Sepertiga teh di dalam gelasku tercekat dileher, pagi ini dingin sekali, Jakarta pasti sedang sendu tak seperti biasanya.
Ku baca pesan terakhirmu yang baru sempat kubuka, dengan susah payah kutelan teh dan berharap ada sedikit kehangatan diperutku.
'Aku menikah hari ini, undangan sudah sampai, kan? Datanglah, aku sangat merindukanmu'. Rahangku mengeras membacanya, marah. Cemburu. Kecewa.
Satu bulan lalu, kamu mengabarkannya. Kita berdua duduk bersama, menggenggam jemari satu sama lain sebelum hal itu kamu beritakan. Aku, sudah dua tahun menjadi yang kedua, menjadi seseorang yang dianggap tak ada namun nyata. Juga memberimu sandaran disaat dia menyebabkan kesedihan dihatimu. Genggaman tanganmu tak seperti biasanya, kali ini bukan lagi kamu yang memanja, bukan kamu yang penuh rindu atau kamu yang serta merta memelukku ketika baru saja bertemu.
''Aku memilihnya, maaf...''
Sudah kuduga, inilah akhir dari kisah mendua, aku sudah menunggu hari itu lama. Memilih, kamu memilih dia, memilih yang pertama. Lalu aku, yang kedua? Aku tahu, aku akan jatuh dengan pilihanmu. Tapi bodohnya, aku masih menunggu, menunggu saat kamu benar-benar menjatuhkanku.
Aku beranjak, tak perlu ada penjelasan tentang mengapa kamu memilihnya. Jelas, aku tak lebih baik darinya.
Setahuku dulu, kamu menjanjikan masa depan, meyakinkanku tentang pernikahan. Bukan seperti ini, bukan undangan warna cokelat tua bertuliskan namamu dan namanya. Aku sudah jatuh, dan pesanmu pagi ini menguburku dalam ke perut bumi. Belum puas menjadikanku bayangan yang menemanimu kala sendirian? Belum cukup menjadikanku yang kedua yang tak pernah dianggap ada?
Merindukanku? Omong kosong! Buang jauh-jauh kata-kata mengiba seperti aku membuang undangan pernikahanmu dengan kebencian.
Aku teguk dua per tiga sisa teh dalam gelas, perlahan mencari ketenangan dengan sedikit kafein. Kafein tak pernah gagal meredam kegelisahanku, meski membuatku bodoh karena terus terjaga, tentu.
'Selamat menempuh hidup baru, Arka..', balasku. Lalu kumatikan ponsel dan mencabut SIM card di dalamnya, cukup kali ini menjadi yang kedua. Cukup hari ini menjadi bodoh karena cinta buta.
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar