'' Itu punggung siapa? '' tanyaku sedikit kaget melihat foto punggung di layar laptopnya.
Aku beranjak lalu ikut melantai bersamanya, mengamati lekuk tengkuk, leher hingga lengan di layar. '' Astaga! Itu punggungku? '' tanyaku melihat tahilalat kecil di punggung sebelah kiri foto.
'' Bagaimana kamu tahu itu punggungmu, sedang punggungmu saja letaknya di belakang? '' dia balik bertanya sambil senyum-senyum jahil ke arahku. Aku menutup layar laptopnya dan menatapnya kesal, senyum kecilnya berubah menjadi senyum lebar penuh kemenangan.
'' Kapan kamu memotret punggungku? '' cecarku. '' Kalau itu bukan punggungku, pastilah dia sudah tidur denganmu. Katakan, siapa dia? ''
Dia masih tersenyum, lalu memindahkan tanganku dari laptopnya. '' Benar, Tuan Putri. Itu adalah punggung Yang Mulia, sekarang hamba siap dipancung untuk menebus kelancangan hamba, '' ujarnya seraya menirukan gaya bicara orang kerajaan. Aku berusaha merebut tetikus dari tangannya berniat menghapus foto itu, tapi tetap kalah cepat. '' Kamu harus lihat foto-foto lainnya. ''
Foto-foto lain?
'' Perhatikan, '' lanjutnya sambil membuka satu-persatu koleksi fotonya. Di stasiun Gambir, ada aku sedang berdiri berkacak pinggang menatap kereta yang baru datang. Lalu di dalam kereta, aku mengintip sawah dari jendela sambil mengelap embun karena hujan. Di Bromo, aku dengan jaket tebal, shawl dan sarung tangan menghadap matahari terlihat menggigil kedinginan.
'' Kenapa fotoku selalu kamu ambil dari belakang? '' tanyaku setelah menemukan kesamaan dari foto-foto tadi.
Dia tersenyum lagi, lalu menyesap kopinya sebentar. '' Karena aku, menyukai punggungmu, juga lekuk tengkuk hingga bahu. ''
Aku terbahak mendengarnya, seumur hidupku baru kali sekarang ada orang yang begitu terobsesi pada punggungku. Laki-laki macam apa yang sedang ada di hadapanku ini, Tuhan.
'' Ada yang lucu? Kamu mentertawakanku? Kalau aku bilang pernah bertemu denganmu sebelum insiden ponsel, punggungmulah penyebabnya. ''
'' Oh ya? Ceritakan, '' aku mencoba menahan tawa yang masih ingin meledak.
'' Aku bertemu pertama kali di TransJakarta, kamu naik di halte Harmoni. Bus penuh sesak, dan kamu berdiri tepat di depanku, membelakangiku. ''
'' Oke, terus? ''
'' mengenakan kemeja panjang warna merah dengan rambut yang masih berantakan dijepit keatas mirip konde Mbok Jamu, '' dia tersenyum meledek ke arahku lalu terkekeh. '' Kamu hanya sebatas dahiku, aku bisa melihat jelas tengkuk bahkan aku masih ingat wangi rambutmu. ''
'' Apa aku sempat menginjakmu dengan sepatu hak tinggiku? Sayang sekali ada hidung belang dibiarkan berkeliaran, '' balasku. Dia terkekeh, lagi. Entah benar atau tidak ceritanya, tapi aku tak pernah menyangka semua ini.
'' Setelah hari itu, aku sengaja turun di Harmoni, mencari-carimu. Tapi sulit karena aku bahkan belum melihat wajahmu, '' ekspresinya berubah menjadi serius. '' Hingga hari di mana aku meminjam ponselmu, aku sudah melihatmu di halte Harmoni, kemeja putih bergaris merah jambu sedang menelpon bersender di pembatas kaca. ''
'' Lalu? ''
'' Lalu, ya sudah. Toh aku tak bisa berkutik dengan barang bawaanku, juga karena sudah membuat janji dengan klien, '' terangnya. '' Dan entah kenapa tiba-tiba aku lupa ponselku, aku takut menghilangkannya atau terjatuh. Lalu aku melihat kelebat bajumu. ''
'' Terus? ''
'' Yaa, seperti ceritamu tadi. Aku meminjam ponselmu dan bla..bla..bla.. Got it! I got your number, '' dia mengerlingkan mata menggodaku. '' Jadi tahu, kan, kenapa aku tidak pernah protes kamu punggungi? Kenapa aku suka memelukmu dari belakang, kenapa aku memotret punggungmu? ''
'' Tapi, memotret punggungku tanpa penutup itu maksudnya apa? Mengakulah, berapa foto yang kamu ambil setelah kita.... ''
'' Hanya itu, aku berani sumpah, aku hanya mengambil foto punggungmu, '' potongnya buru-buru. '' Aku bisa memotret bagian lain kalau kamu mau, ada spot-spot yang aku sukai. ''
'' Diam kamu! '' bentakku. Kejutan lain, mengenaliku hanya dari tengkuk tanpa melihat wajah. Banyak kebetulan yang terjadi, ahh, aku tidak percaya kebetulan.
Benarkah punggungku seperti yang dia katakan? Aku bahkan tak pernah berpikir akan menarik perhatian lelaki dari bagian belakang tubuhku.
'' Ehem... , '' tiba-tiba wanita itu keluar dari kamar tamu, membuyarkan tawa yang masih terkembang di wajahku. '' Boleh aku bicara berdua denganmu, Biru? ''
'' Aku? Boleh, bicara saja, '' sahut Biru tanpa sedikitpun menggeser duduknya.
'' Berdua, '' ulangnya tegas.
*cerita bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar