Senyum untukmu yang lucu, kamu yang telah menemaniku hingga rambutku kelabu. Terima kasih.
Pernah ada saat yang pahit ketika ego menguasai kita, aku ingin menang, dan kamu tidak mau kalah. Pernah ada saat yang menyakitkan membelit kita, aku ingin terus bersamamu, dan kamu ingin berpisah dariku.
Pernah ada waktu, ketika kita menomorduakan ego demi tempat kecil di sebuah desa...adalah sepetak rumah beserta isinya. Aku tersenyum untuk hidup kita yang lucu, untuk segala arah yang pernah kita pilih.
'' Cobalah, kamu akan menemukan jawaban setelahnya '' katamu dulu. Aku menurut dan melangkah gamang ke depan orang tuamu, menebalkan wajah untuk memintamu menjadi istriku.
Aku tersenyum untuk kita, untuk semua keputusan tiba-tiba yang membawaku ke kehidupan duniawi bersamamu.
Lembut senyummu masih melekat dalam ingatan, samar tangismu masih terlihat seperti halnya proyektor yang memutar adegan sedih terus menerus di kepala. Bagaimana aku dapat hidup tanpamu? Sedang jiwaku terlepas begitu saja dari ragamu. Kini aku hanya separuh, nyawaku mungkin hanya cukup untuk hidup sehari saja.
Kubakar dupa untukmu, di depan rumah pribadimu. Foto hitam putih kecil menyatu dengan nisan beserta ukiran-ukiran huruf yang tak pernah aku lulus saat memelajarinya. Aku terbiasa dengan aksara Jawa, dan asing dengan huruf-huruf Cina yang sering kamu ajarkan padaku.
Senyumku untukmu, untuk kamu penyebab rindu yang telah lelap dalam damai. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar