Aku masih betah di pelukannya saat bel pintu berbunyi, sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali.
'' Ada orang di depan, '' bisikku di telinganya. Dia tak bergeming sedikitpun tapi bisa dengan sigap menahanku saat mencoba melepaskan diri darinya. '' Heh! Di depan ada orang, bangun, kenakan pakaianmu dan temui tamumu. ''
'' Paling pos, biar saja. Dan kamu, jangan coba-coba melepas pelukanku, '' ucapnya masih menutup mata sambil terus mendekapku.
Kupencet hidungnya sampai dia kehabisan nafas, melonggarkan pelukan dan berusaha menyingkirkan jariku dari hidung mancungnya.
'' Bangun, aku harus mandi dan merapikan bekas kekacauan ini, '' perintahku. '' Atau kutendang badanmu dari sofa ini. ''
'' Oke, oke. Silakan mandi permaisuri, '' dia beranjak, menciumku sebentar sebelum mengenakan kembali pakaiannya. Masih belum hilang aroma tubuhnya di tubuhku, aroma tubuh dari laki-laki yang dua tahun ini tertawa bersamaku. Aku pikir kami sudah sama-sama dewasa untuk apa yang sudah terjadi, dan kami pasti bisa mempertanggungjawabkan semuanya.
Apa yang harus kami cemaskan? Dosa? Dosa adalah urusan Tuhan dengan masing-masing umat-Nya tanpa campur tangan manusia lain, bukan?
Sofa sudah, well, lebih rapi dari sebelumnya, tanpa ada wanita bersalah yang menangis, tanpa ada dua tubuh tanpa busana yang saling berpelukan. Dia kembali dari kamarnya dengan wajah basah dan sehelai handuk putih di tangan, rambutnya masih berantakan dan sekilas terlihat garis merah halus di tengkuknya; bekas kuku panjangku.
'' Ini handuknya, dan semuanya sudah siap di kamar mandi. Kamar mandinya di dalam kamar tidurku, boleh langsung mandi atau tidur lagi, '' ucapnya dengan nada jahil. '' Kamarku lebih nyaman dari sofa ini, by the way. ''
'' Temui tamumu, '' singkatku sambil melotot ke arahnya, lalu beranjak menuju kamar dengan pintu berwarna alami kayu. Cukup luas dengan tempat tidur berkaki rendah yang terlihat nyaman, simple, dan rapi. Kamar mandinya cukup bersih untuk ukuran laki-laki, lagi-lagi kerapihannya tak bisa disangkal. Dia mengatur semuanya dengan benar tanpa bantuan siapapun, hal yang baru kusadari setelah sekian lama.
Aku mematung dan beku di depan tamunya, rambutku masih basah dan hampir saja kujatuhkan handuk di tanganku.
'' Hai, senang bisa bertemu lagi, '' sapanya. Aku membeku, tanganku gemetar saat membalas uluran tangannya.
Gaun di atas lutut merah muda, high heels, rambut panjang bergelombang dan koper hitam berukuran sedang tergeletak di sebelah kaki putih mulus miliknya. Tertawa lebar melihatku terpaku, mengingatkan kejadian beberapa hari lalu di Semarang.
Benar, dia mantan kekasih dari kekasihku. Orang yang menyulut kecemburuanku sampai aku tega meninggalkan laki-laki yang kini berwajah bingung di sampingnya, sial!
(Mr. Backpacker)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar