Kejutan memang harus mengejutkan, atau mungkin malah mencengangkan.
Ponselku bergetar di atas meja, sudah pukul 12:15 dan aku baru menyadarinya saat melihat ke layar ponselku.
'' Aku di lobby, kita makan siang soto betawi, yuk. Aku tahu tempat yang enak, '' katanya dari sebrang sambungan telepon. Hari ini tidak seperti biasa, tanpa membuat janji, tanpa mengabari akan datang--dan membatalkannya, dia tiba-tiba muncul di kantorku.
'' Tumben, adakah sesuatu yang penting, Biru? '' tanyaku setelah kami mendapat tempat duduk. '' Dan tebak siapa yang baru mandi hari ini, '' tambahku sambil membaui wangi sabun yang sudah bercampur parfum di lehernya. Kaus abu-abu dan jeans biru tua pendeknya tampak santai, ditambah rambut yg masih sedikit basah dan acak-acakan seperti kebiasaannya.
'' Tiketmu sudah kupesan untuk jumat malam. Jadi kamu nanti langsung berangkat saja sepulang kantor, '' dengan cekatan dia menambahkan sambal ke mangkuk lalu mengaduknya pelan. '' Nanti aku minta tolong Jonathan atau Raja menjemputmu di bandara, aku belum boleh pergi sebelum acaranya selesai. ''
'' Jonathan, suruh saja dia, '' singkatku. Jangan Raja, jangan masa laluku, jangan mantan kekasihku yang sekarang menjadi sahabatmu, Biru. Jangan.
'' Aku memikirkan percakapan dengan temanmu pagi tadi, '' kini dia mulai menyendok nasinya. '' Maukah kamu tinggal bersamaku? ''
Tiba-tiba lidahku kelu, suapan ketigaku berhenti dua senti sebelum menyentuh bibirku. '' Apa kata orang nanti, Bi? Ini Indonesia, '' bilangku dengan susah payah menahan keterkejutan. '' Kita tak bisa serumah kalau tidak ada ikatan penikahan. ''
'' Who cares? Kita terlalu banyak dicekoki norma-norma di sini, mereka bukan Tuhan, dan kita sudah cukup dewasa untuk mempertanggungjawabkannya, '' matanya mengunci pandanganku. Mata cokelat bening menghanyutkan yang membuatku menunduk kalah saat ia mulai mengintimidasi.
'' Bi..., '' lirihku. '' Bagaimana... ''
'' Bagaimana kalau kita menikah saja? '' potongnya. '' Kalau kamu emoh seatap denganku karena kita belum terikat, maka menikahlah denganku. Dan masalah akan selesai. ''
Belum. Aku belum ingin terikat, Bi. Aku belum siap menjadi ibu saat kamu menginginkan anak dariku, aku takut menjadi ibu seperti ibuku. Belum, belum sekarang.
'' Bagaimana? '' tanyanya menyadarkan aku dari lamunan singkat. Jemarinya mengapit jari-jariku erat, hangat, tapi ragu seperti sedang memohon kepastian. '' Pikirkanlah, tapi jangan buat aku menunggu terlalu lama. ''
Aku mengangguk pelan, memaksa butiran-butiran nasi di atas sendok masuk ke mulutku yang kaku. Secepat inikah? Atau aku memang belum siap? Sudah tahun kedua dan jari manisku kini melingkar cincin pemberiannya-- keyakinannya tentang masa depan bersamaku. Tentang keluarga, anak-anak, lalu masa tua. Entahlah itu terlalu muluk untuk sekedar diharapkan atau tidak, tapi toh laki-laki di hadapanku melukiskannya dengan begitu jelas.
'' Beri aku waktu sampai urusan kita di Bali selesai, '' pintaku. Senyumnya menyungging dan genggamannya terasa lebih erat, seperti ada pijar warna warni di matanya sesaat setelah aku mengakhiri kata-kataku.
Kejutan.
Selasa, 28 Februari 2012
Jumat, 24 Februari 2012
Dulu
Ada semilir angin menyapu lembut pori-pori kita, menyisir perlahan barisan rambut, mengirim gemersik dedaunan ke cuping telinga. Ada nada-nada yang dulu kita buat, terdengar jelas seolah menyatu tenang dengan Toba.
'' Lama menunggu? '' tanyanya dengan senyum manis merekah di bibirnya.
Toba sore hari yang menenangkan, setenang hamparan airnya di tengah pegunungan di Sumatera Utara.
Kita masih didekap bisu, berkelit dari rasa yang membelit bersamaan dengan hilangnya waktu. Terdiam tanpa tahu cara memindahkan kelu di lidah yang ingin berucap rindu.
Aku merindukanmu, pernah, dan masih; batinku. Dengan sapuan lembut bibirmu, dengan hangat tatapmu, dengan eratnya pelukmu, dengan banyak cerita yang tak pernah lupa kau bagi.
Aku merindukanmu, masih, masih sangat merindu.
'' Sendiri atau...? '' tanyanya. Aku tersenyum ragu, ada kilatan yang lama tak kulihat dari bening matanya. Apakah kau masih menginginkanku?
Kulempar jauh pandanganku ke arah nelayan di pinggir danau, menyembunyikan rona pipi yang tiba-tiba merah menghiasi. Aku pernah memilikimu, dulu. Dua tahun lalu. Sebelum jarak mengikis lapisan tebal bernama cinta, benar, aku juga mencintaimu. Dulu.
Ada kisah hitam mengisi kekosongan saat kau tak ada, saat kau menjauh dari pandanganku; berpaling lalu tak pernah kembali.
Aku rindu menangis di bahumu, satu kebiasaan buruk yang sudah pasti kau hafal dariku. Aku pernah menguasai bidang yang melindungi hatimu juga meredam degup jantungmu itu, menyentuhnya semauku, mendengar debarnya dalam sepi malam-malam kita.
'' Kita tak pernah berdua seperti ini, '' lirihnya.
'' Iya, tak pernah. Tapi kini sudah. ''
'' Berbeda, kita sudah tak lagi bersama. Andai dulu... ''
Dulu. Pikiran kita sama, kita kini sibuk membayangkan jika dulu, andaikan dulu, kalau saja dulu... Hanya sebatas dulu. Nyatanya toh tak pernah terjadi, ini hanya sebentuk masa lalu yang tak akan bisa kita lompati untuk sekedar mundur lalu diperbaiki.
'' Kita tak akan membawa masa lalu ke hari ini, bergunakah? Aku bahkan ingin menebarnya ke danau di depan kita. Terlalu usang, '' timpalku.
Kulihat senyumnya memudar, berganti wajah lain yang tak pernah kukenali.
'' Aku masih belum kau maafkan, bukan? Sudah dua tahun. ''
'' Sudah kumaafkan, aku hanya tak ingin membawa kenangan kita ke dalam hidup baruku, '' kulihat sosok yang sedari tadi meninggalkanku, dia mendekat dengan kamera masih sesekali dibidikan ke langit senja. '' Kau harus bertemu dengan hidup baruku. ''
'' Sudah dapat? '' tanyaku padanya. Dia hanya tersenyum lalu memalingkan wajah ke sosok laki-laki di sebelahku. '' Kenalkan, ini temanku. Teman lama, Raja. ''
'' Hai, Raja. Aku Biru, calon suaminya, '' ujarnya sambil mengulurkan tangan menyalami masa laluku.
Lihatlah, Raja, aku mungkin pernah ingin memilikimu selamanya, pernah sangat ingin. Tapi itu dulu. Hanya sebatas waktu yang kita sebut ' Dulu. '
'' Lama menunggu? '' tanyanya dengan senyum manis merekah di bibirnya.
Toba sore hari yang menenangkan, setenang hamparan airnya di tengah pegunungan di Sumatera Utara.
Kita masih didekap bisu, berkelit dari rasa yang membelit bersamaan dengan hilangnya waktu. Terdiam tanpa tahu cara memindahkan kelu di lidah yang ingin berucap rindu.
Aku merindukanmu, pernah, dan masih; batinku. Dengan sapuan lembut bibirmu, dengan hangat tatapmu, dengan eratnya pelukmu, dengan banyak cerita yang tak pernah lupa kau bagi.
Aku merindukanmu, masih, masih sangat merindu.
'' Sendiri atau...? '' tanyanya. Aku tersenyum ragu, ada kilatan yang lama tak kulihat dari bening matanya. Apakah kau masih menginginkanku?
Kulempar jauh pandanganku ke arah nelayan di pinggir danau, menyembunyikan rona pipi yang tiba-tiba merah menghiasi. Aku pernah memilikimu, dulu. Dua tahun lalu. Sebelum jarak mengikis lapisan tebal bernama cinta, benar, aku juga mencintaimu. Dulu.
Ada kisah hitam mengisi kekosongan saat kau tak ada, saat kau menjauh dari pandanganku; berpaling lalu tak pernah kembali.
Aku rindu menangis di bahumu, satu kebiasaan buruk yang sudah pasti kau hafal dariku. Aku pernah menguasai bidang yang melindungi hatimu juga meredam degup jantungmu itu, menyentuhnya semauku, mendengar debarnya dalam sepi malam-malam kita.
'' Kita tak pernah berdua seperti ini, '' lirihnya.
'' Iya, tak pernah. Tapi kini sudah. ''
'' Berbeda, kita sudah tak lagi bersama. Andai dulu... ''
Dulu. Pikiran kita sama, kita kini sibuk membayangkan jika dulu, andaikan dulu, kalau saja dulu... Hanya sebatas dulu. Nyatanya toh tak pernah terjadi, ini hanya sebentuk masa lalu yang tak akan bisa kita lompati untuk sekedar mundur lalu diperbaiki.
'' Kita tak akan membawa masa lalu ke hari ini, bergunakah? Aku bahkan ingin menebarnya ke danau di depan kita. Terlalu usang, '' timpalku.
Kulihat senyumnya memudar, berganti wajah lain yang tak pernah kukenali.
'' Aku masih belum kau maafkan, bukan? Sudah dua tahun. ''
'' Sudah kumaafkan, aku hanya tak ingin membawa kenangan kita ke dalam hidup baruku, '' kulihat sosok yang sedari tadi meninggalkanku, dia mendekat dengan kamera masih sesekali dibidikan ke langit senja. '' Kau harus bertemu dengan hidup baruku. ''
'' Sudah dapat? '' tanyaku padanya. Dia hanya tersenyum lalu memalingkan wajah ke sosok laki-laki di sebelahku. '' Kenalkan, ini temanku. Teman lama, Raja. ''
'' Hai, Raja. Aku Biru, calon suaminya, '' ujarnya sambil mengulurkan tangan menyalami masa laluku.
Lihatlah, Raja, aku mungkin pernah ingin memilikimu selamanya, pernah sangat ingin. Tapi itu dulu. Hanya sebatas waktu yang kita sebut ' Dulu. '
Kamis, 23 Februari 2012
Akhir
'' Maukah kamu menjadi istriku? ''
Pertanyaannya membuatku melongo, begitu tiba-tiba, terlalu mendadak. Wajah sedihnya kini sudah melembut kembali, tenang dengan senyum hangat seperti biasanya. Jambang dan kumis tipis tampak menghiasi raut tampan dengan rahang tegas miliknya, rambutnya bahkan sudah menutupi setengah telinga.
'' Apa? '' tanyaku tak percaya.
'' Maukah kamu menjadi istriku? Menjadi ibu dari anakku, menjadikanku keluargamu? ''
Mulutku terbuka lebar tanda keterkejutan yang tiba-tiba mendera, suaraku tercekat di leher dan tubuhku membeku. Dia beranjak, masuk kembali ke kamarnya dan keluar dengan ransel hitam besar yang biasa dia pakai untuk backpacking. Isi ranselnya satu-persatu dikeluarkan memenuhi meja kaca, tangannya tampak membuka-buka anak kantung dan senyumnya tiba-tiba mengembang.
'' Tadinya aku ingin tempat yang romantis; Malang, Lombok, Raja Ampat, pantai-pantai di Maluku ataupun Selandia Baru. Paling tidak, kamu akan terkesan dan usahaku menjadi laki-laki romantis, '' ujarnya yang kemudian mengeluarkan kotak kecil dari ransel. '' Tapi aku tetaplah aku, aku yang selalu kaku padamu. Aku yang tak akan pernah kamu sebut 'seksi' seperti laki-laki di coffee shop di Jogjakarta, meski aku sudah menumbuhkan jambangku. ''
Aku tersenyum salah tingkah, bukan karena benda mengkilap di kotak kecil tadi, tapi karena usahanya untuk membuatku terkesan. Coffee shop, Jogjakarta, jambang, sudah lama sekali.
'' Nyatanya, aku hanya bisa melamarmu di rumah kecilku. Ingkar padamu tentang janji akan keluar dari kota ini dan membawamu ikut serta, tanpa bunga mawar, tanpa makan malam romantis, dan dengan suasana yang tidak menyenangkan, '' lanjutnya. '' jadi, jawablah... Maukah kamu menjadi istriku? ''
Airmataku menetes begitu saja, aku memang menginginkan semua itu. Mawar, candle light dinner, pantai, pegunungan, Selandia Baru, keromantisan darinya. Tapi toh Biru tetaplah Biru, to the point, jauh sekali dari kata romantis dengan ingatan yang tajam. Aku bahkan sudah lupa pernah membandingkannya dengan laki-laki berjambang di Jogjakarta.
'' Jadi? '' tanyanya lagi, kotak kecil di tangannya terbuka lebar di depanku menunggu jawaban yang harusnya sudah dia tahu.
'' Apa aku diperbolehkan menolak tawaranmu? '' balasku.
'' Jangan bertele-tele, wanita. Jawab saja, '' timpalnya gemas. Aku memeluknya dan menciuminya bertubi-tubi, bagaimana aku bisa menolak laki-laki sempurna yang sudah dua tahun bersamaku? Laki-laki bodoh!
'' Jadi kamu termia tawaranku? ''
'' Iya, bodoh. Apa kamu belum melihat pijar di mataku? Andai aku bisa menolaknya, tapi apa daya, kamu terlalu kubutuhkan. Aku mau, aku mau menjadi istrimu. Dan... ''
'' Dan? ''
'' Dan aku mau menjadi ibu dari anakmu, aku mau, Biru... ''
Aku terus memeluknya, melupakan cincin yang masih terselip diam di tempatnya. Tak perlu cincin, tak perlu tempat-tempat romantis, aku hanya mau Biru.
-End-
*cerita bersambung
Pertanyaannya membuatku melongo, begitu tiba-tiba, terlalu mendadak. Wajah sedihnya kini sudah melembut kembali, tenang dengan senyum hangat seperti biasanya. Jambang dan kumis tipis tampak menghiasi raut tampan dengan rahang tegas miliknya, rambutnya bahkan sudah menutupi setengah telinga.
'' Apa? '' tanyaku tak percaya.
'' Maukah kamu menjadi istriku? Menjadi ibu dari anakku, menjadikanku keluargamu? ''
Mulutku terbuka lebar tanda keterkejutan yang tiba-tiba mendera, suaraku tercekat di leher dan tubuhku membeku. Dia beranjak, masuk kembali ke kamarnya dan keluar dengan ransel hitam besar yang biasa dia pakai untuk backpacking. Isi ranselnya satu-persatu dikeluarkan memenuhi meja kaca, tangannya tampak membuka-buka anak kantung dan senyumnya tiba-tiba mengembang.
'' Tadinya aku ingin tempat yang romantis; Malang, Lombok, Raja Ampat, pantai-pantai di Maluku ataupun Selandia Baru. Paling tidak, kamu akan terkesan dan usahaku menjadi laki-laki romantis, '' ujarnya yang kemudian mengeluarkan kotak kecil dari ransel. '' Tapi aku tetaplah aku, aku yang selalu kaku padamu. Aku yang tak akan pernah kamu sebut 'seksi' seperti laki-laki di coffee shop di Jogjakarta, meski aku sudah menumbuhkan jambangku. ''
Aku tersenyum salah tingkah, bukan karena benda mengkilap di kotak kecil tadi, tapi karena usahanya untuk membuatku terkesan. Coffee shop, Jogjakarta, jambang, sudah lama sekali.
'' Nyatanya, aku hanya bisa melamarmu di rumah kecilku. Ingkar padamu tentang janji akan keluar dari kota ini dan membawamu ikut serta, tanpa bunga mawar, tanpa makan malam romantis, dan dengan suasana yang tidak menyenangkan, '' lanjutnya. '' jadi, jawablah... Maukah kamu menjadi istriku? ''
Airmataku menetes begitu saja, aku memang menginginkan semua itu. Mawar, candle light dinner, pantai, pegunungan, Selandia Baru, keromantisan darinya. Tapi toh Biru tetaplah Biru, to the point, jauh sekali dari kata romantis dengan ingatan yang tajam. Aku bahkan sudah lupa pernah membandingkannya dengan laki-laki berjambang di Jogjakarta.
'' Jadi? '' tanyanya lagi, kotak kecil di tangannya terbuka lebar di depanku menunggu jawaban yang harusnya sudah dia tahu.
'' Apa aku diperbolehkan menolak tawaranmu? '' balasku.
'' Jangan bertele-tele, wanita. Jawab saja, '' timpalnya gemas. Aku memeluknya dan menciuminya bertubi-tubi, bagaimana aku bisa menolak laki-laki sempurna yang sudah dua tahun bersamaku? Laki-laki bodoh!
'' Jadi kamu termia tawaranku? ''
'' Iya, bodoh. Apa kamu belum melihat pijar di mataku? Andai aku bisa menolaknya, tapi apa daya, kamu terlalu kubutuhkan. Aku mau, aku mau menjadi istrimu. Dan... ''
'' Dan? ''
'' Dan aku mau menjadi ibu dari anakmu, aku mau, Biru... ''
Aku terus memeluknya, melupakan cincin yang masih terselip diam di tempatnya. Tak perlu cincin, tak perlu tempat-tempat romantis, aku hanya mau Biru.
-End-
*cerita bersambung
Rabu, 22 Februari 2012
Andai
Matanya menatap lurus ke langit-langit, lalu terpejam lama. '' Mungkin bukan takdir anakku keluar dari rahimnya. ''
Aku menghela napas, kepala serasa penuh dengan 'Ibunya... Ibunya... Ibunya, ' bagaimana jika wanita itu mempertahankan anakmu? Pasti hari ini bukan aku yang ada di sampingmu.
Mungkin dua tahun lalu, kamu tidak akan sempat memperhatikan tengkuk dan warna kemejaku. Kamu akan sibuk berbicara dengan istrimu lewat telepon atau sedang pusing memikirkan nama yang akan diberikan untuk anakmu saat dia lahir.
Dua tahun lalu, mungkin kamu tak akan peduli ponselmu di mana, kamu tak akan meminjam ponselku, kamu tak akan bertemu denganku kalau wanita itu memilih untuk menjadi istrimu.
'' Kamu akan melakukan hal yang sama jika besok, lusa atau dua bulan lagi kamu mengandung anakku? '' tanyanya pelan sembari menoleh ke arahku. '' Kamu akan menggugurkannya seperti dia? ''
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya, 'Mengandung anakku?'
'' Entah, '' singkatku. '' Mungkin tidak. ''
'' Andai kamu menjadi ibu dari anakku, pasti dia laki-laki. Dia akan mirip sepertimu, lebih mudah diatur, tidak suka mengeluh...''
Andai, Biru. Itu hanya 'Andai.'
'' Dia akan duduk di sana dengan serealnya, sedang kamu hanya mengawasi tanpa memarahinya meski susu mengotori meja, '' dia menatap lagi meja makan kosong, persis seperti sebelumnya. '' Dia tak akan beranjak sebelum makanannya habis atau kamu akan menyita salah satu mainannya. ''
Aku tersenyum tipis, menengadah, mencoba masuk dalam imajinasi Biru yang baru pernah kulihat.
'' Saat dia memainkan kameraku, kita tak perlu mengejarnya karena kamu punya kamera mainan yang siap dibarter. Atau saat dia menyeret ranselku dan mengacak-acak isinya, kamu yang akan diam saja, akulah orang yang akan membuatnya menangis sampai kalian bersekutu untuk memusuhiku. ''
Ada sisi Biru yang tak pernah kulihat, sisi melankolis, sisi kebapakannya yang selama ini tertutup ketegasan.
'' Andai kamu menjadi ibu dari anakku, pastilah dia anak laki-laki bermata hitam menghanyutkan sepertimu. Sedikit pendiam, malas bertanya dan memilih untuk mencari tahu sendiri. ''
Andai, Biru.
'' Kita bisa mengajarinya backpacking sedari kecil, berkemah di halaman, berdesak-desakan di dalam bus saat mengantarnya ke sekolah. ''
Biru-ku yang realistis berubah seketika karena sebuah janin--calon anaknya, ada kerinduan melingkupi seorang ayah yang tak pernah bertemu putranya. Begitu lama, hingga dia hanya bisa membayangkan dalam angan saja.
'' Aku menginginkan anakku, '' lirihnya. Jemarinya mengusap pipiku lembut, lalu menggenggam erat jemariku, '' kamu mau menjadi ibu untuk anakku? ''
Aku terlonjak kaget mendengarnya, apa dia menyebut kata 'Andai' pada pertanyaannya, tadi?
'' Maukah kamu menjadi istriku? ''
*cerita bersambung.
Aku menghela napas, kepala serasa penuh dengan 'Ibunya... Ibunya... Ibunya, ' bagaimana jika wanita itu mempertahankan anakmu? Pasti hari ini bukan aku yang ada di sampingmu.
Mungkin dua tahun lalu, kamu tidak akan sempat memperhatikan tengkuk dan warna kemejaku. Kamu akan sibuk berbicara dengan istrimu lewat telepon atau sedang pusing memikirkan nama yang akan diberikan untuk anakmu saat dia lahir.
Dua tahun lalu, mungkin kamu tak akan peduli ponselmu di mana, kamu tak akan meminjam ponselku, kamu tak akan bertemu denganku kalau wanita itu memilih untuk menjadi istrimu.
'' Kamu akan melakukan hal yang sama jika besok, lusa atau dua bulan lagi kamu mengandung anakku? '' tanyanya pelan sembari menoleh ke arahku. '' Kamu akan menggugurkannya seperti dia? ''
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya, 'Mengandung anakku?'
'' Entah, '' singkatku. '' Mungkin tidak. ''
'' Andai kamu menjadi ibu dari anakku, pasti dia laki-laki. Dia akan mirip sepertimu, lebih mudah diatur, tidak suka mengeluh...''
Andai, Biru. Itu hanya 'Andai.'
'' Dia akan duduk di sana dengan serealnya, sedang kamu hanya mengawasi tanpa memarahinya meski susu mengotori meja, '' dia menatap lagi meja makan kosong, persis seperti sebelumnya. '' Dia tak akan beranjak sebelum makanannya habis atau kamu akan menyita salah satu mainannya. ''
Aku tersenyum tipis, menengadah, mencoba masuk dalam imajinasi Biru yang baru pernah kulihat.
'' Saat dia memainkan kameraku, kita tak perlu mengejarnya karena kamu punya kamera mainan yang siap dibarter. Atau saat dia menyeret ranselku dan mengacak-acak isinya, kamu yang akan diam saja, akulah orang yang akan membuatnya menangis sampai kalian bersekutu untuk memusuhiku. ''
Ada sisi Biru yang tak pernah kulihat, sisi melankolis, sisi kebapakannya yang selama ini tertutup ketegasan.
'' Andai kamu menjadi ibu dari anakku, pastilah dia anak laki-laki bermata hitam menghanyutkan sepertimu. Sedikit pendiam, malas bertanya dan memilih untuk mencari tahu sendiri. ''
Andai, Biru.
'' Kita bisa mengajarinya backpacking sedari kecil, berkemah di halaman, berdesak-desakan di dalam bus saat mengantarnya ke sekolah. ''
Biru-ku yang realistis berubah seketika karena sebuah janin--calon anaknya, ada kerinduan melingkupi seorang ayah yang tak pernah bertemu putranya. Begitu lama, hingga dia hanya bisa membayangkan dalam angan saja.
'' Aku menginginkan anakku, '' lirihnya. Jemarinya mengusap pipiku lembut, lalu menggenggam erat jemariku, '' kamu mau menjadi ibu untuk anakku? ''
Aku terlonjak kaget mendengarnya, apa dia menyebut kata 'Andai' pada pertanyaannya, tadi?
'' Maukah kamu menjadi istriku? ''
*cerita bersambung.
Ibunya
Ada kelanjutan dari hening yang sudah tercipta sejak wanita itu pergi siang tadi, entah apa yang harus kuperbuat, tapi pertanyaan di kepalaku seperti tak bisa diredam.
Kubuka sliding door dekat meja makan, membiarkan hembus angin dari halaman samping masuk memenuhi ruang tengah. Aku tetap di sofa cokelat seperti biasa, duduk diam menyenderkan kepala yang terasa berdenging. Ada banyak tanda tanya, ada banyak kejutan yang berhasil membuatku melongo bodoh, ada kesedihan yang tiba-tiba menyelimuti rumah ini.
Semilir angin sedikit mengendurkan syaraf tegang di leherku, menyapu permukaan kulitku lembut, membawa kedamaian di setiap hembusannya.
Terasa seseorang menyenderkan kepala di bahuku, aku tertidur beberapa saat hingga tak menyadari kedatangannya. '' Baikan? '' tanyaku.
Rambutnya yang sudah mulai memanjang terlihat kusut, wajah tampannya juga tak mau kalah. Dia mengangguk singkat lalu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan meraih tengkukku, menyapukan bibirnya ke bibirku beberapa menit. '' Aku hanya membutuhkanmu, apa jadinya kalau aku tak pernah bertemu denganmu? ''
'' Kamu akan baik-baik saja, aku hanya kebetulan bersinggungan denganmu di saat yang tepat, '' jawabku pelan. Dia mengikutiku menyenderkan kepala di sofa dan menaikkan kedua kaki ke atas meja kaca. '' Jadi, di mana dia? '' tanyaku. Aku benar-benar tak bisa membendung pertanyaanku lagi.
'' Siapa? ''
'' Dia, anakmu. Aku mendengarnya tadi, apa aku bisa bertemu dengannya? ''
Dia mengangkat kepalanya lalu menatapku dengan pandangan sayu, '' Dia, dia tidak ada. ''
'' Maksudnya? ''
'' Tiga tahun lalu, aku masih 25 tahun, dia 23. Aku hanya seorang junior di kantorku dan dia baru saja menyelesaikan kuliahnya, '' ceritanya. '' Kami berpacaran jarak jauh, Jakarta-Semarang dan kami berhasil mengatasinya. Hingga suatu malam, dia menelpon mengabarkannya; dia hamil. Dia mengandung anakku. ''
Suaranya melemah, lalu dia menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. '' Aku gembira sekali mendengarnya, aku langsung mencari cincin untuk melamarnya saat aku ke Semarang seminggu setelahnya. ''
'' Lalu? ''
'' Aku melamarnya, tapi dia menolak karena masih ingin berkarir, belum ingin terikat, bahkan dia takut kalau gajiku tak akan mencukupi kebutuhan kami nantinya, '' ada getar dalam nada bicaranya, seperti amarah yang sekuat tenaga ditahan. '' Saat aku menanyakan nasib janin di perutnya, kamu tahu dia bilang apa? Dia bilang dengan enteng kalau...kalau dia sudah menggugurkan kandungannya...dia membunuh anakku. ''
Aku memeluknya erat, ada isak samar yang kudengar, dia tersedu. '' Dia tega melakukannya, anakku baru 2 bulan di perutnya dan dia membunuhnya. Sakit sekali rasanya, sakit. ''
'' Maaf, aku tidak menyangkanya. '' sesalku. '' Maaf. ''
'' Tak apa, '' dia melepas pelukannya lalu menghapus setitik airmata di pipinya. '' Harusnya aku sudah memberi tahumu sejak lama, maaf. ''
Matanya menerawang ke langit-langit rumah, dadanya naik turun mengatur napas perlahan. '' Kalau dia dipertahankan, mungkin dia sudah berumur dua tahun, hampir 3 tahun. Mungkin dia gadis kecil cerewet yang sekarang sedang menyendok serealnya di sana, '' dia menatap meja makan dengan 4kursi kosong tertata rapi di tiap sisi. '' Mungkin dia akan membuat ibunya marah karena mengotori meja dengan susu. ''
Ibunya....
'' Mungkin dia akan tiba-tiba berlari ke kamar dan keluar dengan kameraku, lalu aku dan ibunya akan sibuk mengejarnya demi menyelamatkan kamera itu. ''
Ibunya...
'' Atau, dia akan tiba-tiba muncul dengan ransel besarku. Menyeretnya, lalu mengobrak-abirk isinya. Aku akan membiarkannya, mungkin diam-diam memotretnya sampai ibunya datang dan memarahiku karena tidak melarang. ''
Ibunya...
'' Mungkin dia akan terus menggangguku bekerja di meja ini dengan terus bertanya, menanyakan satu persatu fotoku, lalu dengan sengaja memainkan tetikusku, '' ada senyum menyimpul dari bibirnya, sedikit. '' Dia pasti cantik, bermata cokelat seperti mataku, berambut hitam seperti ibunya... ''
Ibunya...
'' Andai dia dipertahankan, andai ibunya tidak mementingkan kariernya...''
Ibunya...
'' Aku pasti sudah menjadi seorang ayah, kamu bisa bayangkan aku menggendong gadis kecil nakal yang hiperaktif? Pasti menyenangkan menjadi ayah... ''
Dan ibunya bukanlah aku, Biru.
*cerita bersambung.
Kubuka sliding door dekat meja makan, membiarkan hembus angin dari halaman samping masuk memenuhi ruang tengah. Aku tetap di sofa cokelat seperti biasa, duduk diam menyenderkan kepala yang terasa berdenging. Ada banyak tanda tanya, ada banyak kejutan yang berhasil membuatku melongo bodoh, ada kesedihan yang tiba-tiba menyelimuti rumah ini.
Semilir angin sedikit mengendurkan syaraf tegang di leherku, menyapu permukaan kulitku lembut, membawa kedamaian di setiap hembusannya.
Terasa seseorang menyenderkan kepala di bahuku, aku tertidur beberapa saat hingga tak menyadari kedatangannya. '' Baikan? '' tanyaku.
Rambutnya yang sudah mulai memanjang terlihat kusut, wajah tampannya juga tak mau kalah. Dia mengangguk singkat lalu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan meraih tengkukku, menyapukan bibirnya ke bibirku beberapa menit. '' Aku hanya membutuhkanmu, apa jadinya kalau aku tak pernah bertemu denganmu? ''
'' Kamu akan baik-baik saja, aku hanya kebetulan bersinggungan denganmu di saat yang tepat, '' jawabku pelan. Dia mengikutiku menyenderkan kepala di sofa dan menaikkan kedua kaki ke atas meja kaca. '' Jadi, di mana dia? '' tanyaku. Aku benar-benar tak bisa membendung pertanyaanku lagi.
'' Siapa? ''
'' Dia, anakmu. Aku mendengarnya tadi, apa aku bisa bertemu dengannya? ''
Dia mengangkat kepalanya lalu menatapku dengan pandangan sayu, '' Dia, dia tidak ada. ''
'' Maksudnya? ''
'' Tiga tahun lalu, aku masih 25 tahun, dia 23. Aku hanya seorang junior di kantorku dan dia baru saja menyelesaikan kuliahnya, '' ceritanya. '' Kami berpacaran jarak jauh, Jakarta-Semarang dan kami berhasil mengatasinya. Hingga suatu malam, dia menelpon mengabarkannya; dia hamil. Dia mengandung anakku. ''
Suaranya melemah, lalu dia menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. '' Aku gembira sekali mendengarnya, aku langsung mencari cincin untuk melamarnya saat aku ke Semarang seminggu setelahnya. ''
'' Lalu? ''
'' Aku melamarnya, tapi dia menolak karena masih ingin berkarir, belum ingin terikat, bahkan dia takut kalau gajiku tak akan mencukupi kebutuhan kami nantinya, '' ada getar dalam nada bicaranya, seperti amarah yang sekuat tenaga ditahan. '' Saat aku menanyakan nasib janin di perutnya, kamu tahu dia bilang apa? Dia bilang dengan enteng kalau...kalau dia sudah menggugurkan kandungannya...dia membunuh anakku. ''
Aku memeluknya erat, ada isak samar yang kudengar, dia tersedu. '' Dia tega melakukannya, anakku baru 2 bulan di perutnya dan dia membunuhnya. Sakit sekali rasanya, sakit. ''
'' Maaf, aku tidak menyangkanya. '' sesalku. '' Maaf. ''
'' Tak apa, '' dia melepas pelukannya lalu menghapus setitik airmata di pipinya. '' Harusnya aku sudah memberi tahumu sejak lama, maaf. ''
Matanya menerawang ke langit-langit rumah, dadanya naik turun mengatur napas perlahan. '' Kalau dia dipertahankan, mungkin dia sudah berumur dua tahun, hampir 3 tahun. Mungkin dia gadis kecil cerewet yang sekarang sedang menyendok serealnya di sana, '' dia menatap meja makan dengan 4kursi kosong tertata rapi di tiap sisi. '' Mungkin dia akan membuat ibunya marah karena mengotori meja dengan susu. ''
Ibunya....
'' Mungkin dia akan tiba-tiba berlari ke kamar dan keluar dengan kameraku, lalu aku dan ibunya akan sibuk mengejarnya demi menyelamatkan kamera itu. ''
Ibunya...
'' Atau, dia akan tiba-tiba muncul dengan ransel besarku. Menyeretnya, lalu mengobrak-abirk isinya. Aku akan membiarkannya, mungkin diam-diam memotretnya sampai ibunya datang dan memarahiku karena tidak melarang. ''
Ibunya...
'' Mungkin dia akan terus menggangguku bekerja di meja ini dengan terus bertanya, menanyakan satu persatu fotoku, lalu dengan sengaja memainkan tetikusku, '' ada senyum menyimpul dari bibirnya, sedikit. '' Dia pasti cantik, bermata cokelat seperti mataku, berambut hitam seperti ibunya... ''
Ibunya...
'' Andai dia dipertahankan, andai ibunya tidak mementingkan kariernya...''
Ibunya...
'' Aku pasti sudah menjadi seorang ayah, kamu bisa bayangkan aku menggendong gadis kecil nakal yang hiperaktif? Pasti menyenangkan menjadi ayah... ''
Dan ibunya bukanlah aku, Biru.
*cerita bersambung.
Selasa, 21 Februari 2012
Pudar
Wajahnya masih mendung saat dia kembali, tiga kotak bubur ayam diletakan begitu saja di atas meja makan.
'' Kamu baik-baik saja? '' tanyaku ketika mengikutinya masuk ke dapur. Segelas besar air putih ditenggaknya habis dan wajahnya masih terlihat muram.
Tidak, jelas dia sedang tidak baik-baik saja. Aku mendengar semua dan itu bukanlah sesuatu hal yang menyenangkan.
'' Kamu tidak lapar? Sudah siang, kamu harus makan, '' dia menarikku kembali ke meja makan. Mencoba menyembunyikan kekesalan dengan senyum aneh yang dia punya dan mengajakku berbincang sambil terus memakan buburnya.
'' Aku pulang, '' wanita itu keluar dari kamarnya dengan koper dan riasan wajah lengkap seperti biasa. Rautnya tak kalah muram saat melihatku duduk bersisian dengan Biru-nya, bukan, dia Biru-ku sekarang.
Biru tak menoleh sedikitpun ke arahnya, dia masih sibuk menyendok bubur dan sekilas aku lihat telapak tangan kirinya mengepal di bawah meja.
'' Makan sarapanmu sebelum pulang, '' pendeknya dingin.
'' Tidak, terima kasih, '' wanita itu menatapku lagi, menusuk, membuat lidahku kelu, kemudian menyeret kopernya perlahan.
'' Hati-hati, '' lanjut Biru. Sendoknya masih sibuk memisahkan kerupuk, bahkan kepalan tangannya belum mengendur.
Wanita itu menghilang di balik pintu tengah, sesaat terdengar hentakan pintu depan membuatku terlonjak kaget.
Aku menggenggam kepalan tangannya, terasa begitu tegang, bahkan membatu. Sendok plastik di tangannya terlepas, kemudian kepalannya mengendur, kepalanya menunduk dan ada hela nafas dalam yang terdengar. Aku menggeser kursiku mendekat, meraih bahu dan memeluknya.
'' Kamu bisa istirahat di kamarmu, aku akan pulang jika kamu ingin sendiri, '' ujarku masih memeluknya. Dia hanya diam, membiarkan bubur di meja menjadi dingin.
'' Jangan, tetaplah di sini. Aku membutuhkanmu. ''
Dia membalas pelukanku erat, masih terasa ketegangan di tubuhnya. Pertanyaan yang menggunung di kepalaku terpaksa aku pendam, ada kesedihan yang menyelimutinya, seperti benteng yang tiba-tiba runtuh. Biru-ku kini rapuh, dengan satu pertanyaan saja pasti akan menumbangkannya.
Biru-ku mendung, sinarnya tiba-tiba memudar. Senyumnya menghilang sejak percakapan dengan wanita itu, diganti dengan hening berkepanjangan yang entah kapan akan berakhir. Semuanya begitu cepat berganti, tawa kami berubah muram seketika saja. Kehangatan suaranya lenyap, hanya diam, hanya sepi, hanya detak jam yang terus berdetik. Mengisi kekosongan di antara kami, dan seolah bersorak karena ia adalah satu-satunya benda hidup yang masih bisa bersuara.
'' Istirahatlah, '' tambahku setelah keheningan panjang mendekap kami.
'' Jangan pergi. ''
'' Tidak, aku akan tinggal. Aku ada di sofamu kalau kamu membutuhkan bantuanku, '' kulepas pelukanku, menatap mata yang dilingkupi kesedihan lalu mengecup pelan kelopak matanya.
Kenapa aku merasa sangat tersakiti melihatmu bersedih, Biru?
*cerita bersambung.
'' Kamu baik-baik saja? '' tanyaku ketika mengikutinya masuk ke dapur. Segelas besar air putih ditenggaknya habis dan wajahnya masih terlihat muram.
Tidak, jelas dia sedang tidak baik-baik saja. Aku mendengar semua dan itu bukanlah sesuatu hal yang menyenangkan.
'' Kamu tidak lapar? Sudah siang, kamu harus makan, '' dia menarikku kembali ke meja makan. Mencoba menyembunyikan kekesalan dengan senyum aneh yang dia punya dan mengajakku berbincang sambil terus memakan buburnya.
'' Aku pulang, '' wanita itu keluar dari kamarnya dengan koper dan riasan wajah lengkap seperti biasa. Rautnya tak kalah muram saat melihatku duduk bersisian dengan Biru-nya, bukan, dia Biru-ku sekarang.
Biru tak menoleh sedikitpun ke arahnya, dia masih sibuk menyendok bubur dan sekilas aku lihat telapak tangan kirinya mengepal di bawah meja.
'' Makan sarapanmu sebelum pulang, '' pendeknya dingin.
'' Tidak, terima kasih, '' wanita itu menatapku lagi, menusuk, membuat lidahku kelu, kemudian menyeret kopernya perlahan.
'' Hati-hati, '' lanjut Biru. Sendoknya masih sibuk memisahkan kerupuk, bahkan kepalan tangannya belum mengendur.
Wanita itu menghilang di balik pintu tengah, sesaat terdengar hentakan pintu depan membuatku terlonjak kaget.
Aku menggenggam kepalan tangannya, terasa begitu tegang, bahkan membatu. Sendok plastik di tangannya terlepas, kemudian kepalannya mengendur, kepalanya menunduk dan ada hela nafas dalam yang terdengar. Aku menggeser kursiku mendekat, meraih bahu dan memeluknya.
'' Kamu bisa istirahat di kamarmu, aku akan pulang jika kamu ingin sendiri, '' ujarku masih memeluknya. Dia hanya diam, membiarkan bubur di meja menjadi dingin.
'' Jangan, tetaplah di sini. Aku membutuhkanmu. ''
Dia membalas pelukanku erat, masih terasa ketegangan di tubuhnya. Pertanyaan yang menggunung di kepalaku terpaksa aku pendam, ada kesedihan yang menyelimutinya, seperti benteng yang tiba-tiba runtuh. Biru-ku kini rapuh, dengan satu pertanyaan saja pasti akan menumbangkannya.
Biru-ku mendung, sinarnya tiba-tiba memudar. Senyumnya menghilang sejak percakapan dengan wanita itu, diganti dengan hening berkepanjangan yang entah kapan akan berakhir. Semuanya begitu cepat berganti, tawa kami berubah muram seketika saja. Kehangatan suaranya lenyap, hanya diam, hanya sepi, hanya detak jam yang terus berdetik. Mengisi kekosongan di antara kami, dan seolah bersorak karena ia adalah satu-satunya benda hidup yang masih bisa bersuara.
'' Istirahatlah, '' tambahku setelah keheningan panjang mendekap kami.
'' Jangan pergi. ''
'' Tidak, aku akan tinggal. Aku ada di sofamu kalau kamu membutuhkan bantuanku, '' kulepas pelukanku, menatap mata yang dilingkupi kesedihan lalu mengecup pelan kelopak matanya.
Kenapa aku merasa sangat tersakiti melihatmu bersedih, Biru?
*cerita bersambung.
Kalian?
'' Aku mandi, '' bilangku melihat wanita itu mengucap ' Berdua ' sembari menatap tajam ke arahku.
'' Handuk di kamar mandi, pakai kamar mandi kamarku, '' timpal Biru melihatku beranjak. Aku mengangguk lalu meninggalkan mereka berdua, aku selalu membenci mata wanita itu; terlalu menusuk, terlalu gampang dibaca.
'' Kamu sudah tidur dengannya? '' tanya wanita itu sedetik setelah aku menutup pintu kamar Biru, niatku untuk mandi tiba-tiba menghilang, aku lebih penasaran dengan obrolan mereka sekarang. '' Benarkah? ''
'' Bukan urusanmu, '' samar Biru menjawabnya dingin. '' Ini yang ingin kamu bicarakan? ''
'' Kamu sudah bilang padanya kalau kamu sudah melamarku? '' lanjut wanita itu. hampir saja aku menarik handle pintu agar bisa mendengarnya langsung, '' katakan! ''
'' Melamarmu? Benar sekali, iya, melamarmu! '' suara Biru meninggi, lalu hening sejenak.
'' Kamu masih mencintaiku, bukan? Kita bisa memperbaiki semuanya, kita mulai dari awal. ''
'' Jadi karirmu sudah bisa menjamin masa depan kita? Atau aku sudah terlihat pantas menjadi kepala keluargamu? '' suara Biru melemah, ada sedikit getaran saat dia berucap. Seperti kelemahan, entahlah, mungkin kesedihan. Aku tak pernah mendengar suaranya sepelan itu.
'' Apa yang kamu lihat dari wanita itu? Kamu sudah berhasil menidurinya, bukan? Kamu bisa meninggalkannya sekarang! ''
'' Cukup! '' bentak Biru, kupikir akan ada pembelaan untukku meski sedikit, tapi tidak. Hanya ada hening yang membuat debar di dadaku seperti satu-satunya suara yang dapat didengar. '' Kita sudah berakhir, terima saja kenyataannya, tolong. Dan jangan buat aku mengingat... ''
'' Anak kita? Kamu ingat padanya, bukan? Jelas, dia yang membuat kita berpisah dulu. ''
'' Salahmu! ''
DEG!
Hatiku mencelos seketika.
Anak? ' Anak kita ' ? Mereka mempunyai anak? Dan aku sama sekali tidak tahu?
'' Pelankan suaramu, '' lanjutnya.
'' Apa? Dia belum tahu tentang ini juga? Kamu takut dia tahu? Kamu takut dia meninggalkanmu lagi? ''
'' CUKUP! Sudah cukup kamu mencampuri kehidupanku, kamu sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hubungan kita dulu. Dan itu cukup! Kamu tak perlu mengingatkanku lagi. ''
Biru tak pernah membentakku, dia satu-satunya laki-laki yang punya pengendalian diri paling baik yang pernah kutemui. Dan hari ini aku mendengarnya, suara tegas dengan nada tinggi memenuhi rumah damainya. Ada amarah, kesedihan, lalu kekecewaan di dalamnya, apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara kalian?
'' Jangan bohongi hatimu, aku masih melihat Biru yang dulu tertawa bersamaku. ''
'' Aku sudah punya penggantimu, jangan usik kami dengan masa lalu kita, dan jangan ingatkan aku tentang anak kita, itu hanya akan memperburuk keadaan. ''
'' Kita bisa menebusnya, bukan? Kita bisa memperbaikinya. ''
'' Tidak! Sudah cukup semua bujukanmu, cukup! Aku muak mendengarnya! Aku muak mendengarmu mengulang-ulang kata mencoba, menebus, bullshit! aku muak! ''
Lalu hening, aku mundur sejauh mungkin dari pintu saat mendengar langkah berat mendekat. Biru terlonjak kaget melihatku mematung di kamarnya, wajahnya mendung, rahang yang tadinya mengeras perlahan melunak, dan desahan napasnya terasa berat.
'' Mandilah, aku pergi sebentar mencari sarapan, '' pendeknya sambil menyambar dompet dan kunci mobil di atas meja di sebelah tempat tidur. Dia tidak menoleh lagi setelah itu, membiarkan kebisuan menggerayangi seluruh otot tubuhku.
Apa yang baru saja kudengar benar-benar mengusikku, lamaran? Anak? Apalagi yang aku belum tahu? Pernikahankah? Sedalam apa hubungan mereka sampai Biru begitu marah pada wanita itu?
Aku jelas ingin bertanya, secepatnya mendapatkan jawaban yang kuingin. Anak, lamaran, tiga tahun lalu. Apa yang terjadi tiga tahun lalu?
*cerita bersambung
'' Handuk di kamar mandi, pakai kamar mandi kamarku, '' timpal Biru melihatku beranjak. Aku mengangguk lalu meninggalkan mereka berdua, aku selalu membenci mata wanita itu; terlalu menusuk, terlalu gampang dibaca.
'' Kamu sudah tidur dengannya? '' tanya wanita itu sedetik setelah aku menutup pintu kamar Biru, niatku untuk mandi tiba-tiba menghilang, aku lebih penasaran dengan obrolan mereka sekarang. '' Benarkah? ''
'' Bukan urusanmu, '' samar Biru menjawabnya dingin. '' Ini yang ingin kamu bicarakan? ''
'' Kamu sudah bilang padanya kalau kamu sudah melamarku? '' lanjut wanita itu. hampir saja aku menarik handle pintu agar bisa mendengarnya langsung, '' katakan! ''
'' Melamarmu? Benar sekali, iya, melamarmu! '' suara Biru meninggi, lalu hening sejenak.
'' Kamu masih mencintaiku, bukan? Kita bisa memperbaiki semuanya, kita mulai dari awal. ''
'' Jadi karirmu sudah bisa menjamin masa depan kita? Atau aku sudah terlihat pantas menjadi kepala keluargamu? '' suara Biru melemah, ada sedikit getaran saat dia berucap. Seperti kelemahan, entahlah, mungkin kesedihan. Aku tak pernah mendengar suaranya sepelan itu.
'' Apa yang kamu lihat dari wanita itu? Kamu sudah berhasil menidurinya, bukan? Kamu bisa meninggalkannya sekarang! ''
'' Cukup! '' bentak Biru, kupikir akan ada pembelaan untukku meski sedikit, tapi tidak. Hanya ada hening yang membuat debar di dadaku seperti satu-satunya suara yang dapat didengar. '' Kita sudah berakhir, terima saja kenyataannya, tolong. Dan jangan buat aku mengingat... ''
'' Anak kita? Kamu ingat padanya, bukan? Jelas, dia yang membuat kita berpisah dulu. ''
'' Salahmu! ''
DEG!
Hatiku mencelos seketika.
Anak? ' Anak kita ' ? Mereka mempunyai anak? Dan aku sama sekali tidak tahu?
'' Pelankan suaramu, '' lanjutnya.
'' Apa? Dia belum tahu tentang ini juga? Kamu takut dia tahu? Kamu takut dia meninggalkanmu lagi? ''
'' CUKUP! Sudah cukup kamu mencampuri kehidupanku, kamu sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hubungan kita dulu. Dan itu cukup! Kamu tak perlu mengingatkanku lagi. ''
Biru tak pernah membentakku, dia satu-satunya laki-laki yang punya pengendalian diri paling baik yang pernah kutemui. Dan hari ini aku mendengarnya, suara tegas dengan nada tinggi memenuhi rumah damainya. Ada amarah, kesedihan, lalu kekecewaan di dalamnya, apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara kalian?
'' Jangan bohongi hatimu, aku masih melihat Biru yang dulu tertawa bersamaku. ''
'' Aku sudah punya penggantimu, jangan usik kami dengan masa lalu kita, dan jangan ingatkan aku tentang anak kita, itu hanya akan memperburuk keadaan. ''
'' Kita bisa menebusnya, bukan? Kita bisa memperbaikinya. ''
'' Tidak! Sudah cukup semua bujukanmu, cukup! Aku muak mendengarnya! Aku muak mendengarmu mengulang-ulang kata mencoba, menebus, bullshit! aku muak! ''
Lalu hening, aku mundur sejauh mungkin dari pintu saat mendengar langkah berat mendekat. Biru terlonjak kaget melihatku mematung di kamarnya, wajahnya mendung, rahang yang tadinya mengeras perlahan melunak, dan desahan napasnya terasa berat.
'' Mandilah, aku pergi sebentar mencari sarapan, '' pendeknya sambil menyambar dompet dan kunci mobil di atas meja di sebelah tempat tidur. Dia tidak menoleh lagi setelah itu, membiarkan kebisuan menggerayangi seluruh otot tubuhku.
Apa yang baru saja kudengar benar-benar mengusikku, lamaran? Anak? Apalagi yang aku belum tahu? Pernikahankah? Sedalam apa hubungan mereka sampai Biru begitu marah pada wanita itu?
Aku jelas ingin bertanya, secepatnya mendapatkan jawaban yang kuingin. Anak, lamaran, tiga tahun lalu. Apa yang terjadi tiga tahun lalu?
*cerita bersambung
Senin, 20 Februari 2012
Awal (2)
'' Itu punggung siapa? '' tanyaku sedikit kaget melihat foto punggung di layar laptopnya.
Aku beranjak lalu ikut melantai bersamanya, mengamati lekuk tengkuk, leher hingga lengan di layar. '' Astaga! Itu punggungku? '' tanyaku melihat tahilalat kecil di punggung sebelah kiri foto.
'' Bagaimana kamu tahu itu punggungmu, sedang punggungmu saja letaknya di belakang? '' dia balik bertanya sambil senyum-senyum jahil ke arahku. Aku menutup layar laptopnya dan menatapnya kesal, senyum kecilnya berubah menjadi senyum lebar penuh kemenangan.
'' Kapan kamu memotret punggungku? '' cecarku. '' Kalau itu bukan punggungku, pastilah dia sudah tidur denganmu. Katakan, siapa dia? ''
Dia masih tersenyum, lalu memindahkan tanganku dari laptopnya. '' Benar, Tuan Putri. Itu adalah punggung Yang Mulia, sekarang hamba siap dipancung untuk menebus kelancangan hamba, '' ujarnya seraya menirukan gaya bicara orang kerajaan. Aku berusaha merebut tetikus dari tangannya berniat menghapus foto itu, tapi tetap kalah cepat. '' Kamu harus lihat foto-foto lainnya. ''
Foto-foto lain?
'' Perhatikan, '' lanjutnya sambil membuka satu-persatu koleksi fotonya. Di stasiun Gambir, ada aku sedang berdiri berkacak pinggang menatap kereta yang baru datang. Lalu di dalam kereta, aku mengintip sawah dari jendela sambil mengelap embun karena hujan. Di Bromo, aku dengan jaket tebal, shawl dan sarung tangan menghadap matahari terlihat menggigil kedinginan.
'' Kenapa fotoku selalu kamu ambil dari belakang? '' tanyaku setelah menemukan kesamaan dari foto-foto tadi.
Dia tersenyum lagi, lalu menyesap kopinya sebentar. '' Karena aku, menyukai punggungmu, juga lekuk tengkuk hingga bahu. ''
Aku terbahak mendengarnya, seumur hidupku baru kali sekarang ada orang yang begitu terobsesi pada punggungku. Laki-laki macam apa yang sedang ada di hadapanku ini, Tuhan.
'' Ada yang lucu? Kamu mentertawakanku? Kalau aku bilang pernah bertemu denganmu sebelum insiden ponsel, punggungmulah penyebabnya. ''
'' Oh ya? Ceritakan, '' aku mencoba menahan tawa yang masih ingin meledak.
'' Aku bertemu pertama kali di TransJakarta, kamu naik di halte Harmoni. Bus penuh sesak, dan kamu berdiri tepat di depanku, membelakangiku. ''
'' Oke, terus? ''
'' mengenakan kemeja panjang warna merah dengan rambut yang masih berantakan dijepit keatas mirip konde Mbok Jamu, '' dia tersenyum meledek ke arahku lalu terkekeh. '' Kamu hanya sebatas dahiku, aku bisa melihat jelas tengkuk bahkan aku masih ingat wangi rambutmu. ''
'' Apa aku sempat menginjakmu dengan sepatu hak tinggiku? Sayang sekali ada hidung belang dibiarkan berkeliaran, '' balasku. Dia terkekeh, lagi. Entah benar atau tidak ceritanya, tapi aku tak pernah menyangka semua ini.
'' Setelah hari itu, aku sengaja turun di Harmoni, mencari-carimu. Tapi sulit karena aku bahkan belum melihat wajahmu, '' ekspresinya berubah menjadi serius. '' Hingga hari di mana aku meminjam ponselmu, aku sudah melihatmu di halte Harmoni, kemeja putih bergaris merah jambu sedang menelpon bersender di pembatas kaca. ''
'' Lalu? ''
'' Lalu, ya sudah. Toh aku tak bisa berkutik dengan barang bawaanku, juga karena sudah membuat janji dengan klien, '' terangnya. '' Dan entah kenapa tiba-tiba aku lupa ponselku, aku takut menghilangkannya atau terjatuh. Lalu aku melihat kelebat bajumu. ''
'' Terus? ''
'' Yaa, seperti ceritamu tadi. Aku meminjam ponselmu dan bla..bla..bla.. Got it! I got your number, '' dia mengerlingkan mata menggodaku. '' Jadi tahu, kan, kenapa aku tidak pernah protes kamu punggungi? Kenapa aku suka memelukmu dari belakang, kenapa aku memotret punggungmu? ''
'' Tapi, memotret punggungku tanpa penutup itu maksudnya apa? Mengakulah, berapa foto yang kamu ambil setelah kita.... ''
'' Hanya itu, aku berani sumpah, aku hanya mengambil foto punggungmu, '' potongnya buru-buru. '' Aku bisa memotret bagian lain kalau kamu mau, ada spot-spot yang aku sukai. ''
'' Diam kamu! '' bentakku. Kejutan lain, mengenaliku hanya dari tengkuk tanpa melihat wajah. Banyak kebetulan yang terjadi, ahh, aku tidak percaya kebetulan.
Benarkah punggungku seperti yang dia katakan? Aku bahkan tak pernah berpikir akan menarik perhatian lelaki dari bagian belakang tubuhku.
'' Ehem... , '' tiba-tiba wanita itu keluar dari kamar tamu, membuyarkan tawa yang masih terkembang di wajahku. '' Boleh aku bicara berdua denganmu, Biru? ''
'' Aku? Boleh, bicara saja, '' sahut Biru tanpa sedikitpun menggeser duduknya.
'' Berdua, '' ulangnya tegas.
*cerita bersambung
Aku beranjak lalu ikut melantai bersamanya, mengamati lekuk tengkuk, leher hingga lengan di layar. '' Astaga! Itu punggungku? '' tanyaku melihat tahilalat kecil di punggung sebelah kiri foto.
'' Bagaimana kamu tahu itu punggungmu, sedang punggungmu saja letaknya di belakang? '' dia balik bertanya sambil senyum-senyum jahil ke arahku. Aku menutup layar laptopnya dan menatapnya kesal, senyum kecilnya berubah menjadi senyum lebar penuh kemenangan.
'' Kapan kamu memotret punggungku? '' cecarku. '' Kalau itu bukan punggungku, pastilah dia sudah tidur denganmu. Katakan, siapa dia? ''
Dia masih tersenyum, lalu memindahkan tanganku dari laptopnya. '' Benar, Tuan Putri. Itu adalah punggung Yang Mulia, sekarang hamba siap dipancung untuk menebus kelancangan hamba, '' ujarnya seraya menirukan gaya bicara orang kerajaan. Aku berusaha merebut tetikus dari tangannya berniat menghapus foto itu, tapi tetap kalah cepat. '' Kamu harus lihat foto-foto lainnya. ''
Foto-foto lain?
'' Perhatikan, '' lanjutnya sambil membuka satu-persatu koleksi fotonya. Di stasiun Gambir, ada aku sedang berdiri berkacak pinggang menatap kereta yang baru datang. Lalu di dalam kereta, aku mengintip sawah dari jendela sambil mengelap embun karena hujan. Di Bromo, aku dengan jaket tebal, shawl dan sarung tangan menghadap matahari terlihat menggigil kedinginan.
'' Kenapa fotoku selalu kamu ambil dari belakang? '' tanyaku setelah menemukan kesamaan dari foto-foto tadi.
Dia tersenyum lagi, lalu menyesap kopinya sebentar. '' Karena aku, menyukai punggungmu, juga lekuk tengkuk hingga bahu. ''
Aku terbahak mendengarnya, seumur hidupku baru kali sekarang ada orang yang begitu terobsesi pada punggungku. Laki-laki macam apa yang sedang ada di hadapanku ini, Tuhan.
'' Ada yang lucu? Kamu mentertawakanku? Kalau aku bilang pernah bertemu denganmu sebelum insiden ponsel, punggungmulah penyebabnya. ''
'' Oh ya? Ceritakan, '' aku mencoba menahan tawa yang masih ingin meledak.
'' Aku bertemu pertama kali di TransJakarta, kamu naik di halte Harmoni. Bus penuh sesak, dan kamu berdiri tepat di depanku, membelakangiku. ''
'' Oke, terus? ''
'' mengenakan kemeja panjang warna merah dengan rambut yang masih berantakan dijepit keatas mirip konde Mbok Jamu, '' dia tersenyum meledek ke arahku lalu terkekeh. '' Kamu hanya sebatas dahiku, aku bisa melihat jelas tengkuk bahkan aku masih ingat wangi rambutmu. ''
'' Apa aku sempat menginjakmu dengan sepatu hak tinggiku? Sayang sekali ada hidung belang dibiarkan berkeliaran, '' balasku. Dia terkekeh, lagi. Entah benar atau tidak ceritanya, tapi aku tak pernah menyangka semua ini.
'' Setelah hari itu, aku sengaja turun di Harmoni, mencari-carimu. Tapi sulit karena aku bahkan belum melihat wajahmu, '' ekspresinya berubah menjadi serius. '' Hingga hari di mana aku meminjam ponselmu, aku sudah melihatmu di halte Harmoni, kemeja putih bergaris merah jambu sedang menelpon bersender di pembatas kaca. ''
'' Lalu? ''
'' Lalu, ya sudah. Toh aku tak bisa berkutik dengan barang bawaanku, juga karena sudah membuat janji dengan klien, '' terangnya. '' Dan entah kenapa tiba-tiba aku lupa ponselku, aku takut menghilangkannya atau terjatuh. Lalu aku melihat kelebat bajumu. ''
'' Terus? ''
'' Yaa, seperti ceritamu tadi. Aku meminjam ponselmu dan bla..bla..bla.. Got it! I got your number, '' dia mengerlingkan mata menggodaku. '' Jadi tahu, kan, kenapa aku tidak pernah protes kamu punggungi? Kenapa aku suka memelukmu dari belakang, kenapa aku memotret punggungmu? ''
'' Tapi, memotret punggungku tanpa penutup itu maksudnya apa? Mengakulah, berapa foto yang kamu ambil setelah kita.... ''
'' Hanya itu, aku berani sumpah, aku hanya mengambil foto punggungmu, '' potongnya buru-buru. '' Aku bisa memotret bagian lain kalau kamu mau, ada spot-spot yang aku sukai. ''
'' Diam kamu! '' bentakku. Kejutan lain, mengenaliku hanya dari tengkuk tanpa melihat wajah. Banyak kebetulan yang terjadi, ahh, aku tidak percaya kebetulan.
Benarkah punggungku seperti yang dia katakan? Aku bahkan tak pernah berpikir akan menarik perhatian lelaki dari bagian belakang tubuhku.
'' Ehem... , '' tiba-tiba wanita itu keluar dari kamar tamu, membuyarkan tawa yang masih terkembang di wajahku. '' Boleh aku bicara berdua denganmu, Biru? ''
'' Aku? Boleh, bicara saja, '' sahut Biru tanpa sedikitpun menggeser duduknya.
'' Berdua, '' ulangnya tegas.
*cerita bersambung
Kita Pernah
Ada sakit yang enggan kutuliskan, tentangmu, tentang kalimat-kalimat yang sudah menghilang dari pandanganku.
Ada rindu yang meregang, kala namamu melintas sesaat hingga membuatku beku sejenak.
Ada kehilangan yang kembali kurasakan, saat kesadaran membisikan nama seseorang setelah senyummu membayang.
Juga ada keinginan untuk memilikimu, mencari kesempatan yang tak pernah kupunya, menelisik perlahan ke ruang paling dalam hatimu.
Aku sudah lupa, tadinya. Tentang patah hati, tentang masa lalumu, tentang jarak, tentang perkenalan, tentang semuanya. Tapi alam memberiku jalan untuk mengingatmu, hanya mengingat, tidak lebih.
Mengenai tawa yang pernah mengisi kita, mengenai rasa malu yang kita buang entah seberapa jauhnya, mengenai kampung halaman yang terus kita rindu.
Pernah, hanya pernah. Masih? Entahlah.
Tak bisakah alam seadil neraca? Memberi jalan untuk mengingat semua sekaligus membocorkan rahasia untuk menemukanmu, mengabarkan keberadaanmu sekaligus membawaku ke hadapanmu, mengingatkan luka lalu membuatmu menjadi milikku?
Pernah, masih atau sudah tidakpun harusnya bukan masalah. Toh, kita hanya pernah.
-
Ada rindu yang meregang, kala namamu melintas sesaat hingga membuatku beku sejenak.
Ada kehilangan yang kembali kurasakan, saat kesadaran membisikan nama seseorang setelah senyummu membayang.
Juga ada keinginan untuk memilikimu, mencari kesempatan yang tak pernah kupunya, menelisik perlahan ke ruang paling dalam hatimu.
Aku sudah lupa, tadinya. Tentang patah hati, tentang masa lalumu, tentang jarak, tentang perkenalan, tentang semuanya. Tapi alam memberiku jalan untuk mengingatmu, hanya mengingat, tidak lebih.
Mengenai tawa yang pernah mengisi kita, mengenai rasa malu yang kita buang entah seberapa jauhnya, mengenai kampung halaman yang terus kita rindu.
Pernah, hanya pernah. Masih? Entahlah.
Tak bisakah alam seadil neraca? Memberi jalan untuk mengingat semua sekaligus membocorkan rahasia untuk menemukanmu, mengabarkan keberadaanmu sekaligus membawaku ke hadapanmu, mengingatkan luka lalu membuatmu menjadi milikku?
Pernah, masih atau sudah tidakpun harusnya bukan masalah. Toh, kita hanya pernah.
-
Minggu, 19 Februari 2012
Awal
Ctik... Ctik... Ctik...
Suara gemertik tetikus menyeretku dari mimpi ke dunia nyata, semerbak harum shampo khas laki-laki langsung tercium; sambutan pagi yang cukup menenangkan.
'' Sudah bangun? '' tanyanya begitu aku melingkarkan tanganku di lehernya. Dia melantai di karpet hijau, menyender pada sofa yang kutiduri dengan kopi di mug besar seperti biasa. '' Kenapa tidak tidur di kamarku saja? ''
'' Berdua denganmu? Jangan bergurau. ''
'' Kamu bisa bertukar tempat denganku kalau begitu, '' lanjutnya masih belum menoleh ke arahku. Tangannya masih sibuk memaju-mundurkan tetikus, entah apa yang salah dengan foto klenteng di layar monitornya.
'' Kamu kelelahan, bukan? Bagaimana keadaannya? Semalam dia sudah sehat kelihatannya, sampai sempat menceritakan awal pertemuannya denganmu. ''
'' Apa? '' dia menoleh memperlihatkan wajah kaget, ada jambang dan kumis tipis yang baru kusadari keberadaannya. '' Dia pasti melebih-lebihkan, wajahmu tampak aneh. ''
'' Kapan kita bertemu pertama kali? Aku bahkan sudah lupa, '' bilangku lesu. '' Apa kamu marah kalau aku lupa? ''
'' Tidak, kenapa aku harus marah? Penting, kah? ''
'' Aha! '' seruku. '' Kita bertemu pertama kali di Dukuh Atas, di jembatan yang sangat panjang itu. Ingat? Aku ingin makan siang ke Plaza Semanggi, '' ceritaku. Hari itu lebih dari dua tahun lalu aku bertemu dengannya, dengan pakaian casual slengekan khas-nya dia terlihat repot. Aku ingat, dia membawa tas kamera hitam besar miliknya, lalu tas laptop, menggendong ransel, beberapa map dan satu portofolio tebal berisi foto-foto.
'' Aku meminjam ponselmu karena lupa meletakkan ponselku di mana, menelponnya yang ternyata ada di tasku. Ahh, hari itu aku banyak meeting dan hendak pergi ke Pangandaran, '' dia terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. '' Tapi berkat itu, aku bisa mendapatkan nomer ponselmu. ''
Aku sendiri tak pernah menyangka kalau laki-laki yang kulihat aneh dengan kerepotannya itu berani menelponku, awalnya hanya berterima kasih, lalu membayarnya dengan makan siang, dan hobinya backpacking-lah yang membuatku betah berlama-lama duduk mengobrol bersamanya.
Cerita-cerita petualangannya tak pernah habis, ditambah dengan foto-foto yang sengaja dia perlihatkan, sempurna. Lalu apa yang terjadi dua tahun setelahnya adalah sekarang, saling diam di rumah yang belum lama dia beli, meringkuk di sofa nyamannya, menghirup aroma tubuhnya, dan memeluk dada bidangnya dari belakang.
Aku tidak percaya pada kebetulan, pertemuan pasti sudah direncanakan, paling tidak oleh Tuhan sendiri. Apa yang datang padaku pastilah tertulis entah di mana, sama seperti hal-hal lain yang pergi dariku.
Lalu apa konsep yang dirancang di balik ' Kebetulan ' ? Entah, mungkin itu adalah cara Tuhan memberi kejutan.
'' Sebenarnya, sebelum aku meminjam ponselmu, aku sudah beberapa kali bertemu denganmu, '' ujarnya sambil membuka sebuah foto baru; foto punggung tanpa sehelai benangpun menutupinya.
(Mr. Backpacker)
*cerita bersambung
Suara gemertik tetikus menyeretku dari mimpi ke dunia nyata, semerbak harum shampo khas laki-laki langsung tercium; sambutan pagi yang cukup menenangkan.
'' Sudah bangun? '' tanyanya begitu aku melingkarkan tanganku di lehernya. Dia melantai di karpet hijau, menyender pada sofa yang kutiduri dengan kopi di mug besar seperti biasa. '' Kenapa tidak tidur di kamarku saja? ''
'' Berdua denganmu? Jangan bergurau. ''
'' Kamu bisa bertukar tempat denganku kalau begitu, '' lanjutnya masih belum menoleh ke arahku. Tangannya masih sibuk memaju-mundurkan tetikus, entah apa yang salah dengan foto klenteng di layar monitornya.
'' Kamu kelelahan, bukan? Bagaimana keadaannya? Semalam dia sudah sehat kelihatannya, sampai sempat menceritakan awal pertemuannya denganmu. ''
'' Apa? '' dia menoleh memperlihatkan wajah kaget, ada jambang dan kumis tipis yang baru kusadari keberadaannya. '' Dia pasti melebih-lebihkan, wajahmu tampak aneh. ''
'' Kapan kita bertemu pertama kali? Aku bahkan sudah lupa, '' bilangku lesu. '' Apa kamu marah kalau aku lupa? ''
'' Tidak, kenapa aku harus marah? Penting, kah? ''
'' Aha! '' seruku. '' Kita bertemu pertama kali di Dukuh Atas, di jembatan yang sangat panjang itu. Ingat? Aku ingin makan siang ke Plaza Semanggi, '' ceritaku. Hari itu lebih dari dua tahun lalu aku bertemu dengannya, dengan pakaian casual slengekan khas-nya dia terlihat repot. Aku ingat, dia membawa tas kamera hitam besar miliknya, lalu tas laptop, menggendong ransel, beberapa map dan satu portofolio tebal berisi foto-foto.
'' Aku meminjam ponselmu karena lupa meletakkan ponselku di mana, menelponnya yang ternyata ada di tasku. Ahh, hari itu aku banyak meeting dan hendak pergi ke Pangandaran, '' dia terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. '' Tapi berkat itu, aku bisa mendapatkan nomer ponselmu. ''
Aku sendiri tak pernah menyangka kalau laki-laki yang kulihat aneh dengan kerepotannya itu berani menelponku, awalnya hanya berterima kasih, lalu membayarnya dengan makan siang, dan hobinya backpacking-lah yang membuatku betah berlama-lama duduk mengobrol bersamanya.
Cerita-cerita petualangannya tak pernah habis, ditambah dengan foto-foto yang sengaja dia perlihatkan, sempurna. Lalu apa yang terjadi dua tahun setelahnya adalah sekarang, saling diam di rumah yang belum lama dia beli, meringkuk di sofa nyamannya, menghirup aroma tubuhnya, dan memeluk dada bidangnya dari belakang.
Aku tidak percaya pada kebetulan, pertemuan pasti sudah direncanakan, paling tidak oleh Tuhan sendiri. Apa yang datang padaku pastilah tertulis entah di mana, sama seperti hal-hal lain yang pergi dariku.
Lalu apa konsep yang dirancang di balik ' Kebetulan ' ? Entah, mungkin itu adalah cara Tuhan memberi kejutan.
'' Sebenarnya, sebelum aku meminjam ponselmu, aku sudah beberapa kali bertemu denganmu, '' ujarnya sambil membuka sebuah foto baru; foto punggung tanpa sehelai benangpun menutupinya.
(Mr. Backpacker)
*cerita bersambung
Menoreh
Kita berdiri di puncak bukit hijau, dengan rumput liar menelusup melalui celah antara celana panjang dan sepatuku.
'' Ini surga, '' katamu sambil mengangkat kedua tangan lebar-lebar. Matamu menutup dan tarikan napasmu terdengar melegakan, kamu memang selalu mengatakan satu kalimat itu di setiap perjalanan kita. Surgamu tak sulit ditemukan dan tak terhitung jumlahnya.
Ada hijau menyelimuti seluruh pandangan, dengan sejuk angin mengisi tiap-tiap titik pori-pori. Ada kamu di sisiku, ada kita, hanya kita berdua.
'' Sudah kubilang, kedai kopi itu belum seberapa. Lihat? '' serumu memenuhi lembah dengan hamparan pohon teh. '' Menoreh! ''
Iya, Menoreh. Magelang, hanya beberapa jam dari Jogjakarta, kota impian kita yang kedua. Ada mimpi yang kamu tanam di kota itu, tentang keluarga, tentang rumah Jawa berhalaman luas untuk anak-anak kita.
'' Kamu suka tempat ini? Kita tidak perlu kembali ke Jakarta kalau kamu krasan di sini, '' lanjutmu. Apa yang tidak kamu tawarkan untukku? Tak maukah kamu menuntutku sesuatu untuk membayarnya?
(Mr. Backpacker)
'' Ini surga, '' katamu sambil mengangkat kedua tangan lebar-lebar. Matamu menutup dan tarikan napasmu terdengar melegakan, kamu memang selalu mengatakan satu kalimat itu di setiap perjalanan kita. Surgamu tak sulit ditemukan dan tak terhitung jumlahnya.
Ada hijau menyelimuti seluruh pandangan, dengan sejuk angin mengisi tiap-tiap titik pori-pori. Ada kamu di sisiku, ada kita, hanya kita berdua.
'' Sudah kubilang, kedai kopi itu belum seberapa. Lihat? '' serumu memenuhi lembah dengan hamparan pohon teh. '' Menoreh! ''
Iya, Menoreh. Magelang, hanya beberapa jam dari Jogjakarta, kota impian kita yang kedua. Ada mimpi yang kamu tanam di kota itu, tentang keluarga, tentang rumah Jawa berhalaman luas untuk anak-anak kita.
'' Kamu suka tempat ini? Kita tidak perlu kembali ke Jakarta kalau kamu krasan di sini, '' lanjutmu. Apa yang tidak kamu tawarkan untukku? Tak maukah kamu menuntutku sesuatu untuk membayarnya?
(Mr. Backpacker)
Sabtu, 18 Februari 2012
Jeda
Ada saat ketika kita terpisah, ketika pekerjaan mengunci seluruh perhatian ke layar monitor masing-masing. Saat itu, aku dan kamu hanyalah dua raga yang tak saling bicara.
Ada saat ketika dunia kita berseberangan, di mana malam dan siang berselisih paham, di mana kamu dan aku seperti makhluk berbeda alam.
Aku berteman pagi, sedang kamu berkawan malam. Terkadang kita memang tidak harus selalu dipertemukan.
Ada saat ketika waktu berhenti di antaranya, di antara alamku dan alammu, di antara jeda waktu pergantian warna langit. Aku tersenyum melihatmu, lalu aku akan sengaja mendekapmu agar rasa hambar siang melebur di dalamnya.
Ada saat ketika kehangatan tubuhmu menjauh dariku, yaitu saat kawanmu--malam menjelang, saat pekat hitam menghipnotis memaksaku tinggal di alam bawah sadar.
Ada sisa-sisa aroma tubuhmu, merekat erat seperti akar anggrek di pepohonan. Membuatku seperti ingin terus hidup untuk menghidupimu, ingin terus berfotosintesa demi bunga-bungamu.
Ada saat ketika perjalanan kita tertunda, ransel-ransel kita kembali ke tempatnya, sepatu-sepatu kita tertata rapi di raknya. Adalah saat kita hanya diam meski berjarak sejengkal, saat kita tak saling kenal meski di atas meja kita adalah kalender yang kedua.
Sejenak kita melupakan perjalanan, tidak menuliskan tujuan, serta berpaling dari Lonely Planet dan memilih tetikus untuk sementara waktu.
Iya, kita sedang disibukkan pekerjaan.
Ada saat ketika dunia kita berseberangan, di mana malam dan siang berselisih paham, di mana kamu dan aku seperti makhluk berbeda alam.
Aku berteman pagi, sedang kamu berkawan malam. Terkadang kita memang tidak harus selalu dipertemukan.
Ada saat ketika waktu berhenti di antaranya, di antara alamku dan alammu, di antara jeda waktu pergantian warna langit. Aku tersenyum melihatmu, lalu aku akan sengaja mendekapmu agar rasa hambar siang melebur di dalamnya.
Ada saat ketika kehangatan tubuhmu menjauh dariku, yaitu saat kawanmu--malam menjelang, saat pekat hitam menghipnotis memaksaku tinggal di alam bawah sadar.
Ada sisa-sisa aroma tubuhmu, merekat erat seperti akar anggrek di pepohonan. Membuatku seperti ingin terus hidup untuk menghidupimu, ingin terus berfotosintesa demi bunga-bungamu.
Ada saat ketika perjalanan kita tertunda, ransel-ransel kita kembali ke tempatnya, sepatu-sepatu kita tertata rapi di raknya. Adalah saat kita hanya diam meski berjarak sejengkal, saat kita tak saling kenal meski di atas meja kita adalah kalender yang kedua.
Sejenak kita melupakan perjalanan, tidak menuliskan tujuan, serta berpaling dari Lonely Planet dan memilih tetikus untuk sementara waktu.
Iya, kita sedang disibukkan pekerjaan.
Jumat, 17 Februari 2012
Takut
Jumat malam, adalah waktu untuk kami bergelut dengan kemacetan menjelang akhir pekan. Sudah biasa dan TransJakarta yang kutumpangipun sama saja, terjebak meski sudah ada jalannya sendiri.
Tapi pikiranku tak semalas biasanya, aku akan menghabisan sisa waktu jumat ini dengan Biru di rumahnya. Entahlah, kedengarannya menyenangkan dan aku hanya punya dia di kota ini.
Aku terheran melihat sepatu merah berhak tinggi masih tersusun di rak sepatu, milik wanita itu.
'' Dia belum pulang? '' tanyaku saat menemukan Biru di dapur yang tampak sibuk dengan pancinya. Dia menoleh sebentar sebelum mematikan kompor.
'' Dia sakit dan menolak kubawa ke rumah sakit, aku yang merawatnya, '' suaranya terdengar pelan tanpa semangat. '' Aku lelah sekali. ''
Seketika aku memeluknya, mendekap tubuh lesu beraroma bubur. Dia mendesah pelan di telingaku, '' Istirahatlah, biar aku yang mengurusnya, '' perintahku. Dia tampak ragu meski akhirnya menurutinya.
Wajah wanita itu tidak terlihat pucat, entah sakit apa sampai Biru-ku kelelahan mengurusinya.
'' Sudah baikan? '' tanyaku basa-basi. Dia yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya menatapku heran, '' Biru sedang istirahat, dia kelelahan. ''
'' Kamu baru pulang dari kantor? Kalian sudah tinggal seatap? '' cecarnya.
'' Biru memintaku menemaninya lembur malam ini, '' singkatku. Dia menarik napas lega lalu mulai menyendok buburnya, aku masih ingat perkataannya tempo hari saat dia bilang akan merebut Biru dariku dengan wajah persis seperti itu.
'' Pertama kali aku bertemu Biru, saat itu kami masih kuliah semester awal. Bertemu di warung tenda dekat Simpang Lima, dia begitu menarik perhatian, '' ceritanya sambil menerawang. '' Aku yang pertama menegurnya dan belakangan aku tahu kalau dia bukan asli Semarang, kami langsung tertarik satu sama lain. ''
Baiklah, kini aku harus mendengarnya bercerita kisah cinta masa lalunya dengan Biru-ku. Apa itu pantas untuk diceritakan di depanku?
'' Dia belum berubah, masih baik hati, perhatian, lembut... ''
Dan dia adalah milikku sekarang.
'' Sepertinya aku masih punya kesempatan untuk mendapatkannya kembali, aku lihat pancaran matanya masih sama saat menatapku. ''
'' Habiskan buburmu dan jangan lupa minum obat, aku harus bekerja ekstra malam ini, '' potongku lalu segera pergi menjauh darinya. Sungguh sangat tidak pantas mengatakan itu depanku, berani sekali.
Ketakutan tiba-tiba muncul menyusupi tiap-tiap keyakinan yang sudah sejak lama kupercaya, bagaimana kalau itu benar? Bagaimana kalau Biru masih mencintainya? Bagaimana jika wanita itu benar-benar merebutnya? Apa kelebihanku yang akan membuat Biru memilihku? Dia jelas-jelas lebih dari segalanya, dia sempurna; fisik, keuangan, jabatan, mapan. Ahh, aku punya apa? Karyawan biasa, keluarga biasa, penampilan standart, perantau yang ingin memperbaiki kehidupan.
Apa yang akan Biru lihat dariku? Jelas aku belum sepersekian dari wanita di kamar tamu itu. Kenapa aku tiba-tiba takut? Sangat takut.
(Mr. Backpacker)
*cerita bersambung
Tapi pikiranku tak semalas biasanya, aku akan menghabisan sisa waktu jumat ini dengan Biru di rumahnya. Entahlah, kedengarannya menyenangkan dan aku hanya punya dia di kota ini.
Aku terheran melihat sepatu merah berhak tinggi masih tersusun di rak sepatu, milik wanita itu.
'' Dia belum pulang? '' tanyaku saat menemukan Biru di dapur yang tampak sibuk dengan pancinya. Dia menoleh sebentar sebelum mematikan kompor.
'' Dia sakit dan menolak kubawa ke rumah sakit, aku yang merawatnya, '' suaranya terdengar pelan tanpa semangat. '' Aku lelah sekali. ''
Seketika aku memeluknya, mendekap tubuh lesu beraroma bubur. Dia mendesah pelan di telingaku, '' Istirahatlah, biar aku yang mengurusnya, '' perintahku. Dia tampak ragu meski akhirnya menurutinya.
Wajah wanita itu tidak terlihat pucat, entah sakit apa sampai Biru-ku kelelahan mengurusinya.
'' Sudah baikan? '' tanyaku basa-basi. Dia yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya menatapku heran, '' Biru sedang istirahat, dia kelelahan. ''
'' Kamu baru pulang dari kantor? Kalian sudah tinggal seatap? '' cecarnya.
'' Biru memintaku menemaninya lembur malam ini, '' singkatku. Dia menarik napas lega lalu mulai menyendok buburnya, aku masih ingat perkataannya tempo hari saat dia bilang akan merebut Biru dariku dengan wajah persis seperti itu.
'' Pertama kali aku bertemu Biru, saat itu kami masih kuliah semester awal. Bertemu di warung tenda dekat Simpang Lima, dia begitu menarik perhatian, '' ceritanya sambil menerawang. '' Aku yang pertama menegurnya dan belakangan aku tahu kalau dia bukan asli Semarang, kami langsung tertarik satu sama lain. ''
Baiklah, kini aku harus mendengarnya bercerita kisah cinta masa lalunya dengan Biru-ku. Apa itu pantas untuk diceritakan di depanku?
'' Dia belum berubah, masih baik hati, perhatian, lembut... ''
Dan dia adalah milikku sekarang.
'' Sepertinya aku masih punya kesempatan untuk mendapatkannya kembali, aku lihat pancaran matanya masih sama saat menatapku. ''
'' Habiskan buburmu dan jangan lupa minum obat, aku harus bekerja ekstra malam ini, '' potongku lalu segera pergi menjauh darinya. Sungguh sangat tidak pantas mengatakan itu depanku, berani sekali.
Ketakutan tiba-tiba muncul menyusupi tiap-tiap keyakinan yang sudah sejak lama kupercaya, bagaimana kalau itu benar? Bagaimana kalau Biru masih mencintainya? Bagaimana jika wanita itu benar-benar merebutnya? Apa kelebihanku yang akan membuat Biru memilihku? Dia jelas-jelas lebih dari segalanya, dia sempurna; fisik, keuangan, jabatan, mapan. Ahh, aku punya apa? Karyawan biasa, keluarga biasa, penampilan standart, perantau yang ingin memperbaiki kehidupan.
Apa yang akan Biru lihat dariku? Jelas aku belum sepersekian dari wanita di kamar tamu itu. Kenapa aku tiba-tiba takut? Sangat takut.
(Mr. Backpacker)
*cerita bersambung
Kamis, 16 Februari 2012
Biru-ku
'' Aku pinjam komputermu, '' bilangku pada Biru, Biru-ku. Kekesalanku pada wanita di ruang tamu benar-benar menguasai, dan mungkin akan lebih baik jika aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan.
'' Pakai sesukamu, anggap kamar sendiri, '' balasnya sambil mengusap pipiku. Seperti sudah bisa membaca pikiranku, dia memelukku erat, sangat erat. '' Aku mendengarnya, dia hanya menggertak, jangan dipikirkan. ''
Aku hanya butuh menyendiri sekarang, menyibukan diri dengan email-email keparat dari kantor. Apa yang mereka kerjakan di kantor kalau semua pekerjaan dikirim semua ke inbox-ku? Aku benar-benar harus mencari pekerjaan lain, keluar secepatnya dari tempat tanpa jam itu. Seperti hanya sebatas siang dan malam yang digunakan untuk menunjukan waktu tiap harinya; kerja, kerja dan kerja. Sial!
'' Dia menginap di sini malam ini, '' bisiknya ketika badanku dengan mudahnya tertidur di tempat tidurnya, aku menyerah setelah hampir 5 jam hanya duduk sambil memandangi layar monitor. Mataku seketika terbelalak mendengarnya, kucari sosok laki-laki pemilik suara tadi yang ternyata sudah memelukku dari belakang.
'' APA? '' pekikku tertahan. '' Dia tidak mampu menyewa kamar hotel, kah? Kenapa harus di sini? ''
Aku menatapnya tajam setelah membalikkan badan ke arahnya, entah sudah berapa lama dia tidur di belakangku, aku terlalu lelah untuk mendengar suara pintu dibuka. '' Hanya semalam, hitung sebagai balas budi kita saat di Semarang, '' lanjutnya sambil membalas tatapanku.
'' Harus, ya? ''
'' Dia temanku, dan dia sendiri di Jakarta. Ya? Kamu bisa menginap di sini juga kalau kamu mau. Aku tak keberatan melihatmu di atas tempat tidurku seperti ini semalaman, dengan senang hati, '' dia mengangkat kepala dari bantal putih bersih penopang kepala kami dan mengecup keningku pelan. '' Bagaimana, Tuan Putri? Terima tawaranku, aku mohon. ''
'' Besok jumat, aku harus ke kantor. ''
'' Kalau begitu menginaplah besok malam, temani aku lembur, setelah itu kita bisa nonton DVD horor kesukaanmu itu. Atau kita bisa rencanakan trip kita selanjutnya, setuju? ''
'' Akan kupikirkan, sekarang aku harus pulang. Istirahat. Tidur. Lelah sekali rasanya, '' alih-alih mencarikanku taksi, dia malah tak bergerak dari tempatnya. '' Kamu tak berniat menelpon taksi untukku? ''
'' Sebentar lagi, temani aku beberapa menit di sini. ''
Aku merebahkan lagi kepalaku, kali ini di sebelah dadanya, tepat di depan jantungnya. Kesunyian. Hanya suara pendingin ruangan yang mengalun kasar, udara dingin yang menyapu kulit perlahan, dan genggaman tangannya. Begitu menenangkan, begitu damai, begitu jauh dari amarah yang siap meledak kalau selangkah saja keluar dari kamar ini.
'' Kenapa selalu begini? '' gumamnya.
'' Apa? '' tanyaku tanpa menjauh dari dada bidangnya.
'' Kenapa aku selalu merasa terus merindukanmu? Apa ada cara untuk mengurangi rindu saat kamu jauh dariku? ''
(Mr. Backpacker)
*baca juga rangkaian lain di previous post.
'' Pakai sesukamu, anggap kamar sendiri, '' balasnya sambil mengusap pipiku. Seperti sudah bisa membaca pikiranku, dia memelukku erat, sangat erat. '' Aku mendengarnya, dia hanya menggertak, jangan dipikirkan. ''
Aku hanya butuh menyendiri sekarang, menyibukan diri dengan email-email keparat dari kantor. Apa yang mereka kerjakan di kantor kalau semua pekerjaan dikirim semua ke inbox-ku? Aku benar-benar harus mencari pekerjaan lain, keluar secepatnya dari tempat tanpa jam itu. Seperti hanya sebatas siang dan malam yang digunakan untuk menunjukan waktu tiap harinya; kerja, kerja dan kerja. Sial!
'' Dia menginap di sini malam ini, '' bisiknya ketika badanku dengan mudahnya tertidur di tempat tidurnya, aku menyerah setelah hampir 5 jam hanya duduk sambil memandangi layar monitor. Mataku seketika terbelalak mendengarnya, kucari sosok laki-laki pemilik suara tadi yang ternyata sudah memelukku dari belakang.
'' APA? '' pekikku tertahan. '' Dia tidak mampu menyewa kamar hotel, kah? Kenapa harus di sini? ''
Aku menatapnya tajam setelah membalikkan badan ke arahnya, entah sudah berapa lama dia tidur di belakangku, aku terlalu lelah untuk mendengar suara pintu dibuka. '' Hanya semalam, hitung sebagai balas budi kita saat di Semarang, '' lanjutnya sambil membalas tatapanku.
'' Harus, ya? ''
'' Dia temanku, dan dia sendiri di Jakarta. Ya? Kamu bisa menginap di sini juga kalau kamu mau. Aku tak keberatan melihatmu di atas tempat tidurku seperti ini semalaman, dengan senang hati, '' dia mengangkat kepala dari bantal putih bersih penopang kepala kami dan mengecup keningku pelan. '' Bagaimana, Tuan Putri? Terima tawaranku, aku mohon. ''
'' Besok jumat, aku harus ke kantor. ''
'' Kalau begitu menginaplah besok malam, temani aku lembur, setelah itu kita bisa nonton DVD horor kesukaanmu itu. Atau kita bisa rencanakan trip kita selanjutnya, setuju? ''
'' Akan kupikirkan, sekarang aku harus pulang. Istirahat. Tidur. Lelah sekali rasanya, '' alih-alih mencarikanku taksi, dia malah tak bergerak dari tempatnya. '' Kamu tak berniat menelpon taksi untukku? ''
'' Sebentar lagi, temani aku beberapa menit di sini. ''
Aku merebahkan lagi kepalaku, kali ini di sebelah dadanya, tepat di depan jantungnya. Kesunyian. Hanya suara pendingin ruangan yang mengalun kasar, udara dingin yang menyapu kulit perlahan, dan genggaman tangannya. Begitu menenangkan, begitu damai, begitu jauh dari amarah yang siap meledak kalau selangkah saja keluar dari kamar ini.
'' Kenapa selalu begini? '' gumamnya.
'' Apa? '' tanyaku tanpa menjauh dari dada bidangnya.
'' Kenapa aku selalu merasa terus merindukanmu? Apa ada cara untuk mengurangi rindu saat kamu jauh dariku? ''
(Mr. Backpacker)
*baca juga rangkaian lain di previous post.
Rabu, 15 Februari 2012
Biru, Panggil Dia Biru
Wajahnya masih secantik saat aku terakhir melihatnya, polesan rias wajah lengkap tanpa cela dan mengagumkan. Hanya senyumnya yang berbeda, bukan senyum tulus ataupun senyum biasa, senyumnya terlihat aneh di mataku.
'' Kamu tinggal di sini? '' tanyanya ketika wanita ini ' Dititipkan ' padaku, si empunya rumah bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
'' Oh, tidak. Aku hanya menumpang mandi, '' jawabku singkat.
'' Di tempatmu tidak ada kamar mandi sampai harus menumpang di sini? '' nada bicaranya terdengar menuduh layaknya detektif menemukan alibi palsu. '' dan setahuku orang kantoran berangkat pagi, bukan setelah jam makan siang. ''
Aku menahan diri untuk tidak menjawab, kupaksakan senyum paling palsu mengembang demi kesopanan. Aku dan dia sama-sama bertamu di rumah ini, bedanya, aku langsung didudukkan di ruang tengah--ruang keluarga, bukan ruang tamu.
'' Sepertinya kalian sudah baikan, aku sedih saat dia kamu tinggalkan begitu saja di Semarang. Kasihan dia. ''
Dan jahatnya aku, benar? Bagus, masalah yang seharusnya sudah bisa dilupakan kini diungkit-ungkit kembali.
'' Setelah kamu pergi, dia langsung kehilangan selera makan. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar hotelnya dibanding menyelesaikan perjalanannya. Kamu membuatnya sedih, tega sekali. ''
Hampir saja kutinggalkan wanita di depanku ini, masa bodoh dengan rasa hormat kepada tamu, hormatku hanya kuberikan pada orang yang pantas dihormati.
'' Kamu menyakiti Bibu-ku, '' lanjutnya lagi. Dahiku berkerut mendengar kata asing yang dia ucapkan, entah siapa yang salah dengar atau salah sebut.
'' Bi-bu? Apa itu Bibu? ''
'' Ohh, kamu belum tahu, ya? Bibu itu nama panggilan sayangku saat kami masih bersama. ''
Aku ingin tertawa sekaligus marah, nama macam apa itu? Dan apa yang dia sebut tadi? '' Bibu-ku '' ? Bibu-mu maksudnya?
'' Biru, panggil dia Biru, '' koreksiku.
'' Aku sudah terbiasa dengan nama itu, sulit untuk mengubahnya. ''
'' Tapi dia sudah tidak bersamamu lagi, bukan? '' tanyaku mantap.
'' Dulu... ''
'' Dan kita sedang tidak hidup di masa lalu, '' tambahku senang melihat wajahnya memucat. '' Dia adalah Biru-ku, sekarang. Salah alamat kalau kamu mencari masa lalu di masa kini, dan salah target kalau kamu pikir Biru-ku adalah Bibu-mu. '' Dan panggilan macam apa itu ' Bibu ' ?
Aku benar-benar sudah muak dengannya, sengaja mengingatkan kesalahanku lalu dibumbui dengan drama. Setelah ini, apa?
'' Aku akan merebutnya darimu, '' celetuknya saat aku beranjak ingin meninggalkannya. Kutahan langkahku, kuradam kekesalanku dan kutatap dia dengan tenang. Ada amarah di wajahnya, ada kekesalan yang lebih besar memenuhi raut cantik dan menggodanya, ada ambisi yang tergambar jelas setelah kalimat terakhirnya terucap.
'' Coba saja kalau bisa, '' balasku.
(Mr. Backpacker)
'' Kamu tinggal di sini? '' tanyanya ketika wanita ini ' Dititipkan ' padaku, si empunya rumah bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
'' Oh, tidak. Aku hanya menumpang mandi, '' jawabku singkat.
'' Di tempatmu tidak ada kamar mandi sampai harus menumpang di sini? '' nada bicaranya terdengar menuduh layaknya detektif menemukan alibi palsu. '' dan setahuku orang kantoran berangkat pagi, bukan setelah jam makan siang. ''
Aku menahan diri untuk tidak menjawab, kupaksakan senyum paling palsu mengembang demi kesopanan. Aku dan dia sama-sama bertamu di rumah ini, bedanya, aku langsung didudukkan di ruang tengah--ruang keluarga, bukan ruang tamu.
'' Sepertinya kalian sudah baikan, aku sedih saat dia kamu tinggalkan begitu saja di Semarang. Kasihan dia. ''
Dan jahatnya aku, benar? Bagus, masalah yang seharusnya sudah bisa dilupakan kini diungkit-ungkit kembali.
'' Setelah kamu pergi, dia langsung kehilangan selera makan. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar hotelnya dibanding menyelesaikan perjalanannya. Kamu membuatnya sedih, tega sekali. ''
Hampir saja kutinggalkan wanita di depanku ini, masa bodoh dengan rasa hormat kepada tamu, hormatku hanya kuberikan pada orang yang pantas dihormati.
'' Kamu menyakiti Bibu-ku, '' lanjutnya lagi. Dahiku berkerut mendengar kata asing yang dia ucapkan, entah siapa yang salah dengar atau salah sebut.
'' Bi-bu? Apa itu Bibu? ''
'' Ohh, kamu belum tahu, ya? Bibu itu nama panggilan sayangku saat kami masih bersama. ''
Aku ingin tertawa sekaligus marah, nama macam apa itu? Dan apa yang dia sebut tadi? '' Bibu-ku '' ? Bibu-mu maksudnya?
'' Biru, panggil dia Biru, '' koreksiku.
'' Aku sudah terbiasa dengan nama itu, sulit untuk mengubahnya. ''
'' Tapi dia sudah tidak bersamamu lagi, bukan? '' tanyaku mantap.
'' Dulu... ''
'' Dan kita sedang tidak hidup di masa lalu, '' tambahku senang melihat wajahnya memucat. '' Dia adalah Biru-ku, sekarang. Salah alamat kalau kamu mencari masa lalu di masa kini, dan salah target kalau kamu pikir Biru-ku adalah Bibu-mu. '' Dan panggilan macam apa itu ' Bibu ' ?
Aku benar-benar sudah muak dengannya, sengaja mengingatkan kesalahanku lalu dibumbui dengan drama. Setelah ini, apa?
'' Aku akan merebutnya darimu, '' celetuknya saat aku beranjak ingin meninggalkannya. Kutahan langkahku, kuradam kekesalanku dan kutatap dia dengan tenang. Ada amarah di wajahnya, ada kekesalan yang lebih besar memenuhi raut cantik dan menggodanya, ada ambisi yang tergambar jelas setelah kalimat terakhirnya terucap.
'' Coba saja kalau bisa, '' balasku.
(Mr. Backpacker)
Dia Kembali
Aku masih betah di pelukannya saat bel pintu berbunyi, sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali.
'' Ada orang di depan, '' bisikku di telinganya. Dia tak bergeming sedikitpun tapi bisa dengan sigap menahanku saat mencoba melepaskan diri darinya. '' Heh! Di depan ada orang, bangun, kenakan pakaianmu dan temui tamumu. ''
'' Paling pos, biar saja. Dan kamu, jangan coba-coba melepas pelukanku, '' ucapnya masih menutup mata sambil terus mendekapku.
Kupencet hidungnya sampai dia kehabisan nafas, melonggarkan pelukan dan berusaha menyingkirkan jariku dari hidung mancungnya.
'' Bangun, aku harus mandi dan merapikan bekas kekacauan ini, '' perintahku. '' Atau kutendang badanmu dari sofa ini. ''
'' Oke, oke. Silakan mandi permaisuri, '' dia beranjak, menciumku sebentar sebelum mengenakan kembali pakaiannya. Masih belum hilang aroma tubuhnya di tubuhku, aroma tubuh dari laki-laki yang dua tahun ini tertawa bersamaku. Aku pikir kami sudah sama-sama dewasa untuk apa yang sudah terjadi, dan kami pasti bisa mempertanggungjawabkan semuanya.
Apa yang harus kami cemaskan? Dosa? Dosa adalah urusan Tuhan dengan masing-masing umat-Nya tanpa campur tangan manusia lain, bukan?
Sofa sudah, well, lebih rapi dari sebelumnya, tanpa ada wanita bersalah yang menangis, tanpa ada dua tubuh tanpa busana yang saling berpelukan. Dia kembali dari kamarnya dengan wajah basah dan sehelai handuk putih di tangan, rambutnya masih berantakan dan sekilas terlihat garis merah halus di tengkuknya; bekas kuku panjangku.
'' Ini handuknya, dan semuanya sudah siap di kamar mandi. Kamar mandinya di dalam kamar tidurku, boleh langsung mandi atau tidur lagi, '' ucapnya dengan nada jahil. '' Kamarku lebih nyaman dari sofa ini, by the way. ''
'' Temui tamumu, '' singkatku sambil melotot ke arahnya, lalu beranjak menuju kamar dengan pintu berwarna alami kayu. Cukup luas dengan tempat tidur berkaki rendah yang terlihat nyaman, simple, dan rapi. Kamar mandinya cukup bersih untuk ukuran laki-laki, lagi-lagi kerapihannya tak bisa disangkal. Dia mengatur semuanya dengan benar tanpa bantuan siapapun, hal yang baru kusadari setelah sekian lama.
Aku mematung dan beku di depan tamunya, rambutku masih basah dan hampir saja kujatuhkan handuk di tanganku.
'' Hai, senang bisa bertemu lagi, '' sapanya. Aku membeku, tanganku gemetar saat membalas uluran tangannya.
Gaun di atas lutut merah muda, high heels, rambut panjang bergelombang dan koper hitam berukuran sedang tergeletak di sebelah kaki putih mulus miliknya. Tertawa lebar melihatku terpaku, mengingatkan kejadian beberapa hari lalu di Semarang.
Benar, dia mantan kekasih dari kekasihku. Orang yang menyulut kecemburuanku sampai aku tega meninggalkan laki-laki yang kini berwajah bingung di sampingnya, sial!
(Mr. Backpacker)
'' Ada orang di depan, '' bisikku di telinganya. Dia tak bergeming sedikitpun tapi bisa dengan sigap menahanku saat mencoba melepaskan diri darinya. '' Heh! Di depan ada orang, bangun, kenakan pakaianmu dan temui tamumu. ''
'' Paling pos, biar saja. Dan kamu, jangan coba-coba melepas pelukanku, '' ucapnya masih menutup mata sambil terus mendekapku.
Kupencet hidungnya sampai dia kehabisan nafas, melonggarkan pelukan dan berusaha menyingkirkan jariku dari hidung mancungnya.
'' Bangun, aku harus mandi dan merapikan bekas kekacauan ini, '' perintahku. '' Atau kutendang badanmu dari sofa ini. ''
'' Oke, oke. Silakan mandi permaisuri, '' dia beranjak, menciumku sebentar sebelum mengenakan kembali pakaiannya. Masih belum hilang aroma tubuhnya di tubuhku, aroma tubuh dari laki-laki yang dua tahun ini tertawa bersamaku. Aku pikir kami sudah sama-sama dewasa untuk apa yang sudah terjadi, dan kami pasti bisa mempertanggungjawabkan semuanya.
Apa yang harus kami cemaskan? Dosa? Dosa adalah urusan Tuhan dengan masing-masing umat-Nya tanpa campur tangan manusia lain, bukan?
Sofa sudah, well, lebih rapi dari sebelumnya, tanpa ada wanita bersalah yang menangis, tanpa ada dua tubuh tanpa busana yang saling berpelukan. Dia kembali dari kamarnya dengan wajah basah dan sehelai handuk putih di tangan, rambutnya masih berantakan dan sekilas terlihat garis merah halus di tengkuknya; bekas kuku panjangku.
'' Ini handuknya, dan semuanya sudah siap di kamar mandi. Kamar mandinya di dalam kamar tidurku, boleh langsung mandi atau tidur lagi, '' ucapnya dengan nada jahil. '' Kamarku lebih nyaman dari sofa ini, by the way. ''
'' Temui tamumu, '' singkatku sambil melotot ke arahnya, lalu beranjak menuju kamar dengan pintu berwarna alami kayu. Cukup luas dengan tempat tidur berkaki rendah yang terlihat nyaman, simple, dan rapi. Kamar mandinya cukup bersih untuk ukuran laki-laki, lagi-lagi kerapihannya tak bisa disangkal. Dia mengatur semuanya dengan benar tanpa bantuan siapapun, hal yang baru kusadari setelah sekian lama.
Aku mematung dan beku di depan tamunya, rambutku masih basah dan hampir saja kujatuhkan handuk di tanganku.
'' Hai, senang bisa bertemu lagi, '' sapanya. Aku membeku, tanganku gemetar saat membalas uluran tangannya.
Gaun di atas lutut merah muda, high heels, rambut panjang bergelombang dan koper hitam berukuran sedang tergeletak di sebelah kaki putih mulus miliknya. Tertawa lebar melihatku terpaku, mengingatkan kejadian beberapa hari lalu di Semarang.
Benar, dia mantan kekasih dari kekasihku. Orang yang menyulut kecemburuanku sampai aku tega meninggalkan laki-laki yang kini berwajah bingung di sampingnya, sial!
(Mr. Backpacker)
10 Tahun Lalu
Dear: Younger Me.
Untuk kamu, aku 10 tahun lalu.
Februari tahun 2002, hari Valentine baru saja lewat. Kamu masih kelas satu di Sekolah Menengah Pertama, bukan? Benar. Itulah saat kamu mulai iseng menuliskan kisah cinta teman-teman sekelas barumu di lembaran-lembaran kertas kecil, kamu membuatnya menjadi buku kecil untuk dibaca teman-teman yang lain.
Kamu usil, dan sampai di harimu hari ini, kamu masih sama. Juga kebiasaan menulismu, kamu akan banyak mendapat teman baru dengan hobi itu kelak.
Jangan bersedih karena Valentine-mu terlalu biasa, itu modal untuk menghadapi valentine-valentine selanjutnya yang memang tidak terlalu istimewa. Yang menyenangkan adalah; kamu tidak sendiri, begitupun hari ini; aku bukan satu-satunya orang yang tidak merasakan cokelat ataupun mencium aroma mawar. Kuberitahu satu hal; mentertawakan kesialan sendiri adalah hiburan yang tidak semua orang bisa rasakan. :D
Umur 12 tahun dan kamu belum memiliki seseorang, tak apa. Aku tahu siapa yang memenuhi hatimu sekarang, sialnya, sampai harimu di hariku hari ini, kamu masih memikirkannya. Yang kamu rasakan belum seberapa, dan bersiaplah, saat dia menjadi milikmu nanti, akan ada konflik berkepanjangan tanpa solusi.
Aku harap ini semua akan benar-benar sampai padamu, setidaknya kamu bisa menyombongkan diri di depan teman-teman kita kalau kamu cenayang yang bisa menebak masa depan. Itu keren, bukan?
Nikmati masa sekolahmu, karena dalam beberapa tahun kemudian, kamu akan meninggalkannya. Nikmati saja hukuman-hukuman yang diberikan para guru karena nanti kamu akan menceritakannya dengan bangga.
Dan terima kasih telah loyal pada teman-temanmu, hari ini, aku masih memiliki mereka. Kami masih bersahabat meski mereka telah mendahuluimu menikah, ups! Apa aku membocorkan rahasia Tuhan? :D
Terima kasih untuk kamu, aku 10 tahun lalu. Tetaplah bermimpi, tetap menulis. Jangan merasa tidak beruntung, karena aku, kamu 10 tahun yang akan datang... Merasa sangat beruntung menjadi dirimu.
Salam hangat dariku,
Dari aku, kamu 10 tahun setelah harimu, hari ini.
*untuk proyek #ForYoungerMe*
Untuk kamu, aku 10 tahun lalu.
Februari tahun 2002, hari Valentine baru saja lewat. Kamu masih kelas satu di Sekolah Menengah Pertama, bukan? Benar. Itulah saat kamu mulai iseng menuliskan kisah cinta teman-teman sekelas barumu di lembaran-lembaran kertas kecil, kamu membuatnya menjadi buku kecil untuk dibaca teman-teman yang lain.
Kamu usil, dan sampai di harimu hari ini, kamu masih sama. Juga kebiasaan menulismu, kamu akan banyak mendapat teman baru dengan hobi itu kelak.
Jangan bersedih karena Valentine-mu terlalu biasa, itu modal untuk menghadapi valentine-valentine selanjutnya yang memang tidak terlalu istimewa. Yang menyenangkan adalah; kamu tidak sendiri, begitupun hari ini; aku bukan satu-satunya orang yang tidak merasakan cokelat ataupun mencium aroma mawar. Kuberitahu satu hal; mentertawakan kesialan sendiri adalah hiburan yang tidak semua orang bisa rasakan. :D
Umur 12 tahun dan kamu belum memiliki seseorang, tak apa. Aku tahu siapa yang memenuhi hatimu sekarang, sialnya, sampai harimu di hariku hari ini, kamu masih memikirkannya. Yang kamu rasakan belum seberapa, dan bersiaplah, saat dia menjadi milikmu nanti, akan ada konflik berkepanjangan tanpa solusi.
Aku harap ini semua akan benar-benar sampai padamu, setidaknya kamu bisa menyombongkan diri di depan teman-teman kita kalau kamu cenayang yang bisa menebak masa depan. Itu keren, bukan?
Nikmati masa sekolahmu, karena dalam beberapa tahun kemudian, kamu akan meninggalkannya. Nikmati saja hukuman-hukuman yang diberikan para guru karena nanti kamu akan menceritakannya dengan bangga.
Dan terima kasih telah loyal pada teman-temanmu, hari ini, aku masih memiliki mereka. Kami masih bersahabat meski mereka telah mendahuluimu menikah, ups! Apa aku membocorkan rahasia Tuhan? :D
Terima kasih untuk kamu, aku 10 tahun lalu. Tetaplah bermimpi, tetap menulis. Jangan merasa tidak beruntung, karena aku, kamu 10 tahun yang akan datang... Merasa sangat beruntung menjadi dirimu.
Salam hangat dariku,
Dari aku, kamu 10 tahun setelah harimu, hari ini.
*untuk proyek #ForYoungerMe*
Selasa, 14 Februari 2012
Jangan Pernah
'' Masih bisa berpikir untuk meninggalkanku, lain waktu? ''
Kalimatnya yang terakhir sebelum tangisku benar-benar pecah, isakku tak lagi bisa kutahan. Ini adalah puncak rasa sesal yang sudah kurasakan selama berhari-hari, sebuah tangis yang kuredam berharap tak akan pernah bisa kukeluarkan.
'' Maaf, maafkan aku... '' pintaku dengan suara parau. Dia masih lekat memandangiku, dingin, tanpa ekspresi, lalu beranjak pergi dari kursinya.
Aku merasa berhadapan dengan orang lain, bukan dia yang hangat, bukan dia yang tidak pernah membiarkanku terluka dan menangis.
'' Minum, '' sepasang tangan menyodorkan segelas air putih di depan wajah sembabku, tangan yang sering aku genggam, tangan yang selalu melindungiku. '' Minum, '' ulangnya.
Kuraih gelas itu dengan tangan masih gemetar, kuteguk perlahan, kurasakan guyuran dingin membekukan lidahku lalu melemaskan otot leher yang menegang sedari tadi. '' Terima kasih. ''
'' Aku sangat merindukanmu, '' tambahnya membuatku terkejut. '' Aku rindu memelukmu seperti biasanya. ''
Tangisku kembali saat tubuh kekarnya memelukku, erat. Membenamkan kepalaku di dadanya, menjalarkan kehangatan yang sudah tak asing bagiku.
Aku juga, aku merindukanmu, sangat merindukanmu.
'' Jangan pernah meninggalkan aku lagi, tolong, '' lirihnya. '' Berjanjilah kamu akan selalu di sisiku, berjanjilah kamu akan terus menemaniku, berjanjilah, tolong... ''
Aku hanya bisa mengangguk, suaraku serak dan tercekat di tenggorokan. Aku berjanji, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, pegang kata-kataku; tidak akan pernah.
'' Lihat aku, '' pintanya sembari melepaskan pelukan, wajahku diraihnya dengan dua tangan hingga menghadap ke depan wajahnya.
'' Aku sangat membutuhkanmu, aku mencintaimu sebanyak biru langit dan lautan yang mendominasi bumi. Entah harus kuhitung dan kutakar dengan apa, entah harus kupotong menjadi berapa. Yang aku tahu, kamu pasti mendapat semua bagiannya. ''
Senyumku mengembang seiring sapuan bibir hangat di bibirku, perlahan, lembut, dalam, lalu mulai memburu. Jarinya menyisir rambut panjangku, menarik tengkuk lebih dekat dengannya, mengaliri tubuhku dengan sensasi yang sudah lama kami lupa.
Kami terlalu sibuk untuk bermanja; peta, nama jalan, kendaraan, keramaian, perjalanan, tujuan. Kami berlari mengejar waktu, bersinggungan dengan kesalahan, berpikir untuk memperbaikinya, sampai menyatu dengan kekacauan. Demi perjalanan, demi petualangan, demi pengalaman, demi rumah; demi tujuan.
Napasnya terengah tak jauh berbeda dengan napasku, degup jantung seperti genderang perang yang saling bersahutan. Ini yang kami butuhkan saat ini; saling memagut, saling mendekap, saling melumat mengabaikan waktu yang tertawa karena kali ini berhasil mendahului langkah kami.
Dan aku merasakan kulit punggungnya berkeringat, aroma sabun yang tadi sempat kuhirup berubah menjadi wangi tubuh sebenarnya. Aku merasakan dada telanjangnya menempel di dadaku, lengket dan menyatu. Tubuh besarnya hampir menutupi seluruh tubuhku yang berada di bawahnya, memenuhi sofa panjang cokelat dengan desahan dan erangan, membawa kami melayang ke dunia serba putih untuk sesaat.
'' Berjanjilah, kamu tak akan meninggalkanku lagi. Aku tak akan memaafkanmu jika ada lain kali, '' bisiknya di telingaku.
Aku mengangguk di dalam pelukannya, terlalu terpesona pada keindahan tubuh yang baru saja kulihat dan kujajah hingga kehilangan kata-kata untuk menjawab.
Aku berjanji, di atas sofa cokelat panjang yang merekam segalanya, untuk semua potongan bagian biru yang kaupunya, untuk semua takaran biru yang tak bisa kauterka beratnya....aku tidak akan meninggalkanmu.
Biarkan malaikat maut menjalankan tugasnya, kita tak akan peduli sampai satu di antara kita terkubur dengan hiasan nisan sebagai penanda.
Aku mencintaimu.
(Mr. Backpacker)
*ini tolong jangan didemo penulisnya, pertama kalinya nulis begini. Maaf kalau ada yang kurang berkenan. :)
Kalimatnya yang terakhir sebelum tangisku benar-benar pecah, isakku tak lagi bisa kutahan. Ini adalah puncak rasa sesal yang sudah kurasakan selama berhari-hari, sebuah tangis yang kuredam berharap tak akan pernah bisa kukeluarkan.
'' Maaf, maafkan aku... '' pintaku dengan suara parau. Dia masih lekat memandangiku, dingin, tanpa ekspresi, lalu beranjak pergi dari kursinya.
Aku merasa berhadapan dengan orang lain, bukan dia yang hangat, bukan dia yang tidak pernah membiarkanku terluka dan menangis.
'' Minum, '' sepasang tangan menyodorkan segelas air putih di depan wajah sembabku, tangan yang sering aku genggam, tangan yang selalu melindungiku. '' Minum, '' ulangnya.
Kuraih gelas itu dengan tangan masih gemetar, kuteguk perlahan, kurasakan guyuran dingin membekukan lidahku lalu melemaskan otot leher yang menegang sedari tadi. '' Terima kasih. ''
'' Aku sangat merindukanmu, '' tambahnya membuatku terkejut. '' Aku rindu memelukmu seperti biasanya. ''
Tangisku kembali saat tubuh kekarnya memelukku, erat. Membenamkan kepalaku di dadanya, menjalarkan kehangatan yang sudah tak asing bagiku.
Aku juga, aku merindukanmu, sangat merindukanmu.
'' Jangan pernah meninggalkan aku lagi, tolong, '' lirihnya. '' Berjanjilah kamu akan selalu di sisiku, berjanjilah kamu akan terus menemaniku, berjanjilah, tolong... ''
Aku hanya bisa mengangguk, suaraku serak dan tercekat di tenggorokan. Aku berjanji, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, pegang kata-kataku; tidak akan pernah.
'' Lihat aku, '' pintanya sembari melepaskan pelukan, wajahku diraihnya dengan dua tangan hingga menghadap ke depan wajahnya.
'' Aku sangat membutuhkanmu, aku mencintaimu sebanyak biru langit dan lautan yang mendominasi bumi. Entah harus kuhitung dan kutakar dengan apa, entah harus kupotong menjadi berapa. Yang aku tahu, kamu pasti mendapat semua bagiannya. ''
Senyumku mengembang seiring sapuan bibir hangat di bibirku, perlahan, lembut, dalam, lalu mulai memburu. Jarinya menyisir rambut panjangku, menarik tengkuk lebih dekat dengannya, mengaliri tubuhku dengan sensasi yang sudah lama kami lupa.
Kami terlalu sibuk untuk bermanja; peta, nama jalan, kendaraan, keramaian, perjalanan, tujuan. Kami berlari mengejar waktu, bersinggungan dengan kesalahan, berpikir untuk memperbaikinya, sampai menyatu dengan kekacauan. Demi perjalanan, demi petualangan, demi pengalaman, demi rumah; demi tujuan.
Napasnya terengah tak jauh berbeda dengan napasku, degup jantung seperti genderang perang yang saling bersahutan. Ini yang kami butuhkan saat ini; saling memagut, saling mendekap, saling melumat mengabaikan waktu yang tertawa karena kali ini berhasil mendahului langkah kami.
Dan aku merasakan kulit punggungnya berkeringat, aroma sabun yang tadi sempat kuhirup berubah menjadi wangi tubuh sebenarnya. Aku merasakan dada telanjangnya menempel di dadaku, lengket dan menyatu. Tubuh besarnya hampir menutupi seluruh tubuhku yang berada di bawahnya, memenuhi sofa panjang cokelat dengan desahan dan erangan, membawa kami melayang ke dunia serba putih untuk sesaat.
'' Berjanjilah, kamu tak akan meninggalkanku lagi. Aku tak akan memaafkanmu jika ada lain kali, '' bisiknya di telingaku.
Aku mengangguk di dalam pelukannya, terlalu terpesona pada keindahan tubuh yang baru saja kulihat dan kujajah hingga kehilangan kata-kata untuk menjawab.
Aku berjanji, di atas sofa cokelat panjang yang merekam segalanya, untuk semua potongan bagian biru yang kaupunya, untuk semua takaran biru yang tak bisa kauterka beratnya....aku tidak akan meninggalkanmu.
Biarkan malaikat maut menjalankan tugasnya, kita tak akan peduli sampai satu di antara kita terkubur dengan hiasan nisan sebagai penanda.
Aku mencintaimu.
(Mr. Backpacker)
*ini tolong jangan didemo penulisnya, pertama kalinya nulis begini. Maaf kalau ada yang kurang berkenan. :)
Senin, 13 Februari 2012
What if?
Lagi, aku terduduk di kursi kayu beranda dengan tanaman merambat yang menutupi separuh pandangan. Masih pukul delapan pagi, dan niat untuk pergi ke kantor benar-benar aku urungkan.
Sepatu hitam berhak tinggi senada dengan celana bahan yang kukenakan, belum blazer hitam yang kupasangkan dengan atasan putih. Sia-sia. Aku memilih jurusan lain di halte TransJakarta pagi ini, aku harus menyelesaikan kekacauan yang sudah kumulai secepat mungkin.
Aku tidak mengetuk pintu, tidak juga mengabarinya, aku hanya ingin menunggu; menunggu dia menyadari kehadiranku di beranda rumahnya.
Ada pohon kaktus kecil ditanam di pot-pot kecil, diletakkan rapi sepanjang pembatas lantai dan tanah. Adenium mulai bermekaran, berwarna-warni, bercampur dengan warna anggrek yang putih bersih dengan sedikit warna ungu. Laki-laki seperti apa yang sedang kukencani? Begitu rapi, artistik, begitu mencintai alam, gila petualangan, begitu baik. Dan apa yang kulakukan padanya? Meninggalkannya begitu saja di kota lumpia? Wanita macam apa aku ini?
Cklek.. Cklek...
Kudengar suara anak kunci memutar nada-nada yang sudah kutunggu, mungkin pemiliknya sudah bangun atau mungkin dia ingin menghirup udara segar halaman hijaunya. Tak bisa kuacuhkan degup jantung yang tiba-tiba memburu, aku akan menghadapinya, aku akan menyelesaikannya hari ini.
'' Jangan di luar, masuklah, '' ujarnya yang terlihat kaget. Tangannya memegang mug besar berisi kopi, wajahnya tampak segar dengan rambut basah yang masih berantakan.
Aku duduk bersamanya, salah, aku duduk berseberangan dengannya. Di sofa coklat panjang di ruang tengah aku menguatkan hati agar tetap menatap matanya, dia masih sibuk meniup-tiup kopinya di sofa seberang, membuat jarak yang terlalu jauh untukku.
'' Bolos? '' tanyanya.
Aku harap aku bisa menjawabnya disamping hanya mengangguk tanpa suara sedikitpun, aku terlalu takut, aku terlalu merasa bersalah.
'' Ada apa? '' tanyanya lagi.
'' Aku minta maaf. ''
'' Untuk? ''
'' Untuk keputusanku meninggalkanmu di Semarang. Maaf, '' bahkan airmataku sudah menitik di pipi, aku tak bisa menahannya lagi.
'' Oh, '' timpalnya dingin. '' Kenapa kamu begitu cemburu padanya? ''
'' Aku... ''
'' Kenapa kamu dengan mudahnya pergi tanpa mendengar penjelasan sedikitpun dariku? Kenapa membuatku kecewa? ''
'' Maaf. ''
'' Bagaimana jika aku memilih tidak kembali ke Jakarta dan memilih dia karena kamu meninggalkanku? Bagaimana jika aku jatuh cinta dengannya lagi karena aku merasa sendiri? ''
Kutundukkan kepala sedalam yang kubisa, kusembunyikan airmata yang mulai melarutkan eyeliner dan mascara di mataku, kuremas jariku sekencang mungkin agar aku bisa menahan isakku.
'' Bagaimana jika aku memilih untuk meninggalkanmu? Bagaimana jika rasa sayangku berkurang padamu? ''
'' Maaf, maafkan aku. Tolong... ''
'' Bagaimana jika aku tak teramat sangat mencintaimu? Aku pasti tidak akan pernah kembali lagi ke sini. ''
Ketenangan suaranya benar-benar mengunci mulutku, aku seperti pesakitan yang sedang dihakimi dan sayangnya, aku hanya punya airmata untuk membela diri.
'' Masih bisa berpikir untuk meninggalkanku, lain waktu? ''
(Mr. Backpacker)
Sepatu hitam berhak tinggi senada dengan celana bahan yang kukenakan, belum blazer hitam yang kupasangkan dengan atasan putih. Sia-sia. Aku memilih jurusan lain di halte TransJakarta pagi ini, aku harus menyelesaikan kekacauan yang sudah kumulai secepat mungkin.
Aku tidak mengetuk pintu, tidak juga mengabarinya, aku hanya ingin menunggu; menunggu dia menyadari kehadiranku di beranda rumahnya.
Ada pohon kaktus kecil ditanam di pot-pot kecil, diletakkan rapi sepanjang pembatas lantai dan tanah. Adenium mulai bermekaran, berwarna-warni, bercampur dengan warna anggrek yang putih bersih dengan sedikit warna ungu. Laki-laki seperti apa yang sedang kukencani? Begitu rapi, artistik, begitu mencintai alam, gila petualangan, begitu baik. Dan apa yang kulakukan padanya? Meninggalkannya begitu saja di kota lumpia? Wanita macam apa aku ini?
Cklek.. Cklek...
Kudengar suara anak kunci memutar nada-nada yang sudah kutunggu, mungkin pemiliknya sudah bangun atau mungkin dia ingin menghirup udara segar halaman hijaunya. Tak bisa kuacuhkan degup jantung yang tiba-tiba memburu, aku akan menghadapinya, aku akan menyelesaikannya hari ini.
'' Jangan di luar, masuklah, '' ujarnya yang terlihat kaget. Tangannya memegang mug besar berisi kopi, wajahnya tampak segar dengan rambut basah yang masih berantakan.
Aku duduk bersamanya, salah, aku duduk berseberangan dengannya. Di sofa coklat panjang di ruang tengah aku menguatkan hati agar tetap menatap matanya, dia masih sibuk meniup-tiup kopinya di sofa seberang, membuat jarak yang terlalu jauh untukku.
'' Bolos? '' tanyanya.
Aku harap aku bisa menjawabnya disamping hanya mengangguk tanpa suara sedikitpun, aku terlalu takut, aku terlalu merasa bersalah.
'' Ada apa? '' tanyanya lagi.
'' Aku minta maaf. ''
'' Untuk? ''
'' Untuk keputusanku meninggalkanmu di Semarang. Maaf, '' bahkan airmataku sudah menitik di pipi, aku tak bisa menahannya lagi.
'' Oh, '' timpalnya dingin. '' Kenapa kamu begitu cemburu padanya? ''
'' Aku... ''
'' Kenapa kamu dengan mudahnya pergi tanpa mendengar penjelasan sedikitpun dariku? Kenapa membuatku kecewa? ''
'' Maaf. ''
'' Bagaimana jika aku memilih tidak kembali ke Jakarta dan memilih dia karena kamu meninggalkanku? Bagaimana jika aku jatuh cinta dengannya lagi karena aku merasa sendiri? ''
Kutundukkan kepala sedalam yang kubisa, kusembunyikan airmata yang mulai melarutkan eyeliner dan mascara di mataku, kuremas jariku sekencang mungkin agar aku bisa menahan isakku.
'' Bagaimana jika aku memilih untuk meninggalkanmu? Bagaimana jika rasa sayangku berkurang padamu? ''
'' Maaf, maafkan aku. Tolong... ''
'' Bagaimana jika aku tak teramat sangat mencintaimu? Aku pasti tidak akan pernah kembali lagi ke sini. ''
Ketenangan suaranya benar-benar mengunci mulutku, aku seperti pesakitan yang sedang dihakimi dan sayangnya, aku hanya punya airmata untuk membela diri.
'' Masih bisa berpikir untuk meninggalkanku, lain waktu? ''
(Mr. Backpacker)
Minggu, 12 Februari 2012
Asing
Jakarta sedang tidak bersahabat cuacanya, siang hari sangat terik, malamnya hujan lebat.
Aku menunggumu di depan rumah sejuk milikmu, terduduk lelah sepulang dari kantor di atas kursi kayu di beranda dengan pohon merambat menutupi separuh pandangan. Aku sedang menunggu kepulanganmu, sejak dua hari lalu kutinggalkan di Semarang, aku ingin cepat memeluk, meminta maaf, melihat wajahmu lagi. Rindu membuatku tak berani mencari pembenaran; harusnya kamu tidak memilihnya untuk memandu kita, harusnya dia tidak perlu seintim itu di depanku, harusnya kamu mengerti perasaan wanita yang sekarang menjadi kekasihmu!
Tidak. Harusnya aku bisa berteriak tepat di hadapan kalian, tapi tidak. Aku memilih diam hingga rindu perlahan menyusupi pikiranku, aku tak akan pernah sanggup mengatakannya. Rindu membuatku lemah, ia menguasai, ia memerintah, dan aku tunduk.
Kulihat ransel hitam besarmu datang bersama orang yang sedang kurindu, kamu. Dengan wajah lelah dan muram, dengan langkah yang melambat setelah melihatku beranjak.
Bolehkah aku memelukmu sekarang?
Kita bermain drama dalam diam, saling menunduk menyembunyikan mata kecewa dan mata berkaca-kacaku. Tanpa sebuah sapaan, tanpa satupun senyuman, tanpa sedetikpun kecupan di bibir.
'' Masuk, '' singkatmu setelah pintu terbuka. Tanpa menoleh.
Rumahmu terasa asing bagiku, dingin, seperti kamu yang masih berusaha melepas sepatu di depan raknya. Aku menunggu suara tawa dari suara beratmu, atau canda basi yang sering kamu lontarkan.
'' Duduk, aku mau istirahat. ''
Hanya itu yang kudengar.
(Mr. Backpacker)
Aku menunggumu di depan rumah sejuk milikmu, terduduk lelah sepulang dari kantor di atas kursi kayu di beranda dengan pohon merambat menutupi separuh pandangan. Aku sedang menunggu kepulanganmu, sejak dua hari lalu kutinggalkan di Semarang, aku ingin cepat memeluk, meminta maaf, melihat wajahmu lagi. Rindu membuatku tak berani mencari pembenaran; harusnya kamu tidak memilihnya untuk memandu kita, harusnya dia tidak perlu seintim itu di depanku, harusnya kamu mengerti perasaan wanita yang sekarang menjadi kekasihmu!
Tidak. Harusnya aku bisa berteriak tepat di hadapan kalian, tapi tidak. Aku memilih diam hingga rindu perlahan menyusupi pikiranku, aku tak akan pernah sanggup mengatakannya. Rindu membuatku lemah, ia menguasai, ia memerintah, dan aku tunduk.
Kulihat ransel hitam besarmu datang bersama orang yang sedang kurindu, kamu. Dengan wajah lelah dan muram, dengan langkah yang melambat setelah melihatku beranjak.
Bolehkah aku memelukmu sekarang?
Kita bermain drama dalam diam, saling menunduk menyembunyikan mata kecewa dan mata berkaca-kacaku. Tanpa sebuah sapaan, tanpa satupun senyuman, tanpa sedetikpun kecupan di bibir.
'' Masuk, '' singkatmu setelah pintu terbuka. Tanpa menoleh.
Rumahmu terasa asing bagiku, dingin, seperti kamu yang masih berusaha melepas sepatu di depan raknya. Aku menunggu suara tawa dari suara beratmu, atau canda basi yang sering kamu lontarkan.
'' Duduk, aku mau istirahat. ''
Hanya itu yang kudengar.
(Mr. Backpacker)
Sabtu, 11 Februari 2012
Pecundang
Ponselku belum juga menampilkan namamu di layarnya, tidak ada pesan ataupun telepon yang masuk berasal dari nomermu.
Sebesar apa kemarahanmu? Sedalam apa kekecewaanmu hingga tidak ada niat untuk menanyakan kabarku? Menjejakkan kaki di Jakarta kembali, meninggalkan kamu dan mantan kekasihmu di kotanya, membiarkan diri menjadi pecundang, lalu mengharapkanmu menerima seperti semuanya baik-baik saja. Aku menyesal, tidak ada yang baik-baik saja di sini.
'' Maaf, '' tulisku di pesan pertama. Aku juga sudah menduga tak akan ada balasan, apakah perlu aku kembali ke Semarang untuk meminta maaf?
Langkahku kembali melambat, menyusuri jembatan menuju halte TransJakarta dengan wajah lesu seperti kepulangan kita pada perjalanan-perjalanan lain. Tersenyum seadanya pada petugas loket lalu menyesaki bus warna orange dengan ransel-ransel besar kita, setidaknya ini akan menyenangkan kalau ada kamu di sampingku.
'' I miss you..., '' tulisku lagi. Pesan terakhir sebelum TransJakarta mengantarku ke rumah, ke tujuan akhir dari semua tempat yang tertulis di notes kecilmu, ke tempat yang menjadi alasan kita melakukan perjalanan jauh... Agar kita bisa merindukannya.
'' I miss you too... , ''
(Mr. Backpacker)
Sebesar apa kemarahanmu? Sedalam apa kekecewaanmu hingga tidak ada niat untuk menanyakan kabarku? Menjejakkan kaki di Jakarta kembali, meninggalkan kamu dan mantan kekasihmu di kotanya, membiarkan diri menjadi pecundang, lalu mengharapkanmu menerima seperti semuanya baik-baik saja. Aku menyesal, tidak ada yang baik-baik saja di sini.
'' Maaf, '' tulisku di pesan pertama. Aku juga sudah menduga tak akan ada balasan, apakah perlu aku kembali ke Semarang untuk meminta maaf?
Langkahku kembali melambat, menyusuri jembatan menuju halte TransJakarta dengan wajah lesu seperti kepulangan kita pada perjalanan-perjalanan lain. Tersenyum seadanya pada petugas loket lalu menyesaki bus warna orange dengan ransel-ransel besar kita, setidaknya ini akan menyenangkan kalau ada kamu di sampingku.
'' I miss you..., '' tulisku lagi. Pesan terakhir sebelum TransJakarta mengantarku ke rumah, ke tujuan akhir dari semua tempat yang tertulis di notes kecilmu, ke tempat yang menjadi alasan kita melakukan perjalanan jauh... Agar kita bisa merindukannya.
'' I miss you too... , ''
(Mr. Backpacker)
Jumat, 10 Februari 2012
Ragu
Ada yang berbeda dengan kepulanganku sore ini, aku sendirian. Tanpa kamu di sisiku, tanpa bahumu yang siap sedia menumpu kepalaku.
Aku terlalu rapuh, keputusanku meninggalkan Semarang adalah kesalahan. Tapi terlambat, busku sudah tidak mungkin memutar kembali setelah memasuki propinsi Jawa Barat. Aku cemburu.
'' Kamu cemburu padanya, bukan? ''
Iya, benar. Aku cemburu padanya, entah apa yang dia lakukan, hanya saja pertahananku lemah melihat wanita itu. Begitu sempurna, wanita impian. Aku merasa seperti sedang dibandingkan saat berdekatan dengannya, tutur kata lembut khas keturunan darah birunya saja sudah membuatku kecil hati.
'' Mengertilah, kita berdua sudah berakhir, '' ujarmu saat berusaha menahan kepulanganku sore ini.
Memang benar, kalian sudah berakhir, tapi mulut tak sejujur mata. Aku melihatnya, benar-benar melihatnya. Rasa rindu, cinta, rasa ingin memiliki kembali, rasa kehilangan yang terobati, lalu rasa kecewa ketika tanganmu menggenggam tanganku. Matanya seperti mata wanita-wanita lain, sama seperti mataku.
Aku bisa membacanya, aku bisa merasakan aura berbeda memancar dari wajahnya.
Kamu laki-laki, kamu tidak akan mengerti seperti halnya semua laki-laki lain.
'' Kamu percaya padaku, bukan? ''
Percaya. Tapi ini bukan tentang kamu, ini hanya mengenai hatiku yang belum seteguh keyakinanmu. Aku percaya padamu, aku hanya belum percaya pada diriku sendiri. Aku ragu, aku takut rasa cintaku sebenarnya tidak sebesar yang kupikirkan.
(Mr. Backpacker)
Aku terlalu rapuh, keputusanku meninggalkan Semarang adalah kesalahan. Tapi terlambat, busku sudah tidak mungkin memutar kembali setelah memasuki propinsi Jawa Barat. Aku cemburu.
'' Kamu cemburu padanya, bukan? ''
Iya, benar. Aku cemburu padanya, entah apa yang dia lakukan, hanya saja pertahananku lemah melihat wanita itu. Begitu sempurna, wanita impian. Aku merasa seperti sedang dibandingkan saat berdekatan dengannya, tutur kata lembut khas keturunan darah birunya saja sudah membuatku kecil hati.
'' Mengertilah, kita berdua sudah berakhir, '' ujarmu saat berusaha menahan kepulanganku sore ini.
Memang benar, kalian sudah berakhir, tapi mulut tak sejujur mata. Aku melihatnya, benar-benar melihatnya. Rasa rindu, cinta, rasa ingin memiliki kembali, rasa kehilangan yang terobati, lalu rasa kecewa ketika tanganmu menggenggam tanganku. Matanya seperti mata wanita-wanita lain, sama seperti mataku.
Aku bisa membacanya, aku bisa merasakan aura berbeda memancar dari wajahnya.
Kamu laki-laki, kamu tidak akan mengerti seperti halnya semua laki-laki lain.
'' Kamu percaya padaku, bukan? ''
Percaya. Tapi ini bukan tentang kamu, ini hanya mengenai hatiku yang belum seteguh keyakinanmu. Aku percaya padamu, aku hanya belum percaya pada diriku sendiri. Aku ragu, aku takut rasa cintaku sebenarnya tidak sebesar yang kupikirkan.
(Mr. Backpacker)
Queen Bird Swing Butterfly
“ Kruyuk..kruyuk..,” panggilan alam
sudah terdengar.
Walaupun sudah terpanggang, walau harus
menahan sampai maghrib, kalau sudah niat
insya Allah bisa selesai. Mencoba
meyakinkan diri sendiri, cobaan hari ini
benar2 membuat hectic; pikirku.
Membuat tugas sekolah dengan seluruh
jiwa raga sudah kulakukan sampai harus
aku yang membangunkan ayam kampung
untuk berkokok, dan masih saja
disalahkan teman satu tim.
“Siapa yang buat tugas, siapa yang dapat
nilai bagus, “ gerutuku.
Mereka tidak pernah mau peduli bagaimana
prosesnya, mereka hanya tahu
hura-hura, mendapat nilai bagus tanpa harus
bekerja keras.
“ Hei, ini Jakarta bung
!!” Ingin rasanya berteriak kepada mereka
seperti itu.
Tapi ya sudahlah, setidaknya aku bisa dapat
manfaat dari tugas yang aku kerjakan
sendiri. Aku bisa membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku
juga bisa bekerja di bawah
tekanan.
“Jamuuu…jamuuu…jamu, Mbak?”
Seorang ibu penjual jamu
tiba2
membangunkan lamunanku . “ Ini lho
Mbak, saya punya jamu alami, buatan
sendiri
loh, Mbak. Banyak khasiatnya, apalagi kalau
saya lihat Mbak lemah,
letih, lesu, lunglai, “ logatnya
sangat kental dengan bahasa Jawa
, membuat ku tertawa renyah
saat mendengarnya. “ Maaf, Bu, saya
sedang
puasa, '' kataku. Melihat Si Ibu dengan
jarik dan bakulnya, sembari
membandingkan dengan tubuh
mungilnya membuatku berdecak, superwoman; pikirku.
Memanggul beberapa botol jamu dan termos
besar, mengenakan baju seperti kebaya
dipadukan bawahan kain layaknya
dayang keraton, dan yang membuat ku
tertarik adalah sanggul besar yang ia
pakai, persis seperti sinden.
“ Hei,
Anya, lihat ibu itu, dia saja bisa percaya diri
dengan tampilannya setiap hari, '' malaikat
dalam hatiku berteriak mencoba
menyemangatiku.
“Ibu selalu berjalan saat berjualan jamu?” tanyaku.
“iya, Mbak,” jawabnya dengan senyum
nya.
“Pakai kebaya sama sanggulnya?”
Tanyaku lagi.
“Iya, ya kalau gak begini namanya bukan
tukang jamu, Mbak. Dengan pakaian dan
dandanan seperti ini, baru namanya tukang
jamu. Identitas diri,
Mbak. Kalau gak begini pelanggan saya
pada nanyain, dan jualan jadi sepi.”
Ujar nya.
“Waah.. Ibu superwoman, ya. Cantik lagi. Gak seperti saya. Ada gak, Bu, jamu
untuk menghilangkan tahi lalat besar
saya? '' Tanyaku sambil menunjuk ke bagian bawah
pipi
mendekati dagu.
'' Ihh… si Mbak, kok mau diilangin. Mbak nya
juga cantik. Kenapa? gak pede, ya? ''
“Hehe…Cuma Ibu yang bilang saya
cantik, yang lain mah…ancuur.., “gurauku.
***
Aku memikirkannya, Mbok-Mbok jamu tadi
siang yang seolah menamparku tepat di
wajah. Ada hal yang membuatku malu, hal
yang membuatku merasa bersalah karena
keluh, hal yang membuka mataku dari silau
cahaya kesempurnaan.
Semua orang sempurna; sama tinggi, sama
cantik, sama mengagumkan, hanya saja
berbeda cara memandang. Aku sulit
bersyukur sebelumnya, aku sibuk merutuki
kehidupanku yang aku pikir terlalu rumit.
Aku terbiasa melihat kelemahan pada diriku
sendiri, hingga aku buta akan kelebihan yang
kumiliki.
Ini hanya tentang cara pandang, bukan? Aku
memiliki segalanya. Otak pintar, tubuh
sempurna dengan tahi lalat di pipi yang
orang lain tidak bisa memilikinya, keluarga.
'' Aku sudah sepantasnya malu, '' batinku.
Sekelebat wajah Mbok jamu terlintas dan
membuatku merasa rendah karena ketulusannya, dedikasinya. Berbeda denganku yang tidak bisa sekalipun
mensyukuri, tidak bisa mengikhlaskan
kekurangan kecilku meski hanya semenit.
Mungkin Tuhan sudah kesal dengan protes
yang sering kulayangkan, mungkin Dia
sengaja mengirimnya untuk
mengingatkanku.
Ini mungkin memang hanya persoalan cara pandang,
cara untuk mengabaikan titik hitam di satu
lembar putih buku kehidupan.
*cerpen duet @woelanxoxo dan @_raraa untuk #20harinulisduet #day2
sudah terdengar.
Walaupun sudah terpanggang, walau harus
menahan sampai maghrib, kalau sudah niat
insya Allah bisa selesai. Mencoba
meyakinkan diri sendiri, cobaan hari ini
benar2 membuat hectic; pikirku.
Membuat tugas sekolah dengan seluruh
jiwa raga sudah kulakukan sampai harus
aku yang membangunkan ayam kampung
untuk berkokok, dan masih saja
disalahkan teman satu tim.
“Siapa yang buat tugas, siapa yang dapat
nilai bagus, “ gerutuku.
Mereka tidak pernah mau peduli bagaimana
prosesnya, mereka hanya tahu
hura-hura, mendapat nilai bagus tanpa harus
bekerja keras.
“ Hei, ini Jakarta bung
!!” Ingin rasanya berteriak kepada mereka
seperti itu.
Tapi ya sudahlah, setidaknya aku bisa dapat
manfaat dari tugas yang aku kerjakan
sendiri. Aku bisa membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku
juga bisa bekerja di bawah
tekanan.
“Jamuuu…jamuuu…jamu, Mbak?”
Seorang ibu penjual jamu
tiba2
membangunkan lamunanku . “ Ini lho
Mbak, saya punya jamu alami, buatan
sendiri
loh, Mbak. Banyak khasiatnya, apalagi kalau
saya lihat Mbak lemah,
letih, lesu, lunglai, “ logatnya
sangat kental dengan bahasa Jawa
, membuat ku tertawa renyah
saat mendengarnya. “ Maaf, Bu, saya
sedang
puasa, '' kataku. Melihat Si Ibu dengan
jarik dan bakulnya, sembari
membandingkan dengan tubuh
mungilnya membuatku berdecak, superwoman; pikirku.
Memanggul beberapa botol jamu dan termos
besar, mengenakan baju seperti kebaya
dipadukan bawahan kain layaknya
dayang keraton, dan yang membuat ku
tertarik adalah sanggul besar yang ia
pakai, persis seperti sinden.
“ Hei,
Anya, lihat ibu itu, dia saja bisa percaya diri
dengan tampilannya setiap hari, '' malaikat
dalam hatiku berteriak mencoba
menyemangatiku.
“Ibu selalu berjalan saat berjualan jamu?” tanyaku.
“iya, Mbak,” jawabnya dengan senyum
nya.
“Pakai kebaya sama sanggulnya?”
Tanyaku lagi.
“Iya, ya kalau gak begini namanya bukan
tukang jamu, Mbak. Dengan pakaian dan
dandanan seperti ini, baru namanya tukang
jamu. Identitas diri,
Mbak. Kalau gak begini pelanggan saya
pada nanyain, dan jualan jadi sepi.”
Ujar nya.
“Waah.. Ibu superwoman, ya. Cantik lagi. Gak seperti saya. Ada gak, Bu, jamu
untuk menghilangkan tahi lalat besar
saya? '' Tanyaku sambil menunjuk ke bagian bawah
pipi
mendekati dagu.
'' Ihh… si Mbak, kok mau diilangin. Mbak nya
juga cantik. Kenapa? gak pede, ya? ''
“Hehe…Cuma Ibu yang bilang saya
cantik, yang lain mah…ancuur.., “gurauku.
***
Aku memikirkannya, Mbok-Mbok jamu tadi
siang yang seolah menamparku tepat di
wajah. Ada hal yang membuatku malu, hal
yang membuatku merasa bersalah karena
keluh, hal yang membuka mataku dari silau
cahaya kesempurnaan.
Semua orang sempurna; sama tinggi, sama
cantik, sama mengagumkan, hanya saja
berbeda cara memandang. Aku sulit
bersyukur sebelumnya, aku sibuk merutuki
kehidupanku yang aku pikir terlalu rumit.
Aku terbiasa melihat kelemahan pada diriku
sendiri, hingga aku buta akan kelebihan yang
kumiliki.
Ini hanya tentang cara pandang, bukan? Aku
memiliki segalanya. Otak pintar, tubuh
sempurna dengan tahi lalat di pipi yang
orang lain tidak bisa memilikinya, keluarga.
'' Aku sudah sepantasnya malu, '' batinku.
Sekelebat wajah Mbok jamu terlintas dan
membuatku merasa rendah karena ketulusannya, dedikasinya. Berbeda denganku yang tidak bisa sekalipun
mensyukuri, tidak bisa mengikhlaskan
kekurangan kecilku meski hanya semenit.
Mungkin Tuhan sudah kesal dengan protes
yang sering kulayangkan, mungkin Dia
sengaja mengirimnya untuk
mengingatkanku.
Ini mungkin memang hanya persoalan cara pandang,
cara untuk mengabaikan titik hitam di satu
lembar putih buku kehidupan.
*cerpen duet @woelanxoxo dan @_raraa untuk #20harinulisduet #day2
Dia
Aku memandang jauh ke depan, ke titik
terjauh yang dapat dijangkau
pandanganku, ke sutu titik di garis
horizontal yang berwarna biru.
Biru sebiru langit, biru sebiru laut.
Hari ini cerah, seperti hatiku yang cerah.
Matahari bersinar tanpa
sungkan-sungkan membuat angin
berhembus sepo-sepoi. Aku sedang
bersuka hati
sebab sedang berlibur bersama pujaan hati.
Aku harus menikmati hari ini, karena
mungkin tidak akan terulang lagi.
Kurasakan hembusan angin yang meniup-
niup ujung rambutku. Kurasakan setiap
sensasi dingin yang menjalar. Aku
melompat, melempar batu, menulis
namaku
dan namanya di pasir. Kenangan ini tak
akan kulupa, semoga, karena aku tak
bisa berjanji, aku tak pandai berjanji.
Kulihat dia yang sedari tadi mengikutiku,
menikmati angin sepoi-sepoi
seperti yang aku lakukan. Rok panjangnya
terayun-ayun dimainkan angin.
Rambutnya yang digerai panjang tampak
berantakan, namun ia tetap cantik,
selalu, seperti biasa. Betapa cantik dia.
"Indah yaa.." serunya yang kini berdiri di
sampingku.
Aku mengangguk. Takjub melihat wajahnya
yang bersinar di tengah kemilau air
laut yang biru.
"Eh, bengong aja!" ditepuknya pundakku
dan menghentikanku dari tindakan
memandanginya lekat.
"Makasih ya uda ajak aku liburan ke pantai
yang indah ini," ku dengar
ucapannya yg tulus.
"Sudah seharusnya aku membawamu
kesini, ini kan janji kita berdua," kilahku.
"Yah, walaupun sudah janji, tapi kalau tidak
ditepati kan sama aja.." dalam
hati aku mengiyakan.
"Sebenarnya ada yang aku sembunyikan
selama ini terhadapmu."
Ku dengar ia berujar. Dia tampak malu-
malu.
Aku pun ada, ucapku dalam hati.
"Apa yang kamu sembunyikan selama ini
dariku?? Apa aku tidak layak disebut
sahabatmu?" aku pura-pura marah.
Dirangkulnya aku dengan manja, seperti
sebelumnya, hatiku bergetar.
"Aku sedang suka seseorang."
Glek!
Hatiku berdebar tak karuan. Siapakah yang
disukai oleh sahabatku yang
cantik jelita ini? Yang hatiku telah penuh
dengan keceriaannya? Mungkinkah
..?
Dilepaskan rangkulannya, aku merasa
hampa. Kini ia tertunduk.
"Siapa?" Akhirnya suaraku keluar juga.
Dia menggeleng, tampak ragu.
Aku sebenarnya tidak ingin
menanyakannya lagi, aku takut aku akan
terluka.
Sakit. Tapi aku tak cukup mampu mengusir
rasa ingin tahu yang mendalam
secara tiba-tiba di benakku.
"Hey, masih menganggapku sahabat?" kali
ini aku berusaha menahan nada agar
tidak terlihat berlebihan.
Dia masih menggeleng di tundukkannya.
Ku raih dagunya, "Hey, apa yang kamu
takutkan dariku, Gadis kecil?" kataku
memandang ke kedalaman matanya. Cerah.
"Kamu janji ga akan ketawa
mendengarnya?" ditatapnya mataku,
memintaku
untuk berjanji.
What the? Mengapa aku harus berjanji
untuk tidak tertawa? Aku menjadi
penasaran siapa yang ada di balik hatinya
saat ini.
Apa dia seseorang yang lucu? Berbagai
lelaki berkelabat di kepalaku. Atau
lelaki yang ia sukai adalah aku?
Tidak mungkin! Pikiran negatif ini harus
segera aku singkirkan sebelum ia
masuk lebih dalam ke kepalaku.
Kini ia melangkah menjauh dariku. Kukejar
ia. Dan ku sentuh tangannya. Ia
berhenti. Menatapku dalam. Aku semakin
gundah. Ada apa gerangan yang
terjadi pada sahabatku yang cantik jelita
ini?
****
Bukan, bukan suasana seperti ini yang aku
inginkan saat memberitahunya. Garis pantai
tanpa batas, debur ombak yang menyapunya
terus menerus serta langit biru yang
menaungi kepala kami. Bukan, bukan di
tempat seindah ini aku akan menyakitinya.
Bahkan, sampai detik ini aku sudah melihat
jelas kekecewaan di wajahnya. Aku benar-
benar takut akan menghancurkan hatinya.
Aku tahu, sudah sejak lama. Aku bisa
membacanya dari gelap mata sedalam
sumur yang dia punya, mata yang sudah
bertahun-tahun menatapku hangat dan
membuatku terhanyut di dalamnya.
'' Kita sahabat, bukan? '' pikirku. Pertanyaan
yang selalu saja kuulang agar bunga-bunga
di hatiku berhenti bermekaran, agar
keinginanku untuk memilikinya lenyap
seketika.
'' Kamu pasti kenal Harry, teman sekantor
yang sering aku ceritakan. '' Akhirnya
keberaniaan itu muncul, dan seperti yang
sudah kuduga, wajahnya berubah mendung.
'' Dia mengatakannya kemarin, aku pikir
keputusanku benar, aku menerimanya. ''
'' Ha-Harry? Laki-laki itu? ''
'' Iya, laki-laki itu. Selama ini dia begitu baik,
begitu perhatian, tapi sepertinya mataku
tertutup sesuatu sampai aku tidak sadar
kehadirannya. '' Kulihat wajahnya berpaling
ke arah laut, ada kesedihan lagi di sana. ''
Kamu marah? Aku pikir kamu akan
mentertawakanku tadi. ''
Wajahnya berpaling kembali ke arahku,
agaknya ada senyum kecut yang berkelebat
di raut menyejukan miliknya. '' Hei, aku
sahabatmu, bukan? Aku harus bahagia untuk
semua kebahagiaanmu. Benar? ''
Ada kepura-puraan, ada keterpaksaan, ada
kata ' Harus ' yang menjelaskan semuanya.
'' Dan jangan bertingkah seperti orang asing
pada sahabatmu sendiri, aku akan
tersinggung kalau kamu melakukannya lagi,
'' lanjutnya dengan nada bergurau. Lalu
pelukannya menyelimuti tubuhku yang
menegang ketakutan, aku menghancurkan
hatinya, dan sudah kulakukan.
Aku menyayanginya, jelas. Aku mencintainya,
pasti.Tapi aku adalah sahabatnya, dan aku
melaksanakan sumpahku untuk tidak
memberinya ruang paling dalam di hatiku.
Maaf.
*cerpen duet @_raraa dengan @ririntagalu
terjauh yang dapat dijangkau
pandanganku, ke sutu titik di garis
horizontal yang berwarna biru.
Biru sebiru langit, biru sebiru laut.
Hari ini cerah, seperti hatiku yang cerah.
Matahari bersinar tanpa
sungkan-sungkan membuat angin
berhembus sepo-sepoi. Aku sedang
bersuka hati
sebab sedang berlibur bersama pujaan hati.
Aku harus menikmati hari ini, karena
mungkin tidak akan terulang lagi.
Kurasakan hembusan angin yang meniup-
niup ujung rambutku. Kurasakan setiap
sensasi dingin yang menjalar. Aku
melompat, melempar batu, menulis
namaku
dan namanya di pasir. Kenangan ini tak
akan kulupa, semoga, karena aku tak
bisa berjanji, aku tak pandai berjanji.
Kulihat dia yang sedari tadi mengikutiku,
menikmati angin sepoi-sepoi
seperti yang aku lakukan. Rok panjangnya
terayun-ayun dimainkan angin.
Rambutnya yang digerai panjang tampak
berantakan, namun ia tetap cantik,
selalu, seperti biasa. Betapa cantik dia.
"Indah yaa.." serunya yang kini berdiri di
sampingku.
Aku mengangguk. Takjub melihat wajahnya
yang bersinar di tengah kemilau air
laut yang biru.
"Eh, bengong aja!" ditepuknya pundakku
dan menghentikanku dari tindakan
memandanginya lekat.
"Makasih ya uda ajak aku liburan ke pantai
yang indah ini," ku dengar
ucapannya yg tulus.
"Sudah seharusnya aku membawamu
kesini, ini kan janji kita berdua," kilahku.
"Yah, walaupun sudah janji, tapi kalau tidak
ditepati kan sama aja.." dalam
hati aku mengiyakan.
"Sebenarnya ada yang aku sembunyikan
selama ini terhadapmu."
Ku dengar ia berujar. Dia tampak malu-
malu.
Aku pun ada, ucapku dalam hati.
"Apa yang kamu sembunyikan selama ini
dariku?? Apa aku tidak layak disebut
sahabatmu?" aku pura-pura marah.
Dirangkulnya aku dengan manja, seperti
sebelumnya, hatiku bergetar.
"Aku sedang suka seseorang."
Glek!
Hatiku berdebar tak karuan. Siapakah yang
disukai oleh sahabatku yang
cantik jelita ini? Yang hatiku telah penuh
dengan keceriaannya? Mungkinkah
..?
Dilepaskan rangkulannya, aku merasa
hampa. Kini ia tertunduk.
"Siapa?" Akhirnya suaraku keluar juga.
Dia menggeleng, tampak ragu.
Aku sebenarnya tidak ingin
menanyakannya lagi, aku takut aku akan
terluka.
Sakit. Tapi aku tak cukup mampu mengusir
rasa ingin tahu yang mendalam
secara tiba-tiba di benakku.
"Hey, masih menganggapku sahabat?" kali
ini aku berusaha menahan nada agar
tidak terlihat berlebihan.
Dia masih menggeleng di tundukkannya.
Ku raih dagunya, "Hey, apa yang kamu
takutkan dariku, Gadis kecil?" kataku
memandang ke kedalaman matanya. Cerah.
"Kamu janji ga akan ketawa
mendengarnya?" ditatapnya mataku,
memintaku
untuk berjanji.
What the? Mengapa aku harus berjanji
untuk tidak tertawa? Aku menjadi
penasaran siapa yang ada di balik hatinya
saat ini.
Apa dia seseorang yang lucu? Berbagai
lelaki berkelabat di kepalaku. Atau
lelaki yang ia sukai adalah aku?
Tidak mungkin! Pikiran negatif ini harus
segera aku singkirkan sebelum ia
masuk lebih dalam ke kepalaku.
Kini ia melangkah menjauh dariku. Kukejar
ia. Dan ku sentuh tangannya. Ia
berhenti. Menatapku dalam. Aku semakin
gundah. Ada apa gerangan yang
terjadi pada sahabatku yang cantik jelita
ini?
****
Bukan, bukan suasana seperti ini yang aku
inginkan saat memberitahunya. Garis pantai
tanpa batas, debur ombak yang menyapunya
terus menerus serta langit biru yang
menaungi kepala kami. Bukan, bukan di
tempat seindah ini aku akan menyakitinya.
Bahkan, sampai detik ini aku sudah melihat
jelas kekecewaan di wajahnya. Aku benar-
benar takut akan menghancurkan hatinya.
Aku tahu, sudah sejak lama. Aku bisa
membacanya dari gelap mata sedalam
sumur yang dia punya, mata yang sudah
bertahun-tahun menatapku hangat dan
membuatku terhanyut di dalamnya.
'' Kita sahabat, bukan? '' pikirku. Pertanyaan
yang selalu saja kuulang agar bunga-bunga
di hatiku berhenti bermekaran, agar
keinginanku untuk memilikinya lenyap
seketika.
'' Kamu pasti kenal Harry, teman sekantor
yang sering aku ceritakan. '' Akhirnya
keberaniaan itu muncul, dan seperti yang
sudah kuduga, wajahnya berubah mendung.
'' Dia mengatakannya kemarin, aku pikir
keputusanku benar, aku menerimanya. ''
'' Ha-Harry? Laki-laki itu? ''
'' Iya, laki-laki itu. Selama ini dia begitu baik,
begitu perhatian, tapi sepertinya mataku
tertutup sesuatu sampai aku tidak sadar
kehadirannya. '' Kulihat wajahnya berpaling
ke arah laut, ada kesedihan lagi di sana. ''
Kamu marah? Aku pikir kamu akan
mentertawakanku tadi. ''
Wajahnya berpaling kembali ke arahku,
agaknya ada senyum kecut yang berkelebat
di raut menyejukan miliknya. '' Hei, aku
sahabatmu, bukan? Aku harus bahagia untuk
semua kebahagiaanmu. Benar? ''
Ada kepura-puraan, ada keterpaksaan, ada
kata ' Harus ' yang menjelaskan semuanya.
'' Dan jangan bertingkah seperti orang asing
pada sahabatmu sendiri, aku akan
tersinggung kalau kamu melakukannya lagi,
'' lanjutnya dengan nada bergurau. Lalu
pelukannya menyelimuti tubuhku yang
menegang ketakutan, aku menghancurkan
hatinya, dan sudah kulakukan.
Aku menyayanginya, jelas. Aku mencintainya,
pasti.Tapi aku adalah sahabatnya, dan aku
melaksanakan sumpahku untuk tidak
memberinya ruang paling dalam di hatiku.
Maaf.
*cerpen duet @_raraa dengan @ririntagalu
Kamis, 09 Februari 2012
Nostalgia
Kamu melambai ke arahnya, seorang wanita cantik berkulit putih bersih. Mengenakan gaun selutut berwarna biru, sepatu hak tinggi dengan rambut ber-highlight panjang bergelombang.
'' Temanku, '' ujarmu setelah menuruni tangga stasiun di kota lumpia siang itu. Penampilannya kebalikan dari penampilanku saat ini, aku akan berdandan seperti itu mungkin hanya saat ke acara pernikahan, bukan untuk menemui teman di tempat ramai seperti stasiun. Aku menjabat tangan halusnya, merasakan perbedaan permukaannya dengan telapak tanganku. Darah biru, pikirku sesaat kemudian.
Ada kilatan lain di matanya, kamu tahu? Sorot mata yang berbeda saat menatapmu, bukan sorot mata teman biasa, bukan euforia pertemuan teman lama. Aku akui, aku mulai cemburu. Jelas aku merasa rendah diri di hadapannya, semua kesempurnaan wanita seperti jubah yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Aku kalah telak.
'' Dia kekasihku, dulu. ''
Benar, harusnya aku sudah bisa menebak dari awal. Dari kalian berdua saling peluk di stasiun dan saling berbagi cerita di tempat makan. Ada keganjilan di antara kalian, ada sesuatu yang membuat kalian serasi tanpa harus menyadari.
Aku ingin cepat-cepat keluar dari kota ini, tak peduli lagi tempat-tempat yang sudah kamu tulis di notes kecil milikmu untuk dikunjungi, aku hanya ingin pulang secepatnya.
Perjalanan kita tak pernah sekaku ini, semua langkah dan perkataanmu seolah hanya ditujukan pada wanita yang mengawal kita berkeliling kotanya. Aku seperti orang asing, aku seperti orang ketiga yang menyusupi jari jemari kalian. Aku ingin pulang.
'' Kamu tidak suka Semarang? ''
Aku suka, aku suka kota ini. Aku hanya tidak suka melihat kalian berdua di depan mataku, aku benci tawa di sela pembicaraan-pembicaraan kalian, aku muak melihat kilatan aneh yang dengan mudahnya memukulku mundur.
'' Aku ingin pulang, dengan atau tanpa kamu. ''
Aku lihat binar matamu padam, senyum hangat di wajahmu lenyap, dan bibir menggodamu terkatup pelan. Aku melihat kekecewaan melapisi seluruh garis rahang hingga dahi, maafkan aku.
Aku harus pulang, membawamu atau meninggalkanmu di kota ini bukan hal sulit. Aku hanya ingin cepat menghilang dari gumpalan nostalgia yang menyiksaku, berlari menjauh, mencari tempat aman dari bisikan-bisikan juga sugesti dari dalam pikiran.
Aku harus kembali, maafkan aku.
(Mr. Backpacker)
'' Temanku, '' ujarmu setelah menuruni tangga stasiun di kota lumpia siang itu. Penampilannya kebalikan dari penampilanku saat ini, aku akan berdandan seperti itu mungkin hanya saat ke acara pernikahan, bukan untuk menemui teman di tempat ramai seperti stasiun. Aku menjabat tangan halusnya, merasakan perbedaan permukaannya dengan telapak tanganku. Darah biru, pikirku sesaat kemudian.
Ada kilatan lain di matanya, kamu tahu? Sorot mata yang berbeda saat menatapmu, bukan sorot mata teman biasa, bukan euforia pertemuan teman lama. Aku akui, aku mulai cemburu. Jelas aku merasa rendah diri di hadapannya, semua kesempurnaan wanita seperti jubah yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Aku kalah telak.
'' Dia kekasihku, dulu. ''
Benar, harusnya aku sudah bisa menebak dari awal. Dari kalian berdua saling peluk di stasiun dan saling berbagi cerita di tempat makan. Ada keganjilan di antara kalian, ada sesuatu yang membuat kalian serasi tanpa harus menyadari.
Aku ingin cepat-cepat keluar dari kota ini, tak peduli lagi tempat-tempat yang sudah kamu tulis di notes kecil milikmu untuk dikunjungi, aku hanya ingin pulang secepatnya.
Perjalanan kita tak pernah sekaku ini, semua langkah dan perkataanmu seolah hanya ditujukan pada wanita yang mengawal kita berkeliling kotanya. Aku seperti orang asing, aku seperti orang ketiga yang menyusupi jari jemari kalian. Aku ingin pulang.
'' Kamu tidak suka Semarang? ''
Aku suka, aku suka kota ini. Aku hanya tidak suka melihat kalian berdua di depan mataku, aku benci tawa di sela pembicaraan-pembicaraan kalian, aku muak melihat kilatan aneh yang dengan mudahnya memukulku mundur.
'' Aku ingin pulang, dengan atau tanpa kamu. ''
Aku lihat binar matamu padam, senyum hangat di wajahmu lenyap, dan bibir menggodamu terkatup pelan. Aku melihat kekecewaan melapisi seluruh garis rahang hingga dahi, maafkan aku.
Aku harus pulang, membawamu atau meninggalkanmu di kota ini bukan hal sulit. Aku hanya ingin cepat menghilang dari gumpalan nostalgia yang menyiksaku, berlari menjauh, mencari tempat aman dari bisikan-bisikan juga sugesti dari dalam pikiran.
Aku harus kembali, maafkan aku.
(Mr. Backpacker)
Rabu, 08 Februari 2012
Mencari
'' Aku rindu karpet hijau di ruang tengah. '' Bilangmu saat malam masih terlalu pagi untuk ditinggalkan.
Bahkan kita belum sampai ke tujuan kita, beristirahat semalam di penginapan sederhana dengan wujud lebih seperti rumah di pedesaan. Celana berwana krem pendek membalut seadanya berpadu dengan kaus putih tanpa lengan, aku melihatnya, rasa sakit yang sering kamu bicarakan; rindu.
Lenganmu mengusap lengan bangku kayu yang sesekali berderit saat kamu bergerak, menatap kosong kegelapan dengan lampu pijar di kejauhan. Aku juga sering merasakannya, tapi aku yakin kamu lebih sering menyakiti hatimu sendiri seperti ini.
'' Tapi bukankah ini yang kita cari? '' lanjutmu dengan senyum tipis.
Aku mengangguk seolah itu akan mengeluarkan suara untuk mengamini perkataannya, berapa kali kamu melakukannya? Menghibur diri sendiri di saat paling rapuh pertahananmu? Hatimu seteguh apa?
'' sudah malam, pergilah tidur. ''
'' Kamu? ''
'' Aku masih merindukan karpet hijau hangatku, tak apa. Pergilah tidur. ''
Aku juga, aku juga rindu karpet hijau hangatmu, meringkuk di sofa cokelat panjangmu, menatap bagian belakang kepalamu, menemanimu lembur dengan foto-foto yang tak kunjung selesai diedit. Aku juga merindukan semua itu, tapi tidak lebih banyak dari merindumu di sisiku di tempat yang kita sendiri belum terbiasa dengan bahasanya, seperti malam ini.
(Mr. Backpacker)
Bahkan kita belum sampai ke tujuan kita, beristirahat semalam di penginapan sederhana dengan wujud lebih seperti rumah di pedesaan. Celana berwana krem pendek membalut seadanya berpadu dengan kaus putih tanpa lengan, aku melihatnya, rasa sakit yang sering kamu bicarakan; rindu.
Lenganmu mengusap lengan bangku kayu yang sesekali berderit saat kamu bergerak, menatap kosong kegelapan dengan lampu pijar di kejauhan. Aku juga sering merasakannya, tapi aku yakin kamu lebih sering menyakiti hatimu sendiri seperti ini.
'' Tapi bukankah ini yang kita cari? '' lanjutmu dengan senyum tipis.
Aku mengangguk seolah itu akan mengeluarkan suara untuk mengamini perkataannya, berapa kali kamu melakukannya? Menghibur diri sendiri di saat paling rapuh pertahananmu? Hatimu seteguh apa?
'' sudah malam, pergilah tidur. ''
'' Kamu? ''
'' Aku masih merindukan karpet hijau hangatku, tak apa. Pergilah tidur. ''
Aku juga, aku juga rindu karpet hijau hangatmu, meringkuk di sofa cokelat panjangmu, menatap bagian belakang kepalamu, menemanimu lembur dengan foto-foto yang tak kunjung selesai diedit. Aku juga merindukan semua itu, tapi tidak lebih banyak dari merindumu di sisiku di tempat yang kita sendiri belum terbiasa dengan bahasanya, seperti malam ini.
(Mr. Backpacker)
Selasa, 07 Februari 2012
Jarak
Bagaimana perjalananmu? Kalau ada kata yang bisa menggambarkan perasaanku selain kata ' Rindu ' , aku akan dengan senang hati mengatakannya.
Seperti sudah lama aku berpisah denganmu, entah sejak kapan dimulai. Tapi kekosongan ini memang sudah aku ramalkan sebelumnya, jauh sebelum kamu benar-benar pergi. Aku lupa terakhir kali menyapamu dengan kalimat apa, oh...sepertinya ucapan terima kasih.
Bagaimana dengan langit kita? Apakah masih sama warnanya? Atau malah kebalikannya? Senjamu indah seperti semua senjaku, kah?
Bagaimana dengan bumi yang kita pijak? Tanahnya sama seperti yang sedang kutatap, bukan? Grafitasinya bersumber dari satu titik, bukan?
Aku memang tak pernah jauh darimu, selama bulatan bumi belum membelah diri, aku masih tetap ada di dekatmu.
Bagaimana dengan hati? Dengan ruang yang sudah mulai terisi? Dengan masa lalu yang ditarik kembali? Dengan kesempatan yang tidak akan pernah kumiliki?
Jarak tubuh kita ternyata masih belum seberapa dibandingkan dengan jarak gumpalan kecil bernama ' Hati ' .
Seperti sudah lama aku berpisah denganmu, entah sejak kapan dimulai. Tapi kekosongan ini memang sudah aku ramalkan sebelumnya, jauh sebelum kamu benar-benar pergi. Aku lupa terakhir kali menyapamu dengan kalimat apa, oh...sepertinya ucapan terima kasih.
Bagaimana dengan langit kita? Apakah masih sama warnanya? Atau malah kebalikannya? Senjamu indah seperti semua senjaku, kah?
Bagaimana dengan bumi yang kita pijak? Tanahnya sama seperti yang sedang kutatap, bukan? Grafitasinya bersumber dari satu titik, bukan?
Aku memang tak pernah jauh darimu, selama bulatan bumi belum membelah diri, aku masih tetap ada di dekatmu.
Bagaimana dengan hati? Dengan ruang yang sudah mulai terisi? Dengan masa lalu yang ditarik kembali? Dengan kesempatan yang tidak akan pernah kumiliki?
Jarak tubuh kita ternyata masih belum seberapa dibandingkan dengan jarak gumpalan kecil bernama ' Hati ' .
Senin, 06 Februari 2012
Lambat
Langkahku melambat pagi ini, tidak lagi terburu-buru mengikuti langkah cepatmu. Tapi bukankah kita akan lebih menikmati perjalanan saat berjalan lambat?
'' Kita tidak sedang di pantai, kereta kita 5 menit lagi berangkat. ''
Kata-katamu tegas, memaksa kakiku terus berlari. Yang tidak kamu tahu, saat itu kaki kiriku baru saja tergelincir dan sedikit bengkak. Aku diam, aku juga tahu kalau aku akan baik-baik saja selama kamu tak jauh dariku. Berlari, menerobos kerumunan orang di stasiun, hingga pada akhirnya, kita hanya mendapat tempat di depan pintu. Melantai berdua dan kita masih saja tertawa karena tepat waktu, karena rencana kita akan berjalan sesuai jadwal.
'' Kakimu sakit? Ini bengkak, sejak kapan? ''
Sejak adegan kejar mengejar kereta kita kemarin, ketika matamu menatap lurus tujuan kita, sebelum genggamanmu megencang saat menarikku di tengah keramaian.
Langkahku masih lambat, meski kakiku tidak tergelincir, meski di depanku tidak ada kerumunan manusia yang harus kuterobos. Meski aku tidak sedang di pantai, meski catatan jadwal rencana tidak sedang kucemaskan.
Aku harus mendengarnya, kalimat singkat namun tegas keluar dari mulutmu. Agar aku ingat waktu di mana hanya satu menit, bisa mengacaukan seluruh rencana, bisa menunda dua jam kedatangan kita di pulau sebrang.
'' Hanya seminggu, oke? ''
Aku akan menunggumu.
(Mr. Backpacker)
'' Kita tidak sedang di pantai, kereta kita 5 menit lagi berangkat. ''
Kata-katamu tegas, memaksa kakiku terus berlari. Yang tidak kamu tahu, saat itu kaki kiriku baru saja tergelincir dan sedikit bengkak. Aku diam, aku juga tahu kalau aku akan baik-baik saja selama kamu tak jauh dariku. Berlari, menerobos kerumunan orang di stasiun, hingga pada akhirnya, kita hanya mendapat tempat di depan pintu. Melantai berdua dan kita masih saja tertawa karena tepat waktu, karena rencana kita akan berjalan sesuai jadwal.
'' Kakimu sakit? Ini bengkak, sejak kapan? ''
Sejak adegan kejar mengejar kereta kita kemarin, ketika matamu menatap lurus tujuan kita, sebelum genggamanmu megencang saat menarikku di tengah keramaian.
Langkahku masih lambat, meski kakiku tidak tergelincir, meski di depanku tidak ada kerumunan manusia yang harus kuterobos. Meski aku tidak sedang di pantai, meski catatan jadwal rencana tidak sedang kucemaskan.
Aku harus mendengarnya, kalimat singkat namun tegas keluar dari mulutmu. Agar aku ingat waktu di mana hanya satu menit, bisa mengacaukan seluruh rencana, bisa menunda dua jam kedatangan kita di pulau sebrang.
'' Hanya seminggu, oke? ''
Aku akan menunggumu.
(Mr. Backpacker)
Minggu, 05 Februari 2012
Rumah
Selalu ada pertanyaan yang masih sering mengganggu kepalaku, di saat perjalanan kita atau ketika ransel besar kita siap dibawa.
'' Apa yang kita cari? ''
Di kala angin senja sibuk menerpa wajah kita, di sebuah perjalanan yang kesekian kalinya kita lalui berdua. Kita masih mencari tahu, kita masih berjalan, kita belum menyerah pada lelah. Kita sibuk menebar pandangan mencari penunjuk jalan atau plang pertokoan untuk tahu langit mana yang sedang menaungi kita, bumi mana yang sedang kita jejaki.
'' Tujuan, kita mencari tujuan. '' begitu katamu kala itu. Langit meredup menampilkan kelabu awan dan sedikit rintik hujan, kamu merapatkan jemari ke jemariku tanpa menoleh. Ke mana sebenarnya tujuan kita?
Langkah yang memburu memaksaku untuk memacu langkah mengikutimu, hujan semakin deras dan kita belum berniat ingin berhenti.
''Kita mencari jati diri. '' Tanganmu bahkan masih berpegang erat di sela jariku, dinginnya ekspresimu bukan hal baru untukku. Tidak banyak bicara namun tak pernah kehilangan suara, tanpa ekspresi namun lembut dan menghangatkan.
'' Kita mencari rumah, menjauhi awal untuk menemukan titik terkecil dari dunia, '' bahkan wajahmu masih menerobos bulir air yang berjatuhan, menadah tetes hujan di bawah lindungan kanopi warung kopi di kota Yogyakarta. ''--untuk tahu seberapa jauh kita pergi, untuk merasakan sakitnya rindu kampung halaman, untuk mengerti arti kata 'Pulang'. ''
Aku menengadah ke langit luas, mencoba memisahkan gumpalan hitam yang masih menyelimuti, menerka-terka yang mana bulatan langit di atas kampung halamanku. Ini dia, ini sakit yang kamu maksudkan. Rindu tiada tara yang tiba-tiba menyerangku tepat di ulu hati, keinginan untuk pulang dan berdiam di rumah nyaman disertai keluarga.
Aku mengerti.
Tapi darahku terlanjur bercampur dengan petualangan, dengan kamu. Dengan seseorang yang membawaku keluar hanya untuk merasakan rindu, untuk pergi menjauh demi merasa lebih dekat. Untuk mencari hal yang kita yakini ada, meski masih menyatu dalam bayangan abu-abu buram tanpa warna.
Demi menemukan rumah, agar kita tahu ke mana tempat yang tepat untuk pulang.
(Mr. Backpacker)
'' Apa yang kita cari? ''
Di kala angin senja sibuk menerpa wajah kita, di sebuah perjalanan yang kesekian kalinya kita lalui berdua. Kita masih mencari tahu, kita masih berjalan, kita belum menyerah pada lelah. Kita sibuk menebar pandangan mencari penunjuk jalan atau plang pertokoan untuk tahu langit mana yang sedang menaungi kita, bumi mana yang sedang kita jejaki.
'' Tujuan, kita mencari tujuan. '' begitu katamu kala itu. Langit meredup menampilkan kelabu awan dan sedikit rintik hujan, kamu merapatkan jemari ke jemariku tanpa menoleh. Ke mana sebenarnya tujuan kita?
Langkah yang memburu memaksaku untuk memacu langkah mengikutimu, hujan semakin deras dan kita belum berniat ingin berhenti.
''Kita mencari jati diri. '' Tanganmu bahkan masih berpegang erat di sela jariku, dinginnya ekspresimu bukan hal baru untukku. Tidak banyak bicara namun tak pernah kehilangan suara, tanpa ekspresi namun lembut dan menghangatkan.
'' Kita mencari rumah, menjauhi awal untuk menemukan titik terkecil dari dunia, '' bahkan wajahmu masih menerobos bulir air yang berjatuhan, menadah tetes hujan di bawah lindungan kanopi warung kopi di kota Yogyakarta. ''--untuk tahu seberapa jauh kita pergi, untuk merasakan sakitnya rindu kampung halaman, untuk mengerti arti kata 'Pulang'. ''
Aku menengadah ke langit luas, mencoba memisahkan gumpalan hitam yang masih menyelimuti, menerka-terka yang mana bulatan langit di atas kampung halamanku. Ini dia, ini sakit yang kamu maksudkan. Rindu tiada tara yang tiba-tiba menyerangku tepat di ulu hati, keinginan untuk pulang dan berdiam di rumah nyaman disertai keluarga.
Aku mengerti.
Tapi darahku terlanjur bercampur dengan petualangan, dengan kamu. Dengan seseorang yang membawaku keluar hanya untuk merasakan rindu, untuk pergi menjauh demi merasa lebih dekat. Untuk mencari hal yang kita yakini ada, meski masih menyatu dalam bayangan abu-abu buram tanpa warna.
Demi menemukan rumah, agar kita tahu ke mana tempat yang tepat untuk pulang.
(Mr. Backpacker)
Jumat, 03 Februari 2012
Terbiasa
Kulangkahkan kaki di atas batu-batu kecil yang ditata seperti jalan setapak menuju pintu samping, rumahnya tampak sepi.
Keberaniannya membeli sebuah rumah meski harus mencicil bertahun-tahun, mungkin juga menjadi bukti kalau dia bisa berkomitmen. Mengambil risiko dengan membayarnya per bulan, rutin, membuatnya semakin terlihat bertanggung jawab.
Pintunya tidak dikunci, mungkin dia sengaja karena tahu aku akan datang dan terbiasa masuk lewat pintu samping. Suara gemertik papan ketik dan tetikus menuntunku ke ruang tengah, kepalanya langsung menoleh saat melihat kelebat bayanganku.
Dia tersenyum.
Mejanya penuh dengan lembar-lembar entah apa, kotak pizza, kamera yang masih tersambung dengan laptop dan segelas besar kopi. Kuletakan tas dan paper bag berisi pekerjaan di kaki meja kaca, memeluknya sebentar tanpa berbicara sepatah katapun.
'' Lembur? '' tanyaku. Kulirik layar laptopnya sesaat lalu memilih untuk tidak bertanya, iya, masih banyak sepertinya. Matanya menatap serius foto-foto yang sedang dia edit, tangan kanannya bahkan tak sedikitpun melepas tetikus hitam miliknya.
Aku suka keheningan seperti ini, tanpa suara, tanpa menuntut satu sama lain untuk menegur atau membuka pembicaraan. Kami berbicara dengan cara dan dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh kami sendiri. Aku sendiri lupa kapan kami memulai kebiasaan ini.
'' Kapan selesai? Aku ngantuk, mau pulang. '' ujarku setelah lama hanya duduk bersandar di sofa di sebelahnya. Dia sendiri yang memintaku pulang ke rumahnya karena sudah terlalu malam, rumahnya lebih dekat dengan kantorku dan memang lebih aman kalau dia yang mengantarku.
'' Masih banyak, tidur aja, aku bangunin kalau nanti sudah selesai. '' Jawabnya. Matanya masih tertuju pada foto Suku Dayak di layar, sedetik menoleh ke arahku pun tidak. Aku beranjak dari sofa panjang yang kami duduki berniat pindah ke sofa lain, tetapi tangan kirinya menahanku sampai kutarik lagi langkah kaki yang hampir menjejak.
'' Tidur sini aja... '' dia mendudukkan badannya di lantai berlapis karpet hijau, membiarkan sofa kosong agar bisa kutiduri. '' sini, sekalian nenemin aku...''
'' Oh, oke. '' jawabku singkat. Nyaman sekali meringkuk ditemani seseorang yang tak pernah bisa jauh darimu, di perjalanan kami pun dia tidak pernah membiarkanku sendiri. Kamar dengan dua tempat tidur selalu menjadi pilihan disaat menginap, terkadang dia mengalah tidur di kursi saat penginapan hanya menyediakan satu tempat tidur per kamar. Aku memang selalu merepotkannya, sayangnya dia sangat hobi menciptakan kerepotan dengan mengajakku pergi bersamanya.
'' Kamu tahu? '' tanyanya sembari menoleh padaku yang sedari tadi hanya bisa menatap kepala bagian belakangnya.
'' Apa? ''
'' Sepertinya, aku mulai terbiasa melihatmu tertidur di sisiku. ''
(Mr. Backpacker)
Keberaniannya membeli sebuah rumah meski harus mencicil bertahun-tahun, mungkin juga menjadi bukti kalau dia bisa berkomitmen. Mengambil risiko dengan membayarnya per bulan, rutin, membuatnya semakin terlihat bertanggung jawab.
Pintunya tidak dikunci, mungkin dia sengaja karena tahu aku akan datang dan terbiasa masuk lewat pintu samping. Suara gemertik papan ketik dan tetikus menuntunku ke ruang tengah, kepalanya langsung menoleh saat melihat kelebat bayanganku.
Dia tersenyum.
Mejanya penuh dengan lembar-lembar entah apa, kotak pizza, kamera yang masih tersambung dengan laptop dan segelas besar kopi. Kuletakan tas dan paper bag berisi pekerjaan di kaki meja kaca, memeluknya sebentar tanpa berbicara sepatah katapun.
'' Lembur? '' tanyaku. Kulirik layar laptopnya sesaat lalu memilih untuk tidak bertanya, iya, masih banyak sepertinya. Matanya menatap serius foto-foto yang sedang dia edit, tangan kanannya bahkan tak sedikitpun melepas tetikus hitam miliknya.
Aku suka keheningan seperti ini, tanpa suara, tanpa menuntut satu sama lain untuk menegur atau membuka pembicaraan. Kami berbicara dengan cara dan dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh kami sendiri. Aku sendiri lupa kapan kami memulai kebiasaan ini.
'' Kapan selesai? Aku ngantuk, mau pulang. '' ujarku setelah lama hanya duduk bersandar di sofa di sebelahnya. Dia sendiri yang memintaku pulang ke rumahnya karena sudah terlalu malam, rumahnya lebih dekat dengan kantorku dan memang lebih aman kalau dia yang mengantarku.
'' Masih banyak, tidur aja, aku bangunin kalau nanti sudah selesai. '' Jawabnya. Matanya masih tertuju pada foto Suku Dayak di layar, sedetik menoleh ke arahku pun tidak. Aku beranjak dari sofa panjang yang kami duduki berniat pindah ke sofa lain, tetapi tangan kirinya menahanku sampai kutarik lagi langkah kaki yang hampir menjejak.
'' Tidur sini aja... '' dia mendudukkan badannya di lantai berlapis karpet hijau, membiarkan sofa kosong agar bisa kutiduri. '' sini, sekalian nenemin aku...''
'' Oh, oke. '' jawabku singkat. Nyaman sekali meringkuk ditemani seseorang yang tak pernah bisa jauh darimu, di perjalanan kami pun dia tidak pernah membiarkanku sendiri. Kamar dengan dua tempat tidur selalu menjadi pilihan disaat menginap, terkadang dia mengalah tidur di kursi saat penginapan hanya menyediakan satu tempat tidur per kamar. Aku memang selalu merepotkannya, sayangnya dia sangat hobi menciptakan kerepotan dengan mengajakku pergi bersamanya.
'' Kamu tahu? '' tanyanya sembari menoleh padaku yang sedari tadi hanya bisa menatap kepala bagian belakangnya.
'' Apa? ''
'' Sepertinya, aku mulai terbiasa melihatmu tertidur di sisiku. ''
(Mr. Backpacker)
Rabu, 01 Februari 2012
Berjanjilah
'' Kerjaan, selesai? '' tanyaku siang itu.
Dia hanya mengangguk tanpa menoleh padaku, wajahnya lurus menatap jalanan macet di depan halte gedung Sarinah dan kita duduk seperti orang asing dengan menyisakan jarak di tengahnya.
Jeans biru panjang dengan sneakers dipadukan dengan kaus biru tua dan luaran hitam yang membuatnya agak formal, juga tas hitam berisi kamera tergantung di bahu kirinya.
'' Have fun ya, sama temen-temen kamu... '' lanjutku. Dia menoleh sebentar lalu kembali menatap jalanan. '' jangan lupa kirimin foto-fotonya, Lombok tempat yang bagus. ''
'' Dan kamu melewatkan tempat itu... '' potongnya pelan. Aku mendesah, menunduk memandangi sepasang sepatu hitam berhak tinggi yang kukenakan. Aku tak bisa ikut dengannya kali ini, aku bukan freelancer yang dua job saja bisa mencukupi kebutuhan hidup sebulan. Aku harus mendekam di dalam gedung tinggi seharian, setiap hari. Mengurung pikiran dengan hanya menatap layar monitor, meeting sana-sini, dan dikejar-kejar deadline.
'' Kamu sudah terlalu sering menjagaku, sekarang saatnya kamu berlibur bersama teman-temanmu. Sesekali, lebih bagus kalau aku gak ada... ''
'' Apa aku harus memaksamu ikut kali ini? '' tatapannya masih belum berpindah, tubuhnya pun enggan bergerak mendekat ke tempatku. '' aku bisa membuat kekacauan agar kamu dikeluarkan dari pekerjaanmu, kamu mau ikut 'kan setelah kamu kehilangan pekerjaan? ''
Aku tersenyum kecut, masih banyak ' Lain kali '; pikirku. Berpetualang dengannya memang menyenangkan, tapi realita lain memaksaku untuk bertahan hidup di tengah kekacauan kota ini. Mencari uang, menyusun daftar belanja untuk mengurangi pengeluaran, menjalani rutinitas asliku.
'' Aku akan baik-baik saja, begitupun kamu. Pergilah, bersenang-senanglah dan cepat kembali... Aku akan merindukanmu di sini. ''
'' Suatu hari, aku tidak akan pernah kembali ke kota ini. Aku akan tinggal di sebuah tempat di kota yang pernah aku kunjungi... '' katanya sambil beranjak. ''....berjanjilah padaku, kamu tidak akan menolak ajakanku untuk ikut di hari itu tiba. ''
Dia meraih kepalaku dan menciumnya sebelum pergi meninggalkanku, dia tidak menengok lagi. Langkahnya mantap tanpa keraguan, ada sesuatu yang membuatnya begitu menarik di mataku. Yang pasti, sifat ambisiusnya yang paling dominan menjajahku.
Tidak ada genggaman tangan siang itu, tidak ada kecup singkat di bibir, tidak ada peluk hangat. Hanya ada dua jengkal jarak yang memisahkan tubuh kita, hanya ada dua manusia yang tak saling pandang ketika berbicara.
Kami hanya tahu satu hal ; kami saling membutuhkan. Itu saja.
(Mr. Backpacker)
Dia hanya mengangguk tanpa menoleh padaku, wajahnya lurus menatap jalanan macet di depan halte gedung Sarinah dan kita duduk seperti orang asing dengan menyisakan jarak di tengahnya.
Jeans biru panjang dengan sneakers dipadukan dengan kaus biru tua dan luaran hitam yang membuatnya agak formal, juga tas hitam berisi kamera tergantung di bahu kirinya.
'' Have fun ya, sama temen-temen kamu... '' lanjutku. Dia menoleh sebentar lalu kembali menatap jalanan. '' jangan lupa kirimin foto-fotonya, Lombok tempat yang bagus. ''
'' Dan kamu melewatkan tempat itu... '' potongnya pelan. Aku mendesah, menunduk memandangi sepasang sepatu hitam berhak tinggi yang kukenakan. Aku tak bisa ikut dengannya kali ini, aku bukan freelancer yang dua job saja bisa mencukupi kebutuhan hidup sebulan. Aku harus mendekam di dalam gedung tinggi seharian, setiap hari. Mengurung pikiran dengan hanya menatap layar monitor, meeting sana-sini, dan dikejar-kejar deadline.
'' Kamu sudah terlalu sering menjagaku, sekarang saatnya kamu berlibur bersama teman-temanmu. Sesekali, lebih bagus kalau aku gak ada... ''
'' Apa aku harus memaksamu ikut kali ini? '' tatapannya masih belum berpindah, tubuhnya pun enggan bergerak mendekat ke tempatku. '' aku bisa membuat kekacauan agar kamu dikeluarkan dari pekerjaanmu, kamu mau ikut 'kan setelah kamu kehilangan pekerjaan? ''
Aku tersenyum kecut, masih banyak ' Lain kali '; pikirku. Berpetualang dengannya memang menyenangkan, tapi realita lain memaksaku untuk bertahan hidup di tengah kekacauan kota ini. Mencari uang, menyusun daftar belanja untuk mengurangi pengeluaran, menjalani rutinitas asliku.
'' Aku akan baik-baik saja, begitupun kamu. Pergilah, bersenang-senanglah dan cepat kembali... Aku akan merindukanmu di sini. ''
'' Suatu hari, aku tidak akan pernah kembali ke kota ini. Aku akan tinggal di sebuah tempat di kota yang pernah aku kunjungi... '' katanya sambil beranjak. ''....berjanjilah padaku, kamu tidak akan menolak ajakanku untuk ikut di hari itu tiba. ''
Dia meraih kepalaku dan menciumnya sebelum pergi meninggalkanku, dia tidak menengok lagi. Langkahnya mantap tanpa keraguan, ada sesuatu yang membuatnya begitu menarik di mataku. Yang pasti, sifat ambisiusnya yang paling dominan menjajahku.
Tidak ada genggaman tangan siang itu, tidak ada kecup singkat di bibir, tidak ada peluk hangat. Hanya ada dua jengkal jarak yang memisahkan tubuh kita, hanya ada dua manusia yang tak saling pandang ketika berbicara.
Kami hanya tahu satu hal ; kami saling membutuhkan. Itu saja.
(Mr. Backpacker)
Langganan:
Postingan (Atom)