Senin, 13 Februari 2012

What if?

Lagi, aku terduduk di kursi kayu beranda dengan tanaman merambat yang menutupi separuh pandangan. Masih pukul delapan pagi, dan niat untuk pergi ke kantor benar-benar aku urungkan.

Sepatu hitam berhak tinggi senada dengan celana bahan yang kukenakan, belum blazer hitam yang kupasangkan dengan atasan putih. Sia-sia. Aku memilih jurusan lain di halte TransJakarta pagi ini, aku harus menyelesaikan kekacauan yang sudah kumulai secepat mungkin.
Aku tidak mengetuk pintu, tidak juga mengabarinya, aku hanya ingin menunggu; menunggu dia menyadari kehadiranku di beranda rumahnya.

Ada pohon kaktus kecil ditanam di pot-pot kecil, diletakkan rapi sepanjang pembatas lantai dan tanah. Adenium mulai bermekaran, berwarna-warni, bercampur dengan warna anggrek yang putih bersih dengan sedikit warna ungu. Laki-laki seperti apa yang sedang kukencani? Begitu rapi, artistik, begitu mencintai alam, gila petualangan, begitu baik. Dan apa yang kulakukan padanya? Meninggalkannya begitu saja di kota lumpia? Wanita macam apa aku ini?

Cklek.. Cklek...

Kudengar suara anak kunci memutar nada-nada yang sudah kutunggu, mungkin pemiliknya sudah bangun atau mungkin dia ingin menghirup udara segar halaman hijaunya. Tak bisa kuacuhkan degup jantung yang tiba-tiba memburu, aku akan menghadapinya, aku akan menyelesaikannya hari ini.

'' Jangan di luar, masuklah, '' ujarnya yang terlihat kaget. Tangannya memegang mug besar berisi kopi, wajahnya tampak segar dengan rambut basah yang masih berantakan.
Aku duduk bersamanya, salah, aku duduk berseberangan dengannya. Di sofa coklat panjang di ruang tengah aku menguatkan hati agar tetap menatap matanya, dia masih sibuk meniup-tiup kopinya di sofa seberang, membuat jarak yang terlalu jauh untukku.

'' Bolos? '' tanyanya.

Aku harap aku bisa menjawabnya disamping hanya mengangguk tanpa suara sedikitpun, aku terlalu takut, aku terlalu merasa bersalah.

'' Ada apa? '' tanyanya lagi.

'' Aku minta maaf. ''

'' Untuk? ''

'' Untuk keputusanku meninggalkanmu di Semarang. Maaf, '' bahkan airmataku sudah menitik di pipi, aku tak bisa menahannya lagi.

'' Oh, '' timpalnya dingin. '' Kenapa kamu begitu cemburu padanya? ''

'' Aku... ''

'' Kenapa kamu dengan mudahnya pergi tanpa mendengar penjelasan sedikitpun dariku? Kenapa membuatku kecewa? ''

'' Maaf. ''

'' Bagaimana jika aku memilih tidak kembali ke Jakarta dan memilih dia karena kamu meninggalkanku? Bagaimana jika aku jatuh cinta dengannya lagi karena aku merasa sendiri? ''

Kutundukkan kepala sedalam yang kubisa, kusembunyikan airmata yang mulai melarutkan eyeliner dan mascara di mataku, kuremas jariku sekencang mungkin agar aku bisa menahan isakku.

'' Bagaimana jika aku memilih untuk meninggalkanmu? Bagaimana jika rasa sayangku berkurang padamu? ''

'' Maaf, maafkan aku. Tolong... ''

'' Bagaimana jika aku tak teramat sangat mencintaimu? Aku pasti tidak akan pernah kembali lagi ke sini. ''

Ketenangan suaranya benar-benar mengunci mulutku, aku seperti pesakitan yang sedang dihakimi dan sayangnya, aku hanya punya airmata untuk membela diri.

'' Masih bisa berpikir untuk meninggalkanku, lain waktu? ''


(Mr. Backpacker)

2 komentar:

  1. hihihihi ..
    kurang asemm ya si mister, tega liat si miss nangis

    hiks hiks..

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang penting baikan, ini hanya bumbu-bumbu sebuah hubungan....

      *sahih kata-kata gue*

      Hapus