Aku menguap untuk yang kesekian kalinya, masih ada dua map lagi sebelum aku bisa pulang. Jam di tanganku sudah menunjukan pukul sepuluh, dan tinggal kubukelku saja yang masih berpenghuni.
Aku menengok ke belakang, tampak seseorang sedang sibuk menggeser-geser tetikusnya dengan serius.
'' Kamu ga mau pulang aja? Gak apa-apa deh nanti aku pulang sendiri '' seruku. Wajahnya berpaling dari monitor laptopnya sesaat lalu melanjutkan pekerjaannya kembali.
'' Gak apa-apa, sekalian ngerjain kerjaanku. Di rumah sendirian juga, mending di sini ada temennya. ''
Aku mengalah, toh memang benar ada dia di sini. Menemaniku meski kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sudah dari sore dia memilih datang ke kantorku dari pada pulang ke rumahnya sendiri, padahal dia sendiri belum istirahat setelah lembur semalaman tanpa tidur.
'' Mau kopi? Nanti aku telponin pantry biar dibikinin, '' aku beranjak dari kursiku, lalu pindah ke sofa panjang tempatnya bekerja.
'' Mau kopi tubruk, tapi kamu yang bikinin. Gak mau kalau orang lain '' pendeknya. Aku menghela napas lelah, selama ini memang aku yang biasa membuatkannya kopi. Tapi tidak di saat pekerjaanku menumpuk seperti malam ini.
'' Kerjaanku masih banyak, Hon. Sekali ini aja, ya? Besok-besok janji deh... ''
'' Gak, aku maunya hari ini! '' potongnya. Aku beranjak dengan kesal, ada saja keinginannya yang tak bisa dilawan, bodohnya, aku menurut saja mengikuti perintahnya.
Kususuri koridor yang sudah gelap, pantry tampak masih ramai dengan suara TV dan sorak sorai penontonnya. Ada pertandingan bola tampaknya.
'' Mbak, mau bikin kopi? Kok gak telpon aja? '' kata salah satu OB melihatku membuka bungkus kopi tubruk instant dari lemari penyimpanan.
'' Ada pangeran tampan yang gak mau dibikinin kopi sama orang lain, egois! '' teriakku melawan suara TV. Dia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Aku kembali dengan mug hitam yang biasa kugunakan, kepul asap kopi panas tampak begitu menggoda di hidungku.
'' Cepat kerjakan pekerjaanmu, sudah terlalu malam '' katanya sedetik setelah kopi kuletak di atas meja. Apa lagi ini?
'' Sudah kubilang tadi, kalau mau pulang, pulang aja. Gak usah nungguin aku. Kenapa sekarang nyuruh-nyuruh segala? '' semburku. Sepertinya letih sudah menguasaiku sepenuhnya. Tak ada reaksi apa-apa sampai lima menit terdengar hentakan keras di meja kaca.
'' Aku gak pesan kopi tubruk instant. ''
'' Terus?? Kalau mau yang ga instant cari sendiri, aku gak jualan kopi tubruk di sini. Terserah mau nyari di mana, gak peduli!! ''
'' Don't yell at me! '' balasnya tegas.
'' Terus?? Aku capek tau gak! Kerjaan, laper, ngantuk, kamu...''
'' Kenapa? Aku kenapa? Aku cuma minta kopi tubruk, udah. ''
'' Kenapa gak sekalian bawa bibit pohon kopi biar aku bikinnya dari nol? Egois! Aku capek sama kamu, aku capek menuruti semua kemauanmu. Capek! '' lirihku. Mataku mulai berkaca-kaca, aku memang selalu menangis kalau marah dan aku benci itu. '' terserah kamu lah, terserah...''
'' Terus kamu maunya apa? Putus? Iya? '' tuduhnya.
'' Kalau itu mau kamu, aku nurut. Kita putus! '' seruku. Air mataku sudah tak bisa ditahan lagi, aku benar-benar sudah pasrah kalau ini berakhir sekarang.
'' Buatin aku kopi tubruk dengan tanganmu sendiri, baru kamu boleh minta putus. ''
'' AKU UDAH BILANG, AKU GAK JUALAN KOPI TUBRUK. AKU GAK BISA! '' teriakku. Aku benar-benar sudah kalut, aku sama sekali tidak menginginkan ini. '' Puas kamu, puas? ''
Kudengar langkahnya mendekat lalu terasa kursiku diputar ke belakang.
'' Kamu gak bisa, kan? '' tanyanya pelan sambil menndekapku. Aku menggeleng pelan sambil terus menangis dipelukannya. '' aku tahu, aku sudah tahu... Dengar, selama kamu belum bisa bikin kopi tubruk dengan tanganmu, kamu adalah milikku, takdirku. ''
Dekapannya makin erat seiring airmataku yang makin membanjiri kemejanya. '' Jangan pernah bisa bikin kopi tubruk, dan jangan pernah coba-coba belajar. Aku gak akan bisa hidup tanpa kamu di sisiku. ''
(bayar utang sama Mas @momo_DM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar