Gerimis sudah mulai turun, angin kencang menerpa daun dan pepohonan di ibu kota. Aku memakan potongan tempe terakhirku, sudah pukul dua siang dan aku baru memasukan makanan ke perut ini.
Matanya menatapku sambil tersenyum, lalu menyodorkan air minum dalam botol air mineral yang sudah lusuh. Tak perlu pikir panjang, aku sambar saja air ditangannya dan ku minum hanya setengah.
Klakson tak henti-hentinya berteriak mengancam, mengancam agar kendaraan lain cepat berjalan, mengancam kemacetan yang adalah dirinya sendiri. Aku tak peduli. Aku duduk tenang dengan makanan dan seseorang yang sangat ku sayang di hadapanku, matanya seperti terus tersenyum, teduh sekali. Makanan apapun yang dia bawa tak pernah ku tolak semata agar dia tertawa, aku suka sekali melihatnya tertawa.
''Tunggu, jangan pergi dulu. Abisin makanannya..'' ujarku ketika melihatnya beranjak dari duduk. Dia menurut lalu tersenyum, ''Ga boleh buang-buang makanan, kan?'' tambahku.
''Kamu mau membantuku menghabiskan ini?'' tanyanya, aku menggeleng lalu menggeser kertas bungkus makanan didepanku ke hadapannya.
''Ini bagian Kakak, aku sudah kenyang...'', ku geser lagi kertas makanan yang terpapar di lantai sampai hampir menyentuh kulit kakinya. Dia tersenyum lagi, kemudian mulai memakan setengah bagiannya. Satu bungkus nasi putih dan satu tempe goreng dari warteg sebrang jalan, tadinya. Tapi dia membaginya menjadi dua, buatku dan yg sekarang sedang dia makan.
Kakakku satu-satunya, anak laki-laki 12 tahun yang lebih tua 4 tahun dariku. Masih tersenyum, meski perutnya baru terisi makanan dari kemarin sore. Makannya lahap, sesekali dia menawariku dengan wajah seperti seseorang yang sudah kenyang. Segera ku tolak, setengah porsi nasi bungkus tak akan mengenyangkanmu sampai besok siang, Kak...juga tak akan mencukupi tenaga untuk menggendongku sampai ke gubug kita.
Kalau saja Tuhan memberiku kaki yang sempurna, mungkin aku bisa membantunya menjajakan koran, mengamen, atau bersamanya bermain hujan sambil menawarkan jasa ojek payung. Nyatanya, aku hanya berdiam diri di depan ruko tak laku, menunggunya selesai bekerja lalu makan berdua dari hasil kerja yang tak seberapa. Seperti halnya kali ini.
Dia menenggak semua isi air di botol, lalu meraih payung besar disampingnya. Hujan dan petir bergemuruh, saatnya dia mencari rezeki dari tetes-tetes air pemberian Tuhan. ''Kakak pergi dulu, ya. Kamu tunggu disini aja, inget..kalau ada apa-apa, teriak! Oke?'' katanya sambil memegang bahuku, tak pernah bosan dia mengulang kata itu. Teriak! Iya, aku memang hanya bisa teriak. ''Kamu mau dibeliin apa?'' tanyanya, aku tersenyum dan menggeleng cepat. ''bener? Ya udah...jadi kalau kakak beli boneka beruang jangan diminta ya..'' godanya membuatku cemberut seketika. Dia tertawa lebar lalu mengusap poniku, beranjak dan menghilang di keramain jalanan.
Tak apa tubuhku tak sempurna, Tuhan. Asal ada dia, aku tak akan mengeluh. Lindungi saja dia, tolong.
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar