Jumat, 23 Desember 2011

Dalam Gelap (Bagian : Tiga)

Wajahnya pucat tanpa make up tipis seperti biasanya, bibirnya kering. Selang oksigen memperburuk penampilannya, dan pergelangan tangannya tertancam jarum yang membantu cairan infus masuk ke dalam tubuh.

Kamu kurus sekali sekarang.

Katamu, kamu tergila-gila padaku. Salah, akulah yang gila karena kamu. Sejak kita masih di sekolah menegah pertama, kamu pendiam, misterius tapi sopan--manis sekali. Aku mengamatimu selama lebih dari dua tahun, sejak obrolan tentang guru fisika aneh kita. Kamu lucu. Sampai kelulusan SMP, kamu menghilang, aku mengecek hampir semua SMA di Jakarta dan tak pernah menemukanmu.

Hari itu, bersama teman perempuanku--yang juga tidur bersamaku--aku melihatmu. Di seberang jalan dengan blazer merah dan wajah cemas. Kulawan lampu hijau, aku terobos dengan taruhan nyawa dan dengan cacian pengendara di jalan. Akhirnya aku menemukanmu, menepuk bahu dan melihat senyum itu lagi.
Kamulah pemberhentian dari pencarianku, petualanganku selesai saat menjabat tanganmu. Tidak ada lagi free sex, bahkan sesederhana alkohol, demi kamu. Berjalan di jalur yang benar seperti itu susah sekali, tapi apa? Aku melihatmu di ujung jalan, tersenyum, menghipnotis. Semua menjadi mudah, dan lihat sesudahnya...kamu menjadi ibu dari anakku. Tidak kah itu indah?

Cepatlah bangun, sebulan dalam tidur itu tidak bagus. Rindukah kamu pada anak kita? Dia selalu menyebut namamu dalam tidur, dia mencarimu diseluruh ruangan, dia lupa kalau malamnya dia menjengukmu di sini. Kasihan dia. Aku tak becus membuat sarapan, tadi...seragam sekolahnya salah. Aku memang bodoh, ayah yang bodoh.
Jadi, lekaslah buka matamu...aku rindu kamu...kami merindukanmu. Aku kosong tanpa kamu, sampai aku...sampai aku mendatangi perempuan itu lagi. Membuang-buang waktu dengannya, untuk mengusir penat, berlari dari kekacauan.
Melupakan kamu sejenak, maaf.

Maafkan aku...

Segalanya tidak akan sekacau ini kalau saja aku tak bermain api dengan rekan sekantor, aku sangat menyesal. Hari itu untuk pertama kali aku mendengarmu berteriak, hari itu untuk pertama kali melihatmu menangis karena marah. Aku sudah berdosa.
Kamu mengetahuinya, ponselku berdering dan kamu jawab. Aku melihat amarah di matamu, tak ada kelembutan di sana, benar-benar marah. Aku mengelak, aku beralasan, aku menolak menerima tuduhan. Kamu menangis, kamu marah. Aku mencoba menenangkan, menarik tanganmu agar tetap tinggal. Tapi kamu terus melawan, menyentakkan tangan hingga kehilangan keseimbangan. Lalu hening.... tidak ada tangisan, kamu tergeletak diam di lantai.

Meja kaca--sial!!, kepalamu, oh Tuhan...kamu membentur meja sialan itu. Aku benar-benar menyesal, jangan siksa aku seperti ini. Aku minta maaf, ini salahku.

Bangunlah, aku ingin meminta maaf. Aku menyesalinya, dan aku rindu kamu, kami rindu kamu. Aku dan jagoan kita, sangat merindukanmu.

-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar