Minggu, 19 Februari 2012

Awal

Ctik... Ctik... Ctik...

Suara gemertik tetikus menyeretku dari mimpi ke dunia nyata, semerbak harum shampo khas laki-laki langsung tercium; sambutan pagi yang cukup menenangkan.

'' Sudah bangun? '' tanyanya begitu aku melingkarkan tanganku di lehernya. Dia melantai di karpet hijau, menyender pada sofa yang kutiduri dengan kopi di mug besar seperti biasa. '' Kenapa tidak tidur di kamarku saja? ''

'' Berdua denganmu? Jangan bergurau. ''

'' Kamu bisa bertukar tempat denganku kalau begitu, '' lanjutnya masih belum menoleh ke arahku. Tangannya masih sibuk memaju-mundurkan tetikus, entah apa yang salah dengan foto klenteng di layar monitornya.

'' Kamu kelelahan, bukan? Bagaimana keadaannya? Semalam dia sudah sehat kelihatannya, sampai sempat menceritakan awal pertemuannya denganmu. ''

'' Apa? '' dia menoleh memperlihatkan wajah kaget, ada jambang dan kumis tipis yang baru kusadari keberadaannya. '' Dia pasti melebih-lebihkan, wajahmu tampak aneh. ''

'' Kapan kita bertemu pertama kali? Aku bahkan sudah lupa, '' bilangku lesu. '' Apa kamu marah kalau aku lupa? ''

'' Tidak, kenapa aku harus marah? Penting, kah? ''

'' Aha! '' seruku. '' Kita bertemu pertama kali di Dukuh Atas, di jembatan yang sangat panjang itu. Ingat? Aku ingin makan siang ke Plaza Semanggi, '' ceritaku. Hari itu lebih dari dua tahun lalu aku bertemu dengannya, dengan pakaian casual slengekan khas-nya dia terlihat repot. Aku ingat, dia membawa tas kamera hitam besar miliknya, lalu tas laptop, menggendong ransel, beberapa map dan satu portofolio tebal berisi foto-foto.

'' Aku meminjam ponselmu karena lupa meletakkan ponselku di mana, menelponnya yang ternyata ada di tasku. Ahh, hari itu aku banyak meeting dan hendak pergi ke Pangandaran, '' dia terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. '' Tapi berkat itu, aku bisa mendapatkan nomer ponselmu. ''

Aku sendiri tak pernah menyangka kalau laki-laki yang kulihat aneh dengan kerepotannya itu berani menelponku, awalnya hanya berterima kasih, lalu membayarnya dengan makan siang, dan hobinya backpacking-lah yang membuatku betah berlama-lama duduk mengobrol bersamanya.
Cerita-cerita petualangannya tak pernah habis, ditambah dengan foto-foto yang sengaja dia perlihatkan, sempurna. Lalu apa yang terjadi dua tahun setelahnya adalah sekarang, saling diam di rumah yang belum lama dia beli, meringkuk di sofa nyamannya, menghirup aroma tubuhnya, dan memeluk dada bidangnya dari belakang.

Aku tidak percaya pada kebetulan, pertemuan pasti sudah direncanakan, paling tidak oleh Tuhan sendiri. Apa yang datang padaku pastilah tertulis entah di mana, sama seperti hal-hal lain yang pergi dariku.
Lalu apa konsep yang dirancang di balik ' Kebetulan ' ? Entah, mungkin itu adalah cara Tuhan memberi kejutan.

'' Sebenarnya, sebelum aku meminjam ponselmu, aku sudah beberapa kali bertemu denganmu, '' ujarnya sambil membuka sebuah foto baru; foto punggung tanpa sehelai benangpun menutupinya.


(Mr. Backpacker)
*cerita bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar