“ Kruyuk..kruyuk..,” panggilan alam
sudah terdengar.
Walaupun sudah terpanggang, walau harus
menahan sampai maghrib, kalau sudah niat
insya Allah bisa selesai. Mencoba
meyakinkan diri sendiri, cobaan hari ini
benar2 membuat hectic; pikirku.
Membuat tugas sekolah dengan seluruh
jiwa raga sudah kulakukan sampai harus
aku yang membangunkan ayam kampung
untuk berkokok, dan masih saja
disalahkan teman satu tim.
“Siapa yang buat tugas, siapa yang dapat
nilai bagus, “ gerutuku.
Mereka tidak pernah mau peduli bagaimana
prosesnya, mereka hanya tahu
hura-hura, mendapat nilai bagus tanpa harus
bekerja keras.
“ Hei, ini Jakarta bung
!!” Ingin rasanya berteriak kepada mereka
seperti itu.
Tapi ya sudahlah, setidaknya aku bisa dapat
manfaat dari tugas yang aku kerjakan
sendiri. Aku bisa membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku
juga bisa bekerja di bawah
tekanan.
“Jamuuu…jamuuu…jamu, Mbak?”
Seorang ibu penjual jamu
tiba2
membangunkan lamunanku . “ Ini lho
Mbak, saya punya jamu alami, buatan
sendiri
loh, Mbak. Banyak khasiatnya, apalagi kalau
saya lihat Mbak lemah,
letih, lesu, lunglai, “ logatnya
sangat kental dengan bahasa Jawa
, membuat ku tertawa renyah
saat mendengarnya. “ Maaf, Bu, saya
sedang
puasa, '' kataku. Melihat Si Ibu dengan
jarik dan bakulnya, sembari
membandingkan dengan tubuh
mungilnya membuatku berdecak, superwoman; pikirku.
Memanggul beberapa botol jamu dan termos
besar, mengenakan baju seperti kebaya
dipadukan bawahan kain layaknya
dayang keraton, dan yang membuat ku
tertarik adalah sanggul besar yang ia
pakai, persis seperti sinden.
“ Hei,
Anya, lihat ibu itu, dia saja bisa percaya diri
dengan tampilannya setiap hari, '' malaikat
dalam hatiku berteriak mencoba
menyemangatiku.
“Ibu selalu berjalan saat berjualan jamu?” tanyaku.
“iya, Mbak,” jawabnya dengan senyum
nya.
“Pakai kebaya sama sanggulnya?”
Tanyaku lagi.
“Iya, ya kalau gak begini namanya bukan
tukang jamu, Mbak. Dengan pakaian dan
dandanan seperti ini, baru namanya tukang
jamu. Identitas diri,
Mbak. Kalau gak begini pelanggan saya
pada nanyain, dan jualan jadi sepi.”
Ujar nya.
“Waah.. Ibu superwoman, ya. Cantik lagi. Gak seperti saya. Ada gak, Bu, jamu
untuk menghilangkan tahi lalat besar
saya? '' Tanyaku sambil menunjuk ke bagian bawah
pipi
mendekati dagu.
'' Ihh… si Mbak, kok mau diilangin. Mbak nya
juga cantik. Kenapa? gak pede, ya? ''
“Hehe…Cuma Ibu yang bilang saya
cantik, yang lain mah…ancuur.., “gurauku.
***
Aku memikirkannya, Mbok-Mbok jamu tadi
siang yang seolah menamparku tepat di
wajah. Ada hal yang membuatku malu, hal
yang membuatku merasa bersalah karena
keluh, hal yang membuka mataku dari silau
cahaya kesempurnaan.
Semua orang sempurna; sama tinggi, sama
cantik, sama mengagumkan, hanya saja
berbeda cara memandang. Aku sulit
bersyukur sebelumnya, aku sibuk merutuki
kehidupanku yang aku pikir terlalu rumit.
Aku terbiasa melihat kelemahan pada diriku
sendiri, hingga aku buta akan kelebihan yang
kumiliki.
Ini hanya tentang cara pandang, bukan? Aku
memiliki segalanya. Otak pintar, tubuh
sempurna dengan tahi lalat di pipi yang
orang lain tidak bisa memilikinya, keluarga.
'' Aku sudah sepantasnya malu, '' batinku.
Sekelebat wajah Mbok jamu terlintas dan
membuatku merasa rendah karena ketulusannya, dedikasinya. Berbeda denganku yang tidak bisa sekalipun
mensyukuri, tidak bisa mengikhlaskan
kekurangan kecilku meski hanya semenit.
Mungkin Tuhan sudah kesal dengan protes
yang sering kulayangkan, mungkin Dia
sengaja mengirimnya untuk
mengingatkanku.
Ini mungkin memang hanya persoalan cara pandang,
cara untuk mengabaikan titik hitam di satu
lembar putih buku kehidupan.
*cerpen duet @woelanxoxo dan @_raraa untuk #20harinulisduet #day2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar