen udahan aja''
Dheg!! Dada saya tiba-tiba sesak, saya tidak pernah menyangka dia akan mengeluarkan kata-kata itu, setidaknya bukan disaat umur pernikahannya belum genap dua tahun. ''Hushh...pamali, ga boleh bilang begitu'' ujarku ditengah keterkejutan yang belum reda.

''Pikiranku, Ji...kalo bisa dipertahankan, pasti diusahain. Tapi kalo ga bisa, mungkin ini sudah jalan hidupku'' lanjutnya.

''Berrumah tangga emang ga gampang, jangan mikir yang engak-enggak. Resiko hidup dengan orang lain ya pasti banyak halangan'' tambahku, entah benar atau tidak cara saya menjawab, saya hanya mencoba tenang menghadapi pengakuannya.

''kalau sudah ga ada rasa saling mengerti, menghargai atau mungkin udah ga ada rasa suka, bukannya malah nyakitin hati masing-masing?''Saya menghela nafas panjang, dada serasa makin sesak mengetahui keadaan sahabat saya yang sedang menemui karang penghalang. Sebut saja ini menggurui, karena kalimat-kalimat selanjutnya mungkin sudah termasuk sok tahu. Saya bilang, kalau pengertian, menghargai bahkan rasa suka bisa dibuat. Yang namanya keluarga, apapun masih bisa dirundingkan. Sudah sejauh itu salah kalau merasa menyesal , terlebih ada malaikat kecil yang tidak tahu apa-apa. Just don't be selfish! Hidup tidak enak masih bisa diubah kalau ada usaha, insya Allah ada jalan lain selain bubar.

''Aku akan coba pertahankan sebisaku...'' katanya. Sungguh saya ingin membantu kalau saya bisa, tapi apa? Dulu, saya mungkin bisa membantunya membuat PR. Diapun bisa membantu saya memanjat pohon kelapa demi sebuah sapu lidi untuk tugas sekolah. Ini benar-benar ada diluar jangkauan saya, saya sendiripun belum merasakan sebuah pernikahan. Semua ucapan saya bisa jadi hanya omong kosong.

''Bicara sama yang di Atas, banyak-banyak berdoa..'' tambahku, saya bahkan sudah kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri didepannya.

''Insya Allah...'' tutupnya singkat.

Ibu saya bilang, pernikahan bukan hal mudah. Saat berpacaran senang-senang dan membayangkan menikah itu indah...salah. Menikah artinya kita masuk ke hidup baru, banyak masalah, banyak halangan, banyak bertengkar...menikah artinya menyatukan dua kepala, dan itu sulit.

Saya mengerti, kali ini saya diingatkan oleh sahabat saya sendiri bahwa orang tua selalu benar. Istilah 'Sudah makan asam garam' juga benar, orang tua mengetahui segalanya dari pengalaman.

Untuk sahabat saya, maaf pembicaraan kita dibahas sampai sepanjang ini. Saya tahu kamu tangguh, jangan pernah menyerah pada nasib. Mungkin saat ini rodamu sedang terperosok lumpur, atau mungkin menancap sebuah paku disana.
Kamu masih muda, kamu pasti sanggup menggerakannya.

Jangan pernah menyerah, jangan menangis...doaku selalu menyertai. Dan jangan lupa, Allah selalu ada untukmu.

-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar