Senin, 02 Januari 2012

Hidden Slide

Klien-klien penting sudah duduk mengelilingi meja kaca persegi panjang dengan tatapan yang sulit ditafsirkan. Layar besar untuk gambar sudah siap sebelum aku sampai, dan dari luar ruangan, Henry serius mengawasi. Hanya dibatasi kaca dia mengucap sesuatu yang aku yakini sebagai 'Good luck', sayang bukan pacarku.

Kegugupanku bukan tanpa sebab, selain klien yang penting--maka tidak boleh ada satu kekuranganpun, juga karena Inggit--rekanku yang menyiapkan materi dari ide-ide di otak kami, sakit. Hanya separuh materi selesai dan dengan sepihak mengoper finishing ke Henry, bahkan dia tidak pernah brainstorming tentang detail dari proyek ini. Mati!

''Oke, selamat siang. Mari kita mulai...'' akhirnya kata-kata itu keluar, sambil memberi aba-aba pada Dani--rekan yang dipaksa menjadi asisten--untuk membagikan desain kasar sebelum aku mulai menjelaskan. ''Desain-desain yang sudah ada di kertas tersebut masih kasar, belum 100 % bulat. Jadi, masih sangat bisa diubah. Tapi kami mengajukan ini sebagai ide terbaik yang kami punya untuk gedung yang akan dibangun.''

aku menunggu sejenak, memberi waktu untuk mereka membuka-buka kertas penuh garis dan warna di atasnya. Di luar, Henry tampak santai, cowok incaran satu kantor itu memang dambaan cewek-cewek normal.
Tapi, dialah yang pertama kubunuh kalau klien menolak desain kami hanya karena finishingnya mengecewakan.
''Saya akan jelaskan satu-persatu, mungkin akan lebih mudah jika gambarnya lebih besar''. Aku mengangguk ke arah Dani, laptop di depannya sudah tersambung pada layar besar di belakangku. Sementara aku menjelaskan, mereka akan melihat detail yang tidak bisa dilihat di atas kertas.

Tanpa menoleh aku mulai dengan gambar pertama, tampak gedung bergaya Eropa, mencatut bagunan tua belanda yang dikembangkan hingga terlihat lebih modern. Artistik dan modern. Kemudian, disusul dengan gambar interior sampai dengan desain basement untuk parkir.
Itulah, yang ada di kertas masing-masing termasuk kertas di tanganku. Bedanya aku punya materi lebih untuk menjelaskan selain apa yang sudah tersimpan di otak.

''Maaf, anda yakin desain itu yang diajukan?'' suara itu memecah konsentrasiku, hampir saja gagap karena belum siap menerima pertanyaan.

''Benar sekali, Pak Radi. Seperti yang sudah anda lihat di kertas, gambar-gambar di belakang saya ini menjadi penyempurna--'' tapi sebelum perkataanku selesai, Pak Radi beranjak dan pamit keluar. Mampus gue!
Terlihat Henry menahannya di luar, menangkupkan dua tangan seperti meminta maaf dan menunjuk koridor yang mengarah ke pintu keluar.
''Kalian, benahi semuanya dan ikut saya keluar dari ruangan ini'' Ujar Pak Radi setelah masuk kembali ke ruangan, tanpa ba-bi-bu tiga orang rekannya mengikuti dari belakang lalu pergi dengan Henry. Ah, tamatlah riwayatku.

Aku bertukar pandang dengan Dani, dia melemparkan ponselnya ke atas meja dengan wajah tak lebih baik dari wajahku yang sudah pucat. ''Ada yang salah dengan desain gue, ya Dan?'' tanyaku. Aku bolak-balik lagi kertas di atas meja dan menurutku itu sempurna. ''Ini semua sesuai dengan permintaan pas meeting padahal''

Henry masuk ke ruangan dengan senyum khasnya, aku sendiri masih gemetar karena penolakan desain tadi--yang juga dikerjakannya. ''Gimana?'' tanyanya dengan santai, andai dia bukan seniorku--dan ganteng, pasti sudah ku cabik mukanya. ''Kamu dapet ide itu dari mana, sih?''.
Aku diam terduduk di kursiku, keterkejutanku masih menguasai tampaknya. ''Gak tau...'' jawabku pelan, seperti ingin mati. Aku buka lagi lembaran-lemabarn di depanku, tidak ada yang salah. Lalu aku menarik laptop Dani untuk memastikan.
''Pasti ada yang salah, gak mungk..in.. Ini, ini apa?'' tatapanku langsung mengarah ke Dani begitu gambar-gambar di laptop muncul memenuhi mata. ''YA TUHAN, DANI, INI APA?''.

Dani mematung dan jarinya menunjuk ke arah Henry yang bersender di pinggiran meja di sebelah kananku. Cepat ku lemparkan pandanganku ke arahnya, dia tersenyum. Ini apa maksudnya?
''Mas, Mas gak bermaksud buat nyingkirin saya dari kantor ini dengan cara kotor, kan?'' tuduhku, lagi-lagi harus ku tahan amarah mengingat dia adalah senior. ''Mas mau saya dipecat gara-gara ini?''

''Pak Radi gak pulang, beliau ada di ruang meeting sebelah. Dan...'' tanpa mengubah ekspresi dia memperlihatkan layar Blackberrynya ''Inggit bilang, desain kamu diterima. Pak Radi puas sama hasil kerja kalian''

''Tapi apa maksudnya mengubah gambarku dan memindahkan klien ke ruangan sebelah? Inggit bukannya lagi sakit? Dan, Dani, kenapa lu biarin gambar-gambar itu muncul?''

''Biar aku yang jelasin...'' potong henry, dia memutar kursiku sampai menghadap layar besar di depan. Mengangguk pada Dani, lalu terkuaklah semua. ''Kamu tau ini gambar apa? Eh, maaf, maksudnya foto apa?'' ujarnya melihat gambar kedua setelah gedung desainku. ''iya, ini gambar gereja. Next...'' gambar berganti menjadi rupa altar dengan bunga-bunga putih yang indah. ''Ini altar, lalu..''

Dan muncul lah banyak foto sudut-sudut gereja yang sudah dihiasi bunga, gereja berukuran sedang dengan interior menakjubkan. Ketika aku memutar kembali kursi berniat protes, Henry sudah berlutut di depanku, membawa kotak kecil biru tua yang sudah terbuka.

''Maafkan ulahku dan sekutuku...'' dia mengerling ke arah Dani, ''Maukah kamu berlutut di altar itu bersamaku? Maukah, kamu bersumpah di depan-Nya untuk menemaniku sampai aku mati?'' dia menarik nafas dalam ''I used to love you, Kirana. Will you marry me?''

-Requested by @adit_adit (sungkem pada guru)

1 komentar: