Kamis, 23 Februari 2012

Akhir

'' Maukah kamu menjadi istriku? ''

Pertanyaannya membuatku melongo, begitu tiba-tiba, terlalu mendadak. Wajah sedihnya kini sudah melembut kembali, tenang dengan senyum hangat seperti biasanya. Jambang dan kumis tipis tampak menghiasi raut tampan dengan rahang tegas miliknya, rambutnya bahkan sudah menutupi setengah telinga.

'' Apa? '' tanyaku tak percaya.

'' Maukah kamu menjadi istriku? Menjadi ibu dari anakku, menjadikanku keluargamu? ''

Mulutku terbuka lebar tanda keterkejutan yang tiba-tiba mendera, suaraku tercekat di leher dan tubuhku membeku. Dia beranjak, masuk kembali ke kamarnya dan keluar dengan ransel hitam besar yang biasa dia pakai untuk backpacking. Isi ranselnya satu-persatu dikeluarkan memenuhi meja kaca, tangannya tampak membuka-buka anak kantung dan senyumnya tiba-tiba mengembang.

'' Tadinya aku ingin tempat yang romantis; Malang, Lombok, Raja Ampat, pantai-pantai di Maluku ataupun Selandia Baru. Paling tidak, kamu akan terkesan dan usahaku menjadi laki-laki romantis, '' ujarnya yang kemudian mengeluarkan kotak kecil dari ransel. '' Tapi aku tetaplah aku, aku yang selalu kaku padamu. Aku yang tak akan pernah kamu sebut 'seksi' seperti laki-laki di coffee shop di Jogjakarta, meski aku sudah menumbuhkan jambangku. ''

Aku tersenyum salah tingkah, bukan karena benda mengkilap di kotak kecil tadi, tapi karena usahanya untuk membuatku terkesan. Coffee shop, Jogjakarta, jambang, sudah lama sekali.

'' Nyatanya, aku hanya bisa melamarmu di rumah kecilku. Ingkar padamu tentang janji akan keluar dari kota ini dan membawamu ikut serta, tanpa bunga mawar, tanpa makan malam romantis, dan dengan suasana yang tidak menyenangkan, '' lanjutnya. '' jadi, jawablah... Maukah kamu menjadi istriku? ''

Airmataku menetes begitu saja, aku memang menginginkan semua itu. Mawar, candle light dinner, pantai, pegunungan, Selandia Baru, keromantisan darinya. Tapi toh Biru tetaplah Biru, to the point, jauh sekali dari kata romantis dengan ingatan yang tajam. Aku bahkan sudah lupa pernah membandingkannya dengan laki-laki berjambang di Jogjakarta.

'' Jadi? '' tanyanya lagi, kotak kecil di tangannya terbuka lebar di depanku menunggu jawaban yang harusnya sudah dia tahu.

'' Apa aku diperbolehkan menolak tawaranmu? '' balasku.

'' Jangan bertele-tele, wanita. Jawab saja, '' timpalnya gemas. Aku memeluknya dan menciuminya bertubi-tubi, bagaimana aku bisa menolak laki-laki sempurna yang sudah dua tahun bersamaku? Laki-laki bodoh!

'' Jadi kamu termia tawaranku? ''

'' Iya, bodoh. Apa kamu belum melihat pijar di mataku? Andai aku bisa menolaknya, tapi apa daya, kamu terlalu kubutuhkan. Aku mau, aku mau menjadi istrimu. Dan... ''

'' Dan? ''

'' Dan aku mau menjadi ibu dari anakmu, aku mau, Biru... ''

Aku terus memeluknya, melupakan cincin yang masih terselip diam di tempatnya. Tak perlu cincin, tak perlu tempat-tempat romantis, aku hanya mau Biru.

-End-

*cerita bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar