Ada banyak sarapan justru di tengah makan siang, bus kita tidak bisa menunggu dan angkot kita hanya satu jam sekali.
Ini bukan Jakarta, katamu saat pertama aku memutuskan untuk ikut menggendong ranselku di belakangmu. Wajahmu tak berpaling dari sarapan di sebuah warteg satu-satunya di luar pulau Jawa yang bisa kita temui, jam sudah menunjukan pukul dua siang dan kita baru mendapat makanan.
Tampak piring di depanmu hanya meninggalkan tempe dan sambal, lalu dengan cepat memindahkan tempe ke atas piringku.
Aku terkekeh menahan tawa yang sebentar lagi meledak, sikumu menyikut lenganku, mengingatkan kalau tempat itu bukan milik kita berdua.
'' Cepat habiskan, bus kita sebentar lagi berangkat, '' bisikmu di telingaku. Aku mengangguk sambil terus menahan tawa, menghabiskan nasi dan tempe pemberianmu lalu beranjak mengikutimu ke terminal. Aku akan terus mengingat punggung itu di kali pertama perjalananku bersamamu, tertutup jaket dan melekat ransel hitam kebesaranmu.
Sarapan hari itu bertahan sampai saat makan malam, tidak pernah ada keluhan yang keluar dari bibir kita. Masih belum apa-apa, kita baru menjejak satu kota, dan pasti masih ada sarapan-sarapan lain di jam makan siang berikutnya.
(Mr. Backpacker)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar