Kamis, 09 Februari 2012

Nostalgia

Kamu melambai ke arahnya, seorang wanita cantik berkulit putih bersih. Mengenakan gaun selutut berwarna biru, sepatu hak tinggi dengan rambut ber-highlight panjang bergelombang.

'' Temanku, '' ujarmu setelah menuruni tangga stasiun di kota lumpia siang itu. Penampilannya kebalikan dari penampilanku saat ini, aku akan berdandan seperti itu mungkin hanya saat ke acara pernikahan, bukan untuk menemui teman di tempat ramai seperti stasiun. Aku menjabat tangan halusnya, merasakan perbedaan permukaannya dengan telapak tanganku. Darah biru, pikirku sesaat kemudian.

Ada kilatan lain di matanya, kamu tahu? Sorot mata yang berbeda saat menatapmu, bukan sorot mata teman biasa, bukan euforia pertemuan teman lama. Aku akui, aku mulai cemburu. Jelas aku merasa rendah diri di hadapannya, semua kesempurnaan wanita seperti jubah yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Aku kalah telak.

'' Dia kekasihku, dulu. ''

Benar, harusnya aku sudah bisa menebak dari awal. Dari kalian berdua saling peluk di stasiun dan saling berbagi cerita di tempat makan. Ada keganjilan di antara kalian, ada sesuatu yang membuat kalian serasi tanpa harus menyadari.
Aku ingin cepat-cepat keluar dari kota ini, tak peduli lagi tempat-tempat yang sudah kamu tulis di notes kecil milikmu untuk dikunjungi, aku hanya ingin pulang secepatnya.

Perjalanan kita tak pernah sekaku ini, semua langkah dan perkataanmu seolah hanya ditujukan pada wanita yang mengawal kita berkeliling kotanya. Aku seperti orang asing, aku seperti orang ketiga yang menyusupi jari jemari kalian. Aku ingin pulang.

'' Kamu tidak suka Semarang? ''

Aku suka, aku suka kota ini. Aku hanya tidak suka melihat kalian berdua di depan mataku, aku benci tawa di sela pembicaraan-pembicaraan kalian, aku muak melihat kilatan aneh yang dengan mudahnya memukulku mundur.
'' Aku ingin pulang, dengan atau tanpa kamu. ''

Aku lihat binar matamu padam, senyum hangat di wajahmu lenyap, dan bibir menggodamu terkatup pelan. Aku melihat kekecewaan melapisi seluruh garis rahang hingga dahi, maafkan aku.
Aku harus pulang, membawamu atau meninggalkanmu di kota ini bukan hal sulit. Aku hanya ingin cepat menghilang dari gumpalan nostalgia yang menyiksaku, berlari menjauh, mencari tempat aman dari bisikan-bisikan juga sugesti dari dalam pikiran.

Aku harus kembali, maafkan aku.


(Mr. Backpacker)

2 komentar: