Jumat malam, adalah waktu untuk kami bergelut dengan kemacetan menjelang akhir pekan. Sudah biasa dan TransJakarta yang kutumpangipun sama saja, terjebak meski sudah ada jalannya sendiri.
Tapi pikiranku tak semalas biasanya, aku akan menghabisan sisa waktu jumat ini dengan Biru di rumahnya. Entahlah, kedengarannya menyenangkan dan aku hanya punya dia di kota ini.
Aku terheran melihat sepatu merah berhak tinggi masih tersusun di rak sepatu, milik wanita itu.
'' Dia belum pulang? '' tanyaku saat menemukan Biru di dapur yang tampak sibuk dengan pancinya. Dia menoleh sebentar sebelum mematikan kompor.
'' Dia sakit dan menolak kubawa ke rumah sakit, aku yang merawatnya, '' suaranya terdengar pelan tanpa semangat. '' Aku lelah sekali. ''
Seketika aku memeluknya, mendekap tubuh lesu beraroma bubur. Dia mendesah pelan di telingaku, '' Istirahatlah, biar aku yang mengurusnya, '' perintahku. Dia tampak ragu meski akhirnya menurutinya.
Wajah wanita itu tidak terlihat pucat, entah sakit apa sampai Biru-ku kelelahan mengurusinya.
'' Sudah baikan? '' tanyaku basa-basi. Dia yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya menatapku heran, '' Biru sedang istirahat, dia kelelahan. ''
'' Kamu baru pulang dari kantor? Kalian sudah tinggal seatap? '' cecarnya.
'' Biru memintaku menemaninya lembur malam ini, '' singkatku. Dia menarik napas lega lalu mulai menyendok buburnya, aku masih ingat perkataannya tempo hari saat dia bilang akan merebut Biru dariku dengan wajah persis seperti itu.
'' Pertama kali aku bertemu Biru, saat itu kami masih kuliah semester awal. Bertemu di warung tenda dekat Simpang Lima, dia begitu menarik perhatian, '' ceritanya sambil menerawang. '' Aku yang pertama menegurnya dan belakangan aku tahu kalau dia bukan asli Semarang, kami langsung tertarik satu sama lain. ''
Baiklah, kini aku harus mendengarnya bercerita kisah cinta masa lalunya dengan Biru-ku. Apa itu pantas untuk diceritakan di depanku?
'' Dia belum berubah, masih baik hati, perhatian, lembut... ''
Dan dia adalah milikku sekarang.
'' Sepertinya aku masih punya kesempatan untuk mendapatkannya kembali, aku lihat pancaran matanya masih sama saat menatapku. ''
'' Habiskan buburmu dan jangan lupa minum obat, aku harus bekerja ekstra malam ini, '' potongku lalu segera pergi menjauh darinya. Sungguh sangat tidak pantas mengatakan itu depanku, berani sekali.
Ketakutan tiba-tiba muncul menyusupi tiap-tiap keyakinan yang sudah sejak lama kupercaya, bagaimana kalau itu benar? Bagaimana kalau Biru masih mencintainya? Bagaimana jika wanita itu benar-benar merebutnya? Apa kelebihanku yang akan membuat Biru memilihku? Dia jelas-jelas lebih dari segalanya, dia sempurna; fisik, keuangan, jabatan, mapan. Ahh, aku punya apa? Karyawan biasa, keluarga biasa, penampilan standart, perantau yang ingin memperbaiki kehidupan.
Apa yang akan Biru lihat dariku? Jelas aku belum sepersekian dari wanita di kamar tamu itu. Kenapa aku tiba-tiba takut? Sangat takut.
(Mr. Backpacker)
*cerita bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar