Rabu, 22 Februari 2012

Ibunya

Ada kelanjutan dari hening yang sudah tercipta sejak wanita itu pergi siang tadi, entah apa yang harus kuperbuat, tapi pertanyaan di kepalaku seperti tak bisa diredam.

Kubuka sliding door dekat meja makan, membiarkan hembus angin dari halaman samping masuk memenuhi ruang tengah. Aku tetap di sofa cokelat seperti biasa, duduk diam menyenderkan kepala yang terasa berdenging. Ada banyak tanda tanya, ada banyak kejutan yang berhasil membuatku melongo bodoh, ada kesedihan yang tiba-tiba menyelimuti rumah ini.
Semilir angin sedikit mengendurkan syaraf tegang di leherku, menyapu permukaan kulitku lembut, membawa kedamaian di setiap hembusannya.

Terasa seseorang menyenderkan kepala di bahuku, aku tertidur beberapa saat hingga tak menyadari kedatangannya. '' Baikan? '' tanyaku.

Rambutnya yang sudah mulai memanjang terlihat kusut, wajah tampannya juga tak mau kalah. Dia mengangguk singkat lalu tiba-tiba mengangkat kepalanya dan meraih tengkukku, menyapukan bibirnya ke bibirku beberapa menit. '' Aku hanya membutuhkanmu, apa jadinya kalau aku tak pernah bertemu denganmu? ''

'' Kamu akan baik-baik saja, aku hanya kebetulan bersinggungan denganmu di saat yang tepat, '' jawabku pelan. Dia mengikutiku menyenderkan kepala di sofa dan menaikkan kedua kaki ke atas meja kaca. '' Jadi, di mana dia? '' tanyaku. Aku benar-benar tak bisa membendung pertanyaanku lagi.

'' Siapa? ''

'' Dia, anakmu. Aku mendengarnya tadi, apa aku bisa bertemu dengannya? ''

Dia mengangkat kepalanya lalu menatapku dengan pandangan sayu, '' Dia, dia tidak ada. ''

'' Maksudnya? ''

'' Tiga tahun lalu, aku masih 25 tahun, dia 23. Aku hanya seorang junior di kantorku dan dia baru saja menyelesaikan kuliahnya, '' ceritanya. '' Kami berpacaran jarak jauh, Jakarta-Semarang dan kami berhasil mengatasinya. Hingga suatu malam, dia menelpon mengabarkannya; dia hamil. Dia mengandung anakku. ''

Suaranya melemah, lalu dia menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. '' Aku gembira sekali mendengarnya, aku langsung mencari cincin untuk melamarnya saat aku ke Semarang seminggu setelahnya. ''

'' Lalu? ''

'' Aku melamarnya, tapi dia menolak karena masih ingin berkarir, belum ingin terikat, bahkan dia takut kalau gajiku tak akan mencukupi kebutuhan kami nantinya, '' ada getar dalam nada bicaranya, seperti amarah yang sekuat tenaga ditahan. '' Saat aku menanyakan nasib janin di perutnya, kamu tahu dia bilang apa? Dia bilang dengan enteng kalau...kalau dia sudah menggugurkan kandungannya...dia membunuh anakku. ''

Aku memeluknya erat, ada isak samar yang kudengar, dia tersedu. '' Dia tega melakukannya, anakku baru 2 bulan di perutnya dan dia membunuhnya. Sakit sekali rasanya, sakit. ''

'' Maaf, aku tidak menyangkanya. '' sesalku. '' Maaf. ''

'' Tak apa, '' dia melepas pelukannya lalu menghapus setitik airmata di pipinya. '' Harusnya aku sudah memberi tahumu sejak lama, maaf. ''

Matanya menerawang ke langit-langit rumah, dadanya naik turun mengatur napas perlahan. '' Kalau dia dipertahankan, mungkin dia sudah berumur dua tahun, hampir 3 tahun. Mungkin dia gadis kecil cerewet yang sekarang sedang menyendok serealnya di sana, '' dia menatap meja makan dengan 4kursi kosong tertata rapi di tiap sisi. '' Mungkin dia akan membuat ibunya marah karena mengotori meja dengan susu. ''

Ibunya....

'' Mungkin dia akan tiba-tiba berlari ke kamar dan keluar dengan kameraku, lalu aku dan ibunya akan sibuk mengejarnya demi menyelamatkan kamera itu. ''

Ibunya...

'' Atau, dia akan tiba-tiba muncul dengan ransel besarku. Menyeretnya, lalu mengobrak-abirk isinya. Aku akan membiarkannya, mungkin diam-diam memotretnya sampai ibunya datang dan memarahiku karena tidak melarang. ''

Ibunya...

'' Mungkin dia akan terus menggangguku bekerja di meja ini dengan terus bertanya, menanyakan satu persatu fotoku, lalu dengan sengaja memainkan tetikusku, '' ada senyum menyimpul dari bibirnya, sedikit. '' Dia pasti cantik, bermata cokelat seperti mataku, berambut hitam seperti ibunya... ''

Ibunya...

'' Andai dia dipertahankan, andai ibunya tidak mementingkan kariernya...''

Ibunya...

'' Aku pasti sudah menjadi seorang ayah, kamu bisa bayangkan aku menggendong gadis kecil nakal yang hiperaktif? Pasti menyenangkan menjadi ayah... ''

Dan ibunya bukanlah aku, Biru.


*cerita bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar