Selasa, 21 Februari 2012

Kalian?

'' Aku mandi, '' bilangku melihat wanita itu mengucap ' Berdua ' sembari menatap tajam ke arahku.

'' Handuk di kamar mandi, pakai kamar mandi kamarku, '' timpal Biru melihatku beranjak. Aku mengangguk lalu meninggalkan mereka berdua, aku selalu membenci mata wanita itu; terlalu menusuk, terlalu gampang dibaca.

'' Kamu sudah tidur dengannya? '' tanya wanita itu sedetik setelah aku menutup pintu kamar Biru, niatku untuk mandi tiba-tiba menghilang, aku lebih penasaran dengan obrolan mereka sekarang. '' Benarkah? ''

'' Bukan urusanmu, '' samar Biru menjawabnya dingin. '' Ini yang ingin kamu bicarakan? ''

'' Kamu sudah bilang padanya kalau kamu sudah melamarku? '' lanjut wanita itu. hampir saja aku menarik handle pintu agar bisa mendengarnya langsung, '' katakan! ''

'' Melamarmu? Benar sekali, iya, melamarmu! '' suara Biru meninggi, lalu hening sejenak.

'' Kamu masih mencintaiku, bukan? Kita bisa memperbaiki semuanya, kita mulai dari awal. ''

'' Jadi karirmu sudah bisa menjamin masa depan kita? Atau aku sudah terlihat pantas menjadi kepala keluargamu? '' suara Biru melemah, ada sedikit getaran saat dia berucap. Seperti kelemahan, entahlah, mungkin kesedihan. Aku tak pernah mendengar suaranya sepelan itu.

'' Apa yang kamu lihat dari wanita itu? Kamu sudah berhasil menidurinya, bukan? Kamu bisa meninggalkannya sekarang! ''

'' Cukup! '' bentak Biru, kupikir akan ada pembelaan untukku meski sedikit, tapi tidak. Hanya ada hening yang membuat debar di dadaku seperti satu-satunya suara yang dapat didengar. '' Kita sudah berakhir, terima saja kenyataannya, tolong. Dan jangan buat aku mengingat... ''

'' Anak kita? Kamu ingat padanya, bukan? Jelas, dia yang membuat kita berpisah dulu. ''

'' Salahmu! ''

DEG!

Hatiku mencelos seketika.
Anak? ' Anak kita ' ? Mereka mempunyai anak? Dan aku sama sekali tidak tahu?

'' Pelankan suaramu, '' lanjutnya.

'' Apa? Dia belum tahu tentang ini juga? Kamu takut dia tahu? Kamu takut dia meninggalkanmu lagi? ''

'' CUKUP! Sudah cukup kamu mencampuri kehidupanku, kamu sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hubungan kita dulu. Dan itu cukup! Kamu tak perlu mengingatkanku lagi. ''

Biru tak pernah membentakku, dia satu-satunya laki-laki yang punya pengendalian diri paling baik yang pernah kutemui. Dan hari ini aku mendengarnya, suara tegas dengan nada tinggi memenuhi rumah damainya. Ada amarah, kesedihan, lalu kekecewaan di dalamnya, apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara kalian?

'' Jangan bohongi hatimu, aku masih melihat Biru yang dulu tertawa bersamaku. ''

'' Aku sudah punya penggantimu, jangan usik kami dengan masa lalu kita, dan jangan ingatkan aku tentang anak kita, itu hanya akan memperburuk keadaan. ''

'' Kita bisa menebusnya, bukan? Kita bisa memperbaikinya. ''

'' Tidak! Sudah cukup semua bujukanmu, cukup! Aku muak mendengarnya! Aku muak mendengarmu mengulang-ulang kata mencoba, menebus, bullshit! aku muak! ''

Lalu hening, aku mundur sejauh mungkin dari pintu saat mendengar langkah berat mendekat. Biru terlonjak kaget melihatku mematung di kamarnya, wajahnya mendung, rahang yang tadinya mengeras perlahan melunak, dan desahan napasnya terasa berat.

'' Mandilah, aku pergi sebentar mencari sarapan, '' pendeknya sambil menyambar dompet dan kunci mobil di atas meja di sebelah tempat tidur. Dia tidak menoleh lagi setelah itu, membiarkan kebisuan menggerayangi seluruh otot tubuhku.
Apa yang baru saja kudengar benar-benar mengusikku, lamaran? Anak? Apalagi yang aku belum tahu? Pernikahankah? Sedalam apa hubungan mereka sampai Biru begitu marah pada wanita itu?

Aku jelas ingin bertanya, secepatnya mendapatkan jawaban yang kuingin. Anak, lamaran, tiga tahun lalu. Apa yang terjadi tiga tahun lalu?


*cerita bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar