Selasa, 21 Februari 2012

Pudar

Wajahnya masih mendung saat dia kembali, tiga kotak bubur ayam diletakan begitu saja di atas meja makan.

'' Kamu baik-baik saja? '' tanyaku ketika mengikutinya masuk ke dapur. Segelas besar air putih ditenggaknya habis dan wajahnya masih terlihat muram.
Tidak, jelas dia sedang tidak baik-baik saja. Aku mendengar semua dan itu bukanlah sesuatu hal yang menyenangkan.

'' Kamu tidak lapar? Sudah siang, kamu harus makan, '' dia menarikku kembali ke meja makan. Mencoba menyembunyikan kekesalan dengan senyum aneh yang dia punya dan mengajakku berbincang sambil terus memakan buburnya.

'' Aku pulang, '' wanita itu keluar dari kamarnya dengan koper dan riasan wajah lengkap seperti biasa. Rautnya tak kalah muram saat melihatku duduk bersisian dengan Biru-nya, bukan, dia Biru-ku sekarang.
Biru tak menoleh sedikitpun ke arahnya, dia masih sibuk menyendok bubur dan sekilas aku lihat telapak tangan kirinya mengepal di bawah meja.

'' Makan sarapanmu sebelum pulang, '' pendeknya dingin.

'' Tidak, terima kasih, '' wanita itu menatapku lagi, menusuk, membuat lidahku kelu, kemudian menyeret kopernya perlahan.

'' Hati-hati, '' lanjut Biru. Sendoknya masih sibuk memisahkan kerupuk, bahkan kepalan tangannya belum mengendur.
Wanita itu menghilang di balik pintu tengah, sesaat terdengar hentakan pintu depan membuatku terlonjak kaget.

Aku menggenggam kepalan tangannya, terasa begitu tegang, bahkan membatu. Sendok plastik di tangannya terlepas, kemudian kepalannya mengendur, kepalanya menunduk dan ada hela nafas dalam yang terdengar. Aku menggeser kursiku mendekat, meraih bahu dan memeluknya.

'' Kamu bisa istirahat di kamarmu, aku akan pulang jika kamu ingin sendiri, '' ujarku masih memeluknya. Dia hanya diam, membiarkan bubur di meja menjadi dingin.

'' Jangan, tetaplah di sini. Aku membutuhkanmu. ''

Dia membalas pelukanku erat, masih terasa ketegangan di tubuhnya. Pertanyaan yang menggunung di kepalaku terpaksa aku pendam, ada kesedihan yang menyelimutinya, seperti benteng yang tiba-tiba runtuh. Biru-ku kini rapuh, dengan satu pertanyaan saja pasti akan menumbangkannya.

Biru-ku mendung, sinarnya tiba-tiba memudar. Senyumnya menghilang sejak percakapan dengan wanita itu, diganti dengan hening berkepanjangan yang entah kapan akan berakhir. Semuanya begitu cepat berganti, tawa kami berubah muram seketika saja. Kehangatan suaranya lenyap, hanya diam, hanya sepi, hanya detak jam yang terus berdetik. Mengisi kekosongan di antara kami, dan seolah bersorak karena ia adalah satu-satunya benda hidup yang masih bisa bersuara.

'' Istirahatlah, '' tambahku setelah keheningan panjang mendekap kami.

'' Jangan pergi. ''

'' Tidak, aku akan tinggal. Aku ada di sofamu kalau kamu membutuhkan bantuanku, '' kulepas pelukanku, menatap mata yang dilingkupi kesedihan lalu mengecup pelan kelopak matanya.

Kenapa aku merasa sangat tersakiti melihatmu bersedih, Biru?


*cerita bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar