Selasa, 28 Februari 2012

Kejutan

Kejutan memang harus mengejutkan, atau mungkin malah mencengangkan.

Ponselku bergetar di atas meja, sudah pukul 12:15 dan aku baru menyadarinya saat melihat ke layar ponselku.

'' Aku di lobby, kita makan siang soto betawi, yuk. Aku tahu tempat yang enak, '' katanya dari sebrang sambungan telepon. Hari ini tidak seperti biasa, tanpa membuat janji, tanpa mengabari akan datang--dan membatalkannya, dia tiba-tiba muncul di kantorku.

'' Tumben, adakah sesuatu yang penting, Biru? '' tanyaku setelah kami mendapat tempat duduk. '' Dan tebak siapa yang baru mandi hari ini, '' tambahku sambil membaui wangi sabun yang sudah bercampur parfum di lehernya. Kaus abu-abu dan jeans biru tua pendeknya tampak santai, ditambah rambut yg masih sedikit basah dan acak-acakan seperti kebiasaannya.

'' Tiketmu sudah kupesan untuk jumat malam. Jadi kamu nanti langsung berangkat saja sepulang kantor, '' dengan cekatan dia menambahkan sambal ke mangkuk lalu mengaduknya pelan. '' Nanti aku minta tolong Jonathan atau Raja menjemputmu di bandara, aku belum boleh pergi sebelum acaranya selesai. ''

'' Jonathan, suruh saja dia, '' singkatku. Jangan Raja, jangan masa laluku, jangan mantan kekasihku yang sekarang menjadi sahabatmu, Biru. Jangan.

'' Aku memikirkan percakapan dengan temanmu pagi tadi, '' kini dia mulai menyendok nasinya. '' Maukah kamu tinggal bersamaku? ''

Tiba-tiba lidahku kelu, suapan ketigaku berhenti dua senti sebelum menyentuh bibirku. '' Apa kata orang nanti, Bi? Ini Indonesia, '' bilangku dengan susah payah menahan keterkejutan. '' Kita tak bisa serumah kalau tidak ada ikatan penikahan. ''

'' Who cares? Kita terlalu banyak dicekoki norma-norma di sini, mereka bukan Tuhan, dan kita sudah cukup dewasa untuk mempertanggungjawabkannya, '' matanya mengunci pandanganku. Mata cokelat bening menghanyutkan yang membuatku menunduk kalah saat ia mulai mengintimidasi.

'' Bi..., '' lirihku. '' Bagaimana... ''

'' Bagaimana kalau kita menikah saja? '' potongnya. '' Kalau kamu emoh seatap denganku karena kita belum terikat, maka menikahlah denganku. Dan masalah akan selesai. ''

Belum. Aku belum ingin terikat, Bi. Aku belum siap menjadi ibu saat kamu menginginkan anak dariku, aku takut menjadi ibu seperti ibuku. Belum, belum sekarang.

'' Bagaimana? '' tanyanya menyadarkan aku dari lamunan singkat. Jemarinya mengapit jari-jariku erat, hangat, tapi ragu seperti sedang memohon kepastian. '' Pikirkanlah, tapi jangan buat aku menunggu terlalu lama. ''

Aku mengangguk pelan, memaksa butiran-butiran nasi di atas sendok masuk ke mulutku yang kaku. Secepat inikah? Atau aku memang belum siap? Sudah tahun kedua dan jari manisku kini melingkar cincin pemberiannya-- keyakinannya tentang masa depan bersamaku. Tentang keluarga, anak-anak, lalu masa tua. Entahlah itu terlalu muluk untuk sekedar diharapkan atau tidak, tapi toh laki-laki di hadapanku melukiskannya dengan begitu jelas.
'' Beri aku waktu sampai urusan kita di Bali selesai, '' pintaku. Senyumnya menyungging dan genggamannya terasa lebih erat, seperti ada pijar warna warni di matanya sesaat setelah aku mengakhiri kata-kataku.

Kejutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar