Rabu, 28 Desember 2011

Terlalu Gelap

Tundukkan kepalamu, jalan terus. Jangan pedulikan tatapan manusia-manusia minus hati dan perasaan itu. Kamu hanya dilihat sebelah mata, jadi menunduk sajalah.

Di bawah rintik hujan yang mulai menebal, aku menerobos kerumunan yang memang setiap hari terjadi di jalan sempit itu. Pemukiman padat penduduk, menyewa satu petak kamar untuk sekedar tidur atau berlindung. Mata semua orang--seperti biasa, tertuju ke arahku. Pandangan curiga, sinis, jijik. Urus saja diri kalian sendiri, Tuan dan Nyonya!
''Orderan ramai nih kayaknya...'' celetuk ibu-ibu setengah baya yang mengontrak kamar di sebelahku, dasternya mengatung, dan badannya agak gemuk. Apa pedulimu dengan orderanku? Apa pedulimu dengan pekerjaanku?
Aku memilih untuk diam, pura-pura tak mendengar. Nada bicaranya selalu ketus, dan tunggu...tinggal berpuluh tahun menumpang di tanah orang, bukan hal yang membanggakan, gerutuku dalam hati. Mulutnya masih menyindir sampai pintuku rapat tertutup, tak adakah pekerjaan yang lebih baik dari mencemooh orang, di sini?

Aku, Lestari, 25 tahun, memiliki satu anak yang ku titipkan pada ibu di kampung. Orang-orang sinis di luar menyebut pekerjaanku sebagai pelacur. Pekerja seks komersial, menjual diri agar bisa makan dan mengirimi anak uang. Membiarkan laki-laki tak dikenal menikmati tubuhku sebelum pergi dan melemparkan amplop.

Ku rebahkan badan di atas selembar kasur busa yang menipis, ruangan 2 x 2 meter dengan isi seadanya, dinding bercat hijau norak, plafon yang menghitam karena genteng sering bocor, juga tikus sebagai bonus.
Terlihat lembaran-lembaran uang menyembul dari mulut tas tangan di atas badan, dibayar mahal, pikirku. Aku bisa membelikan baju dan sepatu baru untuk anakku, dan oh...dia juga meminta mainan pesawat terbang. Pasti ibu penuhi, untukmu, apapun akan ibu lakukan.

''Maaf, Mbak, ini bukan kemauan saya...saya terpaksa meminta Mbak Tari pergi, maaf...''

Lagi. Aku diusir karena pekerjaanku, bukan hanya baru sekali ini, sebelumnya sudah berkali-kali aku terusir. Salah apa aku pada mereka? Menyebarkan penyakit? Apa mencuri? Mereka bukan orang yang memberi uang, bukan juga yang membelikan pakaian serta sepatu baru anakku, bukan?

Tas hitam besar sudah siap diangkat, para tetangga berdiri di pintu masing-masing sambil tersenyum puas. Puas sekali bisa mengusir PSK keluar dari lingkungan mereka. Puas sekali membersihkan wilayah dari noda. Hanya pemilik rumah ini yang tersenyum kecut, matanya menyiratkan perasaan bersalah yang teramat dalam. Jadi tak enak hati. Aku percaya masih ada orang baik, selalu ada, seperti dia.

Sindiran-sindiran masih terdengar sepanjang lorong selebar satu meter tempatku berjalan, seperti tidak pernah bosan, mungkin mereka pikir akan menambah pahala. Merasa suci untuk menghakimi, merasa paling benar, sok tahu.

Jangan menunduk, perintahku. Tegakkan kepala.
Urusan apa mereka dengan harga dirimu, jangan menunduk. Kalahkan kesombongan mereka, jangan merasa lemah. Tak pantas sekali menundukkan kepala di depan mereka, mereka bukan ibumu. Tegakkan kepala!

Menunduklah pada Tuhan-mu, malulah pada-Nya. Bukan mereka yang akan menghukummu, Tuhan-lah yang tau caranya. Dan Tuhan-mu tak pernah mengusirmu dari bumi-Nya, bukan?

-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar