Aku mendekapnya sekali lagi, merajuk agar dia tetap tinggal. Membenamkan wajah di lehernya, mencium aroma tubuhnya mungkin untuk yang terakhir kali.
Menggandeng bocah kecil dan cerewet itu tak pernah dirasa senyaman kemarin, sayangnya mungkin juga untuk terakhir kali. Dua hari lagi tepat sebulan aku menemaninya seperti ibunya sendiri, aku mencintainya, aku mencintai ayahnya. Menjadi ibu dari anak-anaknya mungkin hal yang selalu ku impikan, sejak dulu, sejak kita masih berkutat dengan skripsi masing-masing.
Aku memujanya--bukan, bahkan lebih dari itu. Aku tergila-gila padanya. Apapun akan ku lakukan agar dia tetap berada di dekatku, sayangnya, dia lebih tertarik pada perempuan di seberang jalan.
Si Perempuan berdiri dengan gelisah, tampak sibuk dengan banyak map di tangan kiri dan berulang kali melihat jam tangan di tangan kanan. Rok selutut, atasan kemeja berenda berpotongan rendah, blazer merah dan high heels--sempurna. Si Pria menyebrangi zebra cross, menepuk bahu Si Wanita, kemudian tampak akrab. Mengeluarkan ponsel masing-masing, tertawa lalu melambaikan tangan sebelum kembali menyebrang. Semudah itu, sial!
Aku menikmati saat ini, saat hanya ada kita berdua. Tak memikirkan siapapun, siapapun. Mendekapmu seperti milik sendiri dan tak akan pergi demi anak dan istrimu yang sedang koma.
Jahat, pikirku. Menari-nari di atas musibah, memeluk suami orang tanpa rasa berdosa. Ini kesempatan, tak akan datang jika istrinya tidak terjatuh dengan kepala membentur meja kaca. Aku harus prihatin atau bersyukur atas kejadian ini?
''Aku harus pergi, cukup sampai hari ini. Harusnya aku di rumah sakit bersama istriku, bukan menusuknya dari belakang''
''Aku ingin ini lebih lama lagi, mungkin istrimu masih ingin tidur sampai bulan depan''
''Hentikan! Cukup! Kita selesai, terima kasih sudah menjaga anakku sebulan ini...''
''Bayarannya?'' tanyaku menggantung.
''Kau telah memilikiku, sepenuhnya. Impas?'' dia beranjak, lalu menyambar kunci mobil di atas meja. ''Aku pergi..''
Sebulan yang menyenangkan, aku benar-benar menikmatinya. Tiap menit waktumu, tiap jengkal tubuhmu. Dan hei, siapa yang jahat sekarang? Bersama wanita lain disaat istrinya koma? Kamu pasti kesepian. Istrimu terlalu baik untuk seukuran tukang selingkuh sepertimu, aku tahu riwayat hidupmu.
Sepertinya hidupmu berubah--semoga aku salah, karena dia. Wanita baik-baik, teman SMP, pernah menjadi pengaggum rahasianya sebelum dia pindah ke Malang. Pastilah seperti mimpi bisa bertemu lagi, lalu sekarang menjadi ibu dari anak laki-lakimu, kamu beruntung. Memang sudah seharusnya kamu meninggalkan dunia kita, free sex, drugs, alkohol. Sial! Sekarang aku melihatmu sebagai lelaki sempurna, lelaki yang pantas di nikahi. Sial!
Pintu dibanting dengan keras, ku sesap dalam-dalam kopi hitam di cangkir. Menyalakan rokok yang selama sebulan ini tak pernah aku sentuh, mengumpati diri. Sesal tempatnya memang di belakang, dia bisa saja menikahiku--dengan cara apapun, tapi tidak...mungkin aku tak bisa mengubahnya menjadi seperti sekarang. Wanita itu, dia sihir. Ah, persetan!
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar