Tahun baru masih setengah jam lagi, tahun baru pertamaku di beranda rumah setelah tobat keluyuran mencari keramaian. Iya, kali ini aku butuh kesunyian. Tapi salah.
Komplek perumahan biasa dengan rumah yang hanya dibatasi pagar kurang dari dua meter, bukan perumahan elit, hanya rumah sederhana dengan pohon mangga atau rambutan di depannya. Aku pikir, berada di rumah saat tahun baru akan lebih tenang, tapi sama saja. Memang tidak seperti berada di lautan manusia, tapi keriuhannya hampir sama.
Sedari pukul 20:00 kembang api sudah menyala, berkali-kali. Meledakkan sinar lalu menyebar menjadi titik-titik warna. Terompet tak pernah ada jeda, bahkan anak-anak belum juga lelah berteriak.
Rumah arah jam sebelas, seperti sedang open house. Pagar dibuka lebar-lebar, suara musik karaoke melantunkan lagu 'Widuri' dengan suara fals Om-Om. Tetangga.
Rumah arah jam dua, juga membuka pagarnya lebar, mengeluarkan sofa dan meletakkannya di garasi. Dua orang laki-laki---anggota keluarganya, sibuk mengipasi sate. Diiringi tiga anak kecil bermain kembang api sambil berfoto dengan ibunya. Ramai.
''Kok ngelamun'' ujar seseorang, arah jam tiga. Sahabat kecilku--yang sudah setinggi pebasket, tampak menyangga piring berisi nasi dengan berbagai lauk. Kakinya dinaikkan ke atas kursi besi yang sama dengan kursiku, sesekali dia bersendawa tanpa peduli ada orang di sebelah yang diam-diam terganggu.
''Udah nambah berapa kali, Lu? Gue disisain gak tuh nasi di belakang?'' tanyaku pada cowok pemakan segala itu, dia hanya tersenyum. Mulutnya penuh, pipinya mengembang seperti dimasuki dua bola tenis. ''Bangkrut dah nyokap gue, dari kelas dua SD sampe lu setua ini. Besok-besok bayar lu!''
''Nyokap lu ikhlas-ikhlas aja tuh, ga kaya lu, mata duitan!'' jawabnya, lalu beringsut pergi membawa piring kosongnya. Sial!
Urat malunya memang sudah putus sejak dia lulus SMP, sejak cintanya ditolak adik kelas. Belasan tahun lalu.
''Disuruh makan tuh, katanya takut keburu dingin ikannya'' suara itu menyadarkanku, sekarang tangannya sibuk mengelap air dari semangka yang dimakan. ''Nyokap lu makin lama makin bawel deh, lu hasut ya, biar gue ga betah di sini?''
Pikiranku sedang kosong, aku sendiri bingung mengartikan ini semua. Awal tahun, lalu? Sepesimis itukah aku sampai lupa memikirkan besok?
Kemudia tiba-tiba sepasang tangan menggenggam jemari kananku, tangannya dingin, dan lengket.
''Lu megang-megang tangan gue mau meper, ya!!??'' semburku pada cowok berambut cepak di sebelah, raut wajahnya tenang dengan sedikit senyum menyimpul. Sedetik sempat terpikir kalau dia sedang kesurupan. ''Heh!!''
Dia tersenyum lagi, lalu perlahan menunduk menyembunyikan wajahnya. Curiga sedang dikerjai, akupun menarik tangan yang masih digenggam oleh tangan lengketnya. Erat. Susah sekali melepaskan jari-jari besar itu dari sela jariku. ''Kita udah temenan lama..'' katanya membuatku menaikkan alis, ''Ini soal perasaan gue sama lu''
Mataku melotot seketika, mudah-mudahan dia ngelantur gara-gara kebanyakan makan ikan bakar. ''Apa sih? Lu jangan ngerjain gue ya, macem-macem deh''
''Gue serius, untuk yang ke satu-dua-tiga..iya, tiga--tiga kalinya gue ngungkapin perasaan gue...'' matanya menatapku lurus, menusuk sampai aku enggan sekali membalasnya. Memang sudah dua kali aku menolaknya, kita sahabat, that's it! Tidak ada hal menye-menye seperti pacaran yang nantinya merusak belasan tahun umur pertemanan kami.
''Gue udah bilang juga, ini yang ketiga kalinya...gue ga mau---'' kata-kataku terputus melihat dia memperlihatkan benda kecil di genggaman tangan kanannya, bulatan seukuran jari dengan satu berlian kecil di tengah permukaan. Aku lirik wajah itu, wajah sahabatku, dia tersenyum. Senyum yang berbeda dari biasanya, senyum menghanyutkan, seperti ada kembang api meledak-ledak di matanya. Indah sekali.
''Habiskan sisa hidupmu bersamaku, Arini. Will you marry me?''
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar