Selasa, 24 Januari 2012

Ini Bukan Judul Terakhir

Ku pandangi tubuh telanjang di atas ranjang berukuran sedang di depanku, dadanya naik turun mencoba mengambil oksigen di dalam ruangan pengap penuh perabotan elektronik yang masih berantakan.

'' Masih bermimpi, sayang? '' bisikku ke telinganya. Suntikan obat bius setengah jam lalu seperti membuatnya mati suri, ikatan tali di pergelangan tangannya mengendur karena usaha melawan saat melihatku mengambil kamera polaroid untuk mengambil gambarnya. '' Ayahmu pasti sedang menangis di istananya, putranya yang baik hati dan penurut, kabur demi kekasihnya. Lalu pulang dengan bentuk lembaran foto-foto mengenaskan. Haha..''

Kutinggalkan tubuhnya tetap polos di tempat tidurku, lalu beranjak menuju ke komponen-komponen kecil dan kabel-kabel yang belum juga selesai dikerjakan. Sesekali kulirik tubuh lelaki itu saat rintihan lirih terdengar, aku mendengus cuek dan kembali berkonsentrasi ke pekerjaanku.

'' Kamu bodoh, Henry '' gerutuku sambil mendengarkan radio kecil berisik yang terus berbunyi mengeluarkan perbincangan beberapa laki-laki saling bersahutan, '' Polisi bodoh! Dibayar berapa kalian sampai sibuk mengurusiku? ''

Ke mana kalian saat ibuku meminta perlindungan dari laki-laki jahat itu? Ke mana kalian saat ibuku ditusuk orang tak dikenal hingga mati di pinggir jalan? Ke mana kalian saat bocah kecil itu menangisi satu-satunya orang yang dipunya? Ke mana kalian saat aku, saat aku meminta dan memohon keadilan?

'' Kamu tahu, Henry? Laki-laki yang mendatangiku itu mengaku telah membayar orang untuk membunuh ibuku, dia tertawa bahagia karena wanita yang dihamilinya tak akan mengganggu lagi. Jahatnya dia ''

Iya, aku masih ingat gelegar tawanya di depan wajah sembabku. Wajahnya seperti iblis yang lolos dari neraka dan bebas bergerak di dunia, wajah kebapakannya sungguh mengerikan. Yang paling lucu adalah, kamu, kekasihku, adalah kakak tiriku. Kita satu ayah, Henry. Aku telah tidur dengan kakakku sendiri, kita lucu sekali.

Kutarik kursi kayu kecil ke samping ranjang, memerhatikan tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kakinya yang juga terikat. Lalu kuambil pisau lipat di laci meja dan mengarahkannya ke wajah yang lebam karena tinjuku.

'' Aku tahu karma akan membalas perbuatan Ayahmu, Henry. But you know what? Aku akan mendahului karma, aku yang akan membalasnya ''. Kugariskan pisau di pipi kiri sampai setetes darahnya terlihat dan erangan lemahnya terdengar, kupikir akan menyenangkan kalau sedikit goresan di wajahnya ditambah. Sebelum tubuhnya meledak bersama bom rakitanku yang juga akan membunuh hati ayahnya seketika, aku menunggu gelegar tawa iblisnya menggema di pemakaman anaknya sendiri.

'' Ayahmu akan tahu, ini bukan judul terakhir yang kubuat untuk hidupnya. Kalau nanti kamu selamat, jaga ibumu baik-baik ''

(#15haringeblogFF)

2 komentar:

  1. Njrit!! Masokis abis.
    Cukup sadis dan dingin.
    Bagus. :D

    tp menurut gua pribadi, narasi suasana sadis dan sadisnya masih kurang kuat. *menurut gua lho*
    jd pas ngegores pisau, dinarasiin si tokoh aku ngejilatin darah si cowok, dan berucap. 'darahmu manis, Sayang. Semanis wajahmu.' atau bisa dikasih kalimat percakapan lainnya. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nis, gue ga tega tokoh gue diapa-apain sebenernya. Ini pertama kalinya gue nulis pake ada pisau segala, sebelumnya ngilu banget kalo baca, apalagi nulisin.

      But thanks for your comments, i'll try my best next time :D

      Hapus