'' Masih bisa berpikir untuk meninggalkanku, lain waktu? ''
Kalimatnya yang terakhir sebelum tangisku benar-benar pecah, isakku tak lagi bisa kutahan. Ini adalah puncak rasa sesal yang sudah kurasakan selama berhari-hari, sebuah tangis yang kuredam berharap tak akan pernah bisa kukeluarkan.
'' Maaf, maafkan aku... '' pintaku dengan suara parau. Dia masih lekat memandangiku, dingin, tanpa ekspresi, lalu beranjak pergi dari kursinya.
Aku merasa berhadapan dengan orang lain, bukan dia yang hangat, bukan dia yang tidak pernah membiarkanku terluka dan menangis.
'' Minum, '' sepasang tangan menyodorkan segelas air putih di depan wajah sembabku, tangan yang sering aku genggam, tangan yang selalu melindungiku. '' Minum, '' ulangnya.
Kuraih gelas itu dengan tangan masih gemetar, kuteguk perlahan, kurasakan guyuran dingin membekukan lidahku lalu melemaskan otot leher yang menegang sedari tadi. '' Terima kasih. ''
'' Aku sangat merindukanmu, '' tambahnya membuatku terkejut. '' Aku rindu memelukmu seperti biasanya. ''
Tangisku kembali saat tubuh kekarnya memelukku, erat. Membenamkan kepalaku di dadanya, menjalarkan kehangatan yang sudah tak asing bagiku.
Aku juga, aku merindukanmu, sangat merindukanmu.
'' Jangan pernah meninggalkan aku lagi, tolong, '' lirihnya. '' Berjanjilah kamu akan selalu di sisiku, berjanjilah kamu akan terus menemaniku, berjanjilah, tolong... ''
Aku hanya bisa mengangguk, suaraku serak dan tercekat di tenggorokan. Aku berjanji, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, pegang kata-kataku; tidak akan pernah.
'' Lihat aku, '' pintanya sembari melepaskan pelukan, wajahku diraihnya dengan dua tangan hingga menghadap ke depan wajahnya.
'' Aku sangat membutuhkanmu, aku mencintaimu sebanyak biru langit dan lautan yang mendominasi bumi. Entah harus kuhitung dan kutakar dengan apa, entah harus kupotong menjadi berapa. Yang aku tahu, kamu pasti mendapat semua bagiannya. ''
Senyumku mengembang seiring sapuan bibir hangat di bibirku, perlahan, lembut, dalam, lalu mulai memburu. Jarinya menyisir rambut panjangku, menarik tengkuk lebih dekat dengannya, mengaliri tubuhku dengan sensasi yang sudah lama kami lupa.
Kami terlalu sibuk untuk bermanja; peta, nama jalan, kendaraan, keramaian, perjalanan, tujuan. Kami berlari mengejar waktu, bersinggungan dengan kesalahan, berpikir untuk memperbaikinya, sampai menyatu dengan kekacauan. Demi perjalanan, demi petualangan, demi pengalaman, demi rumah; demi tujuan.
Napasnya terengah tak jauh berbeda dengan napasku, degup jantung seperti genderang perang yang saling bersahutan. Ini yang kami butuhkan saat ini; saling memagut, saling mendekap, saling melumat mengabaikan waktu yang tertawa karena kali ini berhasil mendahului langkah kami.
Dan aku merasakan kulit punggungnya berkeringat, aroma sabun yang tadi sempat kuhirup berubah menjadi wangi tubuh sebenarnya. Aku merasakan dada telanjangnya menempel di dadaku, lengket dan menyatu. Tubuh besarnya hampir menutupi seluruh tubuhku yang berada di bawahnya, memenuhi sofa panjang cokelat dengan desahan dan erangan, membawa kami melayang ke dunia serba putih untuk sesaat.
'' Berjanjilah, kamu tak akan meninggalkanku lagi. Aku tak akan memaafkanmu jika ada lain kali, '' bisiknya di telingaku.
Aku mengangguk di dalam pelukannya, terlalu terpesona pada keindahan tubuh yang baru saja kulihat dan kujajah hingga kehilangan kata-kata untuk menjawab.
Aku berjanji, di atas sofa cokelat panjang yang merekam segalanya, untuk semua potongan bagian biru yang kaupunya, untuk semua takaran biru yang tak bisa kauterka beratnya....aku tidak akan meninggalkanmu.
Biarkan malaikat maut menjalankan tugasnya, kita tak akan peduli sampai satu di antara kita terkubur dengan hiasan nisan sebagai penanda.
Aku mencintaimu.
(Mr. Backpacker)
*ini tolong jangan didemo penulisnya, pertama kalinya nulis begini. Maaf kalau ada yang kurang berkenan. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar