Jumat, 10 Februari 2012

Dia

Aku memandang jauh ke depan, ke titik
terjauh yang dapat dijangkau
pandanganku, ke sutu titik di garis
horizontal yang berwarna biru.
Biru sebiru langit, biru sebiru laut.
Hari ini cerah, seperti hatiku yang cerah.
Matahari bersinar tanpa
sungkan-sungkan membuat angin
berhembus sepo-sepoi. Aku sedang
bersuka hati
sebab sedang berlibur bersama pujaan hati.
Aku harus menikmati hari ini, karena
mungkin tidak akan terulang lagi.
Kurasakan hembusan angin yang meniup-
niup ujung rambutku. Kurasakan setiap
sensasi dingin yang menjalar. Aku
melompat, melempar batu, menulis
namaku
dan namanya di pasir. Kenangan ini tak
akan kulupa, semoga, karena aku tak
bisa berjanji, aku tak pandai berjanji.
Kulihat dia yang sedari tadi mengikutiku,
menikmati angin sepoi-sepoi
seperti yang aku lakukan. Rok panjangnya
terayun-ayun dimainkan angin.
Rambutnya yang digerai panjang tampak
berantakan, namun ia tetap cantik,
selalu, seperti biasa. Betapa cantik dia.
"Indah yaa.." serunya yang kini berdiri di
sampingku.
Aku mengangguk. Takjub melihat wajahnya
yang bersinar di tengah kemilau air
laut yang biru.
"Eh, bengong aja!" ditepuknya pundakku
dan menghentikanku dari tindakan
memandanginya lekat.
"Makasih ya uda ajak aku liburan ke pantai
yang indah ini," ku dengar
ucapannya yg tulus.
"Sudah seharusnya aku membawamu
kesini, ini kan janji kita berdua," kilahku.
"Yah, walaupun sudah janji, tapi kalau tidak
ditepati kan sama aja.." dalam
hati aku mengiyakan.
"Sebenarnya ada yang aku sembunyikan
selama ini terhadapmu."
Ku dengar ia berujar. Dia tampak malu-
malu.
Aku pun ada, ucapku dalam hati.
"Apa yang kamu sembunyikan selama ini
dariku?? Apa aku tidak layak disebut
sahabatmu?" aku pura-pura marah.
Dirangkulnya aku dengan manja, seperti
sebelumnya, hatiku bergetar.
"Aku sedang suka seseorang."
Glek!
Hatiku berdebar tak karuan. Siapakah yang
disukai oleh sahabatku yang
cantik jelita ini? Yang hatiku telah penuh
dengan keceriaannya? Mungkinkah
..?
Dilepaskan rangkulannya, aku merasa
hampa. Kini ia tertunduk.
"Siapa?" Akhirnya suaraku keluar juga.
Dia menggeleng, tampak ragu.
Aku sebenarnya tidak ingin
menanyakannya lagi, aku takut aku akan
terluka.
Sakit. Tapi aku tak cukup mampu mengusir
rasa ingin tahu yang mendalam
secara tiba-tiba di benakku.
"Hey, masih menganggapku sahabat?" kali
ini aku berusaha menahan nada agar
tidak terlihat berlebihan.
Dia masih menggeleng di tundukkannya.
Ku raih dagunya, "Hey, apa yang kamu
takutkan dariku, Gadis kecil?" kataku
memandang ke kedalaman matanya. Cerah.
"Kamu janji ga akan ketawa
mendengarnya?" ditatapnya mataku,
memintaku
untuk berjanji.
What the? Mengapa aku harus berjanji
untuk tidak tertawa? Aku menjadi
penasaran siapa yang ada di balik hatinya
saat ini.
Apa dia seseorang yang lucu? Berbagai
lelaki berkelabat di kepalaku. Atau
lelaki yang ia sukai adalah aku?
Tidak mungkin! Pikiran negatif ini harus
segera aku singkirkan sebelum ia
masuk lebih dalam ke kepalaku.
Kini ia melangkah menjauh dariku. Kukejar
ia. Dan ku sentuh tangannya. Ia
berhenti. Menatapku dalam. Aku semakin
gundah. Ada apa gerangan yang
terjadi pada sahabatku yang cantik jelita
ini?

****

Bukan, bukan suasana seperti ini yang aku
inginkan saat memberitahunya. Garis pantai
tanpa batas, debur ombak yang menyapunya
terus menerus serta langit biru yang
menaungi kepala kami. Bukan, bukan di
tempat seindah ini aku akan menyakitinya.
Bahkan, sampai detik ini aku sudah melihat
jelas kekecewaan di wajahnya. Aku benar-
benar takut akan menghancurkan hatinya.
Aku tahu, sudah sejak lama. Aku bisa
membacanya dari gelap mata sedalam
sumur yang dia punya, mata yang sudah
bertahun-tahun menatapku hangat dan
membuatku terhanyut di dalamnya.
'' Kita sahabat, bukan? '' pikirku. Pertanyaan
yang selalu saja kuulang agar bunga-bunga
di hatiku berhenti bermekaran, agar
keinginanku untuk memilikinya lenyap
seketika.
'' Kamu pasti kenal Harry, teman sekantor
yang sering aku ceritakan. '' Akhirnya
keberaniaan itu muncul, dan seperti yang
sudah kuduga, wajahnya berubah mendung.
'' Dia mengatakannya kemarin, aku pikir
keputusanku benar, aku menerimanya. ''
'' Ha-Harry? Laki-laki itu? ''
'' Iya, laki-laki itu. Selama ini dia begitu baik,
begitu perhatian, tapi sepertinya mataku
tertutup sesuatu sampai aku tidak sadar
kehadirannya. '' Kulihat wajahnya berpaling
ke arah laut, ada kesedihan lagi di sana. ''
Kamu marah? Aku pikir kamu akan
mentertawakanku tadi. ''
Wajahnya berpaling kembali ke arahku,
agaknya ada senyum kecut yang berkelebat
di raut menyejukan miliknya. '' Hei, aku
sahabatmu, bukan? Aku harus bahagia untuk
semua kebahagiaanmu. Benar? ''
Ada kepura-puraan, ada keterpaksaan, ada
kata ' Harus ' yang menjelaskan semuanya.
'' Dan jangan bertingkah seperti orang asing
pada sahabatmu sendiri, aku akan
tersinggung kalau kamu melakukannya lagi,
'' lanjutnya dengan nada bergurau. Lalu
pelukannya menyelimuti tubuhku yang
menegang ketakutan, aku menghancurkan
hatinya, dan sudah kulakukan.
Aku menyayanginya, jelas. Aku mencintainya,
pasti.Tapi aku adalah sahabatnya, dan aku
melaksanakan sumpahku untuk tidak
memberinya ruang paling dalam di hatiku.
Maaf.


*cerpen duet @_raraa dengan @ririntagalu

2 komentar:

  1. Balasan
    1. salah kamu bikin awalan kaya gitu, mau dibikin adegan bunuh-bunuhan juga ga bisa. :))))

      maaf ga bisa bikin ending yang romantis :D

      Hapus